BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada umumnya perusahaan melakukan proses merger dan akuisisi untuk mendapatkan sinergi, nilai tambah, dan keefektifan (Foster, 1994). Salah satu nilai tambah yang dimiliki oleh perusahaan sebagaimana dijelaskan oleh Moin (2010) adalah mendapatkan cashflow dengan cepat dan menghemat waktu dalam memasuki bisnis baru. Beberapa manfaat lainnya dilakukannya merger dan akuisisi adalah untuk meningkatkan kekuatan pasar, mengatasi hambatan untuk masuk ke dalam satu industri, menghemat biaya dan mengurasi resiko pengembangan produk baru, meningkatkan kecepatan dalam memasarkan produk, menambah kompetensi yang berlebihan (Hitt, Ireland dan Hoskisson, 1997). Beberapa penelitian telah dilakukan untuk melihat apakah terdapat peningkatan atau penurunan kinerja terhadap perusahaan yang melakukan merger dan akuisisi. Eun, Kolodny, dan Scheraga (1996) sebagaimana dijelaskan oleh Nirboyo (2010) menunjukkan bahwa merger dan akuisisi berpengaruh positif terhadap kedua pihak perusahaan. Andriati (2003) dan Kamil (2005) juga telah meneliti tentang pengaruh dampak merger dan akuisisi terhadap kinerja keuangan dengan hasil positif dimana kinerja keuangan yang melakukan merger dan akuisisi meningkat setelah proses akuisisi dilakukan. 1
Keputusan merger atau akuisisi juga tidak terlepas dari adanya permasalahan. Sebagaimana dijelaskan oleh Suta (1992) bahwa biaya untuk melakukan merger atau akuisisi relatif sangat mahal, dan hasilnya pun belum pasti sesuai dengan yang diharapkan. Alasan lainnya adalah adanya kesulitan menggabungkan dua budaya perusahaan yang berbeda yang akan berakibat pada sumberdaya manusia yang akan dipakai. Penelitian lainnya yang dilakukukan oleh Moin (2010) disebutkan bahwa proses merger dan akuisisi memiliki kelemahan seperti proses integrasi yang rumit, biaya konsultansi dan koordinasi untuk melakukan merger yang relatif mahal dan tidak ada jaminan bahwa merger selalu meningkatkan nilai perusahaan dan kemakmuran bagi pemegang saham. Ismail et al. (2011) juga meneliti bahwa walaupun merger dan akuisisi merupakan salah satu keputusan penting bagi keberhasilan perusahaan, namun pada kenyataannya, banyak merger yang terjadi tidak berjalan dengan sesuai yang diharapkan. Hasil studi empirisnya menunjukkan bahwa motivasi yang mendorong terjadinya M&A dan efisiensi dari economies of scale terbukti sulit untuk dipahami sehingga banyak merger yang terjadi tidak sesuai harapan. Ismail et al. (2010) menguji kinerja operasi sesudah merger dari perusahaan di Mesir yang melakukan Merger dan Akuisisi dengan ukuran rasio profitability, efficiency, liquidity, solvency, dan cash flow position dan ditemukan bahwa kegiatan merger dan akuisisi berkontribusi dalam peningkatan tingkat keuntungan (profitability) perusahaan sektor konstruksi, sedangkan pada rasio lainnya 2
(efficiency, liquidity, solvency, dan cash flow position) kegiatan merger dan akuisisi gagal meningkatkan kinerja perusahaan. Estañol dan Seldeslachts (2011) meneliti merger yang dilakukan bisa berakibat gagal dalam meraih tujuannya. Penyebab gagalnya merger berasal dari informasi asimetris yang muncul dari periode sebelum merger, dan permasalahan kerjasama dan koordinasi di dalam perusahaan yang telah di merger. diantaranya adalah sejumlah orang yang pada awalnya setuju untuk dilakukan merger dan tetapi setelah merger, tidak melakukan sesuatu yang kongkrit, hanya bergantung kepada orang lain untuk melakukan berbagai usaha yang dibutuhkan. di Indonesia, Samosir (2003) meneliti kinerja beberapa bank pemerintah yang telah di merger menjadi Bank Mandiri (ex Bank Exim, Bank BDN, Bank BBD, Bank Bapindo). Hasil studi yang pertama menunjukkan bahwa kinerja ke empat bank pemerintah sebelum merger adalah tidak sehat. Hasil studi kedua adalah pemerintah tidak memiliki pilihan lain dibandingkan melikuidasi bankbank tersebut dengan cost yang sangat besar. Disamping itu, pemerintah menginjeksi bank hasil merger dengan obligasi pemerintah sebesar Rp178 trilyun. Hasil studi ketiga menunjukkan bahwa kinerja Bank Mandiri setelah merger selama tiga tahun justru belum juga sehat, dimana 73% pendapatan yang diperoleh merupakan hasil bunga obligasi yang diberikan pemerintah Kebijakan merger di perusahaan berjenis BUMN dilakukan oleh Pemerintah Indonesia melalui Kementerian BUMN sebagai kementerian teknis yang melakukan pembinaan terhadap seluruh BUMN yang ada. Arah kebijakan yang 3
dirumuskan oleh Kementerian BUMN di dalam Masterplan 2010-2014 terdiri dari: (1) arah kebijakan terhadap Kementerian BUMN dan (2) arah kebijakan terhadap pembinaan BUMN. Arah kebijakan terhadap pembinaan BUMN dilakukan dengan strategi rightsizing, restrukturisasi, revitalisasi dan profitisasi BUMN secara bertahap dan berkesinambungan. Kebijakan rightsizing (jumlah dan skala yang lebih ideal) BUMN dilaksanakan melalui 5 jenis tindakan, yaitu: 1) Stand alone, 2) Merger/Konsolidasi, 3) Holding, 4) Divestasi, 5) Likuidasi. Kebijakan stand-alone (BUMN tetap seperti sediakala) diterapkan untuk mempertahankan keberadaan BUMN-BUMN tertentu terutama yang memiliki salah satu kriteria sebagai berikut: a) Market share cukup signifikan dan mengandung unsur keamanan; b) Single player atau masuk sebagai pemain utama; c) Belum memiliki potensi untuk dimerger ataupun holding; d) Keberadaannya berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku dan umumnya captive market. Kebijakan Merger atau Konsolidasi dilakukan untuk mencapai struktur yang prospektif bagi BUMN yang berada dalam sektor bisnis yang sama dengan pasar yang identik dan kepemilikan Pemerintah 100%. Secara garis besar kriteria untuk BUMN-BUMN yang akan di-merger atau konsolidasi adalah sebagai berikut: a) Jenis usaha dan segmen pasar sama; b) Kompetisi tinggi; c) Mayoritas saham dimiliki Pemerintah; d) Kinerja tergolong kurang baik; e) Going Concern diragukan, namun masih memiliki potensi untuk digabung dengan BUMN lain. 4
Kebijakan Pembentukan holding menjadi pilihan yang rasional untuk BUMN yang berada dalam sektor yang sama namun memiliki produk maupun sasaran pasar yang berbeda, tingkat kompetisi yang tinggi, prospek bisnis yang cerah dan kepemilikan Pemerintah yang masih dominan. Beberapa kriteria utama BUMN-BUMN yang akan di-holding adalah sebagai berikut: a) Sektor usaha sama; b) Jenis usaha dan segmen pasar berlainan; c) Kompetisi tinggi; d) Masih ada prospek/ bisnis prospektif; e) Pemerintah merupakan pemilik mayoritas. Kebijakan Divestasi diutamakan bagi investor dalam negeri atau melalui proses akuisisi dan/atau merger/konsolidasi oleh BUMN lain. Alternatif ini dilakukan sesuai dengan kriteria dalam Undang-undang Nomor 19 tahun 2003 dan Peraturan Pemerintah Nomor 33 tahun 2005. Disamping itu terdapat kriteria tambahan yaitu: a) Berbentuk Persero; b) Berada pada sektor usaha atau industri yang kompetitif atau unsur teknologinya cepat berubah; c) Bidang usahanya menurut Undang-undang tidak secara khusus harus dikelola oleh BUMN; d) Tidak bergerak di sektor pertahanan dan keamanan; e) Tidak mengelola sumber daya alam yang menurut ketentuan peraturan perundangan tidak boleh diprivatisasi; f) Tidak bergerak di sektor tertentu yang oleh pemerintah diberikan tugas khusus untuk melaksanakan kegiatan tertentu yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat; g) Memenuhi ketentuan/peraturan pasar modal apabila privatisasi dilakukan melalui pasar modal. Kebijakan Likuidasi dilakukan untuk BUMN-BUMN yang tidak memiliki kewajiban PSO, berada dalam sektor yang kompetitif, skala usaha kecil, 5
mengalami kerugian selama beberapa tahun dan mempunyai ekuitas yang negatif. Hal ini dilakukan untuk mencegah kerugian BUMN lebih lanjut. Sasaran yang hendak dicapai dari kebijakan rightsizing di Kementerian BUMN ini adalah untuk mengurangi jumlah BUMN yang ada saat ini dan sekaligus juga untuk memperkuat skala usaha BUMN agar mampu menjadi perusahaan yang lebih profitable. Berdasarkan data dari portal resmi Kementerian BUMN per tanggal 31 Desember 2014, jumlah BUMN yang ada saat ini sebanyak 119 BUMN. Hal ini berarti pada tahun 2014 baru terjadi pengurangan sebanyak 20 BUMN dibandingkan tahun 2013 yaitu sebanyak 139 BUMN. Kementerian BUMN mengumumkan akan melakukan merger dua perusahaan BUMN yang bergerak di sektor usaha yang sejenis di bidang jasa penilaian yaitu PT. Sucofindo (Persero) dengan PT. Surveyor Indonesia (Persero) sebagaimana yang disampaikan secara resmi oleh Dahlan Iskan selaku Menteri BUMN periode Oktober 2011 hingga Oktober 2014, pada saat memimpin rapat pimpinan di PT Wijaya Karya (Persero) Tbk di Jakarta pada hari selasa tanggal 8 Januari 2013. Dahlan Iskan menilai bahwa jika PT. Sucofindo (Persero) dan PT. Surveyor Indonesia (Persero) dilakukan merger maka akan menjadi perusahaan yang lebih kuat dan besar serta mampu lebih bersaing dengan kompetitor asing. Tindak lanjut dari pengumuman resmi oleh Kementerian BUMN tentang rencana merger PT. Sucofindo (Persero) dengan PT. Surveyor Indonesia (Persero), ditindaklanjuti dalam Rapat Umum Pemegang Saham-Luar Biasa 6
(RUPS-LB) PT. Sucofindo (Persero) dan RUPS-LB PT. Surveyor Indonesia (Persero) pada tanggal 5 Maret 2013 dimana secara prinsip telah menyetujui rencana penggabungan PT Surveyor Indonesia (Persero) ke dalam PT Sucofindo (Persero). Untuk melakukan langkah-langkah percepatan guna mencapai hasil sesuai yang diinginkan Pemegang Saham, pada tanggal 11 Maret 2013 kedua perseroan tersebut telah menandatangani Kesepakatan Bersama tentang Komitmen Pelaksanaan Penggabungan. Kesepakatan ditandatangani oleh Direktur Utama PT Sucofindo (Persero), Fahmi Sadiq, dan Pelaksana Tugas Direktur Utama PT Surveyor Indonesia (Persero), Asep Iskandar, disaksikan Deputi Bidang Jasa Kementerian BUMN, Gatot Trihargo, di kantor Kementerian BUMN. Pada bulan Juni 2014, Pjs Direktur Utama Sucofindo, Sufrin Hannan, mengatakan penggabungan dua perusahaan sudah pada tahap due diligent untuk melihat aspek legal dan keuangan masing-masing perusahaan. Berdasarkan uraian diatas, dan mengingat pentingnya strategi perusahaan BUMN agar dapat tetap tumbuh dan berkembang serta memenangkan kompetisi di pasar yang semakin global, maka penulis melakukan penelitian berupa analisis proses merger PT. Sucofindo (Persero) dengan PT. Surveyor Indonesia (Persero). 1.2. Rumusan Masalah Sejak diumumkan secara resmi oleh Kementerian BUMN pada bulan Februari 2013 tentang keputusan akan melakukan merger PT. Sucofindo (Persero) dengan PT. Surveyor Indonesia, hingga penelitian ini dimulai pada bulan Agustus 7
2015 proses merger tersebut belum tuntas dilakukan sehingga tujuan pemerintah agar merger kedua perusahaan tersebut dapat lebih kuat dan lebih besar serta dapat bersaing dengan pesaing global belum terwujud. Belum tuntasnya merger antara PT. Sucofindo (Persero) dengan PT. Surveyor Indonesia (Persero) juga dipertanyakan kembali oleh Komisi 6 DPR RI saat kegiatan Rapat Dengar Pendapat (RDP) di Gedung Nusantara 1 DPR RI dengan jajaran manajemen PT.Sucofindo (Sucofindo) pada tanggal 15 April 2015. Direktur Utama PT. Sucofindo (Persero) menjelaskan bahwa proses merger PT. Sucofindo (Persero) dengan PT. Surveyor Indonesia (Persero) sedang berlanjut. Hal ini sejalan dengan keterangan dari Deputi Kementerian BUMN bahwa jika PT. Sucofindo (Persero) dengan PT. Surveyor Indonesia (Persero) tetap saling berkompetisi maka yang diuntungkan adalah kompetitor asing. Salah satu kesimpulan dari kegiatan RDP dengan Komisi 6 DPR RI tersebut adalah DPR RI tetap mendukung merger BUMN antara PT. Sucofindo (Persero) dengan PT. Surveyor Indonesia (Persero) serta merger tersebut diharapkan untuk menjawab tantangan maupun peluang pada lingkungan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang akan dimulai awal tahun 2016. Hal ini bertolak belakang dengan salah satu contoh merger empat bank pemerintah (ex Bank Exim, Bank BDN, Bank BBD, Bank Bapindo) yang melebur menjadi Bank Mandiri, dalam hal ini pemerintah mengumumkan rencana merger empat bank pemerintah tersebut pada bulan Februari 1998 dan delapan bulan kemudian pada bulan Oktober 1998 Pemerintah telah berhasil menerbitkan 8
regulasi untuk penetapan merger secara hukum. Sedangkan proses konsolidasi seluruh aspek seperti keuangan, jumlah kantor cabang yang dibutuhkan dan jumlah sumber daya manusia yang akan digunakan diperkirakan selesai akhir Juli 1999. Terhambatnya proses merger di PT. Sucofindo (Persero) dan PT. Surveyor Indonesia (Persero) yang sudah melalui waktu tiga tahun sejak diumumkan pada februari 2013, akan berpengaruh terhadap strategi, kekuatan, dan daya tahan kedua perusahaan untuk bersaing dengan para kompetitornya serta menyikapi tantangan dan ancaman diberlakukannya komunitas Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada awal tahun 2016. Menurut Sunarsip (2011), tidak lancarnya proses merger di perusahaanperusahaan BUMN disebabkan oleh sedikitnya tiga hambatan. Hambatan yang pertama adalah kurangnya koordinasi kepemimpinan (leadership coordination) untuk menyatukan kepentingan restrukturisasi korporasi yang dijalankan Kementerian BUMN dengan kepentingan kementerian teknis yang sektornya terkait dengan BUMN tersebut. Hambatan yang kedua adalah adanya hambatan regulasi, baik regulasi sektoral maupun regulasi di bidang keuangan negara. Hambatan yang ketiga adalah ketidakjelasan yang terkait dengan tingkat keterlibatan peran DPR dalam implementasi kebijakan BUMN. Sebagai contoh, keterlibatan DPR semestinya hanya sebatas pada tingkat kebijakan makro. Namun pada prakteknya, keterlibatan DPR dalam kebijakan BUMN telah masuk hingga tingkat mikro korporasi. 9
Untuk meneliti proses merger di PT. Sucofindo (Persero) dan di PT. Surveyor Indonesia (Persero) dilakukan analisa data baik yang bersumber dari data primer maupun dari data sekunder. Sumber data yang berasal dari data primer diperoleh langsung dari pimpinan puncak (atau yang diwakilkan) dari PT. Sucofindo (Persero) dan PT. Surveyor Indonesia (Persero). Sedangkan sumber data sekunder diperoleh dari data-data maupun pelaporan internal di kedua perusahaan, antara lain berasal dari Pelaporan Tahunan (Annual Report), informasi di media online dan paper ringkas. Selain itu juga akan dianalisa kinerja keuangan kedua perusahaan dalam kurun waktu lima tahun terakhir dengan mengacu pada Keputusan Menteri Badan Usaha Milik Negara nomor KEP-100/MBU/2002 tentang Penilaian Tingkat Kesehatan Badan Usaha Milik Negara. Dari pengumpulan data primer maupun data sekunder tersebut, penulis akan melakukan menggali lebih dalam faktor-faktor yang dapat mendukung dan menghambat proses merger di kedua perusahaan serta cara yang dipakai untuk mengatasi hambatan merger tersebut. 1.3. Pertanyaan Penelitian Berdasarkan uraian rumusan masalah yang telah dijelaskan, maka penelitian ini merumuskan beberapa pertanyaan penelitian sebagaimana berikut ini: 1. Apakah faktor-faktor yang mendukung proses merger antara PT. Sucofindo (Persero) dan PT. Surveyor Indonesia (Persero)? 10
2. Apakah faktor-faktor yang menghambat proses merger antara PT. Sucofindo (Persero) dan PT. Surveyor Indonesia (Persero)? 3. Bagaimana cara untuk mengatasi faktor-faktor yang menghambat proses merger antara PT. Sucofindo (Persero) dan PT. Surveyor Indonesia (Persero)? 1.4. Tujuan Penelitian Tujuan penulis melakukan penelitian adalah sebagai berikut: 1. Untuk meneliti faktor-faktor yang mendukung proses merger antara PT. Sucofindo (Persero) dan PT. Surveyor Indonesia (Persero). 2. Untuk meneliti faktor-faktor yang menghambat proses merger antara PT. Sucofindo (Persero) dan PT. Surveyor Indonesia (Persero). 3. Untuk meneliti cara yang dipakai untuk mengatasi faktor-faktor yang menghambat proses merger antara PT. Sucofindo (Persero) dan PT. Surveyor Indonesia (Persero). 1.5. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat ilmiah dan manfaat praktis sebagaimana berikut ini: 1. Penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat ilmiah bagi pemerintah berupa kajian dan evaluasi terhadap faktor-faktor yang mendukung maupun menghambat proses merger pada perusahaan milik pemerintah dan khususnya pada perusahaan milik pemerintah yang bergerak di 11
bidang jasa penilaian atau sertifikasi serta strategi mengatasi hambatan merger tersebut. 2. Penelitian ini juga diharapkan mempunyai manfaat praktis bagi manajemen perusahaan PT. Sucofindo (Persero) dan PT. Surveyor Indonesia (Persero) agar lebih aktif lagi melakukan konsolidasi internal masing-masing perusahaan maupun konsolidasi kedua perusahaan sehingga ketika regulasi penetapan merger kedua perusahaan setingkat peraturan pemerintah telah diterbitkan, kedua perusahaan dapat lebih cepat menyesuaikan diri sehingga target Kementerian BUMN untuk mengurangi jumlah BUMN menjadi 40 hingga 50 BUMN pada tahun 2019 sebagaimana yang tercantum dalam Masterplan Kementerian BUMN 2010-2014 dapat tercapai. 1.6. Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian Ruang lingkup penelitian ini dibatasi hanya pada kantor pusat kedua perusahaan yang berlokasi Jakarta. Kantor pusat PT. Sucofindo (Persero) berlokasi di Gedung Graha Sucofindo, jalan raya pasar minggu, kavling 34, Jakarta Selatan 12780 dan kantor pusat PT. Surveyor Indonesia (Persero) berlokasi di Graha Surveyor Indonesia, jalan raya Gatot Subroto, Kav.56 Jakarta Selatan 12950. Penelitian dilakukan dengan teknik kualitatif yang dilakukan dengan pengumpulan data primer berupa kegiatan wawancara mendalam (in-dept inverview) dan dibatasi hanya pada pimpinan tertinggi atau diwakilkan dari PT. 12
Sucofindo (Persero) dan PT. Surveyor Indonesia (Persero) yang mempunyai tanggung jawab kunci terkait dengan penelitian ini. Keterbatasan jumlah nara sumber dalam penelitian ini berkonsekuensi terhadap subyektifitas cara berfikir strategis para nara sumber. Penelitian ini juga dilakukan dengan pengumpulan data sekunder yang bersumber dari laporan keuangan (annual report) kedua perusahaan yang telah diaudit 5 tahun terakhir sejak tahun 2010 sampai dengan 2014. Keterbatasan jangka waktu pengambilan data tersebut menyebabkan analisis belum mencakup data yang terkinikan karena belum tersedianya annual report kedua perusahaan untuk tahun 2015. 13