BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Istilah obsesi menunjuk pada suatu idea yang mendesak ke dalam pikiran. Istilah kompulsi menunjuk pada dorongan atau impuls yang tidak dapat ditahan untuk melakukan sesuatu. Sering suatu pikiran obsesif mangakibatkan suatu tindakan kompulsif. (1) Pada nerosa jenis ini individu menghilangkan kecemasannya dengan perbuatan atau buah pikir yang berulang-ulang. Penderita mengetahui bahwa perbuatan dan pikirannya itu tidak masuk akal, tidak pada tempatnya atau tidak sesuai dengan keadaan, tetapi ia tidak dapat menghilangkannya dan ia juga tidak mengerti mengapa ia mempunyai dorongan yang begitu kuat untuk berbuat dan berpikir demikian. (1) 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi Gangguan obsesif kompulsif merupakan adanya pikiran obsesif atau tindakan kompulsif yang berulang. Pikiran obsesional adalah gagasan, bayangan pikiran atau impuls yang timbul dalam pikiran individu secara berulang-ulang dalam bentuk yang sama. Umumnya hal tersebut dirasakan mengganggu (karena umumnya berupa hal-hal yang bersifat kekerasan, menjijikkan atau merupakan hal sepele yang tak berarti) dan penderita sering kali mencoba menghilangkannya tanpa hasil. Meskipun terjadinya secara involunter dan sering kali tidak dikehendaki, pikiran tersebut dikenali sebagai pikiran individu sendiri. (1,2) Tindakan atau ritual yang kompulsif merupakan perilaku yang stereotipik, yang diulang berkali-kali. Hal tersebut tidak mengenakkan dan tidak menghasilkan suatu yang bermanfaat. Biasanya, walaupun tidak selalu, individu menyadari bahwa perilaku tersebut tidak ada tujuannya atau tidak ada manfaatnya dan berupaya berulang kali untuk menentangnya, pada kasus yang sudah berlangsung sangat lama, resistensi sudah menjadi minimal. (1,2) 2
B. Epidemiologi Gangguan obsesif kompulsif umumnya berimbang pada laki-laki dan perempuan, dan sering kali dilatar-belakangi oleh ciri kepribadian anankastik yang menonjol. Onset biasanya pada masa kanak atau dewasa muda. Perjalanan penyakitnya bervariasi dan lebih cenderung menjadi kronis bila tidak ada gejala depresif yang nyata. (1) Prevalensi 0, 05 % populasi yang mana perbandingan pria terhadap wanita 1 : 1, usia muncul sering remaja/ masa dewasa dini. Riwayat keluarga 3 7 % pada relasi tingkat pertama. Studi kembar 80 90 % keselarasan pada kembar monozigot, 10 15 % pada kembar dizigotik. (1) C. Etiologi 1. Faktor Biologis Banyak penelitian yang mendukung adanya hipotesis bahwa disregulasi serotonin berpengaruh pada pembentukan gejala gangguan obsesif kompulsif, tetapi serotonin sebagai penyebab gangguan obsesif kompulsif masih belum jelas. Genetik juga diduga berpengaruh untuk terjadinya gangguan obsesif kompulsif dimana ditemukan perbedaan yang bermakna antara kembar monozigot dan dizigot. (1,3) 2. Faktor Tingkah Laku Menurut teori, obsesi adalah stimulus yang terkondisi. Sebuah stimulus yang relatif netral diasosiasikan dengan rasa takut atau cemas melalui proses pengkondisian responden yaitu dengan dihubungkan 3
dengan peristiwa peristiwa yang menimbulkan rasa cemas atau tidak nyaman. Kompulsi terjadi dengan cara yang berbeda. Ketika seseorang menyadari bahwa perbuatan tertentu dapat mengurangi kecemasan akibat obsesif, orang tersebut mengembangkan suatu strategi penghindaran aktif dalam bentuk kompulsi atau ritual untuk mengendalikan kecemasan tersebut. Secara perlahan, karena efikasinya dalam mengurangi kecemasan, strategi penghindaran ini menjadi suatu pola tetap dalam kompulsi. (1,3) 3. Faktor Psikososial Menurut Sigmund Frued, gangguan obsesif kompulsif bisa disebabkan karena regresi dari fase awal dalam fase perkembangannya. Mekanisme pertahanan psikologis mungkin memegang peranan pada beberapa manifestasi gangguan obsesif kompulsi. Represi perasaan marah terhadap seseorang mungkin menjadi alasan timbulnya pikiran berulang untuk menyakiti orang tersebut. (1,3) D. Diagnosis Untuk menegakkan diagnosis pasti, gejala-gejala obsesional atau tindakan kompulsif, atau kedua-duanya, harus ada hampir setiap hari selama sedikitnya dua minggu berturut-turut, dan merupakan sumber distres atau gangguan aktifitas. 4
Gejala-gejala obsesional harus memiliki ciri-ciri berikut : Harus dikenal/ disadari sebagai pikiran atau impuls dari diri individu sendiri. Sedikitnya ada satu pikiran atau tindakan yang masih tidak berhasil dilawan, meskipun ada lainnya yang tidak lagi dilawan oleh penderita. Pikiran untuk melaksanakan tindakan tersebut diatas bukan merupakan hal yang memberi kepuasan atau kesenangan (sekedar perasaan lega dari ketegangan atau anxietas tidak dianggap sebagai kesenangan seperti dimaksud di atas). Pikiran, bayangan, atau impuls tersebut harus merupakan pengulangan yang tidak menyenangkan. (2) Kriteria diagnostik DSM-IV-R untuk gangguan obsesif kompulsif : (4) 1. Obsesi maupun kompulsi : Obsesi : Pikiran, impuls, atau bayangan yang berulang dan menetap yang dialami pada suatu waktu selama terjadi gangguan, sebagai sesuatu yang mengganggu dan tidak sesuai serta dapat menimbulkan ansietas atau distres yang nyata. Pikiran, impuls, atau bayangan bukanlah kekhawatiran berlebihan mengenai masalah kehidupan nyata. Orang tersebut berupaya mengabaikan atau menekan pikiran, impuls, atau bayangan tersebut, atau menghilangkannya dengan pikiran atau tindakan lain. 5
Pasien mengetahui obsesi itu hasil pikirannya sendiri, bukan dari luar (seperti insersi pikiran). Kompulsi : Perilaku repetitif, bertujuan, dan berniat yang dikerjakan dalam menanggapi suatu obsesi, atau menurut aturan tertentu atau secara stereotip. Perilaku itu dirancang untuk menetralkan atau mencegah rasa tak enak atau kejadian atau situasi menakutkan tertentu, tetapi aktivitas itu tak berhubungan secara realistik dengan apa yang ingin dinetralkan atau dicegahnya, atau jelas aktivitas itu berlebihan. 2. Pada suatu titik selama perjalanan gangguan, penderita menyadari bahwa obsesi atau kompulsi mereka berlebihan atau tidak beralasan. (hal ini tidak berlaku pada anak). 3. Obsesi atau kompulsi menyebakan distres mencolok, menghabiskan waktu (menelan lebih dari satu jam sehari), atau menganggu aktivitas rutin normal, fungsi pekerjaan, atau aktivitas atau hubungan social. 4. Jika terdapat gangguan aksis I lain, isi obsesi atau kompulsi tidak terbatas pada hal tersebut (cth., preokupasi terhadap makanan dengan adanya gangguan makan; menarik-narik rambut dengan adanya trikotilomania; peduli dengan penampilan dengan adanya gangguan dismorfik tubuh; dll) 5. Gangguan ini tidak disebabkan efek fisiologis langsung suatu zat. (cth., penyalahgunaan obat, pengobatan) atau kondisi medis umum. 6
E. Diagnosis Banding Gangguan Tourette adalah tik motorik dan vokal yang sering terjadi bahkan setiap hari. Gangguan Tourette dan Obsesi kompulsif memiliki awitan dan gejala yang serupa. Sekitar 90% orang dengan gangguan Tourette memiliki gejala kompulsif dan sebanyak dua pertiga memenuhi kriteria diagnostik obsesi kompulsif. Pertimbangan psikiatri utama di dalam diagnosis banding Obsesi Kompulsif adalah skizofrenia, fobia, dan gangguan depresif. Obsesi Kompulsif biasanya dapat dibedakan dengan skizofrenia yaitu tidak adanya gejala skizofrenik lain, sifat gejala kurang bizar, dan tilikan pasien terhadap gangguannya. Fobia dibedakan yaitu tidak adanya hubungan antara pikiran obsesif dan kompulsif. Gangguan depresi berat kadang dapat disertai gagasan obsesif tetapi pasien yang hanya dengan obsesif kompulsif gagal memenuhi kriteria diagnostik gangguan depresi berat. (1,3) F. Penatalaksanaan 1. Psikoterapi Menurut Harry Broswell, psikiater pada London Psychoterapy Association, penyimpangan ini bisa diobati dengan tatap muka dan membicarakan masalahnya dengan ahli. Pada tingkat tertentu, penderita akan diarahkan untuk mengerem ketakutannya hanya sebatas pikiran dan tak terwujud dalam tindakan yang berbahaya. Dengan kontak yang kontinu dan teratur dengan orang profesional yang tertarik simpatik dan 7
mendorong pasien mungkin mampu untuk berfungsi berdasarkan bantuan tersebut. (1) Penelitian yang meneliti aktivitas otak yang dihubungkan dengan gangguan obsesif kompulsif telah menunjukkan bahwa baik obat-obatan dan terapi psikologis tanpa obat-obatan memiliki beberapa efek yang hampir sama pada batang otak orang-orang yang mengidap gangguan obsesif kompulsif. Namun efek-efek dari pengobatan bersifat menetap sedangkan efek obat-obatan cenderung menghilang ketika konsumsi obatobatan dihentikan. Menurut beberapa psikiater, hal ini merupakan bukti yang cukup kuat bahwa psikologis atau pengobatan non obat dapat menyebabkan beberapa perubahan diotak yang dihubungkan dengan penghilangan gejala. (1) 2. Terapi obat-obatan Clomipramine merupakan obat standar untuk pengobatan gangguan obsesif kompulsif. Suatu obat trisiklik spesifik serotonin. Clomipramin dimulai dengan dosis 25 mg sampai 50 mg sebelum tidur dan dapat ditingkatkan dengan peningkatan 25 mg/ hari dua sampai tiga hari sampai dosis maksimal 250 mg/ hari. SSRI (Spesifik Serotonin Re-Upteke Inhibitor) yaitu fluoxeetine, sertraline (zoloft) dan paroxetine (paxi). SSRI digunakan sebagai obat pilihan pertama pada gangguan obsesif kompulsif. (1,5) 8
G. Prognosis Perburukan ditunjukan dengan menyerah pada (bukan menahan) kompulsi, awitan pada masa kanak, kompulsi yang aneh, kebutuhan akan perawatan di rumah sakit, gangguan depresi berat yang juga timbul bersamaan, keyakinan waham, adanya penilaian berlebihan terhadap gagasan (yaitu penerimaan obsesi dan kompulsi), dan adanya gangguan kepribadian. Prognosis baik ditunjukan dengan adanya penyesuaian sosial dan pekerjaan yang baik, adanya peristiwa yang mencetuskan dan sifat episodik gejala. (4) 9
BAB III KESIMPULAN Gangguan obsesif kompulsif merupakan suatu kondisi yang ditandai dengan adanya pengulangan pikiran obsesif atau kompulsif, dimana membutuhkan banyak waktu (lebih dari satu jam perhari) dan dapat menyebabkan penderitaan (distress).untuk menegakkan diagnosis pasti, gejala gejala obsesif atau tindakan kompulsif, atau kedua duanya, harus ada hampir setiap hari selama sedikitnya 2 minggu berturut turut. Ada beberapa terapi yang bisa dilakukan untuk penatalaksanaan gangguan obsesif kompulsif antara lain terapi farmakologi (farmakoterapi) dan terapi tingkah laku. Prognosis pasien dinyatakan baik apabila kehidupan sosial dan pekerjaan baik, adanya stressor dan gejala yang bersifat periodik. 10
DAFTAR PUSTAKA 1. Kaplan HI, Sadock BJ. Buku Saku Psikiatri Klinik, Ed.2, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 2010 : 247-252. 2. Maslim R. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkasan dari PPDGJ III. Jakarta, 2001 : 76-77. 3. Kusumawardhani AAAA, Dkk. Buku Ajar PSIKIATRI. Badan Penerbit FKUI, Jakarta, 2010 : 250-253. 4. Maramis AA, Maramis WF. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa, Ed. 2. Airlangga University Press, Surabaya, 2009 : 312-313. 5. Maslim R. Panduan Penggunaan Klinis Obat Psikotropik Pssychotropic Medication. Ed 3 : 13. 11
LAMPIRAN 12