1 I.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan sumberdaya alam (SDA) yang memiliki peran sangat strategis dan vital sebagai sistem penyangga kehidupan masyarakat dan makhluk hidup lainnya, yaitu dengan menyediakan beragam manfaat berupa produk dan jasa yang bersifat tangible dan intangible, perlindungan ekosistem, dan penyedia jasa lingkungan. Ekosistem hutan tropis Indonesia yang mencapai sepuluh persen dari luas hutan tropis dunia memiliki keanekaragaman hayati tinggi di dunia. Hampir 10% tanaman, 12% mamalia, 16% reptil, dan 17% burung dari populasi dunia berada di hutan tropis Indonesia (EIA, 1998). Ekosistem hutan memberikan banyak manfaat secara langsung dan tidak langsung terhadap masyarakat, berkontribusi terhadap pembangunan wilayah, dan membantu mempertahankan lingkungan global yang baik. Tetapi eksploitasi hutan yang tinggi, khususnya kayu, menyebabkan kehilangan hutan melebihi kapasitas regeneratif sumberdaya tersebut. Wardojo et.al. (2001) menyebutkan bahwa dengan makin luasnya degradasi hutan di Indonesia akan memiskinkan masyarakat dan melemahkan ekonomi nasional. Laju dehutanisasi di Indonesia dalam periode antara tahun 1997-2000 mencapai 2,83 juta/tahun dengan kerugian negara mencapai Rp30,4 trilyun (Poernama, 2006). Kemenkopolhukam (2006) menyebutkan pula bahwa dalam kurun waktu 50 tahun terakhir luas penutupan hutan di Indonesia berkurang sekitar 25-40% atau seluas 40-60 juta ha. Dehutanisasi tersebut salahsatunya disebabkan oleh praktek pembalakan liar (Illegal logging, IL). Contreras-Hermosilla (2002) menyebutkan pula bahwa permasalahan IL dan kejahatan kehutanan merupakan masalah global dan serius, dimana diperkirakan 15% perdagangan kayu dunia melibatkan praktek ilegal dan korupsi, serta menimbulkan kerugian aset dan pendapatan lebih dari US$10 milyar per tahun.
2 Dampak praktek IL memiliki spektrum yang luas, tidak hanya berdampak negatif terhadap ekologis, tetapi juga berpengaruh terhadap aspek fisik, pendapatan negara, pembangunan berkelanjutan, sosial, perdagangan, dan politis. Contreras-Hermosilla (2002) menyatakan bahwa dampak praktek IL selain berdampak pada penurunan kualitas ekosistem hutan, juga berdampak besar terhadap investasi pengusahaan hutan berkelanjutan, kemiskinan masyarakat sekitar hutan, tata kelola pemerintahan, dan efisiensi ekonomi sumberdaya alam. Praktek IL tidak hanya terjadi di kawasan hutan produksi dan hutan lindung, akan tetapi juga terjadi di hutan konservasi seperti di taman nasional dan cagar alam yang sangat dilindungi karena merupakan rumah atau habitat bagi beragam spesies tumbuhan dan hewan yang apabila punah maka nilai keberadaannya tidak dapat digantikan. Rusaknya kawasan hutan konservasi mempersempit ruang hidup satwa dan memusnahkan tapak bagi tumbuhan alam untuk hidup, sehingga peluang terjadinya kehilangan spesies makin tinggi. Kerusakan hutan alam juga memicu konflik antara manusia dengan hewan hutan, misalnya dimangsanya enam orang pembalak liar oleh harimau (Panthera tigris sumatrae) di Provinsi Jambi selama bulan Februari 2009 1. Punahnya potensi tumbuhan dan satwa sebelum diketahui manfaatnya merupakan salah satu bencana kemanusiaan, Tacconi et.al. (2004) mengemukakan bahwa praktek IL secara signifikan mempengaruhi keberadaan hutan di Indonesia. Penelitian EIA (1998) mengestimasikan bahwa pembukaan lahan hutan seluas 100.000 ha di Pulau Sumatera berpotensi menghilangkan 50.000 monyet, 9000 siamang, 6000 orang utan, 30.000 tupai, 15.000 burung enggang, 200 harimau, dan 100 gajah. Lebih lanjut EIA (1998) menyebutkan bahwa dalam sepuluh hektar hutan hujan tropis di Kalimantan terdapat 700 spesies tumbuhan yang setara dengan total spesies yang ditemukan di Amerika Utara, dan 58% diantaranya merupakan spesies endemik. Tacconi et.al. (2004) menyebutkan bahwa proporsi penebangan kayu illegal pada tahun 2000 mencapai 64%, dan 1 http://sains.kompas.com/read/xml/2009/02/24/0746134/harimau.jambi.mangsa.6.warga.dalam.seb ulan Accessed at April 1, 2009.
3 meningkat menjadi 83% dari total pemanenan kayu di tahun 2001. Pada tahun 2001 kayu yang dihasilkan dari praktek IL diestimasikan mencapai 50 juta m 3, sehingga apabila terjadi laju pemanenan kayu illegal rata-rata sebesar 20 m 3 /ha, maka areal yang mengalami praktek IL setidaknya mencapai 2,5 juta ha pada tahun tersebut. Luasnya hutan yang rusak akibat praktek IL telah sangat mengkhawatirkan keberadaan hutan di masa mendatang, sehingga ada diantara para ahli kehutanan dan lingkungan memperkirakan bahwa dalam dekade mendatang hutan tropis Indonesia akan musnah apabila langkah-langkah pemberantasan praktek IL tidak dilakukan dengan sangat serius. Praktek IL di Indonesia dengan intensitas dampak yang sangat mengkhawatirkan terkategorikan sebagai kejahatan terorganisir yang melibatkan jaringan yang solid, rentang kendali yang luas, mapan, menggunakan pola kerja yang terorganisir dan modern, dengan sistem manajemen yang rapih, serta jaringan pemasaran yang luas di dalam dan luar negeri. Selain itu Kemenpolhukam (2006) menambahkan pula bahwa aspek perijinan berkontribusi terhadap kerumitan pemberantasan IL, termasuk di dalamnya adanya ketidakselarasan berbagai produk hukum pemberantasan IL. Penyelesaian masalah ketidakselarasan ini bukan hanya kewenangan eksekutif, tetapi juga menempati ruang legislatif. Praktek IL yang sistemik tersebut perlu diberantas dengan strategi pemberantasan yang sistemik pula, sehingga eksesnya terhadap kegiatan pengelolaan hutan dapat ditekan. Komitmen Pemerintah Indonesia dalam pemberantasan IL telah lama dilakukan melalui sejumlah kebijakan dan pembentukan beberapa task force penanganan IL. Pada awal pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di dalam pidato pelantikannya sebagai presiden (20 Oktober 2004), SBY menegaskan komitmennya untuk memberantas IL di Indonesia yang ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden No. 4 tahun 2005 tentang Percepatan Penanganan IL di Indonesia. Namun upaya itu belum cukup efektif menjawab persoalan di lapangan karena kegiatan IL masih marak terjadi dan modusnya pun semakin
4 berkembang. Pola penanganan yang dilakukan selama ini baru mampu menjerat para pelaksana lapangan dan belum dapat mengungkap dalang dibalik kegiatan IL tersebut. Sementara itu, kurangnya koordinasi dan pemahaman yang sama antara instansi penegak hukum dalam menjerat pelaku IL merupakan salah satu faktor kelemahan yang selama ini dilakukan, akibat penggunaan pola pendekatan konvensional. Contreras-Hermosilla (2002) menyatakan bahwa praktek IL banyak terjadi di negara berkembang atau negara yang sedang dalam keadaan transisi dan terkait erat dengan praktek korupsi sebagai kegiatan ilegal yang melibatkan pegawai/pejabat publik, melibatkan barang milik dan kekuatan publik, dilakukan untuk mendapatkan keuntungan pribadi, dilakukan dengan sengaja dan sembunyi-sembunyi (surreptitious). RECOFTC dan Sida (2008) menyebutkan bahwa praktek IL tidak berdiri sendiri tetapi berkaitan dengan penyebab kunci lainnya, seperti : kebijakan dan kerangka hukum yang lemah, ketidakpastian masalah lahan hutan (forestland tenure), korupsi yang marak dan tidak adanya transparansi, penegakan hukum yang lemah, serta ketidakmampuan untuk memonitor dan menegakan regulasi yang dapat diterapkan dalam pemanfaatan dan konservasi sumberdaya hutan. Praktek IL yang masih terjadi di Indonesia walaupun sejumlah kebijakan pemberantasannya telah dikeluarkan menunjukkan bahwa upaya pemberantasan IL tersebut belum sepenuhnya efektif. Oleh karena itu upaya untuk menemukan rumusan kebijakan pembalakan IL yang lebih komprehensif perlu dikaji. Penelitian ini dimaksudkan untuk merumuskan kebijakan pemberantasan IL secara komprehensif untuk menekan praktek IL di Indonesia di dalam kerangka pengelolaan hutan Indonesia yang berkelanjutan. 1.2. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah : a. Menganalisis kebijakan yang terkait dengan pemberantasan IL di Indonesia.
5 b. Menganalisis peranan stakeholders yang terlibat dalam pemberantasan IL di Indonesia. c. Menentukan prioritas alternatif kebijakan pemberantasan IL yang efektif dan sesuai diterapkan di Indonesia. 1.3. Kerangka Pemikiran Kebijakan kehutanan dalam pengelolaan hutan di Indonesia terbagi dalam dua kelompok kebijakan, yaitu kebijakan ekonomi kehutanan dan kebijakan konservasi (Gambar 1). Kebijakan ekonomi kehutanan sampai satu dekade terakhir masih mendominasi kebijakan kehutanan di Indonesia dengan paradigma pengusahaan hutan berbasis kayu (forest management based on timber extraction) dalam memenuhi kebutuhan kayu masyarakat dan industri kayu. Kebutuhan kayu yang tinggi tidak sebanding dengan ketersediaan kayu sehingga menimbulkan ketimpangan (gap) antara kebutuhan (demand) dan pasokan (supply) kayu, yang pada akhirnya mendorong maraknya kegiatan IL. Selain itu, harga kayu tropis di luar negeri yang lebih kompetitif telah mendorong juga praktek IL di berbagai wilayah Indonesia dan menyelundupkannya ke luar negeri (timber smugling). Di sisi lain, kebijakan konservasi dan kebijakan ekonomi dalam pengelolaan hutan di Indonesia dalam prakteknya masih ditemukan kesenjangan (gap), bahwa kegiatan konservasi masih dianggap sebagai cost centre yang kurang memberikan kontribusi finansial secara langsung terhadap pendapatan negara atau pendapatan daerah. Sebagai akibat dari hal-hal di atas, kebijakan konservasi sering dikalahkan oleh kebijakan ekonomi hutan karena sumberdaya hutan masih dianggap penting sebagai sumber pendapatan nasional dan pendapatan daerah. Adanya permasalahan kebijakan kehutanan yang terkait dengan praktek IL tersebut dipandang perlu adanya suatu kebijakan pengendaliannya. Walaupun political will pemerintah dalam pemberantasan IL di Indonesia serius yang ditandai dengan diterbitkannya Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2005 tentang Pemberantasan Kayu Illegal dan Peredarannya di Seluruh Wilayah
6 Republik Indonesia, tetapi efektifitasnya selama ini belum menunjukkan hasil maksimal. Gap antara Kebijakan Ekonomi, Konservasi, dan Sosial Alternatif Kebijakan Pemberantasan Illegal Logging di Indonesia Gambar 1.Kerangka Pemikiran Penelitian Kebijakan pemberantasan IL di Indonesia yang perlu dianalisis mencakup kebijakan dan peraturan perundangan-undangan, sistem kelembagaan stakeholders yang terlibat dalam pemberantasan IL tersebut. Praktek IL tidak cukup dikendalikan melalui instrumen kebijakan hukum saja, tetapi harus terkait dengan pengembangan sistem kelembagaan. Kelembagaan pengendalian praktek IL yang baik, sinergis, dan kondusif perlu dianalisis dan dikembangkan. Hasil analisis terhadap dua sistem tersebut diharapkan akan mendapatkan hasil penelitian berupa desain kebijakan pemberantasan IL di Indonesia yang lebih efektif dibandingkan dengan kebijakan terdahulu. Dunn (2003) menyebutkan bahwa analisis kebijakan diperlukan untuk meneliti sebab, akibat, dan kinerja kebijakan dan program publik yang diterapkan.
7 1.4. Perumusan Masalah Praktek IL di Indonesia yang tergolong kepada kejahatan di bidang kehutanan (forest crimes) merupakan kegiatan kehutanan illegal yang berdampak negatif terhadap kelestarian ekosistem, kehidupan masyarakat, dan pembangunan daerah dan atau nasional. Beragam dampak negatif akibat praktek IL ditandai dengan banyaknya bencana alam di wilayah yang ekosistem hutannya terdegradasi yang pada gilirannya akan dapat merugikan kehidupan sosial-ekonomi masyarakat dan kegiatan pembangunan. Upaya pemerintah untuk memberantas praktek IL di kawasan hutan telah lama dilakukan melalui sejumlah peraturan perundang-undangan. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2005 tentang Pemberantasan Kayu Illegal dan Peredarannya di Seluruh Wilayah Republik Indonesia. Namun demikian, di dalam prakteknya upaya tersebut belum menunjukkan hasil yang efektif untuk mengendalikan IL. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas beberapa pertanyaan berikut ini perlu mendapatkan jawaban, yaitu: a. Apakah kebijakan dan peraturan perundang-undangan terkait IL efektif menurunkan praktek IL? b. Bagaimana peranan kelembagaan stakeholders dalam pemberantasan IL di Indonesia? c. Bagaimana desain kebijakan yang dapat dipandang efektif dalam pemberantasan IL? 1.5. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat berupa manfaat praktis dalam menata kebijakan pemberantasan IL di Indonesia. Selain itu dari aspek pengembangan keilmuan diharapkan bermanfaat dalam mengembangkan pendekatan ilmu lingkungan yang terkait dengan pemberantasan IL di Indonesia. 1.6. Kebaruan (Novelty) Kebaruan (novelty) dalam penelitian ini adalah ditemukannya rumusan kebijakan pemberantasan IL secara komprehensif untuk
8 mengefektifkan pelaksanaan pemberantasan IL di Indonesia. Selain itu dari aspek metodologi penelitian, pendekatan metode 4Rs (Responsibilities, Rights, Revenues, dan Relationships) digunakan untuk menganalisis peranan stakeholders terkait pelaksanaan kebijakan pemberantasan IL di Indonesia.