1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dilaksan akan secara bertahap sejak 01 Januari 2014 yang membawa kesatuan reformasi dari segi pembiayaan kesehatan (health-care financing), sistem pelayanan kesehatan (health-care delivery system) dan sistem pembayaran pelayanan kesehatan (health-care reimbursement). Jaminan kesehatan dalam penyelenggaraannya diatur menggunakan prinsipprinsip managed care yaitu merupakan suatu tehnik yang menggunakan pendekatan terintegrasinya pembiayaan kesehatan dan pelayanan kesehatan melalui penerapan kendali mutu dan kendali biaya. Hal tersebut bertujuan untuk mengurangi biaya pelayanan yang tidak perlu, dengan cara meningkatkan kelayakan dan efisiensi pelayanan kesehatan. Dengan kata lain managed care dimaksudkan untuk memerangi bahaya moral ( moral hazard) terhadap pelayanan kesehatan yang tidak menjadi kebutuhan medis pasien. Biaya yang tidak perlu dapat mengakibatkan kerugian kesejahteraan masyarakat karena misalokasi biaya kesehatan masyarakat (social cost) yang terselubung atau inefisiensi (Mukti, 2007a). Tantangan terbesar pelaksanaan managed care adalah kesiapan dan kemauan para dokter, terutama dokter spesialis dan pihak rumah sakit untuk menerima resiko finansial dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada kelompok peserta, mereka tidak bisa lagi seenaknya melakukan pembedahan dan pengobatan. Termasuk kesiapan mereka untuk dikaji kinerjanya. Tantangan berikutnya adalah kesiapan masyarakat untuk menerima pembatasan pelayanan yang tidak perlu, peserta juga tidak boleh memilih provider semaunya (Mukti, 2007b). Sistem pembiayaan pelayanan kesehatan di Indonesia akhir-akhir ini menunjukkan kecenderungan meningkat tajam akibat berbagai faktor, antara lain pemakaian teknologi canggih, model pembayaran ke penyedia pelayanan kesehatan (PPK) secara fee for service, inflasi biaya, biaya untuk mengantisipasi tuntutan mal
2 praktek ( defensive practice medicine) yang akhir ini marak, tuntutan kualitas pelayanan kesehatan dan lain-lain. Kondisi ini menyebabkan sistem pelayanan kesehatan menghadapi tantangan berat untuk dapat menjamin equity dan memperluas cakupan akses terhadap masyarakat (Mukti, 2007b). Rumah sakit merupakan salah satu bagian penting dalam pelayanan kesehatan terkait dengan sistem rujukan dan spesialisasi. Penyelenggaraan pelayanan kesehatan di rumah sakit ternyata cukup variatif. Salah satu variasi yang muncul dalam pelayanan kesehatan di rumah sakit adalah dalam hal tarif. Tarif rumah sakit cenderung meningkat dari tahun ke tahun sedangkan masing-masing rumah sakit menentukan tarifnya masing-masing. Tarif yang bervariasi ini menimbulkan masalah dalam penyelenggaraan sistem jaminan nasional, oleh karenanya pemerintah menetapkan kebijakan standarisasi tarif. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah dalam hal tarif ini adalah sistem yang dikenal dengan nama casemix (Septianis, 2010). Sistem case mix adalah sistem pembiayaan kesehatan yang dihubungkan dengan mutu, pemerataan dan keterjangkauan. Sistem case mix yang banyak digunakan adalah DRG. DRG merupakan salah satu bentuk pembayaran pra upaya yang besarnya disesuaikan dengan diagnosa penyakit. Tujuan implementasi sistem pembayaran DRG adalah meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan dan mendorong efisiensi dalam pelayanan kesehatan (Hendrartini, 2006). Pengendalian mutu dan biaya sangat ditekankan dalam sistem pembiayaan kesehatan untuk pasien jamkesmas. Salah satu diantaranya adalah dengan menggunakan software yang mempermudah pola pembayaran. Software yang dimaksud adalah INA DRG versi 1.6. Software ini digunakan sejak 1 Maret 2010 dan diganti dengan software grouper INA CBG s pada akhir tahun 2010 (Kementrian Kesehatan RI, 2011). Indonesia menggunakan DRG dengan nama Indonesia Dignostic Related Group (INA DRG) berdasarkan data atau variabel di rumah sakit yang ada di Indonesia. Terdiri dari 23 Major Diagnostic Category (MDC) dan 1077 kode DRG
3 rawat jalan serta rawat inap. Penggunaan Casemix INA DRG tersebut dimulai pada 28 Juni 2007 dan selesai pada 1 Oktober 2010. Sejak tanggal tersebut sistem pembayaran ini berubah menjadi INA CBG s (Indonesia Case Base Groups). Tidak ada perubahan dalam persyaratan dan alur pelayanan pasien, hanya berubah pada software yang digunakan untuk memasukkan data guna verifikasi (Suyitno, 2012). Sebagai sebuah upaya pengendalian, DRG di Indonesia masih mengalami banyak tantangan dan hambatan. Salah satu hambatan yang berhasil di identifikasi dalam penelitian Pitaloka (2011) adalah adanya kekurang pahaman seorang dokter terhadap INA CBG s. Hal ini dapat mempengaruhi mutu pelayanan dalam penyelenggaraan jaminan kesehatan. Penelitian Ridder et al (2007) menyatakan bahwa SDM yangberpengaruh dalam kegiatan implementasi DRG antara lain adalah dokter, petugas rekam medis dan dokter spesialis yang diberi tugas khusus dalam implementasi DRG. Selain itu salah satu tugas manajemen adalah memantau dan membuat mekanisme pengendalian dalam penerapan DRG. Sulastomo (200 7) mengatakan salah satu masalah yang selalu menjadi pertanyaan dalam program managed care adalah mutu pelayanan.adanya insentif finansial untuk efisiensidapat saja menimbulkan kekhawatiran bahwa dokter/rs tidak akan memberikan yang terbaik, mengurangi/menurunkan pelayanan yang selayaknya harus diberikan, misalnya dalam bentuk mengurangi hari rawat inap, dengan harapan untuk memperoleh insentif finansial yang sebesar-besarnya. Peningkatan mutu pelayanan di rumah sakit saat ini tidak hanya memperhatikan dari segi quality saja, tetapi juga berbasis pada safety, karena keselamatan pasien merupakan prinsip dasar dari pelayanan terhadap pasien dan komponen penting dari mutu manajemen ( Seven Steps to Patient Safety. Step 1, 2004). Perilaku manusia ( human behaviour) makin menempati tempat yang penting dalam proses manajemen. Perencanaan yang bagus tidak jarang terbentur dan gagal setelah sampai pada tahap pelaksanaan, karena faktor manusia yang tidak secara
4 cermat diperhitungkan dalam proses perencanaan. Dalam pelayanan kesehatan, masalah ini menjadi lebih pelik, berhubung dalam manajemen pelayanan kesehatan tidak saja terkait beberapa kelompok manusia, tetapi juga sifat yang khusus dari pelayanan kesehatan itu sendiri (Sulastomo, 2007). Dalam manajemen pelayanan kesehatan tersangkut 3 kelompok manusia yang sedikitnya terlibat, yaitu kelompok manusia penyelenggara pelayanan kesehatan (health provider, misalnya dokter-dokter, perawat-perawat), kelompok penerima jasa pelayanan kesehatan (para konsumen) serta kelompok ketiga, yang secara tidak langsung terlibat, misalnya para administrator (baik di kalangan perusahaan maupun pemerintah dan lain-lain).sifat yang khusus dari pelayanan kesehatan adalah bahwa baik para health provider maupun konsumen jarang mempertimbangkan aspek-aspek biaya, sepanjang hal itu menyangkut masalah penyembuhan suatu penyakit (Sulastomo, 2007). Rumah sakit sebagai PPK lanjutan berperan dalam memberikan pelayanan kesehatan rujukan yang bersifat spesialistik atau sub spesialistik. Pelayanan kesehatan yang diberikan dapat berupa tindakan medis yang bersifat operatif maupun non operatif. Hubungan dokter dan rumah sakit, dalam hal ini pihak manajemen rumah sakit, merupakan simbiosis mutualis dimana terjalin hubungan yang erat dan saling menguntungkan satu dengan yang lain, sehingga program pelayanan kesehatan akan berjalan dengan baik apabila ada hubungan yang harmonis diantara keduanya tanpa mengesampingkan profesi-profesi yang lain dalam lingkup rumah sakit. Persepsipersepsi yang ada perlu disinkronkan, karena persepsi seorang yang satu terhadap yang lain sering berbeda dan subyektifitasnya tinggi, maka antar petugas pelayanan kesehatan di rumah sakit terutama dari sisi dokter dan pihak manajemen rumah sakit perlu menyamakan persepsi agar penilaian-penilaian yang dilakukan terhadap program maupun kebijakan mendekati obyektifitas. RS Mitra Paramedika merupakan RS swasta type D dengan kapasitas 50 TT. RS ini berdiri pada tahun 2002 untuk memberikan pelayanan kesehatan bagi
5 masyarakat yang berada di sekitar lokasi RS. Hal ini selaras dalam salah satu misi RS Mitra Paramedika yaitu memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat sekitar secara terpadu, holistic dan profesional dengan biaya terjangkau. Walaupun hanya merupakan RS swasta type D namun jenis pelayanan dokter spesialis terbilang cukup lengkap, diantaranya: spesialis bedah, spesialis bedah tulang, spesialis anak, spesialis obsgyn, spesialis penyakit dalam, spesialis saraf, spesialis mata, spesialsi tht, spesialis jantung, spesialis radiologi dan spesialis anestesi. Sejak 1 Januari 2014 RS Mitra Paramedika termasuk salah satu RS yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan untuk penyelenggaraan pelayanan kesehatan bagi peserta JKN. RS berkewajiban menyiapkan sarana prasarana dan SDM yang memadai untuk memperlancar tata laksana pelayanan JKN tersebut. B. Perumusan Masalah Rumah sakit merasakan bahwa biaya penggantian klaim INA CBG s lebih rendah dari tarif yang berlaku di rumah sakit, sehingga rumah sakit merasakan kerugian dengan pola klaim berdasarkan INA CBG.Hal ini memaksa pihak rumah sakit melakukan efisiensi dalam memberikan pelayanan kepada peserta JKN. Klinisi sebagai pemberi layanan yang langsung berinteraksi dengan pasien peserta JKN akan memberikan berkontribusi yang besar dalam kesuksesan rumah sakit menerapkan efisiensi pelayanan. Penggantian biaya klaim INA CBG s terasa lebih rendah terutama dalam kasus tindakan operasi. Selama ini belum diketahui gambaran persepsi klinisi yang bekerja di RS Mitra Paramedika terhadap INA CBG s dan patient safety sehingga perlu dilakukan penelitian tentang persepsi klinisi yang bekerja di RS Mitra Paramedika terhadap biaya paket INA CBG s dan patient safety.
6 C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah: Tujuan umum: Untuk mengidentifikasi persepsi klinisi yang bekerja di RS Mitra Paramedika terhadapbiaya paket INA CBG s dan patient safety. Tujuan khusus: 1. Mengidentifikasi persepsi klinisi terhadap biaya paket INA CBG s 2. Mengeksplorasi faktor-faktor yang dipersepsikan negatif oleh klinisi terhadapbiaya paket INA CBG s 3. Mengeksplorasi persepsi klinisi terhadap program patient safety di RS D. Manfaat Penelitian 1. Merekomendasikan perbaikan cara sosialisasi biaya paket INA CBGs terhadap para klinisi 2. Memberikan masukan kepada manajemen dalam merancang komunikasi yang lebih baik dengan klinisi di era JKN 3. Memberikan masukan kepada manajemen terhadap kebijakan yang akan diambil selanjutnya sehubungan dengan keterlibatan para klinisi terhadap tata laksana pasien JKN
7 E. Keaslian Penelitian Sepengetahuan penulis, penelitian tentang persepsi klinisi yang bekerja di RS Mitra Paramedika terhadapimplementasi pembiayaan paket INA CBG s belum pernah dilakukan oleh peneliti lain. Beberapa penelitian yang hampir sama dengan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Budiyanto (2008), meneliti tentang evaluasi pelaksanaan askeskin di RSU Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara menurut persepsi dokter pelaksana dan manajemen rumah sakit. 2. Kusniadi (2011), meneliti tentang hubungan antara pengetahuan, persepsi terhadap hambatan dan persepsi terhadap benefit pelayanan kesehatan peserta jamkesmas dengan pemanfaatan program jamkesmas di kabupaten mukomuko. 3. Widyastuti (2013), meneliti tentang evaluasi implementasi INA CBGs kasus Diabetes Mellitus pasien jamkesmas rawat inap di RSUD A. Wahab Sjahranie Samarinda. Adapun tabel persamaan dan perbedaan dengan penelitian sebelumnya adalah sebagai berikut:
8 Tabel 1. Persamaan dan Perbedaan dengan Penelitian Sebelumnya Budiyanto (2008) Kusniadi (2011) Widyastuti (2013) Tujuan Penelitian Mengetahui persepsi dokter Untuk mengetahui faktor Melakukan evaluasi pelaksana dalam memberikan apa yang menyebabkan implementasi INA pelayanan pada pasien askeskin di rendahnya pemanfaatan CBGs pada kasus RSU Purwareja Klampok program jamkesmas di diabetes mellitus Banjarnegara Jawa Tengah Kabupaten Mukomuko (DM) pada pasien jamkesmas rawat inap di RSUD A. Wahab Sjahranie terhadap pengendalian biaya dan mutu Lokasi Penelitian RSU Purwareja Klampok Puskesmas di Kabupaten RSUD A. Wahab Banjarnegara Jawa Tengah Mukomuko Sjahranie Metode Penelitian Deskriptif Kualitatif Cross sectional survey, Studi kasus deskriptif Analitik dengan metode dengan rancangan kuantitatif di dukung penelitian studi kasus kualitatif tunggal holistik Penelitian ini Mengidentifikasi persepsi klinisi yang bekerja di RS Mitra Paramedika terhadap paket biaya INA CBG s RSMitra Paramedika Deskriptif kualitatif
9 Subjek Penelitian Dokter pelaksana pelayanan pasien Masyarakat miskin peserta Dokter PPK, Direktur Dokter Spesialis Askeskin yang ada di RSU Emanuel jamkesmas RS, Komite Medik Purwareja Klampok RS, Ketua Tim Pengelola JPKM, Askes dan Jamsostek Cara pengumpulan Indepth Interview Kuesioner dan panduan Wawancara Wawancara data wawancara Hasil penelitian Persepsi dokter pelaksana dalam Variabel pengetahuan Dokter PPK kurang Belum tahu memberikan pelayanan kesehatan tentang program memahami tentang maupun penggunaan alat diagnostik jamkesmas, persepsi sistem pembayaran pada pasien Askeskin tidak terhadap hambatan INA CBGs karena membeda-bedakan dan sesuai pelayanan kesehatan sosialisasi yang prosedur, jasa pelayanan tidak jamkesmas dan persepsi kurang mendalam menjadi kendala, justru kendalanya terhadap benefit pelayanan pada keterlambatan dalam kesehatan jamkesmas pembayaran jasa pelayanan medis terdapat hubungan yang bermakna dengan pemanfaatan program jamkesmas.