Tinjauan Prosedur Penentuan Kode Tindakan Berbasis ICD-9-CM untuk INA CBG di RSUD Dr. Soeroto Ngawi

Transkripsi

1 Tinjauan Prosedur Penentuan Kode Tindakan Berbasis ICD-9-CM untuk INA CBG di RSUD Dr. Soeroto Ngawi Atik Dwi Noviyanti 1, Dewi Lena Suryani K 2, Sri Mulyono 2 Mahasiswa Apikes Mitra Husada Karanganyar 1, Dosen APIKES Mitra Husada Karanganyar 2 ABSTRAK Latar Belakang : RSUD Dr. Soeroto Ngawi melaksanakan program yang distandarkan oleh Depkes RI, yaitu INA CBG untuk pelayanan kesehatan bagi pasien Jamkesmas dan dalam penerapannya terjadi ketidaksesuaian dalam penentuan kode tindakan antara petugas coding dengan verifikator independen, sehingga diperlukan penyesuaian dan peningkatan hasil kode tindakan agar coder dan pihak verifikator independen tidak kesulitan dalam menentukan kode tindakan yang telah ditulis dokter. Tujuan penelitian ini adalah untuk prosedur penentuan kode tindakan berbasis ICD-9-CM untuk INA CBG di RSUD Dr. Soeroto Ngawi. Metode Penelitian :Jenis penelitian adalah deskriptif dengan pendekatan cross sectional. Subjek penelitian ini adalah dokter, coder dan petugas verifikator independen, dengan objek prosedur penentuan kode tindakan berbasis ICD-9-CM untuk INA CBG di RSUD Dr. Soeroto Ngawi dengan cara wawancara dan observasi yang kemudian dianalisiss secara deskriptif. Hasil dan Pembahasan : Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan kebijakan prosedur penentuan kode tindakan berbasis ICD-9-CM untuk INA CBG di RSUD Dr. Soeroto Ngawi berpedoman pada kebijakan nomor IR / I/570/10 dari Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik Kementrian Kesehatan RI yaitu tentang berakhirnya lisensi INA DRG sejak 30 September 2010 dan diganti dengan Grouper INA CBG, dengan pihak yang bertanggung jawab terhadap penentuan kode tindakan berbasis ICD-9-CM untuk INA CBG adalah dokter, coder dan petugas verifikator independen. Dalam pelaksanaannya ditemukan penentuan kode tindakan berbeda antara coder dan petugas verifikator saat kode tindakan dari coder dimasukkan ke software INA CBG 2.0 oleh petugas verifikator independen. Simpulan dan Saran : RSUD Dr. Soeroto Ngawi belum memiliki kebijakan tentang penentuan kode tindakan berbasis INA CBG. Disarankan untuk itu perlu adanya kebijakan khusus tentang penentuan kode tindakan berbasis ICD-9-CM untuk INA CBG di RSUD Dr. Soeroto Ngawi dan sosialisasi tentang persiapan INA CBG sebagai bentuk penerapan kebijakan rumah sakit serta perlu dibangunnya komunikasi yang baik antara coder, dokter dan petugas verifikator independen. LATAR BELAKANG Berdasarkan surat edaran yang dikeluarkan Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (2010) nomor IR.03.01/I/5707/10 tentang berakhirnya lisensi grouper INA-DRG sejak 30 September 2010 dan digantikan dengan grouper INA-CBG. Perubahan ini tentu akan mengubah sistem kodefikasi diagnosis penyakit dan tindakan serta proses pengajuan klaim untuk pasien Jamkesmas. Standar profesi perekam medis dan informasi kesehatan Indonesia yang berkaitan langsung dengan INA CBG adalah dampak kualitas data dan pengodean terhadap diagnosis penyakit dan tindakannya karena berpengaruh pada penentuan akhir biaya pelayanan kesehatan. Dalam menentukan kode diagnosis dan tindakan harus berpedoman pada buku ICD- 10 dan ICD-9-CM, yang dalam INA CBG penggunaannya dikelompokkan dalam CMG yang membentuk kode INA CBG. Hal ini Tinjauan Prosedur Penentuan Kode Tindakan Berbasis... (Atik Dwi N, dkk) 65

2 membantu petugas dalam menentukan kode diagnosis dan tindakan karena kesalahan pemberian kode akan mempengaruhi klaim pelayanan kesehatan di rumah sakit yang akan memberikan implikasi yang besar pada jumlah pembiayaan. Oleh karena itu, unit rekam medis khususnya petugas rekam medis bagian coding, dituntut untuk lebih profesional dan terlatih dalam melakukan coding prosedur/tindakan secara tepat dan akurat. Coder juga harus mampu berkomunikasi dengan dokter jika ada masalah dalam proses coding dan melaporkan masalah coding dengan barang bukti serta bersama tim case mix rumah sakit melakukan audit kelengkapan rekam medik (Wolper, L. 2001). RSUD Dr. Soeroto Ngawi melaksanakan program yang distandarkan oleh Depkes RI, yaitu INA CBG khususnya untuk pelayanan kesehatan bagi pasien Jamkesmas. Berdasarkan survey awal RSUD Dr. Soeroto Ngawi belum memiliki kebijakan dan prosedur tetap tentang prosedur penentuan kode tindakan berbasis ICD-9-CM untuk INA CBG sehingga berpedoman pada kebijakan nomor IR.03.01/I/5707/10 dari Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Hal ini menyebabkan petugas dan pihak yang berkepentingan kesulitan dalam mempersepsikan job description yang harus dilaksanakan di RSUD Dr. Soeroto Ngawi tentang prosedur penentuan kode tindakan berbasis ICD-9-CM untuk INA CBG yang berakibat pada pengajuan klaim yang tertunda dan dana yang dikeluarkan dalam pelayanan pasien tersebut tidak sesuai dengan tindakan yang telah diambil. Berdasarkan hal tersebut penulis tertarik untuk mengambil judul Tinjauan Prosedur Penentuaan Kode Tindakan Berbasis ICD-9- CM untuk INA CBG di RSUD Dr. Soeroto Ngawi.Tujuan penelitian adalah Mengetahui tinjauan prosedur penentuan kode tindakan berbasis ICD-9-CM untuk INA CBG di RSUD Dr. Soeroto Ngawi. Mengetahui kebijakan tentang penentuan kode tindakan berbasis ICD-9-CM untuk INA CBG di RSUD Dr. Soeroto Ngawi. Mengetahui pihak yang bertanggung jawab dalam penentuan kode tindakan berbasis ICD-9-CM untuk INA CBG. Mengetahui pelaksanaan alur prosedur penentuan kode tindakan berbasis ICD-9-CM untuk INA CBG di RSUD Dr. Soeroto Ngawi. TINJAUAN PUSTAKA Rekam Medis Rekam medis yaitu rekaman atau catatan mengenai siapa, apa, mengapa, bilamana dan bagaimana pelayanan yang diberikan kepada pasien selama masa perawatan yang memuat pengetahuan mengenai pasien dan pelayanan yang diperolehnya serta memuat informasi yang cukup untuk menemukenali (mengidentifikasi pasien), membenarkan diagnosis dan pengobatan serta merekam hasilnya (Huffman, EK. 1999). Rekam Medis menurut PerMenKes RI No. 269/MENKES/PER/III/ 2008, adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, 66 Jurnal Kesehatan, ISSN , VOL.IV, NO.1, MARET 2010, Hal 65-72

3 pengobatan, tindakan dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien. IndonesianCase Based Groups (INACBG s) INA-CBG's atau Indonesia Case Base Group's merupakan aplikasi yang digunakan untuk pengajuan klaim pelayanan oleh Penyedia Pelayanan Kesehatan (PPK) yang berupa rumah sakit, puskesmas ataupun balai pengobatan, kepada warga masyarakat miskin di Indonesia yang dibuktikan dengan kepesertaan JAMKESMAS. INA-CBG's merupakan kelanjutan dari aplikasi INA- DRG yang lisensinya berakhir pada tanggal 30 September Hal ini berdasarkan surat edaran Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (2010), dengan nomor IR / I/ yang menyatakan berakhirnya lisensi grouper INA-DRG sejak 30 September 2010 dan digantikan dengan grouper INA-CBG. Grouper INA-CBG ini merupakan grouper case-mix yang dikembangkan oleh para peneliti senior dari UNU. METODE PENELITIAN Metode dalam penelitian ini adalah menggunakan metode deskriptif. Metode penelitian deskriptif adalah suatu metode penelitian yang dilakukan dengan tujuan utama untuk membuat gambaran tentang suatu keadaan secara objektif (Notoadmodjo, S. 2005). Penelitian ini menggunakan pendekatan cross sectional yaitu penelitian yang mengumpulkan data berdasarkan waktu tertentu secara bersamaan (Arif, M. 2003). Subyek yang digunakan adalah dokter, petugas coding dan verifikator independen di RSUD Dr. Soeroto Ngawi. Sedangkan obyek penelitian adalah prosedur penentuan kode tindakan berbasis INA CBG di RSUD Dr. Soeroto Ngawi. Instrumen Penelitian menggunakan pedoman wawancara dan pedoman observasi serta cara pengumpulan data dengan cara wawancara dan observasi. Analisis yang digunakan adalah deskriptif yaitu memaparkan hasil-hasil penelitian yang sesuai dengan keadaan sebenarnya dengan membandingkan teori-teori yang terkait dan selanjutnya ditarik suatu kesimpulan tanpa melakukan uji statistik (Arief, M. 2003). Data yang dianalisa adalah prosedur penentuan kode tindakan berbasis ICD-9-CM untuk INA CBG di RSUD Dr. Soeroto Ngawi. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1. Kebijakan tentang prosedur penentuan kode tindakan berbasis ICD-9-CM untuk INA CBG RSUD Dr. Soeroto Ngawi dalam pelaksanaan penentuan kode tindakan berbasis ICD-9-CM untuk INA CBG menggunakan kebijakan dari Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik Kementrian Kesehatan RI dalam bentuk surat edaran nomor IR / I/570/10 yaitu tentang berakhirnya lisensi INA DRG sejak 30 September 2010 dan diganti dengan Grouper INA CBG. Hal ini dikarenakan Tinjauan Prosedur Penentuan Kode Tindakan Berbasis... (Atik Dwi N, dkk) 67

4 RSUD Dr. Soeroto Ngawi belum memiliki kebijakan tersendiri tentang penentuan kode tindakan berbasis ICD-9-CM untuk INA CBG, sehingga dalam penerapan kebijakan tersebut petugas masih mengalami kesulitan terutama dalam menentukan kode tindakan yang sesuai dengan INA CBG. Untuk itu diperlukan sosialisasi tentang persiapan dan penyamaan persepsi penggunaan INA CBG sebagai bentuk penerapan kebijakan upaya peningkatan pelayanan kepada pasien. Petugas yang menentukan kode tindakan yang berbasis ICD-9-CM untuk INA CBG harus menjalani pelatihan atau workshop, karena proses penentuan kode tindakan INA CBG berbeda dengan cara penentuan kode tindakan yang digunakan sebelumnya. Hal ini tentu akan berpengaruh pada proses pengodean tindakan yang diambil petugas medis oleh coder dan juga petugas verifikator independen. 2. Pihak yang bertanggung jawab dalam penentuan kode tindakan berbasis INA CBG di RSUD Dr. Soeroto Ngawi Petugas medis sebagai awal dari penentuan kode diagnosis dan tindakan menurut ICD-10 dan ICD-9-CM harus mencatat dengan sejelas-jelasnya dan selengkap-lengkapnya diagnosis dan tindakan yang diberikan pada pasien. Selain itu, petugas medis harus menulis dengan tulisan yang jelas dan benar agar mudah dibaca dan dimengerti oleh petugas coding. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi kesalahan persepsi antara petugas coding dan petugas medis dalam membaca diagnosis dan tindakan yang dicatat petugas medis. Petugas medis juga harus tepat dalam memeriksa dan mengambil keputusan terhadap tindakan yang dibutuhkan pasien, kesalahan pengambilan tindakan akan menyebabkan besarnya biaya pengklaiman berbasis INA CBG. Hal ini sesuai dengan teori bahwa penetapan diagnosis dan tindakan seorang pasien merupakan kewajiban, hak dan tanggung jawab petugas medis yang terkait dan tidak boleh diubah. Selain itu, petugas medis juga bertanggung jawab terhadap pengisian dokumen rekam medis atas diagnosis dan tindakan yang diambilnya selama melayani pasien (Depkes, RI. 2006). Pihak yang bertanggung jawab terhadap penentuan kode tindakan setelah petugas medis adalah coder. Oleh karena itu, coder harus paham dan mengerti betul catatan yang ditulis petugas medis pada dokumen rekam medis pasien. Apabila coder salah mengartikan dan membaca catatan yang ditulis petugas medis maka akan terjadi kesalahan dalam mengode tindakan. Untuk menghindari salah pengertian antara coder dan petugas medis maka perlu dibangun komunikasi yang baik antara coder dan petugas medis sehingga apabila terjadi catatan tindakan yang ditulis petugas medis tidak dimengerti oleh coder maka coder dapat bertanya pada petugas medis. Oleh karena itu, hal yang kurang jelas atau tidak lengkap sebelum kode ditetapkan harus dikomunikasikan terlebih dahulu pada petugas medis yang membuat diagnosis dan tindakan tersebut (DepKes, RI. 2006). 68 Jurnal Kesehatan, ISSN , VOL.IV, NO.1, MARET 2010, Hal 65-72

5 Setelah coder, pihak yang bertanggung jawab atas penentuan kode tindakan adalah petugas verifikator. Salah satu tugas dan tanggung jawab petugas verifikator adalah memastikan kebenaran penentuan kode tindakan. Oleh karena itu, petugas verifikator independen meneliti dan memeriksa kesesuaian kode tindakan yang ditulis coder dengan kode INA CBG, apabila kode tindakan yang ditulis coder benar maka petugas verifikator independen segera mengajukan klaim. Sedangkan apabila ditemukan ketidaksesuaian dalam mengode maka dokumen rekam medis tersebut dikembalikan ke coder untuk disesuaikan. 3. Pelaksanaan prosedur penentuan kode tindakan berbasis ICD-9-CM untuk INA CBG Prosedur penentuan kode tindakan berbasis ICD-9-CM untuk INA CBG di RSUD Dr. Soeroto Ngawi belum memiliki prosedur tetap sehingga dalam pelaksanaan prosedur penentuan kode tindakan berbasis ICD-9-CM untuk INA CBG berpedoman pada surat edaran nomor IR / I/570/10 yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik Kementrian Kesehatan RI tentang berakhirnya lisensi INA DRG sejak 30 September 2010 dan diganti dengan Grouper INA CBG. Pelaksanaan prosedur penentuan kode tindakan berbasis ICD-9-CM untuk INA CBG dilakukan setelah pasien pulang dengan petugas medis yang telah ditunjuk oleh rumah sakit menuliskan diagnosis dan tindakan yang diberikan pada pasien secara jelas, tepat dan akurat serta lengkap pada formulir ringkasan masuk dan keluar, formulir asuhan keperawatan dan resume keluar untuk diserahkan pada petugas pelayanan yang terkait agar diserahkan ke petugas assembling. Penyerahan dokumen rekam medis pada petugas pelayanan unit terkait yaitu URJ, UGD dan URI oleh petugas medis dilakukan setelah pasien selesai pelayanan untuk diserahkan ke petugas assembling di hari yang sama. Petugas assembling merakit formulir ringkasan masuk dan keluar, formulir asuhan keperawatan, resume keluar, formulir INA CBG 1A dan 2A, dan formulir bukti pembayaran tarif paket INA CBG dan meneliti isi data rekam medis dan kelengkapannya. Apabila ditemukan ketidaklengkapan dokumen rekam medis tersebut maka diberikan kembali ke unit pelayanan terkait agar dilengkapi oleh petugas medis. Sedangkan, apabila telah lengkap maka petugas assembling memberikan kepada coder. Oleh karena itu, petugas assembling harus teliti dalam meneliti kelengkapan dokumen rekam medis. Coder kemudian mengode tindakan yang telah petugas medis catat pada formulir ringkasan masuk dan keluar, formulir resume keluar dan formulir asuhan keperawatan. Apabila dokumen rekam medis yang diisi petugas medis belum lengkap maka petugas medis harus melengkapi dokumen rekam medis dan bila telah lengkap diserahkan ke assembling untuk diserahkan ke coder. Apabila Tinjauan Prosedur Penentuan Kode Tindakan Berbasis... (Atik Dwi N, dkk) 69

6 codermenemukan tindakan yang diambil petugas medis tidak dimengerti atau belum lengkap maka dikembalikan ke assembling untuk diserahkan ke unit pelayanan agar dilengkapi dan dianalisa kembali oleh petugas medis. Hal ini sesuai dengan teori bahwa hal yang kurang jelas atau tidak lengkap sebelum kode ditetapkan harus dikomuniksikan terlebih dahulu pada petugas medis yang membuat diagnosis dan tindakan tersebut. (Depkes, RI. 2006) Coder setelah menentukan dan menulis kode tindakan berdasarkan ICD-9-CM pada dokumen rekam medis rawat inap dan rawat jalan serta formulir INA CBG 1 A dan 2 A dan formulir pengajuan tarif INA CBG. Setelah coder selesai mengode maka coder menyerahkan dokumen rekam medis berupa formulir kelengkapan pelayanan pasien rawat inap, rawat jalan dan IGD ke bagian analising reporting untuk disimpan ke bagian filing. Sedangkan, formulir INA CBG 1 A dan 2 A dan formulir pengajuan tarif INA CBG ke petugas administrasi keuangan rumah sakit sebagai kelengkapan persyaratan pengajuan klaim pada petugas verifikator independen. Petugas verifikator meneliti penentuan kode tindakan yang ditulis oleh coder dan disesuaikan dengan software INA CBG. Apabila sesuai dengan kode INA CBG maka petugas verifikator dapat mengajukan klaim. Sedangkan bila penentuan kode tindakan belum sesuai maka petugas verifikator independen meminta petugas administrasi keuangan untuk diserahkan ke coder untuk melengkapi kode diagnosis tindakan yang belum sesuai. Hal ini diketahui saat petugas verifikator independen memasukkan kode tindakan menurut INA CBG ke software INA CBG 2.0. Untuk itu perlu dibangun komunikasi yang baik antara coder dan pihak verifikator, sehingga pengajuan klaim tidak mengalami hambatan yang tentunya merugikan rumah sakit dalam pembiayaannya. Di RSUD Dr. Soeroto Ngawi masih ditemukan pada bagian administrasi keuangan dokumen rekam medis pasien yang menumpuk yang dikembalikan oleh pihak verifikator sehingga menghambat proses pengajuan klaim. Hal ini dikarenakan ketidaklengkapan dokumen rekam medis yang dibutuhkan untuk pengajuan klaim sehingga tertundanya klaim. Ketidaklengkapan dokumen rekam medis ini terdiri dari ketidaklengkapan formulir dan ketidaklengkapan prosedur tindakan yang ditulis petugas medis. Oleh karena itu, dokumen rekam medis yang tidak lengkap tersebut harus dipilah-pilah dimana letak ketidaklengkapannya. Apabila ketidaklengkapan terdapat pada kode diagnosis atau tindakan maka petugas administrasi keuangan akan mengembalikan dokumen rekam medis tersebut ke coder untuk dilengkapi atau dibenarkan sesuai dengan yang ditulis oleh petugas medis. Apabila ketidaklengkapan pada prosedur tindakan yang dicatat petugas medis maka coder mengembalikan dokumen rekam medis tersebut ke petugas assembling. Sedangkan bila ketidaklengkapan tersebut pada formulir rekam medis maka administrasi keuangan harus melengkapi 70 Jurnal Kesehatan, ISSN , VOL.IV, NO.1, MARET 2010, Hal 65-72

7 dokumen rekam medis yang tidak lengkap dengan mengembalikan ke bagian assembling untuk diserahkan ke bangsal pelayanan untuk dilengkapi dan diteliti kembali kelengkapannya. Apabila yang tidak lengkap adalah penulisan diagnosis dan tindakan pada formulir rekam medis maka petugas assembling akan mengembalikan dokumen rekam medis ke unit pelayanan untuk diserahkan ke petugas medis untuk dilengkapi. SIMPULAN DAN SARAN RSUD Dr. Soeroto Ngawi belum memiliki kebijakan tentang penentuan kode tindakan berbasis INA CBG sehingga berpedoman pada kebijakan nomor IR / I/570/10 dari Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik Kementrian Kesehatan RI yaitu tentang berakhirnya lisensi INA DRG sejak 30 September 2010 dan diganti dengan Grouper INA CBG.Pihak yang bertanggung jawab dalam penentuan kode tindakan berbasis INA CBG adalah petugas rekam medis sebagai pencatat tindakan dari diagnosis pasien di dokumen rekam medis, coder sebagai penentu kode tindakan yang telah ditulis petugas medis dan petugas verifikator bertugas meneliti kode tindakan dari diagnosis pasien dan penentu kebenaran kode tindakan yang telah ditulis oleh coder sesuai dengan INA CBG. Pelaksanaan alur prosedur penentuan kode tindakan berbasis INA CBG di RSUD Dr. Soeroto Ngawi masih ditemukan penumpukan dokumen rekam medis di bagian administrasi keuangan karena ketidaklengkapan persyaratan pengajuan klaim yang dikembalikan oleh pihak verifikator independen karena ketidaklengkapan dokumen rekam medis yang digunakan untuk klaim dan kode tindakan yang kurang lengkap sehingga tertundanya klaim. Disarankan pihak Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dr. Soeroto Ngawi diharapkan memiliki kebijakan tentang penentuan kode tindakan berbasis ICD-9- CM untuk INA CBG yang bertujuan untuk mempermudah petugas rekam medis dalam melaksanakan job description, dan membuat alur prosedur pelayanan pasien jamkesmas dan klaim yang diajukan. Pihak Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dr. Soeroto Ngawi perlu mengadakan sosialisasi tentang persiapan INA CBG sebagai bentuk penerapan kebijakan upaya peningkatan pelayanan. Sosialisasi ini selain untuk menyamakan persepsi penggunaan INA CBG juga untuk menilai sejauh mana bisa dilaksanakan dalam peningkatan pelayanan kepada pasien.perlu adanya komunikasi yang baik antara petugas medis dengan coder, coder dengan petugas verifikator, petugas administrasi keuangan dengan coder dan petugas verifikator untuk kelancaran pengajuan klaim. Tinjauan Prosedur Penentuan Kode Tindakan Berbasis... (Atik Dwi N, dkk) 71

8 KEPUSTAKAAN Arief, M Pengantar Metodologi Penelitian untuk Ilmu Kesehatan. Surakarta: Sebelas Maret University Press. Hal 8, 43, 53-4 Semarang: PORMIKI. Tidak dipublikasikan WHO ICD-9-CM. Ganeva, Swiss: WHO DepDikNas, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. Jakarta: PT Gramedia Bina Pustaka. Depkes, RI Pedoman Pengelolaan Rekam Medis. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Depkes, RI Pedoman Penyelengaraan dan Prosedur Rekam Medis Rumah Sakit Di Indonesia. Revisi II. Jakarta: Direktorat jenderal Bina Pelayanan Medik Depkes, RI Pedoman Pelaksanaan Asuransi Kesehatan Jamkesmas Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Huffman, EK Health Information Management. Ilinois, USA: Physicians Records Company KemenKes, RI Surat Edaran Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik Kementrian Kesehatan RI Nomor IR.03.01/I/ MenKes, RI Permenkes Nomor 269/MENKES/PER/III/2008 Notoatmodjo, S Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Hal Shofari, B PSRK 01. Modul Pembelajaran Sistem dan Prosedur Pelayanan Rekam Medis Buku Jurnal Kesehatan, ISSN , VOL.IV, NO.1, MARET 2010, Hal 65-72

9