V. HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
METODE PENELITIAN. Tabel 2. Formulasi adonan

LAMPIRAN. Lampiran 1. Foto setiap produk hasil ekstrusi. Gambar 18. Produk berdasarkan kode

MEMPELAJARI PENGARUH PRE-CONDITIONER, KECEPATAN ULIR DAN SUBSTITUSI GANDUM UTUH TERHADAP EKSTRUSI

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian Tahap Pertama. Tabel 6. Komposisi Kimia TDTLA Pedaging

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN KADAR AIR MENIR, SUHU EKSTRUDER, KECEPATAN ULIR EKSTRUDER, DAN KADAR MINYAK

HASIL DAN PEMBAHASAN A. PERSIAPAN BAHAN BAKU

III. METODOLOGI PENELITIAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENGARUH PENAMBAHAN TAPIOKA TERHADAP MUTU BRONDONG JAGUNG DENGAN MENGGUNAKAN EKSTRUDER

Tekstur biasanya digunakan untuk menilai kualitas baik tidaknya produk cookies.

4. PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Fisik Mi Kering Non Terigu Cooking Time

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. kayu yang memiliki nilai gizi tinggi dan dapat dimanfaaatkan untuk berbagai jenis

SKRIPSI MEMPELAJARI PENGARUH UKURAN PARTIKEL DAN KADAR AIR TEPUNG JAGUNG SERTA KECEPATAN ULIR EKSTRUDER TERHADAP KARAKTERISTIK SNACK EKSTRUSI

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V PEMBAHASAN 5.1 Kadar Air

TEKNOLOGI PEMASAKAN EKSTRUSI

BAB V PEMBAHASAN 5.1. Sifat Fisikokimia Kadar Air

Deskripsi PROSES PRODUKSI DAN FORMULASI MI JAGUNG KERING YANG DISUBSTITUSI DENGAN TEPUNG JAGUNG TERMODIFIKASI

I. PENDAHULUAN. Jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) merupakan salah satu jenis sayuran sehat

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

MAKALAH MESIN PERALATAN PENGOLAHAN PANGAN (Ekstruder)

HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian Tahap Pertama

PENGGORENGAN, EKSTRUSI, & PEMANGANGGAN. Teti Estiasih - THP - FTP - UB

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

2. Karakteristik Pasta Selama Pemanasan (Pasting Properties)

I. PENDAHULUAN. Pemanfaatan ubi jalar ungu sebagai alternatif makanan pokok memerlukan

PENDAHULUAN. penduduk sehingga terjadi masalah hal ketersediaan pangan. Ketergantungan pada

I PENDAHULUAN. diantaranya adalah umbi-umbian. Pemanfaatan umbi-umbian di Indonesia belum

BAB I PENDAHULUAN. Kebutuhan terigu oleh masyarakat Indonesia terus meningkat. Berdasarkan data dari APTINDO (2014) dilaporkan bahwa konsumsi tepung

I PENDAHULUAN. selain sebagai sumber karbohidrat jagung juga merupakan sumber protein yang

2 Tinjauan Pustaka. 2.1 Polimer. 2.2 Membran

BAB I PENDAHULUAN. antara lain serealia, palmae, umbi-umbian yang tumbuh subur di hampir

HASIL DAN PEMBAHASAN. pengolahan, penanganan dan penyimpanan (Khalil, 1999 dalam Retnani dkk, 2011).

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

PENGARUH UKURAN GRANULA BOBOT TEPUNG JAGUNG TERHADAP PROFIL GELATINISASI DAN MI JAGUNG

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jagung merupakan palawija sumber karbohidrat yang memegang peranan penting kedua setelah beras.

HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan Adonan Kerupuk

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

PENGARUH BAHAN PENGISI TERHADAP MUTU SNACK FOOD EKSTRUDAT DARI PADATAN KEDELAI INDUSTRI TAHU

I. PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, (7) Waktu dan Tempat Penelitian.

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Sifat Fungsional Tepung Jagung Swelling Volume

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. Provinsi Lampung merupakan daerah penghasil ubi kayu terbesar di Indonesia.

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

FAKTOR PENENTU KARAKTERISTIK PRODUK EKSTRUSI DENGAN BAHAN BAKU JAGUNG MAKALAH KOMPREHENSIF

I PENDAHULUAN. bentuk daun-daunan termasuk di dalamnya rumput dan leguminosa. peternak masih bergantung pada hijauan yang berada di lapang.

1 I PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 2. Karakteristik menir segar Karakteristik. pengujian 10,57 0,62 0,60 8,11 80,20 0,50 11,42 18,68.

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai : (1.1.) Latar Belakang, (1.2.) Identifikasi

OPTIMASI PROSES DAN FORMULA PADA PENGOLAHAN MI SAGU KERING (Metroxylon sagu)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

EVALUASI MUTU MI INSTAN YANG DIBUAT DARI PATI SAGU LOKAL RIAU. Evaluation on the Quality of Instant Noodles Made From Riau Sago Starch

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 9. Pola penyusunan acak

Tabel 3. Hasil uji karakteristik SIR 20

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENGARUH PENAMBAHAN MC, HPMC DAN WHEY PADA SIFAT KIMIA PAPATAN DAN PILUS

BAB I PENDAHULUAN. berupa lempengan tipis yang terbuat dari adonan dengan bahan utamanya pati

METODE. Lokasi dan Waktu. Materi

4.1. Uji Fisik Roti Ubi Kayu Original, Manifer, Ekstrudat, dan Tapioka

BAB I PENDAHULUAN. (APTINDO, 2013) konsumsi tepung terigu nasional meningkat 7% dari tahun

HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. PEMBAHASAN Analisa Sensori

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Protein Kasar

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah,

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar merupakan sumber karbohidrat yang banyak mengandung pati

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

I PENDAHULUAN. Penelitian merupakan sebuah proses dimana dalam pengerjaannya

LAMPIRAN A DATA PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Kekurangan Vitamin A (KVA) adalah keadaan di mana simpanan. pada malam hari (rabun senja). Selain itu, gejala kekurangan vitamin A

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang

HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN. dikonsumsi oleh manusia dan termasuk salah satu bahan pangan yang sangat

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

2.6.4 Analisis Uji Morfologi Menggunakan SEM BAB III METODOLOGI PENELITIAN Alat dan Bahan Penelitian Alat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Pati merupakan polisakarida yang terdiri atas unit-unit glukosa anhidrat.

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. merupakan problema sampai saat ini. Di musim kemarau hijauan makanan ternak

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I PENDAHULUAN. Pada pendahuluan menjelaskan mengenai (1) Latar Belakang, (2)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Protein (KEP). KEP merupakan suatu keadaan seseorang yang kurang gizi

TINJAUAN PUSTAKA. Makanan ringan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil sidik ragam kadar protein kecap manis air kelapa menunjukkan

SIFAT-SIFAT FISIK DAN PARAMETER SPESIFIK KUALITAS DAGING

Transkripsi:

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Air air merupakan parameter yang penting pada produk ekstrusi. air secara tidak langsung akan ikut serta menentukan sifat fisik dari produk seperti kerenyahan produk dan hal ini adalah hal yang menjadi perhatian konsumen dalam mengkonsumsi produk ekstrusi. Berdasarkan hasil analisis kadar air produk berkisar antara 3,88 % hingga 3,89 %. Pengujian dengan general linear model univariate menunjukkan bahwa hanya perlakuan pre-conditioning yang berpengaruh nyata terhadap kadar air produk pada taraf signifikansi 5% (Lampiran 10). Sebagian kadar air pada produk yang diproses dengan pre-conditioner memiliki kadar air akhir yang sedikit lebih rendah. Penyebaran air pada bahan yang diproses dengan pre-conditioner jauh lebih baik dibandingkan penyebaran air pada bahan yang diproses tanpa pre-conditioner. Hal ini disebabkan oleh uap yang digunakan pada pre-conditioner lebih mudah menyebar dibanding menggunakan air. Selain itu, bahan yang diproses dengan pre-conditioner sudah menerima energi panas sebelum masuk ke dalam ekstruder. Hal ini menyebabkan energi yang diterima bahan di dalam ekstruder digunakan sebagian untuk menguapkan air sementara bahan yang tidak diproses dengan pre-conditioner menggunakan sebagian energi dari proses ekstrusi untuk menaikkan suhu bahan serta sebagai energi awal untuk gelatinisasi. air produk yang tertinggi dan terendah produk hanya memiliki selisih 0,0043%. Selisih yang tidak terlalu besar ini disebabkan oleh kadar air bahan yang diproses dengan pre-conditioner dan tanpa pre-conditioner sudah diatur sama. air produk ekstrusi yang dihasilkan pada penelitian ini sesuai dengan standar SNI 01-2886-2000 di mana kadar air akhir produk snack ekstrusi maksimal 4 %. 5.2 Derajat Gelatinisasi Derajat gelatinisasi pati atau biasa disebut sebagai derajat kematangan merupakan parameter yang penting dalam ekstrudat. Selain menentukan daya cerna suatu ekstrudat, derajat gelatinisasi juga akan mempengaruhi karakteristik produk yang akan dihasilkan serta kestabilan selama penyimpanan (Paton dan Spartt 1980). Berdasarkan hasil analisis, nilai derajat gelatinisasi dari ekstrudat yang dihasilkan adalah 9,68 % sampai 15,47 %. Nilai derajat gelatinisasi tertinggi sebesar 15,47 % didapatkan pada ekstrudat dengan substitusi gandum utuh 10% yang melalui pre-conditioner dan diproses dengan kecepatan ulir 370, sedangkan nilai derajat gelatinisasi terendah sebesar 9,68 % didapatkan pada ekstrudat dengan substitusi gandum 5% yang tidak melalui pre-conditioner dan diproses dengan kecepatan ulir 350. Pengujian dengan general linear model univariate menunjukkan bahwa tingkat substitusi gandum, perlakuan pre-conditioning dan kecepatan ulir yang berbeda berpengaruh nyata terhadap derajat gelatinisasi produk pada taraf signifikansi 5% (Lampiran 11a). Uji lanjut duncan dilakukan untuk menunjukkan adanya perbedaan yang nyata antar variabel (Lampiran 11b). Kecepatan ulir 350, 360, dan 370 memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada produk yang dihasilkan. Tingkat substitusi gandum 0 %, 5 % dan 10 % juga memberikan pengaruh yang nyata. Berdasarkan uji korelasi kadar gandum memiliki nilai korelasi yang paling tinggi (Lampiran 18). 12

16.6 Derajat Gelatinisasi (%) 14.6 12.6 10.6 8.6 6.6 non 4.6 0%, 350 0%, 360 0%, 370 5%, 350 5%, 360 5%, 370 350 360 370 Gambar 3. Grafik hubungan antara derajat gelatinisasi dan perlakuan pre-conditioning Dilihat dari pengaruh pre-conditioner pada derajat gelatinisasi ekstrudat dapat disimpulkan bahwa pre-conditioner secara nyata meningkatkan derajat gelatinisasi ekstrudat pada setiap kombinasi tingkat substitusi gandum (0 %, 5 %, dan 10 %) dan kecepatan ulir (350, 360, dan 370 ) yang diujikan. Pada pre-conditioner bahan baku mendapat perlakuan panas secara langsung dari steam yang bersentuhan langsung dengan bahan baku. Suhu yang didapat saat bahan baku keluar dari adalah 74 o C di mana ini sudah di atas suhu awal gelatinisasi dari gandum (Harper 1989). Adanya energi termal tersebut menyebabkan bahan sudah mengalami gelatinisasi awal sebelum masuk ke dalam ekstruder dan suhu bahan baku sebelum masuk ke dalam ekstruder lebih tinggi dari bahan baku yang tidak melalui pre-conditioner, sehingga energi yang didapatkan bahan selama proses ekstrusi dapat langsung digunakan untuk proses gelatinisasi. Gambar 4. Grafik hubungan antara derajat gelatinisasi dan kecepatan ulir 13

Kecepatan ulir memberikan pengaruh nyata terhadap derajat gelatinisasi. Derajat gelatinisasi produk dengan kecepatan ulir 350 dan 360 tidak saling berbeda nyata namun berbeda nyata dibanding dengan kecepatan ulir 370. Kecepatan ulir 370 menghasilkan derajat gelatinisasi yang lebih tinggi dibanding 350 dan 360. Semakin tinggi kecepatan ulir yang digunakan akan meningkatkan gesekan pada bahan baku dan memberikan energi pada bahan baku sehingga memungkinkan terjadinya gelatinisasi. Walau demikian, menurut Bhattacharya dan Milford, 1987, kecepatan ulir yang terlalu tinggi akan menurunkan residence time dan bahan baku akan lebih sedikit mendapatkan panas dari ekstruder sehingga derajat gelatinisasi pada bahan baku akan lebih rendah. Gambar 5. Grafik hubungan antara derajat gelatinisasi dengan kadar gandum Tingkat substitusi gandum sendiri memberikan pengaruh nyata terhadap derajat gelatinisasi ekstrudat. Tingkat substitusi gandum 0 % dan 5 % tidak saling berbeda nyata namun berbeda nyata terhadap produk dibandingkan dengan substitusi gandum 10 %. Tingkat substitusi gandum 10 % memiliki derajat gelatinisasi yang lebih tinggi dibanding tingkat substitusi gandum 0 % dan 5 %. Tingkat substitusi gandum 0 % dan 5 % tidak berbeda nyata, hal ini menunjukkan tingkat substitusi gandum 5 % belum dapat memberikan pengaruh yang nyata dalam hal derajat gelatinisasi. Gandum memiliki entalpi gelatinisasi yang lebih rendah dibandingkan jagung. Hal ini menyebabkan ekstrudat dengan tingkat substitusi gandum yang lebih tinggi memiliki derajat gelatinisasi yang lebih tinggi. 5.3 Water Solubility Index (WSI) Water solubility index dan water absorption index adalah salah satu karakteristik dari ekstrudat dan umumnya penting dalam memperkirakan bagaimana sifat ekstrudat ketika diproses lebih lanjut. Water solubility index menunjukkan jumlah molekul ekstrudat yang dapat tersuspensi ke dalam air. Hasil analisis menunjukkan nilai WSI berkisar antara 5,1 mg/ml hingga 9,5 mg/ml. Nilai WSI terendah sebesar 5,1 mg/ml didapatkan pada ekstrudat dengan tingkat substitusi 0 %, tanpa proses pre-conditioner dan pada kecepatan ulir 350. Sedangkan nilai WSI tertinggi sebesar 9,5 mg/ml didapatkan pada ekstrudat dengan tingkat substitusi 10 %, dengan proses pre-conditioner dan pada kecepatan ulir 370. 14

Pengujian dengan general linear model univariate menunjukkan bahwa tingkat substitusi gandum, perlakuan pre-conditioning dan kecepatan ulir yang berbeda berpengaruh nyata terhadap WSI ekstrudat pada taraf signifikansi 5% (Lampiran 12a). Uji lanjut duncan dilakukan untuk menunjukkan adanya perbedaan yang nyata antar parameter (Lampiran 12b). Kecepatan ulir 350, 360, dan 370 memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada produk yang dihasilkan. Tingkat substitusi gandum 0 %, 5 % dan 10 % juga memberikan pengaruh yang nyata. Berdasarkan uji korelasi perlakuan pre-conditioning memiliki nilai korelasi yang paling tinggi terhadap WSI (Lampiran 18). 0.01 0.009 WSI (g/ml) 0.008 0.007 0.006 non 0.005 0.004 0%, 350 0%, 360 0%, 370 5%, 350 5%, 360 5%, 370 350 360 370 Gambar 6. Grafik hubungan antara WSI dan perlakuan pre-conditioning Perlakuan pre-conditioner secara langsung meningkatkan water solubility index. Hal ini dapat dilihat dari nilai WSI ekstrudat yang diproses melalui pre-conditioner lebih tinggi dari nilai WSI ekstrudat yang diproses tanpa pre-conditioner pada setiap kombinasi tingkat substitusi gandum dan kecepatan ulir yang digunakan. Adanya panas dari pre-conditioner menyebabkan bahan baku tergelatinisasi dan sebagian besar amilopektin yang ada pada bahan dipecah menjadi molekul yang lebih sederhana. Molekul sederhana inilah yang dapat larut ke dalam air. 15

WSI (g/ml) 0.01 0.009 0.008 0.007 0.006 0.005 0.004 350 360 370 Kecepatan ulir () 0%, 0%, 5%, 5%, Gambar 7. Grafik hubungan antara WSI dan kecepatan ulir Kecepatan ulir memberikan pengaruh nyata terhadap WSI. WSI produk dengan kecepatan ulir 350 dan 360 tidak saling berbeda nyata namun berbeda nyata dibanding dengan kecepatan ulir 370. Kecepatan ulir 370 menghasilkan nilai WSI yang lebih tinggi dibanding 350 dan 360. Kecepatan ulir yang lebih tinggi memberikan gaya gesek yang lebih tinggi pada bahan menyebabkan timbulnya energi yang mampu memecah molekul makro pada bahan baku menjadi lebih sederhana dan lebih mudah larut. 0.01 WSI (g/ml) 0.009 0.008 0.007 0.006 0.005 0.004 0% 5% 10% Gandum 350 360 370 350 360 non 370 Gambar 8. Grafik hubungan antara WSI dan kadar gandum Tingkat substitusi gandum sendiri memberikan pengaruh nyata terhadap nilai WSI. Tingkat substitusi gandum 0 % dan 5 % tidak saling berbeda nyata namun keduanya berbeda nyata terhadap produk dibandingkan dengan substitusi gandum 10 %. Tingkat substitusi gandum 10 % memiliki WSI yang lebih tinggi dibanding tingkat substitusi gandum 0 % dan 5 %. Tingkat substitusi gandum 0 % 16

dan 5 % tidak berbeda nyata, hal ini menunjukkan tingkat substitusi gandum 5 % belum dapat memberikan pengaruh yang nyata pada nilai WSI. Hal ini menunjukkan keberadaan gandum juga menentukan nilai WSI dari ekstrudat. Gandum utuh memiliki proporsi kandungan amilosa dan amilopektin yang berbeda dengan jagung. Di antara amilosa dan amilopektin, amilosa lebih mudah larut di dalam air (Muchtadi et al., 1988). 5.4 Water Absorption Index (WAI) Water absorption index menunjukkan jumlah air yang dapat terserap oleh ekstrudat. Hasil analisis menunjukkan nilai WAI berkisar antara 4,86 mg/ml hingga 5,45 mg/ml. Nilai WAI terendah sebesar 4.86 mg/ml didapatkan pada ekstrudat dengan tingkat substitusi 10 %, tanpa proses preconditioning dan pada kecepatan ulir 360. Sedangkan nilai WAI tertinggi sebesar 5.45 mg/ml didapatkan pada ekstrudat dengan tingkat substitusi 0 %, dengan proses pre-conditioning dan pada kecepatan ulir 370. Pengujian dengan general linear model univariate menunjukkan bahwa di antara tingkat substitusi gandum, perlakuan pre-conditioning dan kecepatan ulir, hanya perlakuan pre-conditioning yang berpengaruh nyata terhadap WAI ekstrudat pada taraf signifikansi 5% (Lampiran 13). Uji lanjut duncan tidak dilakukan karena tingkat substitusi gandum dan kecepatan ulir tidak berbeda nyata. 5.5 WAI (ml/g) 5 non 4.5 0%, 350 0%, 360 0%, 370 5%, 350 5%, 360 5%, 370 350 360 370 Gambar 9. Grafik hubungan antara WAI dan perlakuan pre-conditioning Sebagian besar nilai WAI dari perlakuan pre-conditioning lebih tinggi dibanding nilai WAI pada perlakuan tanpa pre-conditioning. Hal ini tidak sesuai dengan pernyataan Gomez dan Aguilera, 1983, yang menyebutkan bahwa semakin tinggi degradasi pati akan meningkatkan nilai dari WSI dan menurunkan nilai dari WAI. Hal ini disebabkan oleh derajat gelatinisasi yang ada tidak terlalu besar sehingga amilopektin yang ada pada bahan baku tidak dipecah menjadi molekul yang sangat sederhana namun menjadi molekul dengan panjang rantai menengah di mana banyak terdapat gugus hidrofilik sehingga lebih mudah menyerap air. Berdasarkan Mezreb et al. perubahan kecepatan ulir sebesar 100 memiliki pengaruh yang tidak signifikan untuk WAI. Walau demikian, peningkatan kecepatan ulir dapat meningkatkan rusaknya molekul makro dari pati dan menyebabkan pati lebih mudah larut di dalam air sehingga 17

molekul yang mampu menahan air pada ekstrudat lebih sedikit. Tingkat substitusi gandum 0 %, 5 %, dan 10 % juga tidak nyata dalam menentukan nilai WAI. 5.5 Bulk Density Bulk density adalah salah satu nilai yang menggambarkan kepadatan dari produk ekstrusi yang dinyatakan dalam satuan berat per volume. Secara tidak langsung bulk density menggambarkan struktur dari produk ekstrusi. Pada bulk densitiy rendah umumnya produk memiliki volume rongga yang lebih besar dan dinding pembentuk rongga tersebut lebih tipis. Sebaliknya produk dengan bulk density tinggi umumnya produk memiliki volume rongga yang lebih kecil dan dinding pembentuk rongga tersebut lebih tebal. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa bulk density berkisar antara 0,08 g/ml hingga 0,10 g/ml. Bulk density terendah sebesar 0,08 g/ml didapatkan pada ekstrudat dengan tingkat substitusi 0 %, dengan proses pre-conditioning dan pada kecepatan ulir 350. Sedangkan bulk density tertinggi sebesar 0,10 g/ml didapatkan pada ekstrudat dengan tingkat substitusi 10 %, dengan tanpa proses preconditioning dan pada kecepatan ulir 350. Pengujian dengan general linear model univariate menunjukkan bahwa interaksi di antara tingkat substitusi gandum dan perlakuan pre-conditioning berpengaruh nyata terhadap bulk density ekstrudat pada taraf signifikansi 5% sedangkan kecepatan ulir tidak memberikan pengaruh yang nyata (Lampiran 14a). Uji lanjut duncan dilakukan pada tingkat substitusi gandum dan hasil menunjukkan bahwa tingkat substitusi 0 % dan 5 % tidak memberikan produk dengan bulk density berbeda nyata namun keduanya memberikan produk dengan bulk density yang berbeda nyata terhadap produk dengan tingkat substitusi 10 % (Lampiran 14b). Uji korelasi menunjukkan kadar gandum memiliki nilai korelasi yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan preconditioning (Lampiran 18). 0.11 0.105 Bulk density (g/ml) 0.1 0.095 0.09 0.085 0.08 non 0.075 0%, 350 0%, 360 0%, 370 5%, 350 5%, 360 5%, 370 350 360 370 Gambar 10. Grafik hubungan antara bulk density dengan perlakuan pre-conditioning 18

Bulk density (g/ml) 0.11 0.105 0.1 0.095 0.09 0.085 0.08 0.075 0 5 10 gandum (%) 350 360 370 350 360 370 Gambar 11. Grafik hubungan antara bulk density dengan kadar gandum Tingkat gelatinisasi yang lebih tinggi akan menyebabkan tingginya volume dan rendahnya densitas pada produk ekstrusi (Schwartz 1992). Untuk pengaruh pre-conditioning dapat dilihat bahwa produk ekstrusi dengan perlakuan pre-conditioning memiliki bulk density yang lebih rendah pada semua kombinasi tingkat substitusi gandum utuh dan kecepatan ulir yang digunakan. Hal ini sejalan dengan pernyataan yang dibuat Schwartz (1992). Walau demikian pada pengaruh tingkat substitusi gandum utuh, hal yang serupa tidak ditemukan. Derajat gelatinisasi yang lebih tinggi pada tingkat substitusi gandum yang lebih tinggi tidak membuat bulk density lebih rendah melainkan lebih tinggi. Hal ini disebabkan oleh gandum utuh yang digunakan tidak hanya terdiri dari pati saja. Gandum utuh berbeda dengan jagung, gandum utuh mengandung komponen di luar pati yang lebih tinggi dibandingkan jagung seperti protein dan serat. Hal inilah yang memberikan pengaruh terhadap bulk density yang lebih besar pada tingkat substitusi gandum yang lebih tinggi. 5.6 Derajat Pengembangan dan Panjang Derajat pengembangan dan panjang adalah dua parameter yang penting untuk mendapatkan bentukkan fisik dari produk yang diinginkan. Menurut Wang, 1997, derajat pengembangan erat kaitannya dengan tekstur produk. Pengembangan yang baik akan berdampak positif terhadap kerenyahan produk. Derajat pengembangan yang didapat pada kali ini berkisar antara 386,4 % hingga 423,07 %. Derajat pengembangan terendah sebesar 386,4 % didapatkan pada ekstrudat dengan tingkat substitusi 10 %, dengan proses pre-conditioner dan pada kecepatan ulir 370. Sedangkan derajat pengembangan tertinggi sebesar 423,07 % didapatkan pada ekstrudat dengan tingkat substitusi 0 %, dengan proses pre-conditioner dan pada kecepatan ulir 350. Pengujian dengan general linear model univariate menunjukkan bahwa interaksi di antara tingkat substitusi gandum, perlakuan pre-conditioner dan kecepatan ulir, hanya kecepatan ulir yang berpengaruh nyata terhadap derajat pengembangan ekstrudat pada taraf signifikansi 5% (Lampiran 15a). Uji lanjut duncan dilakukan pada kecepatan ulir dan hasil menunjukkan bahwa kecepatan ulir 350, 360, dan 370 berbeda nyata (Lampiran 15b). Dilihat dari kecepatan ulir yang digunakan menunjukkan bahwa pada kecepatan ulir 350, 360, dan 370, kecepatan ulir 19

350 selalu memberikan derajat pengembangan yang lebih besar diikuti oleh kecepatan ulir 360 dan yang paling rendah derajat pengembangannya adalah 370. Derajat pengembangan dipengaruhi oleh beberapa hal seperti kelembaban adonan, jenis pati, ukuran partikel adonan, dan kecepatan ulir (Apriani 2009). Jenis pati yang digunakan mempengaruhi derajat pengembangan. Umumnya pati tersusun atas amilosa dan amilopektin, pati yang kaya akan amilopektin umumnya akan lebih mudah mengembang dibandingkan pati yang kaya amilosa. Hal ini disebabkan rantai amilosa terikat satu sama lain selama proses pemasakan membuat strukturnya lebih padat (Monaru & Kokini 2003). Derajat pengembangan juga berbanding lurus dengan derajat gelatinisasi dari produk (Schwartz 1992). Pada hasil analisis penelitian ini tidak ditemukan perbedaan yang nyata pada produk ekstrusi dengan berbagai tingat substitusi dengan gandum utuh. Hal ini disebabkan karena kandungan amilosa dan amilopektin pada jagung dan gandum tidak jauh berbeda. Selain itu derajat gelatinisasi pada tingkat substitusi gandum memang lebih tinggi namun ada beberapa komponen pada gandum seperti protein dan serat yang membatasi derajat pengembangan produk. Tingkat substitusi gandum yang berkisar 0 % hingga 10 % juga masih belum cukup untuk menghasilkan perbedaan derajat pengembangan yang berbeda. Pengukuran panjang yang dilakukan menunjukkan panjang produk ekstrusi yang didapat dalam penelitian ini berkisar antara 19,72 mm hingga 25,58 mm. Panjang produk yang terendah sebesar 19,72 mm didapatkan pada ekstrudat dengan tingkat substitusi 0 %, tanpa proses pre-conditioner dan pada kecepatan ulir 350. Sedangkan panjang produk yang tertinggi sebesar 25,58 mm didapatkan pada ekstrudat dengan tingkat substitusi 5 %, dengan proses pre-conditioner dan pada kecepatan ulir 370. Pengujian dengan general linear model univariate menunjukkan bahwa interaksi di antara tingkat substitusi gandum, perlakuan pre-conditioner dan kecepatan ulir, ada dua hal yang berpengaruh nyata terhadap derajat gelatinisasi ekstrudat pada taraf signifikansi 5 % yaitu kecepatan ulir dan perlakuan pre-conditioner (Lampiran 16a). Uji korelasi menunjukkan kecepatan ulir memiliki nilai korelasi yang lebih tinggi dibanding perlakuan pre-conditioner dalam menentukkan panjang produk (Lampiran 18). Derajat Pengembangan (%) 427 422 417 412 407 402 397 392 387 382 350 360 370 Kecepatan ulir () 0%, 0%, 5%, 5%, Gambar 12. Grafik hubungan derajat pengembangan dan kecepatan ulir 20

Panjang (mm) 26 25 24 23 22 21 20 19 350 360 370 Kecepatan ulir () 0% 0% 5% 5% 10% 10% Gambar 13. Grafik hubungan panjang produk dengan kecepatan ulir Uji lanjut duncan dilakukan pada kecepatan ulir dan hasil menunjukkan bahwa kecepatan ulir 350, 360, dan 370 berbeda nyata (Lampiran 16b). Pada kecepatan ulir 350, 360, dan 370, kecepatan ulir 370 menghasilkan produk dengan panjang yang tertinggi, diikuti kecepatan ulir 360 dan yang paling pendek adalah 350. Hal ini berbanding terbalik dengan derajat pengembangan di mana pada derajat pengembangan kecepatan ulir 350 menghasilkan nilai yang terbesar sedangkan kecepatan ulir 370 menghasilkan nilai yang terendah. Pada kecepatan ulir 350 hingga 370 dapat dilihat bahwa pada kecepatan ulir yang lebih tinggi produk yang dihasilkan cenderung mengembang ke arah panjang, sedangkan pada kecepatan ulir lebih rendah produk yang dihasilkan cenderung mengembang ke arah lebar. 26 25 24 Panjang (mm) 23 22 21 20 19 Preconditioner 18 0% 350 0% 360 0% 370 5% 350 5% 360 5% 370 10% 10% 10% 350 360 370 Gambar 14. Grafik hubungan antara panjang produk dan perlakuan pre-conditioning 21

Preconditioner tidak mempengaruhi derajat pengembangan produk namun mempengaruhi panjang produk. Dalam hal panjang, meningkatkan panjang produk ekstrusi pada setiap kombinasi kecepatan ulir dan tingkat substitusi gandum utuh yang digunakan. Hal ini serupa dengan penurunan bulk density pada produk yang diberi perlakuan. Tingkat gelatinisasi yang lebih tinggi pada tidak memberikan pengaruh yang nyata pada derajat pengembangan namun memberikan nilai yang nyata pada panjang dari produk ekstrusi. Sehingga dengan bentuk die yang digunakan lebih membatasi produk untuk mengembang ke arah lebar. 5.7 Analisa Tekstur Analisa tekstur pada penelitian kali ini dilakukan dengan mengukur force atau gaya yang diperlukan oleh Texture Analyzer untuk menekan produk pada jarak tertentu. Besarnya gaya ini akan menentukan karakteristik dari tekstrur produk ekstrusi yang dianalisa. Nilai yang didapat pada analisa tekstur kali ini berkisar antara 19,43 kg force hingga 33.59 kg force. Hasil tertinggi yang diperlukan oleh Texture Analyzer adalah 33.59 kg force yang diperoleh oleh produk tanpa perlakuan preconditioning, kecepatan ulir 370, dan tingkat substitusi gandum utuh sebesar 10 % sedangkan nilai gaya terendah diperoleh oleh produk tanpa pre-conditioning, kecepatan ulir 350, dan tingkat substitusi gandum utuh sebesar 0 %. Pengujian dengan general linear model univariate menunjukkan bahwa interaksi di antara tingkat substitusi gandum, kecepatan ulir dan perlakuan pre-conditioning berpengaruh nyata terhadap gaya yang diperlukan Texture Analyzer untuk menekan ekstrudat pada taraf signifikansi 5% (Lampiran 17). Uji lanjut duncan dilakukan pada tingkat substitusi gandum dan kecepatan ulir. Hasil menunjukkan bahwa tingkat substitusi 0 % dan 5 % tidak memberikan gaya yang berbeda nyata namun keduanya memberikan gaya yang berbeda nyata terhadap produk dengan tingkat substitusi 10 %. Kecepatan ulir 350 dan 360 tidak memberikan gaya yang berbeda nyata namun keduanya memberikan gaya yang berbeda nyata terhadap produk dengan dengan kecepatan ulir 370. Uji korelasi menunjukkan kecepatan ulir memiliki nilai korelasi yang paling tinggi dalam menentukkan tekstur produk (Lampiran 18). 35.000 33.000 Tingkat kekerasan (kg) 31.000 29.000 27.000 25.000 23.000 21.000 non 19.000 0%, 350 0%, 360 0%, 370 5%, 350 5%, 360 5%, 370 350 360 370 Gambar 15. Grafik hubungan antara tingkat kekerasan dengan perlakuan pre-conditioning 22

Secara umum penerimaan energi yang lebih tinggi oleh bahan di dalam ekstruder, akan meningkatkan denaturasi karbohidrat dan protein dan menyusun diri sepanjang aliran laminar di dalam ekstruder. Molekul-molekul kecil yang terbentuk ini membentuk ikatan silang menjadi struktur baru yang dapat mengembang setelah keluar dari die (Muchtadi 1988). Hasil yang diperoleh menunjukkan hal yang berbeda. Perlakuan pre-conditioning memberikan energi panas pada bahan tetapi produk yang didapatkan secara umum lebih keras. Pemberian energi yang terlalu besar memang tidak diinginkan karena dapat menggelatinisasi secara keseluruhan menyebabkan terjadinya dekstrinisasi yang menghasilkan tekstur yang tidak diinginkan. Walau demikian analisis derajat gelatinisasi menunjukkan hasil derajat gelatinisasi yang tidak terlalu tinggi. Tingkat kekerasan (kg) 35.000 33.000 31.000 29.000 27.000 25.000 23.000 21.000 19.000 350 360 370 Kecepatan Ulir () 0%, 0%, 5%, 5%, Gambar 16. Grafik hubungan antara tingkat kekerasan dengan kecepatan ulir Menurut Jin, 1994, peningkatan kecepatan ulir meningkatkan derajat gelatinisasi bahan yang secara umum meningkatkan daya cerna produk dan karakteristik tekstur menjadi lebih renyah. Walau demikian, Muchtadi, 1988, peningkatan kecepatan ulir akan meningkatkan efek pemotongan dan penyusunan ulang molekul-molekul besar seperti karbohidrat dan protein sehingga rusak dan kehilangan sifat untuk mengembang atau memiliki dinding tebal sehingga tekstur lebih keras. Pada analisis yang dilakukan didapatkan hasil bahwa semakin tinggi kecepatan ulir dalam kisaran 350 hingga 370 menyebabkan tekstur yang semakin keras. 23

Tingkat kekerasan (kg) 35.000 33.000 31.000 29.000 27.000 25.000 23.000 21.000 19.000 0% 5% 10% Gandum 350 360 370 350 360 370 Gambar 17. Grafik hubungan antara tingkat kekerasan dengan kadar gandum Substitusi gandum dalam penelitian ini memberikan pengaruh yang nyata terhadap tekstur. Hal ini disebabkan gandum dan jagung merupakan dua bahan baku dengan karakteristik yang berbeda. Lebih tingginya kadar protein dan serat pada gandum serta perbedaan karakteristik pati pada gandum dan jagung merupakan hal yang mendasari perbedaan ini. Tingkat substitusi gandum yang lebih tinggi menyebabkan karakteristik produk yang terbentuk lebih keras. Hal ini disebabkan oleh keberadaan protein pada gandum menyebabkan energi yang diterima bahan digunakan sebagian untuk mendenaturasi protein. Tingkat gelatinisasi menjadi lebih rendah dan tekstur yang dihasilkan lebih keras. Analisis tekstur yang dilakukan pada penelitian ini menghasilkan banyak hal-hal yang tidak dapat dijelaskan. Karakteristik tekstur produk tidak hanya dipengaruhi oleh kecepatan ulir, perlakuan pre-conditioning, dan substitusi gandum utuh. Hal ini menyebabkan pembahasan pada karakteristik tekstur produk belum maksimal. 24