I. PENDAHULUAN. Kebijakan pembangunan merupakan persoalan yang kompleks, karena

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kemiskinan merupakan hal klasik yang belum tuntas terselesaikan

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SUMATERA BARAT MARET 2016 MULAI MENURUN

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

DAFTAR ALAMAT MADRASAH TSANAWIYAH NEGERI TAHUN 2008/2009

BAB I PENDAHULUAN. merupakan fenomena yang tidak asing lagi di dalam kehidupan masyarakat.

DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2008

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK NUSA TENGGARA BARAT MARET 2017 MENINGKAT

I. PENDAHULUAN. masalah kompleks yang telah membuat pemerintah memberikan perhatian khusus

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan dalam bangsa, yaitu peningkatan pertumbuhan ekonomi, perubahan

PROFIL PEMANFAATAN TEKNOLOGI INFORMASI OLEH MASYARAKAT

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK PROVINSI BENGKULU MARET 2016 MULAI MENURUN

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan

BPS PROVINSI SUMATERA SELATAN

Visi, Misi Dan Strategi KALTIM BANGKIT

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK MALUKU SEPTEMBER 2016 MENURUN

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2010

BERITA RESMI STATISTIK

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan merupakan fenomena umum yang terjadi pada banyak

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian merupakan salah satu sektor utama di negara ini. Sektor tersebut

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK BANTEN SEPTEMBER 2016 MENURUN

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SUMATERA UTARA SEPTEMBER 2016 MENURUN

BAB I PENDAHULUAN. dihadapi oleh negara-negara berkembang adalah disparitas (ketimpangan)

CATATAN ATAS PRIORITAS PENANGGULANGAN KEMISKINAN DALAM RKP Grafik 1. Tingkat Kemiskinan,

Antar Kerja Antar Daerah (AKAD)

PEMETAAN DAYA SAING PERTANIAN INDONESIA. Saktyanu K. Dermoredjo

I. PENDAHULUAN. Pengembangan sumberdaya manusia merupakan proses untuk. ini juga merupakan proses investasi sumberdaya manusia secara efektif dalam

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

5. PROFIL KINERJA FISKAL, PEREKONOMIAN, DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA

Sensus Pertanian 2013 (ST2013) merupakan sensus pertanian keenam yang diselenggarakan Badan Pusat Statistik

BAB I PENDAHULUAN. hasil berupa suatu karya yang berupa ide maupun tenaga (jasa). Menurut Dinas. kualitas kerja yang baik dan mampu memajukan negara.

I. PENDAHULUAN. setiap negara, terutama di negara-negara berkembang. Negara terbelakang atau

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SULAWESI TENGGARA MARET 2017 MENURUN TERHADAP MARET 2016

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2009

I. PENDAHULUAN. Proses pembangunan memerlukan Gross National Product (GNP) yang tinggi

BAB I PENDAHULUAN. sejarah ekonomi dan selalu menarik untuk dibicarakan. Pengangguran adalah

I. PENDAHULUAN. orang untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka yaitu sandang, pangan, dan papan.

BAB I PENDAHULUAN. ditandai dengan pengangguran yang tinggi, keterbelakangan dan ketidak

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN

LAUNCHING RENCANA AKSI NASIONAL PANGAN DAN GIZI (RAN-PG) TAHUN

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK MALUKU UTARA SEPTEMBER 2016

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya setiap negara di dunia memiliki tujuan utama yaitu

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN KONSUMSI MARET 2017

Perkembangan Nilai Tukar Petani (NTP) Kalimantan Timur* Menurut Sub Sektor Bulan September 2017

Mengurangi Kemiskinan Melalui Keterbukaan dan Kerjasama Penyediaan Data

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang. Tabel 1 Peringkat daya saing negara-negara ASEAN tahun

KEMISKINAN DAN UPAYA PENGENTASANNYA. Abstrak

Populasi Ternak Menurut Provinsi dan Jenis Ternak (Ribu Ekor),

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK INDONESIA MARET 2017 MENURUN

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK PAPUA BARAT MARET 2017 MEMBAIK

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA SEPTEMBER 2011

IV. GAMBARAN UMUM Letak Geogafis dan Wilayah Administratif DKI Jakarta. Bujur Timur. Luas wilayah Provinsi DKI Jakarta, berdasarkan SK Gubernur

IPM KABUPATEN BANGKA: CAPAIAN DAN TANTANGAN PAN BUDI MARWOTO BAPPEDA BANGKA 2014

BAB I PENDAHULUAN. Kesepakatan global yang dituangkan dalam Millenium Development Goals

BOKS II : TELAAH KETERKAITAN EKONOMI PROPINSI DKI JAKARTA DAN BANTEN DENGAN PROPINSI LAIN PENDEKATAN INTERREGIONAL INPUT OUTPUT (IRIO)

BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. Masalah kemiskinan menjadi persoalan serius yang di hadapi oleh banyak

V. TIPOLOGI KEMISKINAN DAN KERENTANAN

BAB 1 PENDAHULUAN. Jumlah penduduk adalah salah satu input pembangunan ekonomi. Data

Tabel 1. Pertumbuhan Ekonomi dan Kebutuhan Investasi

BAB I PENDAHULUAN. berkembang, termasuk Indonesia. Masalah kemiskinan yang melanda sebagian besar

BAB I PENDAHULUAN. menunjang pertumbuhan ekonomi yang pesat. Akan tetapi jika bergantung pada

Perkembangan Nilai Tukar Petani (NTP) Kalimantan Timur* Menurut Sub Sektor Bulan Oktober 2017

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. oleh si miskin. Penduduk miskin pada umumya ditandai oleh rendahnya tingkat

PENDAHULUAN. 1 http ://cianjur.go.id (diakses15 Mei 2011)

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia merupakan negara yang memiliki jumlah penduduk yang sangat

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

RENCANA KERJA PEMERINTAH TAHUN 2016 TEMA : MEMPERCEPAT PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR UNTUK MEMPERKUAT FONDASI PEMBANGUNAN YANG BERKUALITAS

DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN


BAB I PENDAHULUAN. yang penting dilakukan suatu Negara untuk tujuan menghasilkan sumber daya

Tabel Lampiran 1. Produksi, Luas Panen dan Produktivitas Padi Per Propinsi

BAB I PENDAHULUAN. Oleh karena itu, pembangunan merupakan syarat mutlak bagi suatu negara.

BAB I PENDAHULUAN. Beberapa waktu terakhir, pemerintah telah menerapkan sistem. pembangunan dengan fokus pertumbuhan ekonomi dengan menurunkan tingkat

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI BARAT SEPTEMBER 2016

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam membahas analisis tingkat kesejahteraan, tentu kita harus

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI BARAT MARET 2016

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI BARAT SEPTEMBER 2015

BERITA RESMI STATISTIK

PERTUMBUHAN PENDUDUK 1. Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk Propinsi (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang cukup berpengaruh

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. kantong-kantong kemiskinan sebagian besar berada di sektor pertanian.

Antar Kerja Antar Negara (AKAN)

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI

BAB I PENDAHULUAN. untuk mengembangkan kegiatan ekonominya sehingga infrastruktur lebih banyak

I. PENDAHULUAN. (NSB) termasuk Indonesia sering berorientasi kepada peningkatan pertumbuhan

BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

V. GAMBARAN UMUM. Penyajian gambaran umum tentang variabel-variabel endogen dalam

PERTUMBUHAN EKONOMI NUSA TENGGARA BARAT TAHUN 2015

VIII. PROSPEK PERMINTAAN PRODUK IKAN

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Transkripsi:

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebijakan pembangunan merupakan persoalan yang kompleks, karena melibatkan seluruh sistem yang terlibat dalam suatu negara. Di negara-negara berkembang modifikasi kebijakan telah dilakukan secara besar-besaran. Kebijakan merupakan kontrol pemerintah, dan besarnya intervensi dari kebijakan tersebut merupakan keleluasaan pemerintah atas hajat hidup orang banyak, khususnya terhadap mata pencaharian masyarakat (Ellis, 1992). Indonesia sebagai negara yang sebagian besar penduduknya bermatapencaharian sebagai petani, sudah selayaknya mengarahkan kebijakan pembangunan untuk meningkatkan dan memperkokoh sektor pertanian. Modal sumberdaya manusia di sektor peretanian yang melimpah di Indonesia seharusnya mampu dijadikan sebagai modal penting dalam pembangunan ekonomi yang berbasiskan pertanian. Trasformasi struktural dalam pembangunan ekonomi Indonesia yang diarahkan pada pembangunan industri berbasis teknologi tinggi sebagai sektor unggulan, mengakibatkan banyak tenaga kerja dari sektor pertanian terserap ke sektor industri dan jasa, meskipun tenaga kerja yang dipakai tersebut adalah tenaga kerja yang tidak siap pakai untuk sektor industri. Maka, hal ini berakibat semakin berkurangnya tenaga kerja di sektor pertanian (Prawira, 2004). Kebijakan pemerintah di sektor pertanian yang telah dilakukan selama ini tentunya membawa pengaruh terhadap perekonomian sebagian besar masyarakat. Pengaruh yang ditimbulkan dari adanya kebijakan pemerintah selama ini, tentunya membawa konsekuensi baik yang positif maupun negatif. Secara umum

2 apabila kita cermati kebijakan pemerintah sejak masa orde baru, maka seharusnya pertanian merupakan sektor penopang dalam pembangunan perekonomian secara menyeluruh, namun yang terjadi justru sebaliknya. Selama satu dekade tarakhir sektor pertanian mengalami perkembangan yang lambat dibandingkan dengan sektor jasa dan manufaktur. Proses transformasi struktural yang diharapkan dengan meletakkan sektor pertanian sebagai basis perekonomian justru ditinggalkan. Jumlah penduduk Indonesia menurut Rajasa (2002), cenderung meningkat dari 206 juta jiwa pada tahun 2000 menjadi sekitar 220 juta jiwa pada tahun 2002, dapat menimbulkan beberapa permasalahan pokok seperti ketersediaan pangan, papan, jaminan kesehatan, dan kelestarian sumberdaya alam. Khusus dalam bidang pertanian dan pangan masalah yang dihadapi adalah masalah produksi pangan/pertanian yang belum dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri sehingga masih dilakukan impor, masalah daya saing produk pangan yang lemah baik di pasar lokal maupun internasional, dan masalah tingkat kesejahteraan petani yang jauh dari memadai. Uraian di atas mengindikasikan bahwa sektor pertanian kita belum menjadi primadona atau andalan dalam proses pembangunan bangsa demi kesejahteraan rakyat banyak. Maksudnya adalah bahwa sektor pertanian kita belum memiliki kemampuan untuk mengembangkan atau mendayagunakan keunggulan komparatif yang dimilikinya. Dalam paradigma ekonomi pembangunan, sebenarnya telah diketahui secara luas bahwa terdapat paradoks pembangunan (development paradox) yang sangat mengganggu. Negara-negara maju, yang mengandalkan industri, yang

3 berteknologi tinggi, yang memiliki tingkat penghasilan per kapita sangat besar umumnya memproteksi petaninya, yang hanya sedikit jumlahnya. Sedangkan negara-negara miskin yang berbasis pertanian seperti Indonesia justru tidak berp ihak terhadap petaninya sendiri, sehingga kemiskinan yang terjadi khususnya di sektor pertanian menjadi semakin bertambah. Krisis ekonomi di Indonesia yang terus berlangsung mulai tahun 1997 telah menimbulkan pemikiran kembali tentang pengentasan kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi di Indonesia, yang berlangsung sekitar 30 tahun telah berhasil menurunkan angka kemiskinan absolut secara signifikan. Mulai tahun 1970-an hingga awal 1990-an, angka kemiskinan berhasil diturunkan sebesar 50 persen. Namun, sejak krisis berlangsung mulai pertengahan 1997, angka kemiskinan naik dua kali lipat, sehingga menghapus prestasi tersebut, dan membuat upaya pengentasan kemiskinan kembali menjadi sesuatu yang mendesak untuk dilaksanakan dengan serius (Sumarto, et al, 2004). Masyarakat miskin umumnya menghadapi permasalahan terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha, terbatasnya peluang mengembangkan usaha, lemahnya perlindungan terhadap aset usaha, dan perbedaan upah serta lemahnya perlindungan kerja terutama bagi pekerja anak dan pekerja perempuan seperti buruh migran perempuan dan pembantu rumahtangga. Keterbatasan modal, kurangnya keterampilan, dan pengetahuan, menyebab kan masyarakat miskin hanya memiliki sedikit pilihan pekerjaan yang layak dan peluang yang sempit untuk mengembangkan usaha. Terbatasnya lapangan pekerjaan yang tersedia saat ini seringkali menyebabkan mereka terpaksa melakukan pekerjaan yang memiliki

4 resiko tinggi dengan imbalan yang kurang memadai dan tidak ada kepastian akan keberlanjutannya. Tingginya jumlah pekerja di sektor kurang produktif berakibat pada rendahnya pendapatan, sehingga mereka tergolong miskin atau tergolong pada pekerja dengan pendapatan yang rentan menjadi miskin (nearly poor). Data Sakernas menunjukkan tingginya angka setengah pengangguran (bekerja kurang dari 35 jam per minggu) yang mencapai 31.4 persen pada tahun 2003. Berdasarkan sektor usaha, pekerja setengah pengangguran tersebut sebagian besar bekerja di sektor pertanian yang terdapat di perdesaan. Jumlah pekerja informal terus meningkat sejak adanya krisis, dari 58.5 juta pada tahun 2001 meningkat sebesar 1.5 juta (1 juta di daerah perdesaan dan 0.5 juta di perkotaan) sehingga pada tahun 2002 menjadi 60 juta. Pada tahun 2003 meningkat sebesar 1.2 juta (0.5 juta di daerah perdesaan dan 0.7 juta perkotaan) sehingga jumlah total menjadi 61.2 juta. Hal ini juga didukung dengan meningkatnya pangsa lapangan kerja di sektor pertanian dari 40.1 persen tahun 1997 menjadi 43.3 persen tahun 2001, disertai dengan menurunnya pangsa lapangan kerja bergaji dari 35.5 persen tahun 1997 menjadi 33.3 persen tahun 2002, dan menurunnya lapangan kerja di sektor manufaktur dari 2.8 persen pada periode 1994-1997 menjadi 0.6 persen pada periode 1998-2001 (Bappenas, 2005). Penduduk miskin yang umumnya berpendidikan rendah harus bekerja apa saja untuk mempertahankan hidupnya. Kondisi tersebut menyebabkan lemahnya posisi tawar masyarakat miskin dan tingginya kerentanan terhadap perlakuan yang merugikan. Masyarakat miskin juga harus menerima pekerjaan dengan imbalan yang terlalu rendah, tanpa sistem kontrak atau dengan sistem kontrak yang sangat

5 lemah dalam hal terhadap kepastian hubungan kerja yang berkelanjutan. Ketidakjelasan mengenai hak-hak mereka dalam bekerja menyebabkan kurangnya perlindungan terhadap keselamatan dan kesejahteraan mereka di lingkungan kerja. 100% Tidak Bekerja (%) Bekerja di Industri (%) Bekerja di bidang Jasa (%) Bekerja di Pertanian (%) 89.7 84.9 77.5 75.6 75.5 9.1 7.2 80% 60% 16.0 18.5 16.1 16.9 20.6 19.1 17.7 22.4 17.4 21.4 22.4 26.5 22.0 22.6 29.2 33.2 26.4 26.3 25.8 30.4 26.1 30.6 26.9 30.3 40% 20% 0% Papua NTT Maluku 74.3 73.7 73.2 69.7 68.7 Gorontalo Lampung Kalimantan Tengah Bengkulu Sulawesi Tenggara Sulawesi Tengah Sulawesi Utara Sulawesi Selatan 68.6 67.5 Riau NAD 67.2 66.3 Sumatera Selatan Kalimantan Barat 65.9 NTB 65.2 Maluku Utara 64.0 59.6 58.9 58.6 58.5 57.4 55.5 Kalimantan Timur Jambi Kalimantan Selatan Jawa Timur Sumatera Utara Jawa Tengah Sumatera Barat 55.5 Bali 55.0 DI Yogyakarta 53.7 37.9 45.8 39.8 45.2 41.1 42.7 Bangka Belitung Banten Jawa Barat DKI Jakarta Sumber : Bappenas, 2005 Gambar 1. Diagram Distribusi Persentase Penduduk Miskin Menurut Lapangan Pekerjaan Kepala Rumah Tangga Tahun 2003 3.2 57.1 Kemiskinan merupakan masalah pembangunan di berbagai bidang yang ditandai oleh pengangguran, keterbelakangan, dan ketidakberdayaan. Oleh karena itu, kemiskinan merupakan masalah pokok nasional yang penanggulangannya tidak dapat ditunda dan harus menjadi prioritas utama dalam pelaksanaan pembangunan nasional. Melihat dari diagram di atas kita bisa mencermati bahwa distribusi penduduk miskin sebagian besar berada pada sektor pertanian. Maka dari itu, perlu dilakukan suatu kajian terhadap dampak kebijakan pembangunan pertanian yang telah dilakukan selama ini terhadap pengentasan kemiskinan, sehingga diharapkan mampu memberikan solusi terbaik bagi penentuan kebijakan pembangunan pertanian ke depan.

6 1.2. Perumusan Masalah Penelitian Kebijakan pembangunan pertanian di Indonesia telah mengalami berbagai modifikasi. Mulai dari program penyaluran kredit usaha tani yang telah mengalami beberapa kali perubahan format dalam penyalurannya. Selain itu masalah subsidi pupuk mengalami penurunan dari 4.4 persen dari total investasi pertanian pada tahun 1985 menjadi 0.7 persen pada tahun 2000, kemudian masalah penentuan harga dasar gabah serta proteksi perdagangan komoditas pertanian juga mengalami fluktuasi yang dinamis pada beberapa tahun terakhir. Sementara itu kebijakan terhadap penguasaan lahan petani semakin lama semakin menipis, hal ini menyebabkan semakin tingginya tingkat ketidakpastian dalam berusahatani. Dengan semakin tingginya tingkat ketidakpastian tersebut, mengakibatkan semakin rendahnya insvestasi di sektor pertanian yang pada akhirnya akan menurunkan kontribusi sektor pertanian terhadap pertumbuhan ekonomi nasional yang ditunjukkan dengan penurunan kontribusi sebesar 57.1 persen pada tahun 1965 menjadi 17 persen pada tahun 2000 (Arifin, 2004). Semakin menurunnya tingkat kontribusi sektor pertanian terhadap pertumbuhan ekonomi nasional, akan mengancam pada semakin tingginya angka kemiskinan yang terjadi di sektor ini, sementara itu sektor industri dan jasa tidak mampu menampung suplai tenaga kerja dari sektor pertanian. Pada kondisi ketidakmampuan sektor industri dan jasa dalam menampung limpahan tenaga kerja dari sektor pertanian, maka akan mengakibatkan semakin tingginya tingkat pengangguran dan kemiskinan secara menyeluruh. Pengentasan kemiskinan merupakan agenda utama dalam pembangunan ekonomi khususnya berkaitan dengan pemerataan distribusi pendapatan dan

7 pemenuhan konsumsi masyarakat. Hal tersebut juga merupakan agenda utama bagi pembangunan di negara-negara dunia ketiga yang tercantum dalam poin pertama Millenium Development Goals yaitu pengentasan kemiskinan dan penghapusan kelaparan. Sementara itu, melihat proporsi tingkat kemiskinan yang terjadi di Indonesia mengalami peningkatan yang sangat tajam saat krisis ekonomi dan sampai saat ini belum mengalami penurunan yang signifikan, hal tersebut bisa ditunjukkan pada Tabel 1 berikut : Tabel 1. Indikator Kemiskinan Indonesia (%) Indikator 1990 1993 1996 1999 2002 Proporsi penduduk di bawah garis 15.08 13.67 17.55 23.43 18.20 kemiskinan (P0) Indeks Jurang Kemiskinan (P1) Indeks Kerentanan (P2) 2.68 0.74 3.85 1.11 1.75 0.42 4.33 1.23 3.01 0.79 Rasio jurang kemiskinan (P1/P0*100) 17.77 28.16 9.97 18.48 16.54 Kontribusi orang miskin dalam 9.25 9.05 8.73 9.62 9.10 konsumsi nasional Proporsi populasi di bawah tingkat 69.50 71.70 68.09 73.86 64.58 minimum terhadap konsumsi energi makanan Sumber : Susenas Consumption Module 2002 Dalam mengkaji masalah kemiskinan yang terjadi kita perlu mengetuhui faktor-faktor penyebab timbulnya kemiskinan, sehingga dari pendeteksian terhadap faktor penyebab tersebut, kita bisa mengetahui langkah atau kebijakan yang harus diambil ke depan khususnya berkaitan dengan strategi pengentasan kemiskinan. Dalam proses pembangunan ekonomi, keterlibatan pemerintah sebagai pengambil kebijakan sangatlah penting. Pengaturan tingkat harga, pemberian subsidi dan insentif bagi sektor produksi sangat menunjang peningkatan produksi nasional. Begitu pula di sektor pertanian, peran pemerintah sangatlah diperlukan

8 khususnya guna mengatur kebijakan yang berkaitan dengan penyediaan sarana produksi bagi petani misalnya melalui subsidi pupuk dan bibit. Peran pemerintah diperlukan dalam mengendalikan harga komoditas pertanian baik harga atap maupun harga dasar. Selain itu, peran pemerintah juga sangat vital dalam memproteksi komoditas pertanian produksi dalam negeri terhadap maraknya produk pertanian impor. Sementara itu, masih banyak lagi kebijakan pemerintah yang bersinggungan secara langsung maupun tak langsung dengan sektor pertanian. Keterlibatan pemerintah dalam mengintervensi sektor pertanian memberikan peluang bagi peningkatan kesejahteraan para pelaku yang terlibat di sektor pertanian secara langsung maupun tak langsung. Namun intervensi yang berwujud kebijakan yang telah dilakukan selama ini mengindikasikan adanya ketimpangan dalam pendistribusian peluang bagi pemerataan kesejahteraan. Sektor pertanian yang mendominasi proporsi golongan tenaga kerja miskin, ternyata sampai saat ini belum mampu bergerak secara signifikan dalam meningkatkan kesejahteraan petani. Dampak kebijakan di sektor pertanian terhadap pengentasan kemiskinan perlu diketahui dan dievaluasi, sehingga ke depan dapat diambil beberapa kebijakan pembangunan pertanian yang strategis dan mampu menjadi solusi terhadap masalah tingginya tingkat kemiskinan khususnya di sektor pertanian. Penelitian ini dilakukan sebagai upaya untuk merespon persoalanpersoalan yang telah diuraikan di atas. Secara khusus akan mengkaji bagaimana peran kebijakan pertanian yang digulirkan pemerintah mampu mendorong secara

9 optimal sebagai upaya pengentasan kemiskinan. Pada penelitian ini dibangun suatu kerangka berfikir yang dituangkan dalam model persamaan simultan yang mengkaji dan memformulasikan interaksi antara kebijakan pembangunan pertanian dengan variabel-variabel makroekonomi lainnya dalam suatu sistem yang dinamis. Dari uraian di atas, maka dirumuskan beberapa pokok permasalahan yang akan dikaji, yaitu : 1. Bagaimana dinamika kebijakan pembangunan pertanian di Indonesia serta kaitannya dengan upaya pengentasan kemiskinan. 2. Faktor-faktor apa saja yang turut mempengaruhi kemiskinan di perkotaan dan pedesaan. 3. Seberapa besar dampak kebijakan pembangunan pertanian dan beberapa variabel perekonomian lainnya terhadap kemiskinan di Indonesia. 1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan uraian rumusan permasalahan penelitian di atas, maka dirumuskan beberapa tujuan penelitian yaitu : 1. Mendeskripsikan kebijakan pembangunan pertanian dan pengentasan kemiskinan di Indonesia. 2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan di perkotaan dan pedesaan. 3. Menganalisis dampak kebijakan pembangunan pertanian dan beberapa variabel ekonomi terhadap pengentasan kemiskinan di Indonesia.

10 1.4. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah adanya pemahaman yang menyeluruh dan terarah terhadap peran atau kontribusi yang diberikan sektor pertanian terhadap pembangunan ekonomi, khususnya menyangkut masalah pengentasan kemiskinan, baik ditinjau dari peningkatan pendapatan perkapita maupun kemampuan pemenuhan konsumsi untuk pangan. Dari penelitian ini juga bisa dideteksi faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan yang terjadi di Indonesia. Selain itu hasil simulasi kebijakan diharapkan akan mampu memperoleh pilihan kebijakan pembangunan pertanian yang strategis khususnya berkaitan dengan upaya pengentasan kemiskinan. 1.5. Ruang Lingkup Penelitian Dalam penelitian ini kebijakan pembangunan pertanian yang dimaksudkan adalah antara lain kebijakan harga, kebijakan pasar, kebijakan input, kebijakan penguasaan lahan, kebijakan pembangunan sarana irigasi, kebijakan perkreditan, kebijakan mekanisasi pertanian dan kebijakan pengembangan penelitian pertanian. Selain kebijakan di sektor pertanian ini juga dikaji mengenai kebijakan makro ekonomi, seperti kebijakan fiskal dan moneter. Sub sektor yang akan dimasukkan dalam variabel penelitian ini khususnya adalah sub sektor pertanian tanaman pangan, karena sebagian besar petani miskin berada pada sub sektor ini, yaitu sekitar 23.77 persen, sedangkan dalam sektor peternakan, perikanan dan kehutanan rata-rata jumlah orang miskin berada di bawah 5 persen. Kebijakan pembangunan pertanian yang akan dianalisis lebih banyak menyangkut pada sub sektor pertanian tanaman pangan, sehingga dampak langsung dari penerapan kebijakan pembangunan pertanian terhadap pengentasan kemiskinan dapat lebih mudah dideteksi.