STUDI KARAKTERISTIK MORPHOLOGIK AYAM LOTE DI KABUPATEN TAPANULI UTARA Henri Hutabarat ABSTRACT The aim of the research is to study the morphologic characteristics of local chickens which is called Ayam Lote at North Tapanuli District. The research use survey method by observing of 30 birds local chickens (15 birds hen and 15 birds cock) at two subdistrict region. The result of reseach shows that the colour quill of Ayam Lote is black white spot, red and yellow, posterior quill is black, shank in yellow, while combs is single, small, red and jagged. The quantitative characteristics almost has not significant difference. --------------- Key words : morphologic exterior, Ayam Lote, North Tapanuli I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan ternak unggas lokal Indonesia khususnya ayam masih sangat lambat dibandingkan dengan ayam ras. Pada tahun 2005 populasi ayam lokal di Indonesia sebanyak 286.690.000 ekor, sedangkan ayam ras pedaging dan petelur masing-masing 864.246.000 ekor dan 98.491.000 ekor (Ditjennak, 2005). Ayam lokal mempunyai peranan yang cukup penting dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi sebagai sumber protein dan gizi masyarakat khususnya pada masyarakat pedesaan. Komoditas ayam lokal seperti daging dan telur sangat disukai oleh masyarakat Indonesia sehingga usaha peternakan ayam lokal sangat berpotensi dan memberi peluang usaha untuk meningkatkan taraf hidup rakyat. Perkembangan teknologi reproduksi dalam dekade terakhir menghasilkan penyebaran secara luas beberapa spesifik breed, terutama produksi unggas melalui pengembangan berbagai materi genetik. Sementara itu, pertukaran materi genetik dari breed dengan output tinggi breed lintas batas Internasional telah menghasilkan peningkatan produksi yang mengesankan; dan banyak negara menyatakan hal ini adalah untuk memperkaya populasi ternaknya, tetapi juga mengancam keberadaan populasi breed lokal. Pentingnya mempertahankan ternak-ternak lokal menjadi lebih urgen bila dikaitkan dengan fenomena perubahan iklim (climate change). Seperti diketahui, salah satu dampak negatif perubahan iklim adalah sulitnya memprediksi kondisi cuaca yang berubah secara cepat. Pada kondisi seperti ini ternak-ternak eksotik lebih sulit beradaptasi dibanding ternak-ternak lokal yang menuntut penanganan yang lebih intensif dan biaya produksi yang lebih mahal. Oleh sebab itu sangat perlu dan mendesak untuk dilakukan pengidentifikasian dan pendokumentasian 1402
ternak-ternak lokal terutama dari perspektif masyarakat yang memiliki dan memeliharanya serta memahami sifat-sifat ternak lokal tersebut. Salah satu jenis ternak lokal yang terancam punah di Indonesia saat ini adalah ayam lokal dengan sebutan oleh masyarakat ayam lote. Jenis ayam ini masih dijumpai di Kabupaten Tapanuli Utara neskipun penyebarannya sangat terbatas. Rumpunan ayam ini merupakan hasil penjinakan ayam hutan yang berabad-abad dengan morfologi yang sangat beragam sehingga sulit dibedakan antara rumpun yang satu dengan yang lain. 1.2 Perumusan masalah Penurunan sistem produksi ternak tradisional dan penggantian sumberdaya genetik lokal oleh breed eksotik dengan performans tinggi pada ternak unggas adalah salah satu alasan kelangkaan atau kepunahan ayam lokal. Demikian pula persilangan yang tidak terencana dan penggantian secara bertahap breed lokal dilaporkan oleh banyak negara berkembang. Sebagai ayam lokal Kabupaten Tapanuli Utara sangat dibutuhkan upaya pelestarian ayam lokal. Salah satu upaya langkah awal yang dapat dilakukan adalah mempelajari ciri-ciri eksterior ayam yang dipelihara di desa-desa yang jauh dari perkotaan. Alasan ini diyakini karena ayam-ayam tersebut belum banyak bercampur secara genetik dengan ayam-ayam jenis lain sehingga kondisi ini memungkinkan diperoleh ayam yang lebih murni secara genetik. 1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari karakteristik morphologik ayamayam lokal khususnya di Kecamatan Pagaran karena dianggap daerah tersebut merupakan habitat aslinya. 1.4 Kontribusi penelitian Memberikan gambaran informasi morphologis ayam lokal yang saat ini berkembang di Kabupaten Tapanuli Utara. Memberikan sumbangan pengetahuan dalam upaya pelestarian plasma nuftah. II. METODOLOGI PENELITIAN 2.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Pagaran dan Kecamatan Parmonangan Kabupaten Tapanuli Utara pada bulan Oktober 2012. 2.2. Materi Ayam yang digunakan adalah ayam dewasa (umur 1 tahun lebih) 15 ekor jantan 15 ekor betina. Umur ayam diketahui dari pemilik. Alat yang digunakan untuk mengukur terdiri dari : jangka sorong, pita ukur, timbangan duduk, alat tulis, dan kamera digital. 1403
2.2.1. Penentuan Lokasi Lokasi penelitian ditentukan berdasarkan pengamatan observasi di lapangan dimana penyebaran populasi ayam terbanyak ditemukan dan data statistik Kabupaten Tapanuli Utara tahun 2011. 2.3. Variabel yang diamati 1. Sifat kualitatif 1.1. Pola warna bulu Individu yang mempunyai bulu dominan kuning digolongkan pada fenotipe warna hitam (E-) Individu dengan bulu bintik-bintik putih menyebar merata (e+) Individu dengan bagian ujung ekor dan ujung sayab berwarna kemerahan (ee). 1.2. Warna Shank Individu dengan shank berwarna putih/kuning digolongkan pada fenotipe warna shank putih/kuning (Id). Individu dengan shank berwarna hitam/abu-abu digolongkan pada fenotipe warna shank/abu-abu (id). 1.3. Bentuk Jengger Individu dengan jengger ros digolongkan pada fenotipe bentuk jengger ros (R_pp) Individu dengan jengger kapri digolongkan pada fenotipe bentuk jengger kapri (rrp_). Individu dengan jengger tunggal digolongkan pada fenotipe bentuk jengger tunggal (rrpp). 2. Sifat kuantitatif Bobot badan (BB), ditimbang perekor dengan timbangan (kg). Panjang dada (sternum) (X 1 ), diukur dari tonjolan tulang dada (sternum) bagian depan sampai dengan tulang dada bagian belakang menggunakan pita ukur (cm). Lebar dada (X 2 ), diukur jarak dari belakang tulang sendi diantara sayap punggung kanan dan kiri dengan menggunakan jangka sorong (cm). Lingkar dada (X 3 ), diukur dari bagian pangkal sayap kanan lurus ke bawah ke tulang dada sampai pangkal sayap kiri, dengan menggunakan pita ukur (cm). Panjang punggung (X 4 ), diukur dari pangkal leher sampai pangkal tulang ekor menggunakan pita ukur (cm). Panjang rentang sayap (X 5 ), diukur dari mulai tulang humerus sampai tulang phalanges kedua pada sayap kanan dengan menggunakan pita ukur (cm). 1404
Panjang paha (X 6 ), diukur panjang tulang femur (paha) dengan menggunakan pita ukur (cm). Panjang betis (X 7 ), diukur panjang tulang betis (tibia) dengan menggunakan pita ukur (cm). Panjang shank (tarsometatarsus) (X 8 ), diukur dari persendian tulang tibia sampai dengan persendian awal jari tengah, dengan menggunakan pita ukur (cm). Lingkar shank (X 9 ), diukur melingkar pada tulang tarsometatarsus dengan menggunakan pita ukur. Panjang jari ketiga (X 10 ), diukur panjang jari ketiga dengan menggunakan jangka sorong (cm). Panjang leher (X 11 ), diukur panjang dari ujung sampai pangkal leher dengan menggunakan pita ukur (cm). Panjang jengger (X 12 ), diukur panjang jengger horizontal terhadap kepala dengan menggunakan jangka sorong (cm). Tinggi jengger (X 13 ), diukur tinggi jengger vertikal terhadap kepala dengan menggunakan jangka sorong (cm). Jarak antara dua tulang pubis (X 12 ), diukur jarak dua tulang pubis menggunakan jangka sorong (cm). Jarak tulang dada dengan tulang pubis (X 13 ), diukur jarak tulang dada dengan tulang pubis menggunakan jangka sorong (cm). 2.4. Analisis data 2.4.1. Sifat kualitatif Data-data yang bersifat kualitatif seperti pola warna bulu, warna shank, dan bentuk jengger diuraikan secara deskriptif frekuensi fenotipe menurut metode Mulliadi (1996) sebagai berikut: Frekuensi fenotipe sifat A = sifat A x 100% N Keterangan : A = salah satu sifat yang diamati n = total sampel yang diamati 2.4.2. Sifat kuantitatif Data kuantitatif adalah ukuran-ukuran tubuh berdasarkan jenis kelamin, ditabulasi dan dianalisis menjadi keragaman, simpangan baku dan koefisien keragaman. Untuk menguji perbedaan keragaman lokasi penelitian dilakukan uji-t. III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Keadaan Umum Daerah Penelitian Secara geografis Kecamatan Pagaran terletak diantara 02 0 11 38,72 lintang utara dan 98 0 55 40,30 bujur timur dengan ketinggian diatas permukaan laut 1.100 s/d 1.400 meter dengan luas 138,05 Km 2 berbatasan dengan : 1405
Sebelah utara Sebelah selatan Sebelah Barat Sebelah Timur : Kecamatan Lintongnihuta : Kecamatan Sipoholon : Kecamatan Parmonangan : Kecamatan Siborong-borong 3.2. Mengenal Ayam Lote Pada prinsipnya, sifat-sifat biologis ayam lote tidak berbeda dengan jenisjenis ayam lainnya. Kalupun terdapat perbedaan, hal itu lebih banyak dijumpai dalam pengamatan fisik (tampak luar) saja, misalnya warna bulu, besar kecil ukuran tubuh dan produktivitas telurnya. Galur (keturunan) murni ayam lote mempunyai bulu menurut pendapat masyarakat berwarna hitam dengan bintikbintik putih, dengan warna dasar bulukeabuan, kecoklatan atau kemerah-merahan. Hal ini dikarenakan asal-usul atau nenek moyangnya termasuk dalam spesies gallus gallus atau sering pula disebut gallus varius memiliki bulu yang serupa. 3.3. Sifat-sifat kualitatif 3.3.1. Ayam lote jantan Sifat kualitatif yang diamati pada penelitian ini adalah pola warna bulu, warna shank, dan bentuk jengger. Frekuensi fenotipe pola warna bulu, warna shank dan bentuk jengger ayam loteh jantan disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Frekuensi fenotipe warna bulu, warna shank, dan bentuk jengger ayam lote jantan ----------------------------------------------------------------------------------- Sifat Fenotipe % ----------------------------------------------------------------------------------- Pola warna bulu hitam (E-) 76,59 bintik putih (e + ) 12,12 kemerahan (e-) 11,29 Warna shank kuning/abu2 (Id) 85,15 hitam/abu2 (id) 14,85 Bentuk jengger tunggal 100 ----------------------------------------------------------------------------------- Pola warna bulu. Hasil survey menunjukkan ayam lote jantan memiliki dua warna bulu yaitu, hitam (E-) tipe liar (e) dan collombian (ee). Pola warna bulu hitam bintik putih masih mendominasi di semua lokasi penelitian. Warna shank. Warna shank ayam lote di lokasi penelitian didominasi oleh warna kuning keabu-abuan (Id) yaitu sekitar 85,15% kemudian warna hitam/abu2 (id) 14,85%. Bentuk jengger. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa bentuk jengger ayam loteh jantan di lokasi penelitian adalah tunggal dengan frekuensi 100%. Hal ini memberi petunjuk bahwa salah satu parameter kemurnian ayam lote dapat dilihat dari bentuk jenggernya. 1406
3.3.2. Ayam lote betina Frekuensi fenotipe pola warna bulu, warna shank dan bentuk jengger ayam loteh betina disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Frekuensi Fenotipe warna bulu, warna shank, dan bentuk jengger ayam lote betina ------------------------------------------------------------------------------------------------ Sifat Fenotipe % ------------------------------------------------------------------------------------------------ Pola warna bulu hitam (E-) 59,25 bintik putih (e + ) 34,41 kemerahan (e-) 7,34 Warna shank kuning/abu2 (Id) 83,52 hitam/abu2 (id) 16,48 Bentuk jengger tunggal (rrpp) 100,00 ------------------------------------------------------------------------------------------------ Pola warna bulu. Hasil survey menunjukkan ayam loteh jantan memiliki dua warna bulu yaitu, hitam (E-) sekitar 59,25%, bintik putih (e) 34,41% dan collumbian 7,34%. Warna bulu hitam bintik putih masih mendominasi di semua lokasi penelitian. Warna shank. Warna shank ayam lote di lokasi penelitian didominasi oleh warna kuning keabu-abuan (Id) sekitar 83,52% kemudian warna hitam/abu2 (id) 16,48%. Bentuk jengger. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa bentuk jengger ayam loteh betina sama halnya dengan jantan yaitu tunggal dengan frekuensi 100%. Hal ini memberi petunjuk bahwa ayam lote betina dan jantan dapat dijadikan sebagai dasar kemurnian ayam lote. Sifat kualitatif ayam lote jantan dan betina di kecamatan pagaran diperkirakan tidak menunjukkan frekuensi yang tidak jauh berbeda dengan daerah lainnya. Standar kemurnian ayam dapat dilihat dari bentuk jengger, dan pola warna bulu yang merupakan salah satu tolak ukur dalam melakukan seleksi ayam lote. Secara umum persentase warna bulu hitam ayam lote jantan lebih besar dari betina dengan frekuensi antara 76,59 vs 59,25 %. Pola warna bulu masih beragam sehingga masih sulit untuk dijadikan standar kemurnian ayam lote. 3.4. Sifat-sifat Kuantitatif 3.4.1. Ukuran tubuh jantan Tabel 3 menunjukkan rataan bobot badan dan ukuran-ukuran tubuh ayam lote jantan di dua Desa di Kecamatan Pagaran Kabupaten Tapanuli Utara. Hasil uji statistik bahwa bobot badan ayam pada dua desa tidak berbeda nyata (P<0,05). Hal ini dapat terjadi karena pengaruh aksesbilitas oleh karena terjadi perkawinan 1407
kerabat (inbreeding) karena lokasi pemeliharaan yang berdekatan diduga memungkinkan untuk saling berjualan pada saat hari pekan. Hasil analisis uji t menunjukkan bahwa lebar dada berbeda sangat nyata (P<0,01) di dua lokasi penelitian. Lebar dada di kecamatan A lebih besar dibandingkan kecamatan B (8,71 ± 1,87 Vs 6,83 ± 1,29 ). Panjang paha Desa (B) 9,97 ± 2,25 cm lebih panjang (P<0,05) daripada Desa (A) sebesar 8,55 ± 2,73 cm; panjang betis Kecamatan (A) lebih panjang dibandingkan Kecamatan B (12,56 ± 2,77 Vs 11,36 ± 2,49). Demikian pula panjang jari di Kecamatan (A) sebesar 6,31 ± 1,57 cm berbeda nyata (P<0,05) lebih panjang dari Kecamatan (B) sebesar 6,31 ± 1,57 cm. Ukuran tubuh lainnya tidak terdapat perbedaan nyata di kedua lokasi penelitian (P<0,05) terhadap bobot badan (810 ± 0,60 Vs 830 ± 0,47), panjang dada (8,33 ± 1,71 Vs 8,42 ± 2,4), lingkar dada (18,72 ± 4,31 Vs 19,83 ± 3,57), panjang punggung (15,31 ± 2,86 Vs 16,22 ± 2,70), panjang sayab (6,74 ± 3,56 Vs 5,65 ± 2,93), panjang shank (8,87 ± 2,28 Vs 7,52 ± 2,04), lingkar shank (1,32 ± 0,52 Vs 1,54 ± 1,32), panjang leher (11,52 ± 3,52 Vs 10,81 ± 3,33), panjang jengger (2,34 ± 1,37 Vs 2,57 ± 3,18), tinggi jengger (1,52 ± 0,77 Vs 1,82 ± 1,93), jarak antara dua tulang pubis (5,2 ± 1,23 Vs 4,88 ± 1,33) dan jarak antara tulang dada dengan tulang pubis (3,3 ± 0,88 Vs 3,3 ± 0,78). Tabel 3. Rataan Bobot Badan dan Ukuran-ukuran Tubuh Ayam Lote Jantan Ukuran-ukuran Tubuh Perbedaan sedikit ukuran-ukuran tubuh ayam di dua Kecamatan penelitian ada kecenderungan performans tubuh ayam lote di Kecamatan (A) lebih baik Desa Sipultak (A) Desa Parhorboan (B) Rata-rata KK Rata-rata KK Berat Badan (gr) 810 ± 0,60 18,58 830 ± 0,47 15,74 Panjang dada (cm) 8,88 ± 1,71 12,16 8,42 ± 2,4 10,62 Lebar dada (cm) 4,83 ± 1,29 A 19,32 3,71 ± 1,87 B 19,75 Lingkar dada (cm) 18,72 ± 4,31 8,23 17,83 ± 3,57 7,42 Panjang punggung (cm) 15,31 ± 2,86 10,92 16,22 ± 2,70 8,1 Panjang sayap (cm) 6,74 ± 3,56 8,22 5,65 ± 2,93 7,7 Panjang paha (cm) 8,55 ± 2,73 A 10,91 9,97 ± 2,25 B 9,96 Panjang betis (cm) 12,56 ± 2,77 A 14,72 11,36 ± 2,49 B 8,86 Panjang shank (cm) 8,87 ± 2,28 9,57 7,52 ± 2,04 11,11 Lingkar shank (cm) 1,32 ± 0,52 9,62 1,54 ± 1,32 7,18 Panjang jari ketiga (cm) 6,31 ± 1,57 A 7,52 5,58 ± 1,48 B 7,55 Panjang leher (cm) 11,52 ± 3,52 8,03 10,81 ± 3,33 9,6 Panjang jengger (cm) 2,94 ± 1,37 10,25 2,57 ± 3,18 14,89 Tinggi jengger (cm) 1,52 ± 0,77 18,6 1,82 ± 1,93 22,29 Jarak dua tulang pubis 5,2 ± 1,23 22,31 4,88 ± 1,33 20,11 Jarak tulang dada dengan tulang pubis 3,3 ± 0,88 13,40 3,3 ± 0,78 11,12 1408
dibanding Kecamatan (B) seperti bobot badan, panjang dada, lingkar dada, panjang sayab, panjang shank, panjang leher, dan panjang jengger. Faktor genetik tidak merupakan faktor penyebab perbedan ini, tetapi kemungkinan lingkungan agroekosistem lokasi. 3.4.2. Ukuran Tubuh Betina Rataan bobot badan dan ukuran-ukuran tubuh ayam lote jantan didua Desa di Kecamatan Pagaran dapat dilihat pada Tabel 4. Hasil uji statistik menunjukkan bobot badan ayam lote betina di Kecamatan (A) dengan Kecamatan (B) tidak ada perbedaan nyata (560 ± 1,10 gr Vs 550 ± 1,57 gr). Meskipun secara angka ada perbedaan seperti panjang dada (6,5 ± 1,94 Vs 6,2 ± 2,50), lebar dada (6,5 ± 1,20 Vs 4,3 ± 1,04 cm), lingkar dada (18,4 ± 3,24 Vs 19,1 ± 4,1), panjang punggung (11 ± 2,60 Vs 10,5 ± 2,93), panjang sayab (6,1 ± 1,39 Vs 5,4 ± 1,69), panjang paha (7 ± 1,88 Vs 6,7 ± 2,37), panjang betis (11 ± 2,36 Vs 10,2 ± 2,48), panjang shank (6,6 ± 2,19 Vs 6,2 ± 2,12), lingkar shank (1,6 ± 0,55 Vs 3,2 ± 0,48), panjang jari ketiga (5,5 ± 0,45 Vs 4,5 ± 1,58), panjang leher (11,5 ± 3,33 Vs 10,5 ± 3,67), panjang jengger (1,9 ± 0,87 Vs 2,2 ± 0,87), tinggi jengger (1,9 ± 0,87 Vs 0,6 ± 0,19), jarak antara dua tulang pubis (4,1 ± 0,89 Vs 3,2 ± 0,87) dan jarak antara tulang dada dengan tulang pibis (3,2 ± 1,78 Vs 2,6 ± 0,88). Tabel 4. Rataan bobot badan dan ukuran-ukuran tubuh ayam betina Ukuran-ukuran Tubuh Kecamatan Pagaran (A) Kecamatan Parmonangan (B) Rata-rata KK Rata-rata KK Berat Badan (gr) 560 ± 1,10 19,20 550 ± 1,57 18,38 Panjang dada (cm) 6,5 ± 1,94 11,39 6,2 ± 2,50 13,69 Lebar dada (cm) 6,5 ± 1,20 14,19 4,3 ± 1,04 20,88 Lingkar dada (cm) 18,4 ± 3,24 7,19 19,1 ± 4,14 10,25 Panjang punggung (cm) 11 ± 2,60 5,53 10,5 ± 2,93 8,11 Panjang sayap (cm) 6,1 ± 1,39 12,18 5,4 ± 1,69 8,12 Panjang paha (cm) 7 ± 1,88 12,05 6,7 ± 2,37 12,22 Panjang betis (cm) 11 ± 2,36 8,41 10,2 ± 2,48 9,15 Panjang shank (cm) 6,6 ± 2,19 12,68 6,2 ± 2,12 12,22 Lingkar shank (cm) 1,6 ± 0,55 7,55 3,2 ± 0,48 8,97 Panjang jari ketiga (cm) 5,5 ± 0,45 8,62 4,5 ± 1,58 8,44 Panjang leher (cm) 11,5 ± 3,33 11,33 10,5 ± 3,67 16,13 Panjang jengger (cm) 1,9 ± 0,87 9,65 2,2 ± 0,87 15,78 Tinggi jengger (cm) 0,8 ± 0,23 7,99 0,6 ± 0,19 20,10 Jarak dua tulang pubis 4,1 ± 0,89 25,64 3,2 ± 0,87 28,18 Jarak antara tulang dada dengan tulang pubis 3,2 ± 1,78 22,34 2,6 ± 0,88 29,46 1409
V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan 1. Sifat- sifat kualitatif yang diamati pada ayam lote warna bulu ayam lote baik jantan maupun betina berwarna hitam bercak-bercak putih, merah dan kuning, dan bulu ekor berwarna hitam, warna shank berwarna hitam dan ada juga kekuningan, dan bentuk jengger adalah tunggal, kecil, merah dan bergerigi. 2. Sifat-sifat kuantitatif hampir tidak menunjukkan adanya perbedaan yang nyata. 5.2. Saran Perlu penelitian lanjut untuk memperoleh data morphologik yang lebih lengkap di beberapa Kecamatan yang ada di Kabupaten Tapanuli Utara. DAFTAR PUSTAKA Astuti, J.M. 1999. Pemuliaan Ternak, Pengembangan dan Usaha Perbaikan Genetik Lokal. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Pemuliaan Ternak. Fakultas Peternakan. Universitas Gajah Mada. 20 Maret 1999. Yogyakarta. Blench, R. 2005. Conservation of indigenous livestock: Sustaining biodiversity for current and future generations. Presented on CGIAR System Research Priority Srea 1. Marrakech, 6 th December 2005. FAO. 2007. The State of the World s Animal Genetic Resources for Food and Agriculture, edited by Barbara Rischkowsky & Dafydd Pilling. Rome. Terjemahan Bahasa Indonesia: Status Terkini Dunia Sumberdaya Genetik Ternak untuk Pangan dan Pertanian. 2009. Oleh A. Bamualim dan B. Tiesnamurti (Editor). Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor. Hill, W.G. 2000. Maintenance of quantitative genetic variation in animal breeding programmes. Livestock Production Science, 63: 99 109. Iskandar, S. 2004. Ayam Pelung Karakter dan Manfaat. Dalam Yusep Saepudin (Editor).http://balitnak.litbang.deptan.go.id [02 Pebruari 2006] Kohler-Rollefson, I. 2005. Indigenous Breeds, Local Communities. Documenting Animal Breeds and Breeding from a Community Perspective. Produced with the support of German Agency for Technical Cooperation, GTZ and Food and Agriculture Organisation of the United Nations, FAO and LIFE Intiative. Sadri, Rajasthan. India. Mansjoer, S.S. 1985. Pengkajian sifat-sifat produksi ayam kampong serta persilangannya dengan Rhode Island Red. Disertasi. Fakultas Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. 1410
Meuwissen, T.H.E. 1997. Maximizing response to selection with a predefined rate of inbreeding. Journal of Animal Science, 75: 934 940. Rachma, Sri.AB.2009. Berdaulat dengan Ternak Lokal. Diakses tanggal 29-09- 2011 dari://gerakan konsumen.blogspot.com/2009/09/berdaulat-denganternak-lokal.html. Rasyaf, M. 1992. Pengelolaan Usaha Peternakan Ayam Kampung. Cetakan IX. Penerbit Kasianus. Jakarta Razig, A. 2011. Importance of Indigenous Livestock Breeds! A look in Balochistan. Diakses tanggal 29-09-2011 dari: http://camel4all. blogspot.com/2011/02/importance-of-indigenous-livestock.html Retno, F.D., J. Jahja dan T. Suryani. 1998. Penyakit-Penyakit Penting pada Ayam. PT. Medion. Bandung Sarwono, B. 1995. Ragam Ayam Piaraan. Cetakan VII.Penerbit PT. Penebar Swadaya, Jakarta 10610 Sumarwan, U. 2010. Ottonomi Daerah dan Peningkatan Daya Saing Daerah: Keunggulan Kompetitif Sektor Agribisnis Komoditi Unggulan. Karya Ilmiah. Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen. FEMA IPB. Bogor. Udin, Z dan Rusfidra. 2008. Membangun Peternakan Indonesia Bertumpu pada Ternak Lokal untuk Ketahanan Pangan Hewani. Paper pada Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi ke IX tanggal 26-27 Agustus 2008 di Jakarta. http://www.wnpg.org/frmindex.php/pg=informasi/infomakalah.php&act=e dit&id=4 Vivekanandan, P. 2007. Community Level Conservation of Indigenous Animal Breeds in India. LIFE Network, SEVA, India. Side Event during Interlaken Technical Conference on Animal Genetic Resource for Food and Agriculture. 3-7 September 2007. Woolliams, J.A. 2004. Managing populations at risk. In G. Simm, B. Villanueva, K.D. Sinclair & S. Townsend, eds. Farm animal genetic resources, pp. 85 106. British Society for Animal Science, Publication 30. Nottingham, UK. Nottingham University Press. Woolliams, J.W., Bijma, P. & Villanueva, B. 1999. Expected genetic contributions and their impact on gene flow and genetic gain. Genetics, 153: 1009 1020. Wulandari, 2010. Penentuan Agribisnis Unggulan Komoditi Pertanian Berdasarkan Nilai Produksi di Kabupaten Grobongan. Tesis. Program Studi Magister Agribisnis Program Pascasarjana. Universitas Diponegoro. Semarang. 1411
1412