BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang. Terung belanda merupakan buah bergizi yang cukup banyak dikonsumsi masyarakat, tumbuh di dataran tinggi dan relatif mahal. Tanaman terung belanda hanya dijadikan tanaman selingan dan tanaman pagar sehingga hasil produksinya tidak maksimal (Medan Bisnis online.com, 16 Februari 2009). Tanaman terung belanda sering berproduksi tidak maksimal disebabkan pada saat berbuah lebat pohon tumbang karena memiliki akar dangkal dan cabang yang rapuh (Dairi pers, 2007) dan turunnya produksi buah disebabkan masalah hama terutama oleh infeksi virus yang cepat menyebar (BPTP-SU,2006). Perlu pemikiran untuk membudidayakan tanaman terung belanda karena harga buah terung belanda sudah berkisar Rp 4.000 hingga Rp 10.000 / kg. Masyarakat jarang memakan buah terung belanda secara langsung karena mempunyai rasa agak asam. Buah terung belanda sering diolah menjadi berbagai masakan seperti kari, acar dan sambal atau menjadi minuman segar " jus terong belanda". Sekarang ini buah terung belanda sudah ada yang diolah menjadi sirup terung belanda (Bangkit Tani Berastagi, Oktober 2009). Menurut Yunus (2009), untuk mengatasi permasalahan pangan, penerapan bioteknologi tanaman sangat diharapkan pada riset mendatang. Sebagai upaya pembudidayaan tanaman maka bioteknologi tanaman diharapkan mampu 1
menghasilkan tanaman baru yang tahan terhadap hama dan kekeringan serta dapat meningkatkan kuantitas dan kualitas nutrisi hasil tanaman. Sebagai upaya pembudidayaan tanaman, bioteknologi berkembang pesat terutama di negara maju. Memanipulasi organisme hidup untuk kepentingan manusia bukan hal yang baru. Tanaman produk bioteknologi menyerupai tanaman asalnya, tetapi memiliki sifat-sifat tertentu yang menyebabkan tanaman lebih baik. Tanaman tersebut memberikan keuntungan bagi petani dan konsumen. Petani memperoleh hasil yang lebih tinggi, sedangkan konsumen memperoleh hasil yang lebih menyehatkan, sehingga tanaman produk bioteknologi telah banyak diperdagangkan di berbagai negara. Bioteknologi tanaman menawarkan dua cara untuk membudidayakan tanaman, yaitu secara modern dan secara konvensional. Bioteknologi modern sudah maju dalam penerapan teknik biologi molekulernya, tetapi membutuhkan alat yang canggih, biaya yang mahal dan butuh keahlian khusus dalam mengopersikan alat serta pengaruh jangka panjang tidak dapat diprediksi. Sedangkan bioteknologi konvensional masih terbatas dalam penerapan tekhnik biologi molekulernya, tetapi dapat dilakukan dengan alat yang sederhana, biaya lebih murah, tidak membutuhkan keahlian khusus dalam mengoperasikan alat serta pengaruh jangka panjang dapat diprediksi (wikipedia,2009). Penerapan bioteknologi modern tidak selamanya lebih baik dari bioteknologi konvensional karena pengaruh jangka panjang yang tidak dapat diprediksi. Perubahan genetika pada tanaman hasil bioteknologi modern tidak menutup kemungkinan terjadinya sintesa senyawa organik yang tidak diinginkan, seperti kasus pada tahun 2000 dimana bibit jagung star link di USA ditarik dari peredaran
karena setelah diteliti pada biji hasil produksi mengandung suatu senyawa protein CrY9 yang menyebabkan alergi pada konsumen (GMO, 2003). Bioteknologi tanaman secara konvensional sudah banyak diaplikasikan untuk mengatasi permasalahan pangan diantaranya dengan sambung pucuk. Manjerang (1992) sudah melakukan sambung pucuk antara tomat dengan kentang dan Agustina (2004) antara jeruk dengan jeruk dengan tujuan menghasilkan bibit unggul. Untuk meningkatkan kuantitas sekaligus kualitas nutrisi pada buah, Surbakti (2002) melakukan sambung pucuk antara tanaman ubi kayu racun dengan ubi kayu biasa sampai tingkat produksi ubi kayu biasa mencapai 3 kali lipat dan kandungan karbohidrat pada ubi kayu biasa naik 86 %. Selanjutnya Makhziah dan Mulyani (2008) melakukan sambung pucuk waluh dengan melon sehingga meningkatkan kadar glukosa buah melon 7,79 %. Menurut Barus ( 2003) dalam penyambungan, terjadi penggabungan dua jaringan hidup antara batang atas dan batang bawah. Jika sambungan berhasil maka dari batang atas akan tumbuh tunas, dan berkembang menjadi cabang dengan perolehan produksi buah yang tinggi dan kualitas yang baik. Di lain pihak batang bawah akan berkembang sistem perakaran yang kokoh sehingga dapat beradaptasi pada kondisi tanah yang kurang subur dan tahan terhadap penyakit. Tanaman hasil penyambungan akan memiliki sifat-sifat unggul yang dimiliki oleh batang atas dan batang bawah. Karena dalam penyambungan terjadi penggabungan dari dua sistem kehidupan maka dibutuhkan kajian tentang hasil selanjutnya dari tanaman yang disambung tersebut. Dengan alasan rimbang mempunyai akar yang kuat, tahan terhadap kekeringan dan serangan hama maka rimbang sudah dijadikan sebagai batang bawah pada sambung
pucuk, seperti yang dilakukan Oda (2004) antara rimbang dengan beberapa tanaman holtikultura untuk meningkatkan produksi buah di Jepang. Tarigan dan Pintubatu (2006) sudah mencoba menyambung pucuk tanaman terung belanda dengan tanaman rimbang agar pohon terung belanda tidak rubuh saat berbuah. Lahimsjah (2009) menyambung pucuk terung, tomat dan cabe ke batang rimbang (takokak) dengan alasan seni dan keindahan. Dalam upaya meningkatkan produksi suatu tanaman, pendekatan melalui aktifitas biosintesis karbohidrat (fotosintesis) dapat dilakukan, yakni dengan memanfaatkan lingkungan dan potensi tanaman seperti suhu, cahaya, jaringan tanaman dan sistem teknologi budidaya. Salah satunya dari segi potensi tanaman adalah akar. Sistem perakaran sangat berpengaruh pada porsi air yang diserap untuk fotosintesis. Makin panjang dan dalam akar menembus tanah makin banyak air yang dapat diserap sehingga mempengaruhi hasil fotosintesis. Adapun hasil dari fotosintesis disimpan pada akar, batang ataupun buah (Jumin, 1989). Menurut Winarno (1992), karakteristik bahan makanan seperti rasa, warna dan tekstur buah sangat ditentukan oleh kandungan karbohidrat terutama glukosa dan fruktosa. Keduanya adalah monosakarida sebagai dasar untuk membedakan antara gula reduksi dan gula non-reduksi yang dapat dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif. Dari uraian tersebut diatas maka peneliti tertarik untuk melakukan sambung pucuk tanaman terung belanda sebagai batang atas dengan tanaman rimbang sebagai batang bawah serta mengetahui perubahan pada produk biosintesis karbohidrat dengan
melakukan analisis kualitatif dan kuantitatif terhadap karbohidrat buah terung belanda hasil sambung pucuk dan membandingkan dengan tanpa sambung pucuk. 1.2. Perumusan Masalah. 1. Sejauhmana perubahan kadar karbohidrat pada buah terung belanda dari tanaman baru hasil sambung pucuk dibandingkan dengan tanpa sambung pucuk (blanko). 2. Bagaimana pengaruh sambung pucuk terung belanda dengan rimbang terhadap tanaman baru terung belanda. 1.3. Pembatasan masalah 1. Analisis karbohidrat pada buah terung belanda dari tanaman baru hasil sambung pucuk dan tanpa sambung pucuk (blanko) dilakukan secara kualitatif dengan metode Benedict dan secara kuantitatif ditentukan sebagai gula reduksi dengan metode Nelson Somogyi. 2. Sambung pucuk terung belanda dengan rimbang dilakukan dengan tekhnik sambung baji tanpa memperhitungkan unsur hara, waktu tanam dan ph tanah. 3. Pengamatan terhadap tanaman baru terung belanda hasil sambung pucuk dilakukan sampai 6 bulan setelah penyambungan.
1.4.Tujuan Penelitian. 1. Membandingkan kadar karbohidrat pada buah terung belanda dari tanaman baru hasil sambung pucuk dengan kadar karbohidrat pada buah terung belanda tanpa sambung pucuk (blanko). 2. Mengetahui perubahan sifat pada tanaman baru terung belanda setelah disambung pucuk dengan rimbang. 1.5. Manfaat Penelitian. Hasil penelitian ini diharapkan dapat : 1. Memberikan informasi tentang perubahan kadar karbohidrat pada buah dari tanaman baru terung belanda hasil sambung pucuk terung belanda dengan rimbang. 2. Memberikan informasi tentang pengaruh sambung pucuk antara terung belanda dengan rimbang terhadap tanaman baru terung belanda. 3. Memotivasi masyarakat khususnya petani untuk membudidayakan tanaman terung belanda sehingga dapat meningkatkan produksi buah terung belanda. 1.6. Metodologi Penelitian. Penelitian dilakukan dengan mempersiapkan batang bawah (rimbang) dan batang atas (terung belanda), kemudian disambung pucuk dengan tekhnik sambung baji. Selanjutnya dilakukan pengamatan terhadap tanaman baru terung belanda hasil sambung pucuk selama 6 bulan. Karbohidrat pada buah terung belanda hasil
sambung pucuk dan buah terung belanda blanko diuji secara kualitatif dengan pereaksi Benedict dan secara kuantitatif dengan metode Nelson Somogyi. 1.7. Waktu dan Tempat Penelitian. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Juli 2009 sampai April 2010 di kebun Balai Benih Induk Dinas Pertanian Berastagi Tanah Karo untuk sambung pucuk terung belanda dengan rimbang dan di Laboratorium Biokimia FMIPA Universitas Sumatera Utara untuk analisis karbohidrat dari buah tanaman baru terung belanda.