BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kondisi krisis ekonomi yang melanda dunia membuat banyak perusahaan besar di beberapa negara mengalami kerugian. Di satu sisi, kondisi ini menjadikan banyak usaha kecil dipuji sebagai kekuatan penyelamat ekonomi. Usaha kecil dianggap sebagai jenis usaha yang paling tahan krisis. Pada saat usaha besar dihadapkan pada kesulitan untuk membayar pinjaman luar negeri dan kesulitan untuk membiayai impor bahan baku industri, usaha kecil pada umumnya dianggap tidak menghadapi masalah serius karena karakter kegiatan produksinya yang spesifik, yaitu menggunakan sumber daya lokal, pekerja lokal, dan memanfaatkan sumber pembiayaan lokal (Soelistianingsih, 2013). Fakta yang terjadi di lapangan justru menunjukkan sebaliknya. Tidak semua usaha kecil dapat lepas dari akibat buruk yang ditimbulkan akibat krisis ekonomi, meskipun memiliki sejumlah kelebihan yang memungkinkan usaha kecil dapat bertahan dalam menahan badai krisis ekonomi, (Norton dan Moore, 2006). Melonjaknya suku bunga perbankan lokal mengakibatkan banyak usaha kecil mengalami kesulitan untuk mengembalikan pokok
maupun bunga pinjaman bank. Menjadi lebih sulit ketika usaha tersebut juga masih menggunakan sebagian bahan baku impor. Selain masalah pembayaran, secara umum usaha kecil juga masih dihadapkan pada sejumlah kendala, seperti situasi dan kondisi lingkungan usaha yang tidak pasti, serta persoalan mengenai apa strategi yang tepat agar usaha dapat bertahan dan bersaing dalam lingkungan itu. Usaha kecil bersifat mudah dan terbuka untuk dimasuki oleh pemain baru, sehingga persoalan strategi menjadi satu hal yang sangat penting untuk diperhatikan oleh perusahaan. Persaingan usaha yang ketat membuat pertumbuhan perusahaan menjadi cepat tertekan karena sangat banyak dan cepatnya pemain baru yang masuk begitu melihat keberhasilan yang dicapai dalam satu bidang usaha tertentu. Sumber dari Kementrian Koperasi dan UKM tahun 2012 menunjukkan bahwa usaha kecil, yang menyerap tenaga kerja lebih dari 88% dari total penyerapan tenaga lingkungan usaha di Indonesia, hanya menguasai 42% produk domestik bruto (PDB) Indonesia. Hal ini tentu saja menjadi tantangan bagi perusahaan untuk dapat mengelola kendala-kendala yang terjadi agar dapat bertahan dan mencapai kinerja yang diharapkan. Persoalan yang sama juga dialami oleh industri kecil di Kota Mataram. Industri-industri kecil secara umum mengalami penurunan usaha. Industri
gerabah sebagai salah satu industri di Kota Mataram juga mengalami nasib yang sama. Berdasarkan statistik Kantor Dinas Perindustrian dan Perdagangan, dapat diketahui bahwa jenis industri ini mengalami penurunan jumlah unit usaha, jumlah tenaga kerja, dan nilai ekspor yang cukup tajam sebagai akibat kondisi lingkungan usaha yang diakibatkan krisis ekonomi. Berikut disajikan data mengenai industri kecil bidang industri gerabah di wilayah Kota Mataram dan sekitarnya pada tahun 2011 sampai dengan tahun 2014. Tabel 1.1 Jumlah Unit Usaha Industri Kecil Jenis Gerabah Kota Mataram Tahun 2011-2014 Tahun 2011 2012 2013 2014 Jumlah Unit Usaha 208 187 165 167 Jumlah Tenaga Kerja 3.570 3.310 2.400 2.423 Nilai Ekspor (US$) 94.913 75.277 71.277 71.000 Sumber : Kantor Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Mataram, 2015 Data pada Tabel 1.1 menunjukkan bahwa terdapat penurunan usaha pada industri gerabah di Kota Mataram. Jumlah unit usaha pada tahun 2011 berjumlah 208, pada tahun 2013 menurun menjadi 165 unit usaha yang berarti turun sebanyak 43 unit usaha (20,7%). Penurunan jumlah ini antara lain
disebabkan karena adanya penutupan sejumlah unit usaha gerabah. Jumlah kumulatif unit usaha dalam periode tersebut mengalami penurunan walaupun terdapat pula pembukaan unit usaha yang baru. Mulai dari tahun 2011 hingga tahun 2013 jumlah tenaga kerja industri gerabah mengalami penurunan yang cukup tajam. Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa tenaga kerja tahun 2012 turun sebanyak 260 orang (7%) dibandingkan tahun 2011, dan pada tahun 2013 turun sebanyak 910 orang (27%) dibandingkan tahun 2012. Nilai eskpor juga mengalami penurunan mulai tahun 2012, dan terus terjadi hingga tahun 2013. Pada tahun 2012 nilai ekspor turun sebesar US$ 18.862 (20%) dibandingkan tahun 2011, dan tahun 2013 turun sebesar US$ 4.000 (5%) bila dibandingkan tahun sebelumnya. Data Tabel 1.1 menunjukkan bahwa kinerja dari industri kecil gerabah, yang diwakiliki oleh jumlah tenaga kerja, nilai produksi, dan nilai eskpor, mengalami penurunan. Dengan melihat data-data diatas dapat dijelaskan bahwa secara umum kinerja usaha kecil industri gerabah di Kota Mataram mengalami penurunan. Penurunan jumlah unit usaha, tenaga kerja, maupun nilai ekspor tersebut secara umum diakibatkan oleh dua hal utama, yaitu akibat yang berasal dari luar unit usaha atau eksternal dan dari dalam unit usaha atau internal
(Soelistianingsih, 2013). Penyebab eksternal penurunan nilai ekspor gerabah di Kota Mataram dikarenakan sebesar 75 persen penjualan gerabah tersebut berupa ekspor ke beberapa negara seperti Amerika Serikat, Australia, Belanda, Italia, Perancis, Meksiko, Singapura, Jerman, Belgia, Selandia Baru, Spanyol, Denmark, dan Malaysia. Sisanya sebesar 25 persen dijual di pasar lokal seperti Bali dan Malang. Krisis ekonomi global pada tahun 2012 yang melanda negara-negara Eropa dan Amerika menjadi penyebab utama kejatuhan nilai ekspor gerabah Kota Mataram dikarenakan negara-negara tujuan ekspor mengurangi daya beli mereka. Akibatnya, negara-negara Eropa dan Amerika mengurangi kuota belanja impor, sehingga penjualan ekspor gerabah Kota Mataram mengalami penurunan. Selain penyebab eksternal, terdapat pula penyebab internal yang berasal dari tingkat pendidikan dan kondisi ekonomi pemilik usaha (Zhao et al., 2010). Secara umum, tingkat pendidikan pemilik usaha gerabah di Kota Mataram hanya sampai tingkat menengah pertama atau SMA, sedangkan sisanya sampai SD dan banyak yang tidak mengenyam pendidikan formal. Hampir tidak ada pemilik usaha gerabah di kota Mataram yang memiliki kesempatan mengenyam pendidikan perguruan tinggi (Soelistianingsih, 2013). Tingkat pendidikan adalah suatu proses pembelajaran jangka panjang yang dilalui oleh peserta didik dengan menggunakan prosedur yang
sistematis, terorganisir, konseptual dan teoritis yang digunakan untuk beberapa tujuan umum (Sowmya et al., 2010). Tingkat pendidikan adalah tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai, dan kemampuan yang dikembangkan. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan seseorang untuk menyerap informasi dan mengimplementasikannya dalam kehidupan seharihari, sesuai dengan bidang studi yang dipelajari. Pendidikan formal membentuk nilai bagi sesorang terutama dalam menerima hal-hal baru. Tingkat pendidikan dibedakan berdasarkan tingkatan-tingkatan, yaitu pendidikan dasar 9 tahun meliputi SD (sederajat) dan SMP (sederajat), serta pendidikan lanjut meliputi SMA (sederajat) dan pendidikan perguruan tinggi. Tingkat pendidikan seorang pemilik usaha adalah jenjang pendidikan formal mulai dari setingkat SD (sederajat), SMP (sederajat), SMA (sederajat), sampai dengan perguruan tinggi yang dimiliki oleh pemilik usaha. Semakin tinggi tingkat pendidikan formal pemilik usaha, maka dalam mengambil keputusan akan memperhitungkan lebih banyak informasi baik keuntungan maupun risiko. Hal ini tentu membawa dampak positif bagi usaha yang dijalankan. Selain pendidikan formal, pendidikan pemilik usaha mengenai ilmu kewirausahaan juga menjadi faktor penting yang mempengaruhi kondisi usaha yang dijalankan (Sowmya et al., 2010). Ilmu mengenai kewirausahaan
mencakup ilmu mengenai cara memulai sebuah usaha, menjalankan usaha, sampai memenangkan persaingan usaha. Beberapa diantaranya termasuk strategi yang dapat dijalankan oleh sebuah usaha agar dapat memenangkan persaingan usaha, seperti inovasi produk dan pelayanan, pemasaran yang tepat, dan penghematan biaya operasional. Dengan mempelajari dan mempraktikkan ilmu kewirausahaan, pemilik usaha dapat mengambil tindakan terbaik untuk memenangkan persaingan usaha. De Clercq et al. (2010) menyatakan bahwa kinerja perusahaan merupakan sebuah ukuran yang umum digunakan untuk mengukur dampak dari strategi perusahaan yang dijalankan. Penurunan kinerja yang terjadi pada industri gerabah di Kota Mataram tentu menjadi masalah dan menjadi tantangan bagi perusahaan untuk terus dapat mempertahankan kinerja perusahaan melalui penetapan dan penerapan strategi agar perusahaan dapat bertahan di dalam industri. Teori manajemen menyatakan bahwa pendekatan orientasi kewirausahaan dalam pembuatan keputusan adalah hal yang sangat penting bagi kesuksesan sebuah organisasi. Proses pembuatan keputusan merefensikan penerapan sebuah entrepreneurial orientations (Lumpkin et al., 2009).
Penerapan konsep orientasi kewirausahaan pada perusahaan terdapat dalam literatur strategi bisnis. Runyan et al. (2008) memberikan konsep operasional dari orientasi kewirausahaan, yaitu menjadi yang pertama dalam inovasi produk pasar, berani mengambil risiko, dan melakukan tindakan proaktif untuk dapat mengalahkan pesaing. Perusahaan yang menggunakan pendekatan kewirausahaan dalam membuat strategi bisnis adalah perusahaan yang unik bila dibandingkan dengan perusahaan lain. Hasil penelitian Lumpkin et al. (2009) menyatakan bahwa perusahaan dengan orientasi kewirausahaan adalah pengambil risiko, tidak seperti perusahaan konservatif yang sifatnya cenderung bertahan dan menghindari risiko sebagai upaya untuk melindungi keberhasilan perusahaan yang lalu. Perusahaan yang berada dalam kondisi ketidakpastian lingkungan usaha, orientasi kewirausahaan merupakan suatu pendekatan bisnis yang penting untuk memenangkan persaingan usaha. Lingkungan usaha memiliki peran penting bagi perusahaan. Lingkungan usaha mewakili elemen ketidakpastian bagi perusahaan, yang memiliki karakter berupa lingkungan yang heterogen (environmental heterogeneity), lingkungan yang dinamis (environmental dynamism), dan tidak dapat diprediksi (unpredictable). Covin dan Slevin (2006) juga menyatakan bahwa lingkungan usaha adalah faktor kontekstual yang memiliki pengaruh kuat dalam strategi perusahaan. Beberapa literatur strategi bisnis mendukung
pandangan yang menyatakan bahwa perusahaan perlu memperhatikan peran lingkungan usahanya dalam membuat keputusan. Zahra (2008) menyatakan bahwa lingkungan usaha memoderasi pengaruh antara kewirausahaan perusahaan (inovasi, pengambilan risiko, dan sikap proaktif) terhadap kinerja perusahaan. Iqbal (2014) dalam studinya terhadap 143 usaha kecil industri kuliner di Kota Bandung, menyatakan bahwa orientasi kewirausahaan secara positif berhubungan dengan kinerja yang sukses apabila perusahaan memperhatikan lingkungan usahanya. Dalam penelitian lain, Harris et al. (2007) memberikan bukti bahwa ketidakpastian lingkungan usaha memoderasi secara signifikan pengaruh orientasi kewirausahaan terhadap kinerja perusahaan. Zhou dan Li (2007) juga menemukan bahwa strategi kewirausahaan memberikan kontribusi yang tinggi bagi perusahaan-perusahaan yang berhadapan dengan ketidakpastian lingkungan usaha. Strategi merupakan variabel penting lain yang berfungsi untuk mengarahkan tindakan perusahaan untuk mencapai tujuan utama yaitu kinerja. Pemilihan dan penerapan strategi adalah dua hal yang sangat penting dalam pencapaian tujuan perusahaan. Su dan Li (2011) menyatakan bahwa terdapat beberapa peneliti yang memberikan penjelasan mengenai karakteristik strategi, namun klasifikasi yang paling banyak mendapatkan perhatian adalah klasifikasi strategi dari Michael Porter. Pada teori strategi keunggulan
bersaing disebutkan bahwa terdapat tiga strategi perusahaan untuk memenangkan persaingan usaha, yaitu strategi diferensiasi, strategi kepemimpinan biaya, dan strategi fokus. Strategi diferensiasi menyatakan bahwa perusahaan harus membangun keunggulan kompetitif dan mendapatkan loyalitas konsumen melalui desain inovatif, image produk yang menarik dan unik, dan teknik pemasaran yang superior. Sebaliknya, perusahaan yang menggunakan strategi kepemimpinan biaya (cost leadership) berusaha terus-menerus untuk membuat produk dengan biaya yang lebih rendah dibandingkan dengan pesaing. Strategi fokus adalah kombinasi dari strategi diferensiasi atau kepemimpinan biaya yang diterapkan pada target kelompok konsumen yang lebih sempit. Miller (2004) kemudian memodifikasi kerangka kerja dari Porter. Dalam penelitiannya, ia mengajukan dua tipe strategi diferensiasi, yaitu diferensiasi pemasaran (marketing differentiation) dan diferensiasi inovatif (innovative differentiation) sebagai pengganti dimensi fokus. Miller (2004) menggunakan tiga dimensi strategi keunggulan bersaing yaitu dimensi kepemimpinan biaya (cost leadership), diferensiasi pemasaran (marketing differentitation), dan diferensiasi inovatif (innovative differentiation). Miller (2004) mengukur strategi ini tidak sebagai tipe yang absolut, tetapi sebagai dimensi-dimensi yang dapat dinilai tinggi atau rendah. Beberapa studi telah menunjukkan
bahwa dimensi-dimensi strategi ini sesuai dan mempunyai hubungan erat (Su dan Li, 2011; Ananda et al., 2009). Acs dan Varga (2005) melakukan penelitian terhadap 103 perusahaan ritel minuman ringan dan menemukan bahwa strategi diferensiasi pemasaran dan diferensiasi inovasi memoderasi pengaruh pembuatan strategi perusahaan terhadap kinerja perusahaan. Semakin tinggi penggunaan strategi diferensiasi pemasaran dan inovasi dalam perusahaan yang berorientasi kewirausahaan, maka akan meningkatkan kinerja perusahaan. Domke et al. (2008) melakukan penelitian terhadap 138 usaha kecil industri konveksi di Amerika dan Jerman, menemukan bahwa perusahaan yang aktif menciptakan produk yang unik, bervariasi, serta memberikan pelayanan lebih kepada pelanggan akan meningkatkan kinerja perusahaan. Domke et al. (2008) menemukan bahwa faktor diferensiasi pemasaran memoderasi pengaruh perusahaan yang berorientasi kewirausahaan terhadap kinerjanya. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa penggunaan strategi keunggulan bersaing akan semakin meningkatkan kinerja perusahaan yang berorientasi kewirausahaan dalam kegiatan operasionalnya. Levenbuth dan Schwarz (2008) juga mendukung hasil penelitian dengan melakukan penelitian terhadap 127 usaha kecil industri mebel di India, dan menemukan bahwa strategi keunggulan bersaing memoderasi pengaruh
orientasi kewirausahaan terhadap kinerja perusahaan. Temuan tersebut menunjukkan bahwa usaha kecil industri mebel aktif melakukan perubahan dalam cara mereka menjual barang dan selalu menghadirkan bentuk ataupun model barang yang terbaru. Banyak peneliti yang melakukan penelitian mengenai bagaimana kesesuaian hubungan antara strategi dan lingkungan usaha dapat berpengaruh terhadap kinerja perusahaan (Wiklund dan Shepherd, 2005; Frese 2009; Iqbal, 2014; Haryadi 2015). Kesesuaian dan keselarasan antara strategi dan lingkungan usaha inilah yang merupakan dasar dari teori kontingensi. Teori kontingensi menyatakan bahwa kesesuaian hubungan antara lingkungan usaha dan strategi akan membawa hasil pada kinerja perusahaan yang memuaskan (Chang et al., 2007). Ismawanti (2008) menyatakan bahwa semakin tidak pasti suatu lingkungan usaha, semakin dinamis dan tidak dapat diprediksi suatu lingkungan usaha, maka kesesuaian penggunaan orientasi kewirausahaan dengan lingkungan usaha mempunyai peranan yang sangat penting bagi suatu perusahaan. Wang (2008) dalam penelitiannya menyatakan bahwa interaksi orientasi kewirausahaan dengan lingkungan usahanya serta interaksi orientasi kewirausahaan dengan strategi keunggulan bersaing, berpengaruh positif terhadap kinerja perusahaan. Situasi krisis global yang melanda negara-negara Eropa dan Amerika cukup berimbas pada ekonomi Indonesia pada umumnya, khususnya industri
gerabah di Kota Mataram. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan pandangan mengenai peran lingkungan usaha dan strategi keunggulan bersaing sebagai pemoderasi pengaruh orientasi kewirausahaan terhadap kinerja perusahaan gerabah di Kota Mataram. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut maka dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut: 1) Bagaimanakah pengaruh orientasi kewirausahaan terhadap kinerja perusahaan? 2) Bagaimanakah peran lingkungan usaha memoderasi pengaruh orientasi kewirausahaan terhadap kinerja perusahaan? 3) Bagaimanakah peran strategi keunggulan bersaing memoderasi pengaruh orientasi kewirausahaan terhadap kinerja perusahaan?
1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang telah disusun, maka tujuan penelitian tersebut adalah: 1) Untuk menjelaskan pengaruh orientasi kewirausahaan terhadap kinerja perusahaan. 2) Untuk menjelaskan peran lingkungan usaha sebagai pemoderasi orientasi kewirausahaan terhadap terhadap kinerja perusahaan. 3) Untuk menjelaskan peran strategi keunggulan bersaing sebagai pemoderasi orientasi kewirausahaan terhadap terhadap kinerja perusahaan. 1.4 Manfaat Penelitian 1) Manfaat teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam bidang orientasi kewirausahaan yang berkaitan dengan pencapaian kinerja perusahaan. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat dijadikan referensi bagi penelitian selanjutnya yang akan melakukan penelitian dengan variabel yang sama di masa mendatang.
2) Manfaat praktis Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi usaha kecil industri gerabah di Kota Mataram untuk menggunakan orientasi kewirausahaan dalam operasional bisnisnya dengan tujuan meningkatkan kinerja perusahaan. Kondisi tersebut dimoderasi oleh peran lingkungan usaha dan penggunaan strategi keunggulan bersaing untuk melihat perubahan pengaruh dari penggunaan sikap orientasi kewirausahaan dalam meningkatkan kinerja perusahaan. Hasil penelitian ini juga dapat dijadikan bahan pertimbangan kepada usaha-usaha kecil di Kota Mataram dalam menerapkan strategi untuk meningkatkan kinerja perusahaan.