BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Resiliensi Pada Mahasiswa Tahun Pertama Program Kelas Karyawan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. paling penting dalam pembangunan nasional, yaitu sebagai upaya meningkatkan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. tekanan internal maupun eksternal (Vesdiawati dalam Cindy Carissa,

RESILIENSI PADA MAHASISWA TAHUN PERTAMA PROGRAM KELAS KARYAWAN DITINJAU DARI KONSEP DIRI

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. merawat dan memelihara anak-anak yatim atau yatim piatu. Pengertian yatim

Perkembangan Sepanjang Hayat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. manusia yang dianggap sebagai fase kemunduran. Hal ini dikarenakan pada

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Resiliensi. Sedangkan Hildayani (2005) menyatakan resiliensi atau ketangguhan adalah suatu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Setiap manusia pasti memiliki masalah dalam hidup. Kita juga pernah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Efikasi Diri. Menurut Bandura (1997) Efikasi diri merupakan bagian penting dalam

BAB II KERANGKA TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Kekerasan dalam Rumah Tangga

BAB 2 LANDASAN TEORI. Teori yang akan dibahas dalam bab ini adalah teori mengenai self-efficacy dan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari masa anak menuju masa dewasa, dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dianggap sebagai masa topan badai dan stres, karena remaja telah memiliki

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. identitas dan eksistensi diri mulai dilalui. Proses ini membutuhkan kontrol yang

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well Being. menerima dirinya apa adanya, membentuk hubungan yang hangat dengan

BAB I PENDAHULUAN. terjadi pada waktu dan tempat yang kadang sulit untuk diprediksikan. situasi

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB II. Tinjauan Pustaka

Pengaruh Dukungan Sosial terhadap Resiliensi pada Ibu yang Memiliki Anak Autis Penulisan Ilmiah

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. merupakan masa yang banyak mengalami perubahan dalam status emosinya,

BAB II TINJAUAN TEORITIS. A. Karyawan PT. INALUM. capital, yang artinya karyawan adalah modal terpenting untuk menghasilkan nilai

1. PENDAHULUAN. Gambaran resiliensi dan kemampuan...dian Rahmawati, FPsi UI, Universitas Indonesia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Individu yang hidup pada era modern sekarang ini semakin. membutuhkan kemampuan resiliensi untuk menghadapi kondisi-kondisi

BAB I PENDAHULUAN. sosial, sehingga dapat menurunkan kualitas hidup individu. Salah satu jenis

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Motivasi Bekerja. Kata motivasi ( motivation) berasal dari bahasa latin movere, kata dasar

A. Remaja. Istilah remaja atau adolescence berasal dari kata latin adolescere yang berarti

Menurut Benard (1991), resiliensi memiliki aspek-aspek sebagai berikut:

BAB II LANDASAN TEORI. berhubungan dengan orang lain. Stuart dan Sundeen (dalam Keliat,1992).

BAB II KAJIAN TEORI. 2010:523) menyatakan bahwa self efficacy mempengaruhi pilihan aktivitas

BAB II LANDASAN TEORI. mau dan mampu mewujudkan kehendak/ keinginan dirinya yang terlihat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. laku serta keadaan hidup pada umumnya (Daradjat, 1989). Pendapat tersebut

BAB I PENDAHULUAN. Di dalam kehidupannya, individu sebagai makhluk sosial selalu

NURUL ILMI FAJRIN_ Jurusan Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. RESILIENSI. Kata resiliensi berasal dari bahasa latin yang dalam bahasa inggris

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah internasional adalah sekolah yang melayani siswa yang berasal dari sejumlah

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan pria dan wanita. Menurut data statistik yang didapat dari BKKBN,

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang unik dan terus mengalami perkembangan di

BAB I PENDAHULUAN. ketidakmampuan. Orang yang lahir dalam keadaan cacat dihadapkan pada

BAB II LANDASAN TEORI. Locus of control merupakan salah satu variabel kepribadian (personility),

RESILIENSI PADA MAHASISWA FAKULTAS PSIKOLOGI YANG TERLAMBAT MENYELESAIKAN SKRIPSI DI UNIVERSITAS X

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan yang khas yang menghadapkan manusia pada suatu krisis

BAB I PENDAHULUAN. sampai akhir hayat. Belajar bukan suatu kebutuhan, melainkan suatu. berkembang dan memaknai kehidupan. Manusia dapat memanfaatkan

BAB II LANDASAN TEORI. yang terbentuk melalui pengalaman-pengalaman yang diperoleh dari interaksi

BAB I PENDAHULUAN. Dalam dua dasawarsa terakhir ini, perubahan yang terjadi dalam berbagai

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. kali oleh seorang psikiater asal Inggris bernama John Bowlby pada tahun 1969.

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan periode yang penting, walaupun semua periode

Resiliensi pada Remaja Wanita yang Mengalami Kekerasan Seksual. Nama : Yudha Ardhiyanto Kelas : 3 PA 01 NPM : Pembimbing : Diana Rohayati

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Panti asuhan merupakan lembaga yang bergerak dibidang sosial untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. yang dikenal dengan istilah adolescence merupakan peralihan dari masa kanakkanak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Identity Achievement. (Kartono dan Gulo, 2003). Panuju dan Umami (2005) menjelaskan bahwa

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. coba-coba (bereksperimen) untuk mendapatkan rasa senang. Hal ini terjadi karena

BAB I PENDAHULUAN. Masa sekarang masyarakat dihadapkan pada masalah-masalah kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kesehatan merupakan sesuatu yang sangat berharga bagi setiap manusia.

BAB 1 PENDAHULUAN. remaja yang masuk ke Komnas Remaja tahun itu, sebanyak kasus atau

BAB II KAJIANPUSTAKA. (penderitaan) lainnya (Smet, 1990 dalam Desmita, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. Krisis multidimensional dalam bidang ekonomi, politik, dan budaya yang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. lain. Menurut Supratiknya (1995:9) berkomunikasi merupakan suatu

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting di dalam suatu kehidupan. manusia. Teori Erikson memberikan pandangan perkembangan mengenai

BAB II KAJIAN TEORI. seseorang karena konsep diri merupakan kerangka acuan (frame of reference) dalam

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan adalah suatu usaha atau kegiatan yang dijalankan dengan

Bab 2 TINJAUAN PUSTAKA. Kondisi psikis atau mental akan mempengaruhi performa atlet baik saat latihan

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan di sekolah, potensi individu/siswa yang belum berkembang

DAFTAR PERTANYAAN WAWANCARA

BAB II LANDASAN TEORI. A. Resiliensi. bahasa resiliensi merupakan istilah bahasa inggris

BAB II LANDASAN TEORI. yang luar biasa, yang tidak lazim memadukan informasi yang nampaknya tidak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terbatas pada siswa baru saja. Penyesuaian diri diperlukan remaja dalam menjalani

MODUL PERKULIAHAN. Kesehatan Mental. Kesehatan Mental yang Berkaitan dengan Kesejahketaan Psikologis (Penyesuaian Diri)

GAMBARAN KETANGGUHAN DIRI (RESILIENSI) PADA MAHASISWA TAHUN PERTAMA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. memiliki rasa minder untuk berinteraksi dengan orang lain.

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sesuai dengan posisi sosial yang diberikan baik secara formal maupun

BAB I PENDAHULUAN. di bidang tekhnologi, ilmu pengetahuan, ekonomi, dan pendidikan. Perubahan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Vivit Puspita Dewi, 2014

RESILIENSI PADA PENYANDANG TUNA DAKSA PASCA KECELAKAAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai

RESILIENSI PADA PENYINTAS PASCA ERUPSI MERAPI. Naskah Publikasi. Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan dalam Mencapai Derajat Sarjana-S1

HUBUNGAN ANTARA PARTISIPASI KEIKUTSERTAAN DALAM EKSTRAKURIKULER BOLA BASKET DENGAN TINGKAT KECERDASAN EMOSIONAL

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kebahagiaan dapat dibuat menjadi tiga kategori. Pertama, subjective wellbeing

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kontrol Diri

BAB I PENDAHULUAN. mensosialisasikannya sejak Juli 2005 (

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. berhubungan dengan orang lain (Stuart & Sundeen, 1998). Potter & Perry. kelemahannya pada seluruh aspek kepribadiannya.

BAB I PENDAHULUAN. Pada era gobalisasi ini, perkembangan masyarakat di berbagai bidang

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah

BAB II KAJIAN TEORI. sehari-hari. Perilaku sosial mempengaruhi penyesuaian sosial individu. Individu yang

Transkripsi:

11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Resiliensi Pada Mahasiswa Tahun Pertama Program Kelas Karyawan 1. Pengertian Resiliensi Reivich & Shatte (2003) mendefinisikan resiliensi ialah kemampuan untuk mengatasi, mengendalikan, melalui, dan bangkit kembali ketika kesulitan menerpa. Rirkin dan Hoopman (dalam Desmita, 2014) berpendapat bahwa resiliensi adalah kapasitas individu untuk bangkit kembali dalam kondisi sulit, mampu beradaptasi dalam menghadapi kesulitan, memiliki hubungan sosial yang baik, memiliki prestasi akademik, memiliki kompetensi kejuruan meskipun paparan stres berat melekat. Desmita (2014) juga mengartikan resiliensi (ketangguhan, daya lentur) adalah kemampuan atau kapasitas insani yang dimiliki oleh seorang individu, kelompok, atau masyarakat yang memungkinkannya untuk menghadapi, mencegah, meminimalkan, dan menghilangkan dampakdampak yang merugikan dari kondisi yang tidak menyenangkan, atau mengubah kondisi yang menyengsarakan menjadi suatu hal yang wajar untuk diatasi. Memasuki perguruan tinggi mendatangkan perubahan hidup bagi individu. Biasanya perubahan dialami paling sering di tahun pertama kuliah ketika memasuki perguruan tinggi (Setyowati,dkk dalam Amelia,dkk, 2014). Gunarsa (2008) mengungkapkan bahwa mahasiswa pada tahun pertama memiliki tantangan tersendiri dalam hidup, ketika individu masuk 11

12 dalam dunia kuliah, individu menghadapi berbagai perubahan mulai dari perubahan karena perbedaan sifat pendidikan sekolah menengah atas dan perguruan tinggi, perbedaan dalam hubungan sosial, pemilihan bidang studi atau jurusan, dan masalah ekonomi. Mahasiswa tahun pertama yang mengambil program kelas karyawan tentunya mengalami kesulitan dan tantangan tersendiri karena mahasiswa harus pandai membagi waktu, tenaga, dan pikiran untuk bekerja dan pada saat sore hingga malam mahasiswa harus mengikuti perkuliahan. Dari beberapa pendapat ahli di atas, peneliti menarik kesimpulan resiliensi adalah kemampuan untuk mengatasi, mengendalikan, melalui, dan bangkit kembali ketika kesulitan menerpa pada mahasiswa tahun pertama program kelas karyawan. 2. Aspek-Aspek Resiliensi Reivich & Shatte (2003) memaparkan tujuh aspek yang membentuk resiliensi, yaitu sebagai berikut: a. Regulasi emosi (Emotion regulation) Regulasi emosi adalah kemampuan untuk tetap tenang di bawah kondisi yang menekan. Individu yang resilien mampu menggunakan kemampuannya dengan baik untuk membantu mengendalikan emosi, perhatian, dan perilakunya. Regulasi emosi berperan penting untuk membetuk hubungan baik dengan orang lain, kesuksesan dalam karir, dan mempertahankan kesehatan fisik. Individu yang kesulitan meregulasi emosi sering bertindak emosional terhadap rekan kerja maupun teman-

13 temannya serta sulit untuk diajak kerjasama. Individu sulit untuk menjalin dan mempertahankan pertemanan karena individu tersebut mudah marah, jengkel, dan mudah cemas. b. Pengendalian impuls (Impulse Control) Pengendalian impuls adalah kemampuan individu untuk mengendalikan keinginan, dorongan, kesukaan, serta tekanan yang muncul dari dalam diri. Individu memiliki kemampuan pengendalian impuls yang rendah, cenderung berperilaku mudah marah, kehilangan kesabaran, impulsif, dan berperilaku agresif (Ifdil & Taufik, 2012). c. Optimis (Optimism ) Individu yang resilien adalah individu yang optimis. Individu tersebut percaya semua hal dapat berubah lebih baik. Individu memiliki harapan terhadap masa depan dan percaya dapat mengontrol arah hidupnya.. Dibandingkan dengan individu yang pesimistik, individu yang optimis memiliki kesehatan fisik yang lebih baik, tidak cenderung mengalami depresi, melakukan hal-hal baik disekolah, lebih produkti dalam bekerja, dan memiliki prestasi di bidang olahraga. Individu yang optimis menandakan individu percaya bahwa individu tersebut memiliki kemampuan untuk mengatasi kesulitan yang pasti datang di masa depan.. d. Analisis penyebab (Causal Analysis) Analisis penyebab merujuk pada kemampuan individu untuk mengidentifikasikan secara akurat penyebab dari permasalahan yang dihadapi. Individu yang tidak mampu mengidentifikasikan penyebab dari

14 permasalahan yang dihadapi secara akurat akan terus menerus berbuat kesalahan yang sama. Individu juga tidak terfokus pada faktor-faktor yang berada di luar kendalinya, sebaliknya individu memfokuskan dan memegang kendali penuh pada pemecahan masalah, individu secara perlahan mulai mengatasi permasalahan yang ada dan mengarahkan hidup untuk bangkit dan meraih kesuksesan. e. Empati (Empathy) Empati adalah kemampuan individu untuk dapat memahami perasaan dan membaca tanda-tanda kondisi emosional dan psikologis orang lain. Individu dapat memahami dan mengenali keadaan non-verbal seseorang, mulai dari ekspresi wajah, nada bicara, bahasa tubuh, mampu memastikan apa yang dipikirkan dan dirasakan orang lain. Individu yang punya kemampuan berempati mempunyai hubungan personal yang baik, individu mampu merasakan dan memahami apa yang dialami orang lain. Individu dengan empati yang rendah cenderung mengulang pola yang dilakukan oleh individu yang tidak resilien, yaitu menyamaratakan semua keinginan dan emosi orang lain. f. Efikasi diri (Self-efficacy) Efikasi diri menunjukkan individu percaya bahwa individu tersebut dapat mengatasi permasalahan-permasalahan yang mungkin akan dialami dan mempercayai kemampuannya untuk sukses. Individu dengan efikasi diri tinggi memiliki komitmen dalam memecahkan masalahnya dan tidak akan menyerah ketika menemukan bahwa strategi yang sedang

15 digunakan itu tidak berhasil. Individu tidak merasa ragu dalam menghadapi tantangan karena memiliki kepercayaan yang penuh dengan kemampuan dirinya. Individu ini akan cepat menghadapi masalah dan mampu bangkit dari kegagalan yang dialami. Berbeda dengan individu yang tidak memiliki kepercayaan bahwa individu tersebut mampu mencapai kesuksesan, individu lebih pasif ketika dihadapkan pada suatu permasalahan. Individu dengan efikasi diri rendah juga menghindari pengalaman-pengalaman baru, berasumsi tidak mampu menghadapi tantangan dalam situasi yang baru. g. Pencapaian aspek positif (Reaching out) Resiliensi merupakan kemampuan individu meraih aspek positif dari kehidupan setelah kemalangan yang menimpa. Individu yang reach out memberikan kepercayaan diri untuk mengambil tanggung jawab baru di tempat kerja, menghilangkan resiko malu ketika mendekati seseorang yang ingin dikenal, serta memberikan keberanian untuk mencari pengalaman yang menantang sebagai sarana untuk belajar lebih mengenal diri dan menjalin hubungan yang baik dengan orang lain serta mampu menilai atau mempertimbangkan resiko. Wolin dan Wolin (dalam Desmita, 2014) mengemukakan tujuh aspek utama yang dimiliki oleh individu yang resilien, yaitu: a. Berwawasan (Insight) Insight yaitu proses perkembangan individu dalam merasa, mengetahui, dan mengerti masa lalunya untuk mempelajari perilaku-perilaku yang

16 lebih tepat. Keasadaran kritis seseorang terhadap kesalahan atau penyimpangan yang terjadi dalam lingkungan yang ditunjukkan dengan perkembangan persepsi tentang apa yang salah dan menganalisis mengapa ia salah. b. Independen (Independence) Independen yaitu kemampuan individu untuk menghindar atau menjauhkan diri dari keadaan yang tidak menyenangkan dan otonomi dalam bertindak. Independen juga merupakan kemampuan untuk mengambil jarak secara emosional maupun fisik dari sumber masalah (lingkungan dan situasi yang bermasalah). c. Hubungan (Relationships) Individu yang resilien mampu mengembangkan hubungan yang jujur, saling mendukung dan berkualitas bagi kehidupan, memiliki role model yang baik. Relationships juga merupakan upaya seseorang menjalin hubungan atau berinteraksi dengan orang lain. d. Inisiatif (Initiative) Inisiatif yaitu keinginan yang kuat untuk bertanggung jawab terhadap hidupnya. Inisiatif individu dapat terlihat dari individu tersebut melakukan eksplorasi terhadap lingkungan dan kemampuan individu dalam mengambil peran/bertindak.

17 e. Kreativitas (Creativity) Kreativitas yaitu kemampuan memikirkan berbagai pilihan, konsekuensi, dan alternatif dalam menghadapi tantangan hidup. Kreativitas dapat ditunjukkan melalui permainan-permainam kreatif dan pengungkapan diri. f. Humor (Humor) Humor adalah kemampuan individu untuk mengurangi beban hidup dan menemukan kebahagiaan dalam situasi apapun. Individu dapat mengungkapkan perasaan humor di tengah situasi yang menegangkan atau dapat mencairkan suasana kebekuan. g. Moralitas (Morality ) Moralitas adalah kemampuan individu untuk berperilaku atas dasar hati nuraninya. Individu dapat memberikan kontribusinya dan membantu orang yang membutuhkan. Moralitas juga merupakan pertimbangan seseorang tentang baik dan buruk, mendahulukan kepentingan orang lain dan bertindak dengan integritas. Berdasarkan pendapat-pendapat ahli diatas, dapat diperoleh kesimpulan bahwa aspek-aspek resiliensi menurut Reivich & Shatte (2003) yaitu; regulasi emosi, pengendalian impuls, optimis, analisis penyebab, empati, efikasi diri, Pencapaian aspek positif, sedangkan aspek-aspek resiliensi menurut Wolin dan Wolin (dalam Desmita, 2014) yaitu; berwawasan, independen, hubungan, inisiatif, kreativitas, humor, moralitas. Dari penjabaran aspek-aspek resiliensi dari beberapa pendapat ahli diatas, peneliti akan menggunakan aspek-aspek resiliensi menurut Reivich &

18 Shatte sebagai indikator untuk penyusunan skala, yaitu meliputi; regulasi emosi, pengendalian impuls, optimis, analisis penyebab, empati, efikasi diri, pencapaian aspek positif, karena aspek-aspek tersebut lebih rinci sehingga diharapkan dapat mengungkap data lebih dalam tentang resiliensi. Dari studi pustaka yang dilakukan peneliti, aspek-aspek resiliensi dari Reivich & Shatte banyak digunakan dalam penelitian yang digunakan sebagai skala untuk mengukur resiliensi seperti penelitian Amelia, dkk (2014), Taufik & Ifdill (2012), Pasudevi (2012), Abidin (2011), Poetry (2010). 3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Resiliensi Everall, dkk (2006) memaparkan tiga faktor yang mempengaruhi resiliensi, yaitu: a. Faktor individual Faktor individual yang mempengaruhi resiliensi meliputi 1) kemampuan kognitif individu; 2) konsep diri; 3) harga diri; 4) kompetensi sosial yang dimiliki individu. 1) Kemampuan kognitif individu Salah satu temuan yang paling konsisten di seluruh studi tentang resiliensi adalah hubungan positif antara resiliensi dan fungsi kognitif (Masten et al,; Richman & Fraser; Smith & Carlson; Smokowski, Reynolds & Bezruczko; Werner, dalam Everall, dkk, 2006). Levine (dalam Everall, dkk, et al., 2006) menyatakan bahwa meskipun kemampuan kognitif dapat meningkatkan resiliensi, namun

19 kemampuan kognitif bukan hanya IQ tetapi pemahaman yang tepat seseorang terhadap orang lain dan diri sendiri dalam berbagai situasi. Pada diri individu untuk berkembangnya resiliensi sangat terkait erat dengan kemampuan untuk memahami dan menyampaikan sesuatu lewat bahasa yang tepat, melalui kemampuan membaca, dan berkomunikasi secara non verbal. Resiliensi juga dikaitkan dengan kemampuan individu untuk melepaskan pikiran dari trauma dengan memanfaatkan fantasi dan harapan yang ditumbuhkan pada diri individu yang bersangkutan. Dengan demikian diyakini bahwa individu yang memiliki intelegensi yang tinggi memiliki resilien yang lebih tinggi juga dibandingkan dengan individu berintelegensi rendah. 2) Konsep diri Konsep diri yang positif dapat berkontribusi untuk resiliensi individu (Dumont & Provost; Hauser; Hollister-Wagner et al.; Rutter; Werner, dalam Everall, dkk, 2006). Berzonsky (1981) mendefinisikan konsep diri adalah gambaran yang dimiliki individu tentang dirinya, yang terdiri dari diri secara fisik, sosial, moral, dan psikis. Konsep diri positif dapat mendukung rasa penguasaan diri untuk berprestasi, berhasil dalam mengerjakan tugas atau dari keahlian khusus yang dimiliki atau bakat yang dihargai oleh orang lain, keluarga, teman sebaya, dan masyarakat (Dugan; Howard & Johnson; Rutter, dalam Everall, dkk, 2006).

20 Penelitian Cholily (2014) tentang konsep diri dengan resiliensi pada mahasiswa juga dapat diketahui bahwa nilai koefisien korelasi sebesar 0.450 dan nilai signifikansi sebesar 0.000. Berdasarkan nilai koefisien diatas, disimpulkan bahwa semakin tinggi konsep diri mahasiswa maka semakin tinggi pula resiliensi mahasiswa tersebut, sebaliknya semakin rendah konsep diri mahasiswa maka semakin rendah pula resiliensi mahasiswa tersebut. Penelitian lain oleh Amalia (2015) juga menyatakan bahwa konsep diri memiliki konstribusi yang positif terhadap resiliensi sehinga semakin positif konsep diri maka semakin tinggi resiliensi remaja tersebut, sebaliknya semakin negatif konsep diri maka semakin rendah resiliensi remaja tersebut, sehingga hal ini mencerminkan bahwa memiliki konsep diri menjadi salah satu cara untuk dapat meningkatan daya resiliensi individu. 3) Harga diri Harga diri yang positif juga dapat berkontribusi untuk resiliensi individu (Dumont & Provost; Hauser; Hollister-Wagner et al.; Rutter; Werner, dalam Everall, dkk, 2006). Harga diri juga merupakan sebuah faktor yang dapat dianggap sebagai aset atau sumber daya dari pada resiliensi (Ekasari dan Andriyani, 2013). Harga diri adalah penilaian diri yang dilakukan oleh seorang individu dan biasanya berkaitan dengan dirinya sendiri, penilaian tersebut mencerminkan sikap penerimaan atau penolakan dan menunjukkan seberapa jauh individu percaya bahwa dirinya mampu,

21 penting, berhasil dan berharga. Dari hasil penelitian diketahui pula bahwa terdapat hubungan antara harga diri (self-esteem) dengan resiliensi. Semakin tinggi tingkat harga diri (self esteem) maka semakin tinggi pula resiliensi, begitu sebaliknya (Ekasari dan Andriyani, 2013). 4) Kompetensi sosial Faktor individual lain ialah kompetensi sosial. Individu yang resilien cenderung memiliki keterampilan sosial yang kuat dan kecakapan dengan komunikasi interpersonal (Hollister-Wagner et al.; Howard & Johnson; Luthar; Smith & Carlson; Werner dalam Everall, dkk, 2006). Selain itu, humor, empati, fleksibilitas, dan perangai mudah bergaul juga meningkatkan kemampuan bersosialisasi (Bernard; Fraser & Richman; Levine; Richardson et al.; Rutter dalam Everall, dkk, 2006). b. Faktor keluarga Faktor keluarga meliputi dukungan orang tua, yaitu bagaimana cara orang tua memperlakukan dan melayani anak. Keterkaitan emosional dan batin antara anggota keluarga sangat diperlukan dalam mendukung pemulihan individu mengalami stress dan trauma. Keterikatan para anggota keluarga amat berpengaruh dalam pemberian dukungan terhadap anggota keluarga yang mengalami musibah untuk dapat pulih dan memandang kejadian tersebut secara objektif. Begitu juga menumbuhkan dan meningkatan resiliensi.

22 Selain dukungan dari orang tua struktur keluarga juga berperan penting bagi individu. Struktur keluarga yang lengkap terdiri dari ayah, ibu dan anak akan mudah menumbuhkan resiliensi dan sebaliknya keutuh dapat menghambat tumbuh kembang resiliensi (Ekasari dan Andriyani, 2013). c. Faktor eksternal/komunitas Bagi beberapa individu, keterlibatan dalam hubungan dan ekstrakurikuler kegiatan di luar rumah membantu berkembangnya resiliensi. Hal ini dapat menjadi sangat penting bagi individu yang berasal dari lingkungan keluarga yang bermasalah, di mana penggunaan dukungan eksternal sistem dan partisipasi dalam olahraga, hobi, atau kegiatan agama memberikan bantuan akibat stres yang berasal dari kehidupan keluarga dan mengekspos individu untuk berada pada kondisi yang lebih menguntungkan untuk pengembangan dirinya (Gore & Aseltine; Rutter; Smith &Carlson; Smokowski et al., dalam Everall, dkk, 2006). Berdasarkan penelitian Bonanno & Galea (2007), resiliensi dipengaruhi oleh 7 faktor, yaitu: a. Jenis Kelamin Laki-laki memiliki tingkat resiliensi yang lebih tinggi karena mampu beradaptasi dengan berbagai macam kondisi untuk mengubah keadaan dan fleksibel dalam memecahkan masalah, sedangkan perempuan memiliki tingkat resiliensi lebih rendah karena memiliki fleksibilitas adaptif yang kecil, tidak mampu untuk bereaksi terhadap perubahan keadaan,

23 cenderung keras hati atau menjadi kacau ketika menghadapi perubahan atau tekanan, serta mengalami kesukaran untuk menyesuaikan kembali setelah mengalami pengalaman traumatik (Einsenberg dkk, dalam Rinaldi 2010). b. Usia Pada penelitian Bonanno & Galea (2007), ditemukan bahwa partisipan dengan usia lebih muda menujukkan reaksi ekstrem serta memiliki potensi trauma yang lebih besar ketika diterpa kesulitan atau masalah. Partisipan yang berumur lebih dari 65 tahun lebih memiliki resiliensi dibandingkan dengan partisipan dengan usia muda (18-24 tahun). c. Tingkat Pendidikan Partisipan penelitian dengan pendidikan lulusan perguruan tinggi hanya memiliki peluang sekitar setengah untuk menjadi individu yang lebih resilien dibandingkan dengan partisipan dengan pendidikan sekolah menengah pertama atau dibawahnya. d. Pendapatan Pada penelitian ini terbukti bahwa tingkat pendapatan terkait dengan resiliensi. Rendahnya pendapatan tetap menjadi prediktor signifikan dari resiliensi, meskipun variabel sosial ekonomi dan demografi lainnya dapat dikendalikan. e. Dukungan Sosial Dukungan sosial telah terbukti berkontribusi untuk pemulihan dari trauma dari waktu ke waktu (Koenen, Stellman, Stellman,& Sommer, dalam

24 Bonanno & Galea 2007). Secara umum dukungan sosial dipandang dan dikaitkan dengan kesehatan dan kesejahteraan. Namun, temuan dalam penelitian ini, hal ini tidak jelas terbukti bahwa dukungan sosial berhubungan dengan resiliensi. f. Tidak adanya penyakit kronis Tidak adanya penyakit kronis sangat terkait dengan resiliensi individu. Individu yang memiliki penyakit kronis memiliki kemungkinan untuk mengalami penurunan tingkat resiliensi. g. Stres Kronis Ong, Bergeman, dan Bisconti (dalam Bonanno & Galea 2007) menemukan bahwa stres kronis karena kematian pasangan hidup mengakibatkan berkuranganya diferensiasinya emosional, yang pada akhirnya tersirat hubungan bahwa stres kronis dapat mengurangi resiliensi dalam menghadapi kehilangan. Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa menurut Everall, dkk (2006) resiliensi dipengaruhi oleh; a) faktor internal yang meliputi kemampuan kognitif, konsep diri, harga diri, kompetensi sosial yang dimiliki individu; b) faktor keluarga meliputi dukungan orang tua dan struktur keluarga komunitas; c) faktor eksternal/komunitas berupa keterlibatan dalam hubungan dan kegiatan ekstrakurikuler, sedangkan menurut Bonanno & Galea (2007) terdapat 7 faktor yang mempengaruhi resiliensi, yaitu jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, pendapatan, dukungan sosial, tidak adanya penyakit kronis, dan stres kronis.

25 Adapun faktor yang dipilih dalam penelitian ini ialah faktor individual yang didalamnya ada konsep diri, sehingga pada penelitian ini peneliti menjadikan konsep diri sebagai variabel prediktor. Peneliti menjadikan konsep diri sebagai variabel prediktor karena individu yang memiliki konsep diri tinggi akan membuat individu lebih optimis, penuh percaya diri dan selalu bersikap positif terhadap segala sesuatu, juga terhadap kegagalan yang dialaminya serta individu mampu menghargai dirinya dan melihat hal-hal positif yang dapat dilakukan demi keberhasilan di masa yang akan datang (Rini dalam Nur & Ekasari, 2008). Hal ini sejalan dengan penelitian Cholily (2014) yang menemukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara konsep diri dengan resiliensi. Semakin tinggi konsep diri mahasiswa maka semakin tinggi pula resiliensi mahasiswa tersebut. B. Konsep Diri 1. Pengertian Konsep Diri Berzonsky (1981) mendefinisikan konsep diri adalah gambaran yang dimiliki individu tentang dirinya, yang terdiri dari diri secara fisik, sosial, moral, dan psikis. Hurlock (2010) mendefinisikan konsep diri ialah gambaran yang dimiliki individu tentang dirinya. Konsep diri ini merupakan gabungan dari keyakinan yang dimiliki individu tentang dirinya yang mencakup citra fisik dan psikologis individu. Fitts (dalam Agustiani, 2009) juga berpendapat bahwa konsep diri adalah kerangka acuan (frame of reference) dalam berinteraksi dengan lingkungan. Individu mampu mempersepsikan dirinya, bereaksi terhadap dirinya,

26 memberikan arti dan penilaian serta membentuk abstraksi tentang dirinya. Agustiani (2009) mengartikan konsep diri ialah gambaran yang dimiliki seseorang tentang dirinya, yang dibentuk melalui pengalaman-pengalaman yang diperoleh dari interaksi dengan lingkungan. Alwater (dalam Desmita, 2014) juga menyebutkan bahwa konsep diri adalah keseluruhan gambaran diri, yang meliputi persepsi seseorang tentang diri, perasaan, keyakinan, dan nilainilai yang berhubungan dengan dirinya. Dari beberapa pendapat ahli di atas, dapat di tarik kesimpulan bahwa konsep diri ialah gambaran yang dimiliki individu tentang dirinya, yang terdiri dari diri secara fisik, sosial, moral, dan psikis. 2. Aspek-Aspek Konsep Diri Berzonsky (1981) membagi aspek konsep diri menjadi 4, yaitu aspek diri fisik (physical self), diri psikis (psychological self), diri sosial (social self), diri moral (moral self). Penjabaran mengenai aspek dari diri fisik, diri psikis, diri sosial, dan diri moral yaitu sebagai berikut; a. Aspek diri fisik Aspek utama dalam diri fisik ini berkaitan dengan tubuh, citra tubuh tampak menjadi dasar dari konsep diri (Epstein dalam Berzonsky, 1981). Aspek diri fisik juga merupakan pandangan, pikiran, perasaan terhadap fisiknya. Individu memiliki konsep diri yang positif bila memandang secara positif penampilanya, kondisi kesehatan kulitnya, ketampanan atau kecantikan serta ukuran tubuh ideal. Individu dipandang memililki konsep diri negatif bila memandang secara negatif mengenai penampilannya, kondisi kesehatan

27 kulitnya, ketampanan atau kecantikan serta ukuran tubuh idealnya (Berzonsky dalam Fatimah, 2012). b. Aspek diri psikis Apek diri psikis yaitu pikiran, perasaan, dan perilaku yang dimiliki individu tentang dirinya (Berzonsky, 1981). Seseorang dikatakan memiliki konsep diri positif bila memandang dirinya sebagai individu yang bahagia, optimis, mampu mengontrol diri dan memiliki berbagai kemampuan. Sebaliknya, individu dengan konsep diri negatif memandang dirinya sebagai orang yang tidak bahagia, pesimis, tidak mampu mengontrol diri dan memiliki berbagai macam kekurangan (Berzonsky dalam Fatimah, 2012). c. Aspek diri sosial Konsep diri sosial ialah peran sosial yang dimainkan individu serta penilaian individu terhadap seberapa baik atau buruknya peran tersebut (Waterbor, dalam Berzonsky, 1981). Konsep diri sosial juga berkaitan dengan kemampuan yang berhubungan dengan dunia di luar dirinya, perasaan mampu, dan berharga dalam lingkup interaksi sosial. Individu dikatakan memiliki konsep diri sosial positif bila memandang dirinya sebagai orang terbuka pada orang lain, memahami orang lain, merasa mudah akrab dengan orang lain, merasa diperhatikan, menjaga perasaan orang lain. Sebaliknya, individu yang memiliki konsep diri sosial negatif bila tidak memberi perhatian terhadap orang lain dan tidak aktif dalam kegiatan sosial (Berzonsky dalam Fatimah, 2012).

28 d. Aspek diri moral Diri moral terdiri dari nilai dan prinsip yang memberi arti serta arah bagi kehidupan seseorang (Epstein, dalam Berzonsky, 1981). Diri etik moral juga menyangkut persepsi seseorang mengenai hubungan dengan Tuhan, kepuasan seseorang akan kehidupan keagamaanya, dan nilai-nilai moral yang dipegang, yang meliputi batasan baik dan buruk (Fitss dalam Agustiani, 2009). Individu yang memiliki konsep diri moral positif akan memandang dirinya sebagai orang yang berpegang teguh pada nilai etik moral, namun sebaliknya individu yang memiliki konsep diri moral negatif akan memandang dirinya sebagai orang yang menyimpang dari standar nilai moral yang seharusnya diikutinya (Berzonsky dalam Fatimah, 2012). Adapun aspek-aspek konsep diri menurut Hurlock (2010) adalah sebagai berikut : a. Aspek fisik Aspek fisik merupakan konsep yang dimiliki individu tentang penampilan, kesesuaian dengan seks/jenis kelamin, arti penting tubuh dalam hubungan dengan perilaku individu, dan perasaan gengsi dihadapan orang lain yang disebabkan oleh keadaan fisiknya. Hal penting yang berkaitan dengan citra fisik ialah penampilan fisik, daya tarik, serta kesesuaian atau ketidaksesuaian dengan jenis kelaminnya, hal ini mempengaruhi perilaku dan harga diri individu di hadapan orang lain.

29 b. Aspek psikologis Aspek psikologis merupakan konsep individu tentang kemampuan dan ketidakmampuannya, harga diri, dan hubungan individu dengan orang lain. Dalam aspek ini terdapat citra psikologis yang didasarkan atas pikiran, perasaan dan emosi. Aspek ini terdiri atas kualitas dan kemampuan yang mempengaruhi penyesuaian pada kehidupan serta sifatsifat seperti keberanian, kejujuran, kemandirian, dan kepercayaan diri dan berbagai jenis aspirasi dan kemampuan. Individu dengan konsep diri positif juga mampu menilai hubungan dengan orang lain secara tepat sehingga menumbuhkan penyesuaian sosial yang baik. Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek konsep diri menurut Berzonsky (1981) meliputi aspek diri fisik, psikis, moral, dan sosial, sedangkan konsep diri menurut Hurlock (2010) meliputi aspek fisik dan aspek psikologis. Dari pendapat-pendapat ahli di atas, maka peneliti akan menggunakan aspek-aspek konsep diri menurut Berzonsky yang meliputi aspek fisik, psikologis, sosial, dan moral karena aspek yang dijelaskan Berzonksy lebih lengkap dengan menggunakan empat aspek dibandingkan dua aspek yang dimiliki Hulock. C. Hubungan Antara Konsep Diri dengan Resiliensi Pada Mahasiswa Tahun Pertama Program Kelas Karyawan Gunarsa (2008) mengungkapkan bahwa ketika individu masuk dalam dunia kuliah, individu menghadapi berbagai perubahan mulai dari perubahan karena perbedaan sifat pendidikan sekolah menengah atas dan perguruan

30 tinggi, perbedaan dalam hubungan sosial, pemilihan bidang studi atau jurusan, dan masalah ekonomi. Mahasiswa tahun pertama yang mengambil program kelas karyawan tentunya mengalami kesulitan dan tantangan tersendiri karena mahasiswa harus pandai membagi waktu, tenaga, dan pikiran untuk bekerja dan pada saat sore hingga malam mahasiswa harus mengikuti perkuliahan. Dumont & Provost; Hauser; Hollister-Wagner et al.; Rutter; Werner (dalam Everall, dkk, et al., 2006) menyatakan bahwa konsep diri yang positif dapat berkontribusi untuk meningkatkan resiliensi individu, sehingga diharapkan dengan meningkatkan konsep diri maka akan diikuti meningkatnya resiliensi. Konsep diri adalah gambaran yang dimiliki individu tentang dirinya, yang terdiri dari 4 aspek, yaitu: aspek diri fisik, diri psikis, diri moral, dan diri sosial (Berzonsky, 1981). Aspek diri fisik, aspek utama dalam diri fisik ini berkaitan dengan tubuh. Citra tubuh tampak menjadi dasar dari konsep diri (Epstein, dalam Berzonsky, 1981). Fortman (2006) menyatakan bahwa efikasi diri merupakan salah satu bagian dari penilaian diri yang dipengaruhi oleh citra tubuh. Citra tubuh yang buruk akan menurunkan efikasi diri yang merupakan aspek dari resiliensi. Bandura (dalam Fortman 2006) juga menyatakan bahwa individu yang memiliki efikasi diri tinggi akan lebih memiliki tubuh yang sehat, bekerja lebih efektif, dan sukses dibandingkan dengan individu dengan efikasi diri yang rendah. Individu tersebut juga akan cepat menghadapi masalah dan mampu bangkit dari kegagalan yang dialami (Reivich & Shatte,

31 2003). Selain itu, Nugraha (2010) juga menyatakan bahwa jika seseorang tidak merasakan adanya kepuasan terhadap citra tubuh yang dimilikinya maka orang tersebut juga tidak merasakan adanya kepercayaan didalam dirinya. Salah satu indikator meningkatnya kepercayaan diri seseorang ialah mempunyai rasa optimis (Rohayati, 2014). Individu yang resilien adalah individu yang optimis, individu tersebut percaya semua hal dapat berubah lebih baik dan memiliki harapan terhadap masa depan serta dapat mengontrol kehidupannya (Reivich & Shatte, 2003). Hal-hal tersebut menunjukkan bahwa konsep diri secara fisik mempengaruhi resiliensi individu. Berzonsky (dalam Fatimah, 2012) menyatakan bahwa aspek diri secara psikis meliputi pikiran, perasaan, dan perilaku yang dimiliki individu tentang dirinya. Tanda bahwa individu memiliki konsep diri positif misalnya memandang dirinya sebagai individu optimis dan mampu mengontrol diri. Individu yang memiliki rasa optimis dalam diri mengindikasikan individu tersebut resilien karena individu yang resilien ialah individu yang mampu optimis pada masa depan, serta berusaha menggapai pengharapan dengan pemikiran yang positif, yakin akan kelebihan yang dimiliki, serta bekerja keras menghadapi stress tantangan sehari-hari secara efektif (Aisyah, dkk, 2015). Individu juga mampu mengontrol diri, kontrol diri ini berkaitan dengan bagaimana individu mampu mengendalikan emosi serta dorongan-dorongan dalam dirinya (Hurlock, 1990). Hal ini dapat dikatakan bahwa individu yang

32 mampu mengontrol diri mencerminkan terpenuhinya dua aspek resiliensi yaitu individu tersebut mampu untuk mengendalikan atau meregulasi emosi serta memiliki kemampuan pengendalian impuls, yaitu individu mampu mengendalikan dorongan, keinginan, kesukaan yang ada dalam diri (Reivich & Shatte, 2003). Mahmudinata (2014) juga menyatakan bahwa individu yang mempunyai kontol diri akan lebih cepat menyelesaikan masalah. Hal ini menunjukkan terpenuhnya salah satu aspek resiliensi, yaitu analisis penyebab masalah, individu mampu fokus dan memegang kendali penuh pada penyelesaian atau pemecahan masalah, sehingga individu lebih cepat menyelesaikan masalah. Berdasarkan penjabaran di atas, maka disimpulkan bahwa konsep diri secara psikologis mempengaruhi resiliensi seseorang. Aspek diri sosial ialah peran sosial yang dimainkan individu serta penilaian individu terhadap seberapa baik atau buruknya peran tersebut. Individu yang memiliki konsep diri sosial positif akan memandang dirinya sebagai orang terbuka pada orang lain, memahami orang lain, merasa mudah akrab dengan orang lain, merasa diperhatikan, menjaga perasaan orang lain. Fleshman & Schoenberg (2011) menyatakan bahwa bagaimana individu melihat dirinya di masa depan dan bagaimana individu merasa diperhatikan atau dipedulikan oleh ibunya dan lingkungannya merupakan faktor penting yang berkontribusi terhadap resiliensi individu. Selain itu, salah satu bentuk hubungan yang akrab pada seseorang ialah terjalinnya persahabatan. Dalam persahabatan terdapat salah satu aspek friendship s affective (kasih sayang dalam persahabatan) yang ditandai

33 munculnya empati (Fauziyah, 2014). Empati merupakan salah satu aspek pembentuk resiliensi, individu yang punya kemampuan berempati cenderung memiliki hubungan sosial yang positif, sedangkan individu dengan empati yang rendah cenderung mengulang pola yang dilakukan oleh individu yang tidak resilien, yaitu menyamaratakan semua keinginan dan emosi orang lain (Reivich & Shate, 2003). Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa konsep diri sosial mempengaruhi tingkat resiliensi individu. Aspek diri moral terdiri dari nilai dan prinsip yang memberi arti serta arah bagi kehidupan seseorang. Berzonsky (dalam Fatimah, 2012) menyatakan bahwa individu yang memiliki memiliki konsep diri moral positif memandang dirinya sebagai orang yang berpegang teguh pada nilai etik moral. Fitss (dalam Agustiani, 2009) menyatakan bahwa dimensi etik moral menyangkut persepsi seseorang mengenai hubungan dengan Tuhan, kepuasan seseorang akan kehidupan keagamaanya, dan nilai-nilai moral yang dipegang yang meliputi batasan baik dan buruk. Keadaan yang menghayati nilai-nilai agama dengan mematuhi ajaran agama sebagai pegangan kehidupan seharihari dimaknai sebagai religiusitas (Saputri, dalam Setiawan & Pratitis, 2015). Individu yang memiliki religiusitas tinggi akan mampu mengendalikan emosinya, mampu memaknai suatu musibah secara positif, karena individu mempunyai keyakinan yang kuat bahwa semua yang terjadi adalah kehendak Tuhan. Keyakinan ini akan membentuk pribadi yang optimis, percaya diri yang baik untuk dapat mengatasi berbagai permasalahan saat peristiwa buruk menimpa (Suryaman, dalam Setiawan & Pratitis, 2015).

34 Hal tersebut menunjukkan tercapainya aspek resiliensi yaitu regulasi emosi, individu dapat meregulasi atau mengendalikan emosi, aspek peningkatan aspek positif, yaitu mampu mencapai aspek positif ketika musibah atau kemalangan menimpa, serta terbentuknya rasa optimis yang juga merupakan aspek resiliensi. Penjelasan diatas menggambarkan bahwa konsep diri secara moral mempengaruhi resiliensi individu. Kesimpulan dari penjabaran diatas ialah konsep diri fisik, psikis, sosial, dan moral mempengaruhi tingkat resiliensi individu. Semakin tinggi konsep diri, maka akan semakin tinggi juga resiliensi individu. Hal ini sejalan dengan penelitian Cholily (2014) dan Amalia (2015) bahwa semakin tinggi konsep diri mahasiswa maka semakin tinggi pula resiliensi mahasiswa tersebut, sebaliknya semakin rendah konsep diri mahasiswa maka semakin rendah pula resiliensi mahasiswa tersebut. D. Hipotesis Hipotesis dalam penelitian ini ialah ada hubungan positif antara konsep diri dengan resiliensi pada mahasiswa tahun pertama program kelas karyawan. Semakin tinggi konsep diri maka akan diikuti semakin tingginya resiliensi, demikian juga sebaliknya, semakin rendah konsep diri maka akan semakin rendah pula resiliensi pada mahasiswa.