BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Mycobacterium tuberculosis dan menular secara langsung. Mycobacterium

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi

II. TINJAUAN PUSTAKA. penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Berdasarkan penelitian

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tuberkulosis paru adalah penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium

PENATALAKSANAAN TB MDR DAN STRATEGI DOTS PLUS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BIPOLAR. oleh: Ahmad rhean aminah dianti Erick Nuranysha Haviz. Preseptor : dr. Dian Budianti amina Sp.KJ

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Panduan OAT yang digunakan di Indonesia adalah:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang yakni

Mengapa Kita Batuk? Mengapa Kita Batuk ~ 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. oleh kuman TBC ( Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman. lainnya seprti ginjal, tulang dan usus.

PENATALAKSANAAN TB MDR DAN STRATEGI DOTS Plus

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. dapat dicegah dan diobati, ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Peran ISTC dalam Pencegahan MDR. Erlina Burhan Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI RSUP Persahabatan

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. gejala klinik yang manifestasinya bisa berbeda beda pada masing

FARMAKOTERAPI TUBERCULOSIS (TBC) Bagian Farmakologi Fak Kedokteran UNLAM

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha

BAB 2 BAHAN, SUBJEK, DAN METODE PENELITIAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai sediaan obat uji, subjek uji dan disain penelitian.

Materi Penyuluhan Konsep Tuberkulosis Paru

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dilakukan secara retrospektif berdasarkan rekam medik dari bulan Januari

Pengobatan TB pada keadaan khusus. Kuliah EPPIT 15 Departemen Mikrobiologi FK USU

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Resistansi M.tuberculosis terhadap OAT adalah keadaan di mana bakteri

Gangguan Campuran Anxietas dan Depresi 2013

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Sakit perut berulang menurut kriteria Apley adalah sindroma sakit perut

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan global. yang utama. Penyakit infeksi ini menyerang jutaan manusia

BAB I PENDAHULUAN. kedua di dunia setelah HIV/AIDS. Pada tahun 2012, terdapat 8.6 juta orang

BAB I PENDAHULUAN. Tuberculosis merupakan infeksi bakteri kronik yang disebabkan oleh

BAB 1 PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan

TUBERKULOSIS. Fransiska Maria C. Bag. FKK-UJ

I. PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan

BAB II LANDASAN TEORI. dalam aktivitas yang biasa dilakukan (Davison et al., 2007). Depresi

BAB 1 PENDAHULUAN. Mycobacterium tuberculosis. Sumber infeksi TB kebanyakan melalui udara, yaitu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Arti tuberkulosis. Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh

BAB I PENDAHULUAN. TB Paru merupakan penyakit yang disebabkan oleh. Mycobacterium tuberculosis, yaitu kuman aerob yang mudah mati dan

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh Salmonella typhi (S.typhi), bersifat endemis, dan masih

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Sulianti (2004) Tuberculosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh

BAB I PENDAHULUAN. aerob yang tahan asam. Sifat aerob pada kuman M.tuberculosis ini

Obat Diabetes Farmakologi. Hipoglikemik Oral

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PROSES TERJADINYA MASALAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PEMBAHASAN. 1. Air beroksigen 2. Pemakaian masker 3. Rokok elektronik 4. Iklan kanker paru 5. MDR TB

BAB 1 PENDAHULUAN. Organisasi Kesehatan Dunia/World Health Organization (WHO) memperkirakan

BAB I PENDAHULUAN. I.1.Latar Belakang. Tuberkulosis (TB) masih menjadi masalah utama. kesehatan global. TB menyebabkan kesakitan pada jutaan

BAB XXV. Tuberkulosis (TB) Apakah TB itu? Bagaimana TB bisa menyebar? Bagaimana mengetahui sesorang terkena TB? Bagaimana mengobati TB?

S T O P T U B E R K U L O S I S

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Sampai saat ini penyakit Tuberkulosis Paru ( Tb Paru ) masih menjadi

ABSTRAK EFEK SAMPING PENGOBATAN TUBERKULOSIS DENGAN OBAT ANTI TUBERKULOSIS KATAGORI 1 PADA FASE INTENSIF

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedaruratan psikiatri adalah sub bagian dari psikiatri yang. mengalami gangguan alam pikiran, perasaan, atau perilaku yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Penemuan PasienTB. EPPIT 11 Departemen Mikrobiologi FK USU

II. TINJAUAN PUSTAKA. Ukuran dari bakteri ini cukup kecil yaitu 0,5-4 mikron x 0,3-0,6 mikron

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. juga mengenai organ tubuh lainnya (Departemen Kesehatan RI, 2007). Terdapat

REFERAT Gangguan Afektif Bipolar

Tinjauan Pustaka. Tuberculosis Paru. Oleh : Ziad Alaztha Pembimbing : dr. Dwi S.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kecemasan pada Mahasiswa Tingkat Pertama. Bahasa Latin angustus yang berarti kaku, dan ango, anci yang berarti

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut American Diabetes Association, diabetes melitus merupakan suatu kelompok

BAB I PENDAHULUAN. sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise,

PATOFISIOLOGI ANSIETAS

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Istilah obsesi menunjuk pada suatu idea yang mendesak ke dalam pikiran.

BAB III METODE PENELITIAN. mengetahui jenis-jenis efek samping pengobatan OAT dan ART di RSUP dr.

TUTIK KUSMIATI, dr. SpP(K)

SAFII, 2015 GAMBARAN KEPATUHAN PASIEN TUBERKULOSIS PARU TERHADAP REGIMEN TERAPEUTIK DI PUSKESMAS PADASUKA KECAMATAN CIBEUNYING KIDUL KOTA BANDUNG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB I PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit paling mematikan di

Diagnosis & Tatalaksana Gangguan Depresi & Anxietas di Layanan Kesehatan Primer Dr. Suryo Dharmono, SpKJ(K)

BAB I PENDAHULUAN. menular (dengan Bakteri Asam positif) (WHO), 2010). Tuberkulosis merupakan masalah kesehatan global utama dengan tingkat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tuberkulosis paru adalah penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium

EPIDEMIOLOGI MANIFESTASI KLINIS

Hamilton Depression Rating Scale (HDRS)

BAB I PENDAHULUAN. oleh infeksi saluran napas disusul oleh infeksi saluran cerna. 1. Menurut World Health Organization (WHO) 2014, demam tifoid

FAKTOR PSIKOLOGIS DAN PERILAKU YANG BERHUBUNGAN DENGAN GANGGUAN Pembimbing : dr. Dharmawan Ardi, Sp.KJ

DIAGNOSIS DAN FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TERJADINYA TB-MDR. Priyanti Z Soepandi

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

HAMILTON DEPRESSION RATING SCALE (HDRS)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lainnya (Depkes RI, 2011). Manusia adalah satu-satunya tempat untuk. termasuk bakteri aerob obligat (Todar, 2009).

PENGARUH KOINSIDENSI DIABETES MELITUS TERHADAP LAMA PENGOBATAN PASIEN TUBERKULOSIS PARU DI BALAI BESAR KESEHATAN PARU MASYARAKAT SURAKARTA TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. Multi-Drug Resistance Mycobacterium tuberculosis (MDR-TB) adalah jenis

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berhubungan erat dengan penderita (Amiruddin. et al. Dokter Paru Indonesia, 2002).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kronis yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberkulosis yang bersifat

MENGATASI KERACUNAN PARASETAMOL

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bakteri Mycobacterium Tuberkulosis (KemenKes, 2014). Kuman tersebut

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. Demam tifoid merupakan masalah kesehatan yang penting di negara-negara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II KAJIAN PUSTAKA. pemeriksaan dahak penderita. Menurut WHO dan Centers for Disease Control

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Multi Drug Resistant 2.1.1 Definisi Multi Drug Resistant Multi Drug Resistant didefinisikan sebagai penyakit yang disebabkan oleh kuman tuberkulosis yang resisten paling sedikit terhadap rifampicin dan isoniazid dengan atau tanpa resisten terhadap obat lain (PDPI, 2011). 2.1.2. Struktur Dan Morfologi Kuman TB Basil tuberkulosis termasuk dalam genus Mycobacterium, dan merupakan satu-satunya genus dari famili Mycobacteriaceae. Yang termasuk dalam famili Mycobacteriaceae ada empat spesies, yaitu M.tuberculosis, M.bovis, M.africanum, dan M.microt (Fishman, et al, 2008). M.tuberculosis berbentuk batang lurus atau sedikit melengkung, tidak berspora dan tidak berkapsul. Bakteri ini berukuran lebar 0,3 0,6 µm dan panjang 1 4 µm. Dinding M.tuberculosis sangat kompleks, terdiri dari lapisan lemak cukup tinggi 60%). Penyusun utama dinding sel M.tuberculosis ialah asam mikolat, lilin kompleks (complex-waxes), trehalosa dimikolat yang disebut cord factor, dan M.sulfolipids yang berperan dalam virulensi. Asam mikolat merupakan asam lemak berantai panjang (C60 C90) yang dihubungkan dengan arabinogalaktan oleh ikatan glikolipid dan dengan peptidoglikan oleh jembatan fosfodiester. Unsur lain yang terdapat pada dinding sel bakteri tersebut adalah polisakarida seperti arabinogalaktan dan arabinomanan. Struktur dinding sel yang kompleks tersebut menyebabkan bakteri M.tuberculosis bersifat tahan asam, yaitu apabila sekali diwarnai, tahan terhadap upaya penghilangan zat warna tersebut dengan larutan asam alkohol. Komponen antigen ditemukan di dinding sel dan sitoplasma yaitu komponen lipid, polisakarida dan protein. Karakteristik antigen M.tuberculosis dapat diidentifikasi dengan menggunakan antibodi monoclonal (PDPI, 2011). 6

Saat ini telah dikenal purified antigens dengan berat molekul 14 kda (kilodalton), 19 kda, 38 kda, 65 kda yang memberikan sensitiviti dan spesivisiti yang bervariasi dalam mendiagnosis TB. Ada juga yang menggolongkan antigen M. tuberculosis dalam kelompok antigen yang disekresi dan yang tidak disekresi (somatik). Antigen yang disekresi hanya dihasilkan oleh basil yang hidup, contohnya antigen 30.000 α, protein MTP 40 dan lain lain (Palomino et al, 2007). 2.1.3. Patogenesis Penularan penyakit TB terjadi melalui hubungan dekat antara pasien dan orang yang tertular (terinfeksi). Penyebaran TB bisa melalui droplet yang mengandung kuman TB pada saat batuk. Droplet dapat terbang di udara kurang lebih selama dua jam tergantung pada kualitas ventilasi ruangan. Jika droplet tadi terhirup oleh orang lain yang sehat, droplet akan masuk ke dinding sistem pernapasan. Droplet berdiameter besar akan masuk pada saluran napas bagian atas dan droplet yang berdiameter kecil akan masuk ke alveoli di seluruh paru. Pada tempat masuknya, kuman tuberkulosis akan membentuk suatu fokus infeksi primer berupa tempat pembiakan kuman tuberkulosis sehingga tubuh pasien akan memberikan reaksi inflamasi. Kuman TB yang masuk tadi akan mendapatkan perlawanan dari tubuh, jenis perlawanan tubuh tergantung pada pengalaman tubuh, yaitu pernah mengenal kuman TB atau belum (Blanc et al, 2010). Terapi yang tidak adekuat dapat disebabkan oleh konsumsi hanya satu jenis obat TB saja (monoterapi direk) atau konsumsi obat TB kombinasi tetapi hanya satu saja yang sensitiv terhadap basil tersebut (indirek monoterapi), selanjutnya resistensi sekunder (dapatan) terjadi (Leitch, 2000). a. Mekanisme terjadinya resistensi Pada Mycobacterium tuberculosis (Mtb) belum pernah dilaporkan adanya plasmid pembawa resistensi, karena itu resistensi Mtb terhadap OAT tidak dipindahkan dari satu kuman ke kuman lain. Dengan kata lain, terjadinya resistensi Mtb terhadap OAT terutama terjadi karena mutasi genetik pada Mtb sendiri, dan mutasi ini terjadi secara alami, tidak dibawah tekanan OAT. 7

Penyebaran resistensi Mtb terjadi pasca amplifikasi kuman resisten sebagai akibat inadequatnya obat disekitar kuman (Agus, 2010). b. Mekanisme terjadinya resistensi obat rifampisin Rifampisin merupakan obat yang aktif terhadap Mtb yang tumbuh dan juga aktif terhadap Mtb dalam fase stasioner. Daya antibakterial rifampisin terjadi melalui hambatan sintesa RNA, yaitu dengan jalan berikatan pada RNA (Ribonucleic acid) polimerase kuman. RNA polimerase ini merupakan oligomer yang tersusun dari empat ratai. yaitu 2 rantai alfa dan satu rantai beta dan satu rantai beta nascen. Tiap rantai disandi dengan rantai beta disandi oleh ben rpobeta (Agus, 2010). Pada Mtb, resistensi terhadap rifampisin terjadi pada satu dari sepuluh sampai seratus juta kuman. Resistensi pada > 95% Mtb terhadap rifampisin terjadi akibat mutasi pada gen rpobeta. Mutasi masif pada gen rpobeta akan menyebabkan tingkat resistensi tinggi dan resistensi silang terhadap semua anggota golongan rifampisin. Umumnya mutasi terjadi selektif dan sebagian besar terjadi pada kodon 511,516,518 dan 522. Mutasi pada kodon tersebut akan menyebabkan resistensi silang pada rifapentin, tetapi tidak pada rifabutin. Resistensi tingkat lebih rendah terjadi akibat mutasi pada kodon L176F (Agus, 2010). c. Mekanisme terjadinya resistensi obat isoniazid INH adalah obat yang aktif terhadap Mtb yang membelah dan tidak aktif terhadap Mtb dalam fase stasioner. INH juga tidak bekerja dalam suasana anaerob, INH adalah prodrug yang masuk ke dalam kuman dengan cara pasif. Prodrug selanjutnya akan diubah oleh katalase G Mtb menjadi bentuk aktif. Aktifasi menghasilkan berbagai oksigen dan senyawa reaktif yang menyerang target di dalam kuman, yaitu sintesa asam mikolat, metabolisme NAD dan mungkin juga merusak DNA. Akbatnya kuman mudah lisis. Dalam sintesa asam mikolat, diperlukan juga enoyl ACP reductase, NADH dehydrogenase, dan alkyl hydroperoxidase. Secara berurutan enzim - enzim tersebut disandi oleh berturut turut gen inha, ndh dan ahpc. Sementara 8

katalase disandi oleh gen katg. Selain itu, diketahui pula bahwa aktifitas gen katg diatur oleh regulatornya yaitu gen fura (Agus, 2010). Resistensi Mtb terhadap INH akibat hilangnya gen katg akan menyebabkan resistensi tingkat tinggi, Fenomena ini jarang dan yang lebih sering terjadi adalah mutasi noktah. Frequensi kuman resisten terhadap INH akibat dari mutasi gen katg bervariasi antara 20-80%, tergantung asal Mtb. Diantara berbagai mutasi pada katg, mutasi pada daerah S315T merupakan yang tersering, teramati pada kira-kira 50% isolat. Mutasi pada S315T ini menyebabkan aktifitas katalase berkurang 50% dan karena itu tingkat resistensi yang ditimbulkannya cukup tinggi. Telah diketahui pula bahwa aktfitas gen katg diatur oleh gen lain, yaitu gen fura. Mutasi gen fura telah ditemukan pada mycobacteria lain, tetapi belum ditemukan pada Mtb mutasi pada gen inha yang telah teridentifikasi adalah pada promoter nya dan pada gen strukturalnya. Resistensi pada inha terjadi pada 15-43% isolat yang resisten INH dan menyebabkan tingkat resistensi rendah, namun mutasi pada inha ini beresiko besar menyebabkan juga resistensi pada etambutol. Berbagai lokus mutasi inha penyebab resistensi terhadap INH telah diketahui, diantaranya adalah pada lokus S94A, 121T dan 121V (Agus, 2010). d. Resistensi Etambutol Resistensi etambutol umumnya dikaitkan dengan mutasi pada gen embb yang merupakan gen yang mengkodekan untuk enzim arabinosiltransferase. Arabinosiltransferase terlibat dalam reaksi polimerasi arabinoglikan. Resistensi terjadi akibat mutasi yang menyebabkan ekspresi berlebih produksi dari gen embb. Mutasi gen embb telah ditemukan pada 70% galur yang resisten dan melibatkan pergantian posisi asam amino 306 atau 406 pada 90 % kasus. Resistensi segera timbul bila obat diberikan secara tunggal (WHO, 2014). e. Resistensi Pirazinamid Pirazinamid sebagai bakterisida pada organisme metabolisme lambat dalam suasana lingkungan asam diantara sel fagosit dan granuloma caseosa. 9

Pirazinamid diduga oleh basil tuberkel dikonversikan menjadi produk zat yang aktif yaitu asam pirazinoat. Pirazinamid diabsorbsi dengan baik melaui saluran pencernaan. Resistensi pirazinamid terjadi oleh karena kehilangan aktiviti pyrazinamidase sehingga tidak lagi dikonversikan menjadi asam pirazinoat. Resistensi ini dihubungkan dengan terjadinya mutasi pada gen pnca yang menyandikan enzim pyrazinamidase (Katzung, 2007). f. Resistensi Streptomisin Merupakan aminoglikosida yang diisolasikan dari Streptomyces griseus. Streptomisin menghambat sintesis protein dengan cara menimbulkan gangguan pada ribosom. Dua per tiga galur yang resistensi terhadap streptomisin diidentifikasi bahwa terjadi mutasi pada satu dari dua target yaitu 16s rrna (rrs) atau gen yang menyandi protein ribosom S12 (rpsl). Kedua target ini yang diyakini terdapat ikatan ribosom streptomisin (Katzung, 2007). 2.1.4. Faktor penyebab resistensi OAT Tuberkulosis resisten obat anti TB (OAT) pada dasarnya adalah suatu fenomena buatan manusia sebagai akibat dari pengobatan yang tidak adekuat. Faktor penyebab resistensi OAT terhadap kuman Mtb antara lain (PDPI, 2011): 1. Faktor mikrobiologik a. Resisten yang natural b. Resisten yang didapat c. Amplifier yang didapat d. Virulesi kuman e. Tertular galur kuman MDR 2. Faktor klinik a. Penyelenggara kesehatan keterlambatan diagnosis, pengobatan yang tidak mengikuti pedoman, penggunaan OAT yang tidak adekuat, tidak ada pemantauan pengobatan, fenomena addition syndrome yaitu suatu obat yang ditambahkan pada 10

satu paduan yang telah gagal, organisasi program nasional TB yang kurang baik. b. Obat Pengobatan TB jangka waktunya yang lama yaitu lebih dari 6 bulan, obat toksik menyebabkan efek samping sehingga pengobatan gagal sampai selesai, obat tidak dapat diserap dengan baik misalnya rifampisin diminum setelah makan atau diare, kualitas obat kurang baik, regimen yang tidak tepat, harga obat mahal, pengadaan obat terputus. c. Pasien Pengawas Menelan Obat (PMO) tidak ada / kurang baik, kurangnya informasi atau tidak ada penyuluhan, kurang biaya untuk berobat, efek samping obat, sarana dan prasarana transportasi sulit / tidak ada, gangguan penyerapan obat. 3. Faktor program a. Tidak ada fasilitas biakan dan uji kepekaan b. Amplifier effect c. Tidak ada program DOTS d. Program DOTS tidak berjalan baik e. Memerlukan biaya yang besar 4. Faktor HIV / AIDS a. Kemungkinan terjadi MDR-TB yang lebih besar b. Gangguan penyerapan c. Kemungkinan terjadi efek samping lebih besar 5. Faktor kuman Kuman Mtb super strains dimana memiliki sifat yang sangat virulen, daya tahan hidup lebih tinggi, berhubungan dengan MDR-TB. 2.1.5. Diagnosis MDR-TB Diagnosis TB paru ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan bakteriologis, radiologis dan pemeriksaan penunjang lainnya. Gejala klinis TB dibagi atas dua golongan, yaitu gejala respiratorius berupa batuk, batuk 11

darah, sesak napas, dan nyeri dada. Gejala respiratorius sangat bervariasi dari mulai yang tidak ada gejala sampai gejala yang cukup berat tergantung dari luasnya lesi. Sedangkan gejala sistemik berupa demam, malaise, keringat malam, anoreksia, dan penurunan berat badan (PDPI, 2011). Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama di daerah apeks dan segmen posterior. Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai antara lain suara napas bronkhial, amforik, suara napas melemah, ronkhi basah, tanda - tanda penarikan paru, diafragma dan organ mediastinum (PDPI, 2011). Pasien yang dicurigai kemungkinan MDR-TB adalah (PDPI, 2011): 1. Kasus TB paru dengan gagal pengobatan pada kategori 2, dibuktikan dengan rekam medis sebelumnya dan riwayat penyakit dahulu. 2. Pasien TB paru dengan hasil pemeriksaan dahak tetap positif setelah sisipan dengan kategori 2. 3. Pasien TB yang pernah diobati di fasilitas non DOTS, termasuk yang mendapat OAT lini kedua seperti kuinolon dan kanamisin. 4. Pasien TB paru yang gagal pengobatan kategori 1. 5. Pasien TB paru dengan hasil pemeriksaan dahak tetap positif setelah sisipan dengan kategori 1. 6. TB paru kasus kambuh. 7. Pasien TB yang kembali setelah lalai/default pada pengobatan kategori 1 dan atau kategori 2. 8. Suspek TB dengan keluhan, yang tinggal dekat dengan pasien MDR-TB konfirmasi, termasuk petugas kesehatan yang bertugas dibangsal MDR-TB. 9. TB HIV Pasien yang memenuhi kriteria suspek harus dirujuk ke laboratorium dengan jaminan mutu eksternal yang ditunjuk untuk pemeriksaan biakan dan uji kepekaan obat. Diagnosis MDR-TB dipastikan berdasarkan uji kepekaan. Jika hasil uji kepekaan terdapat Mtb yang resisten minimal terhadap rifampisin dan INH maka dapat ditegakkan diagnosis MDR-TB. 12

Metode pemeriksaan yang dilakukan untuk diagnosis MDR-TB adalah (PDPI, 2011): 1. Metode konvensional uji resistensi obat WHO mendukung penggunaan metode biakan media cair dan identifikasi Mtb cara cepat dibandingkan media padat saja. Metode cair lebih sensitif mendeteksi mikobakterium dan meningkatkan penemuan kasus sebesar 10% dibandingkan media padat di samping lebih cepat memperoleh hasil sekitar 10 hari dibandingkan 28 42 hari dengan media padat. 2. Metode cepat uji resistensi obat (uji diagnostik molekular cepat) Xpert assay dapat mengidentifikasi Mtb dan mendeteksi resisten rifampicin dari dahak yang diperoleh beberapa jam, akan tetapi konfirmasi resisten obat dengan uji kepekaan obat konvensional masih digunakan sebagai baku (gold standart). Penggunaan Xpert MTB/RIF tidak menyingkirkan kebutuhan metode biakan dan uji resistensi obat konvensional yang penting menegakkan diagnosis definitive tb pada pasien dengan apus dan BTA negatif dan uji resistensi obat untuk menetukan OAT lainnya selain rifampisin. Metode ini bermamfaat untuk menyaring kasus suspek MDR-TB secara cepat dengan pemeriksaan dahak. Pemeriksaan ini memiliki sensivitas dan spesifisitas sekitar 99%. 2.1.6. Penatalaksanaan Pada pengobatan MDR-TB, maka petugas kesehatan harus mengubah kombinasi obat dengan menambahkan lini kedua. Obat ini memiliki efek samping yang lebih banyak, pengobatan yang lebih lama, dan biaya mungkin 100 kali lebih besar dibandingkan dengan lini pertama (Bayona et al, 2008). 2.1.7. Lama Pengobatan Pengobatan MDR-TB memerlukan waktu yang lebih lama yaitu 18-24 bulan setelah konversi biakan. Pengobatan terdiri atas dua tahap yaitu tahap awal dan tahap lanjutan. Tahap awal adalah tahap pemberian suntikan dengan lama 13

sekurang - kurangnya 6 bulan dan minimal 4 bulan setelah terjadi konversi biakan. Apabila pada akhir bulan kedelapan belum terjadi konversi maka disebut gagal pengobatan. Tahap lanjutan adalah pemberian panduan OAT MDR tanpa suntikan setelah menyelesaikan tahap awal (PDPI, 2011). 2.1.8. Cara Pemberian Obat Pada tahap awal dengan suntikan diberikan 5 kali seminggu baik selama rawat inap maupun rawat jalan. Dan untuk obat oral diminum dan ditelan setiap hari didepan petugas kesehatan sedangkan pada hari libur diminum dan ditelan didepan PMO. Untuk tahap lanjutan obat oral diberikan maksimum 1 minggu dan diminum dan ditelan didepan PMO (PDPI, 2011). WHO membagi pengobatan MDR-TB menjadi lima grup berdasarkan potensi dan efikasinya (PDPI, 2011): 1. Kelompok pertama : pirazinamid dan etambutol paling efektif dan ditoleransi dengan baik. 2. Kelompok kedua : injeksi kanamisin atau amikasin, jika alergi diganti dengan kapreomisin atau viomisin yang bersifat bakterisidal. 3. Kelompok ketiga : fluoroquinolon diantaranya : levofloksasin, moksifloksasin, ofloksasin yang bersifat bakterisidal tinggi. 4. Kelompok keempat : PAS, etionamid, protionamid, dan sikloserin merupakan bakteriostatik lini kedua. 5. Kelompok kelima : amoksisilin+asam klavulanat, makrolide baru (klaritromisin), dan linezolid, masih belum jelas efikasinya (PDPI, 2011). Pilihan paduan OAT MDR saat ini adalah paduan terstandar (standardized treatment) yaitu (PDPI, 2011): 6 Z(E)-Kn-Lfx-Eto-Cs / 18 Z(E)-Lfx-Eto-Cs 1. Kanamisin Kanamisin berkaitan erat dengan antibiotik jenis aminoglikosida. Kanamisin bekerja pada ribosom dan menghambat proses sintesis protein. Kanamisin biasanya dapat diberikan secara intramuskular. Konsentrasi 14

serum harus berada dalam kisaran 15-20 mg/kg. Hati-hati pemberian pada ibu hamil dan ibu menyusui, penyakit ginjal, penyakit hati dan yeng hipersensitif terhadap aminoglikosida. Efek samping yang dapat terjadi adalah : gangguan pada saraf kedelapan,dan toksisitas ginjal. Gangguan pendengaran, gangguan keseimbangan yang menetap, neuropati perifer. Pemantauan terhadap penggunaan obat ini harus tetap dilakukan, antara lain: pemeriksaan faal ginjal (serum kreatinin dan kalium), audiogram bulanan untuk fungsi pendengaran (Kreider dan Rossman, 2000). 2. Amikasin Sama halnya dengan kanamisin, amikasin juga berhubungan erat dengan antibiotik aminoglikosida. Amikasin juga bekerja pada ribosom, penghambatan sintesis protein. Amikasin dapat diberikan intramuskular atau intravena. Rata - rata konsentrasi puncak serum adalah 21 mg/ml dan MIC adalah 4-8 mg/ml. Amikasin juga memiliki efek samping terhadap kelemahan pada saraf kedelapan dan juga menyebabkan toksisitas ginjal (Kreider dan Rossman, 2000) 3. Kapreomisin Kapreomisin secara kimiawi berbeda dari aminoglikosida, tetapi kemungkinan memiliki resistensi silang dengan streptomisin, amikasin, dan kanamisin. Kapreomisin memiliki aktivitas teurapetik yang sama dengan kanamisin dan amikasin begitu juga dengan farmakologi dan toksisitasnya. Efek samping nya juga berpengaruh pada sistem persyarafan kedelapan dan juga menyebabkan toksisitas ke ginjal. Pemantauan pemberian obat ini juga perlu memeriksa faal ginjal dan pemeriksaan fungsi pendengaran sebelum dan selama pengobatan (Kreider dan Rossman, 2000). 4. Levofloksasin Levofloksasin merupakan fluorokuinolon yaitu agen anti bakteri spektrum luas yang bekerja menghambat Deoxyribonucleic Acid (DNA) enzim girase. Levofloksasin lebih banyak dipakai secara oral dan lebih sensitif terhadap organisme. Tidak ada resistensi silang dengan obat anti 15

tuberkulosis lainnya. Reaksi obat antara kuinolon dengan teofilin yaitu akan meningkatkan kadar serum teofilin dan resiko efek samping dari teofilin. Pemberian antasida (seperti : magnesium sulfat,aluminium sulfat, kalsium atau didanosine) akan menyebabkan menurunnya absorbsi dan menghilangkan efek terapeutik fluorokuinolon. Pemberian probenesid akan menurunkan sekresi fluorokuinolon di ginjal yang mengakibatkan sekitar 50% peningkatan serum fluorokuinolon. Pemberian suplemen vitamin yang mengandung seng (Zn) dan besi (Fe) akan mengurangi absorbsinya. Efek samping yang timbul adalah : mual, kembung, pusing, insomnia, sakit kepala, ruam, pruritus dan fotosensitivitas. Jika dijumpai resistensi levofloksasin maka diberikan moxifloksasin (Kreider dan Rossman, 2000). 5. Etionamid Etionamid memiliki struktur yang mirip dengan INH. Namun resistensi silang dengan INH sangat jarang terjadi. Dosis etionamid sebesar 2,5 µg/kg memiliki efek bakteristatik. Etionamid diserap baik oleh usus dan di metabolisme di hati. Kadar serum puncak nya adalah 15-20 mg/ml dan dosis optimumnya biasanya 1 gram. Obat ini hampir sepenuhnya didistribusikan ke seluruh tubuh. Efek samping yang timbul adalah : mual, muntah, kehilangan napsu makan, dan nyeri perut. Reaksi neurologis yang sering muncul adalah: sakit kepala, gelisah, diplopia, tremor, dan kejangkejang. Diperlukan penambahan dosis secara bertahap karena sangat mengiritasi saluran pencernaan. Jika obat diberikan pada malam hari maka sangat dianjurkan bersamaan dengan anti-emetik dan obat hipnosis. Hepatitis dapat terjadi pada 1 persen pasien. Untuk memantau hepatotoksik maka perlu dilakukan pemeriksaan faal hati dan enzim paru per bulan. Jika didapati peningkatan faal hati lima kali lipat maka obat harus dihentikan (Kreider dan Rossman, 2000). 6. Sikloserin Sikloserin bersifat bakteriostatik yang merupakan analog Dalanine dan bekerja masuk kedalam dinding sel. Obat ini diserap baik di usus dan 16

didistribusikan ke seluruh tubuh. Obat ini diekskresikan oleh urin sebanyak 70% dari bentuk aktifnya dan 30% lagi di metabolisme didalam tubuh. Efek samping umum termasuk gangguan neurologis dan psikiatris mulai dari sakit kepala, tremor, gangguan memori, dan gangguan psikosis berupa mengantuk, paranoid, depresi, atau reaksi katatonik. Beberapa pasien dengan gangguan kecemasan dan depresi dapat berupa keinginan bunuh diri. Dosis umum adalah 15-20 mg/kg, dengan dosis maksimal 1 gram/hari. Sebagian besar efek samping menghilang apabila obat dihentikan. Untuk mencegah gangguan psikis yang serius maka perlu pemantauan berkala atas status mental dan tingkat dosis yang diperlukan. Untuk mengurangi potensi kejang dan konvulsi dapat diberikan piridoksin dengan dosis 100-150 mg. Sikloserin dpat mengurangi efektifitas fenitoin jika diberikan bersamaan dengan INH. Dosis fenitoin dalam hal ini dapat dikurangi. Minuman mengandung alkohol akan memberikan efek toksik. Untuk kasus dengan adanya gagal ginjal, dosis harian obat harus dikurangi. Sebaiknya diminum pada saat perut kosong karena dapat makanan dalam lambung akan menurunkan absorbsi obat (Kreider dan Rossman, 2000). 7. Para-Amino Salicylic acid (PAS) Jika dijumpai resisten terhadap sikloserin maka dapat diganti dengan Para-Amino Salicylic acid (PAS). Obat ini diekskresikan dengan cepat, dosis tinggi diperlukan untuk mempertahankan aktivitas bakteriostatiknya. Dosis umum terapi oral harian adalah 150 mg/kg, dan dosis tidak boleh melebihi 10-12 gram/hari. Melebihi dari dosis tersebut akan menyebabkan efek samping mual, muntah, diare, dan nyeri epigastrium. Dari 5-10% pasien, PAS juga dapat menyebabkan reaksi hiersensitivitas, hepatitis, hipotiroidisme, atau anemia hemolitik. Efek samping dapat dikurangi dengan terapi awal dosis rendah dan secara bertahap dinaikkan sampai mencapai dosis penuh (Kreider dan Rossman, 2000). 8. Pirazinamid 17

Pirazinamid bersifat bakterisidal lemah tetapi mempunyai efek sterilisasi intraseluler, di lingkungan asam dan tempat peradangan. Sangat efektif diberikan pada 2 bulan pertama pengobatan karena proses peradangan sedang pada puncaknya. Pirazinamid mudah diabsorbsi dan tersebar di seluruh jaringan. Hati-hati pemberian pada pasien diabetes mellitus karena dapat menyebabkan kadar gula darah tidak stabil. Kadang menyebabkan kekambuhan gout atau dapat terjadi arthralgia. Efek samping yang timbul adalah : mual, muntah, hiperurisemia yang asimptomatik dan timbulnya gout. Efek samping yang jarang timbul yaitu : anemia siderobastik, photosensitive dermatitis dan gangguan hati berat (Kreider dan Rossman, 2000). 9. Etambutol Etambutol bersifat bakteriostatik dan mudah diabsorbsi di saluran pencernaan. Efek samping yang timbul adalah : gangguan fungsi mata yang tergantung dengan besarnya dosis, kelainan hati dan arthralgia (Kreider dan Rossman, 2000). 2.1.9. Evaluasi Pengobatan Penilaian respons pengobatan adalah konversi pemeriksaan dahak secara mikroskopis dan biakan. Hasil biakan dapat diperoleh setelah 2 bulan. Pemeriksaan mikroskopis dahak dan biakan dilakukan setiap bulan pada tahap awal dan setiap 2 bulan pada tahap lanjutan (Kemenkes, 2013). Evaluasi utama pada pasien MDR-TB adalah (Kemenkes, 2013): 1. Pemeriksaan dahak setiap bulan pada tahap awal dan setiap 2 bulan pada tahap lanjutan. 2. Pemeriksaan biakan setiap bulan pada tahap awal sampai konversi biakan. 3. Uji kepekaan obat sebelum pengobatan dan pada kasus yang diduga akan mengalami kegagalan pengobatan. 18

Gambar 2.1. Jadwal Pemantauan Pengobatan MDR-TB (Kemenkes, 2013). Frekuensi yang dianjurkan Pemantauan Bulan pengobatan 0 1 2 3 4 5 6 8 10 12 14 16 18 20 22 Evaluasi Utama Pemeriksaan Setiap bulan sampai konversi, bila sudah konversi setiap 2 dahak dan biakan bulan dahak Evaluasi Penunjang Evaluasi Klinis (termasuk BB) Pengawasan oleh Setiap bulan sampai pengobatan selesai atau lengkap PMO Uji kepekaan obat * Foto toraks Kreatinin serum ** Kalium serum ** Thyroid Stimulating Hormone (TSH) *** Enzim hepar (SGOT, SGPT) # Evaluasi secara periodik Tes kehamilan Hb dan leukosit Berdasarkan indikasi *Sesuai indikasi uji kepekaan bisa diulang, seperti gagal konversi atau memburuknya keadaan klinis. Untuk pasien dengan hasil biakan tetap positif uji kepekaan tidak perlu diulang sebelum 3 bulan 19

**Bila diberikan obat suntik. Pada pasien dengan HIV, diabetes dan resiko tinggi lainnya pemeriksaan ini dilakukan setiap 1-3 minggu ***Bila diberikan etionamid/protionamid atau PAS, bila ditemukan tanda dan gejala hipotiroid #Bila mendapat pirazinamid untuk waktu yang lama atau pada pasien dengan resiko, gejala hepatitis Bila mendapat linezolid atau ARV 20

Tabel 2.1. Efek Samping Obat MDR-TB (Depkes, 2009) Nama obat Efek samping Pemeriksaan Tindakan Etionamid Gangguan gastrointestinal,gangguan neurologis SGOT, SGPT Pemberian antiemetik atau sesuaikan dosis terendah Sikloserin Gangguan neurologis dan Nilai kadar obat dalam Piridoksin psikiatri serum, evaluasi secara teratur status mental pasien Kanamisin, Kapreomisin, Amikasin Gangguan pendengaran, gangguan keseimbangan, toksisitas ginjal dan gangguan elektrolit Audiogram, tes keseimbangan, cek fungsi faal ginjal (ureum, kreatinin) Perhatian khusus pada pasien usia tua dan dengan gangguan ginjal Para Amino Salicylic acid (PAS) Gangguan gastrointestinal, hepatitis,hipersensitivitas SGOT, SGPT Pemberian antasid, pemberian obat pada waktu makan Ciprofloksasin, Gangguan Monitor interaksi obat antasida, zat Ofloksasin, Moksifloksasin gastrointestinal, sakit kepala,hipersensitivitas, interaksi obat besi, sukralfat menurunkan absorbs obat 21

Tabel 2.2 Pembagian dosis berdasarkan berat badan (Kemenkes, 2013). OAT Berat badan < 33 kg 33-50 kg 51-70 kg >70 kg Pirazinamid 30-40 1000-1750- 2000-2500 mg (tablet,500 mg) mg/kg/hari 1750 mg 2000 mg Etambutol 25 mg/kg/hari 800-1200 1200-1600-2000 mg (tablet,500 mg) mg 1600 mg Kanamisin 15-20 500-750 1000 mg 1000 mg (vial,1000 mg) mg/kg/hari mg Kapreomisin 15-20 500-750 1000 mg 1000 mg (vial,1000 mg) mg/kg/hari mg Levofloksasin 750 750 mg 750 mg 750-1000 mg (kaplet, 250 mg) mg/kg/hari Sikloserin (250 mg) 15-20 500 mg 750 mg 750-1000 mg mg/kg/hari Etionamid (250 mg) 15-20 mg/kg/hari 500 mg 750 mg 750-1000 mg PAS(granula,4gram) 150mg/kg/hari 8 gram 8 gram 8 Gram 2.2. Depresi 2.2.1. Definisi depresi Menurut PPDGJI-III, depresi adalah suatu suasana perasaan (mood) yang mempunyai gejala utama mood yang depresif, kehilangan minat dan kegembiraan serta berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah dan berkurangnya aktifitas, serta beberapa gejala lainnya seperti konsentrasi dan perhatian yang berkurang, harga diri dan kepercayaan diri berkurang, gagasan tentang perasaan bersalah dan tidak berguna, pandangan masa depan yang suram, gagasan atau perbuatan yang membahayakan diri atau bunuh diri, tidur yang terganggu dan nafsu makan berkurang (PPDGJ-III, 1993). 22

Menurut Diagnostic and Statistical of Mental Disorder Fourth Edition Text Revision (DSM-IV TR) dan Diagnostic and Statistical of Mental Disorder Fifth Edition Text Revision (DSM-V TR), suatu episode depresif berat harus berlangsung sekurang-kurangnya 2 minggu, dan secara tipikal seseorang dengan diagnosis suatu episode depresif berat juga mengalami paling sedikit 4 simptom dari daftar yang termasuk perubahan nafsu makan dan berat badan, perubahan dalam tidur dan aktifitas, kurangnya energi, perasaan bersalah, masalah dalam berpikir dan membuat keputusan, dan pikiran yang berulang tentang kematian atau bunuh diri (American Psychiatric Association, 2000). 2.2.2. Komorbiditas Komorbiditas gangguan depresi dengan gangguan psikiatrik lainnya adalah umum dan secara signifikan mempengaruhi hasil pengobatan. Jumlah yang lebih besar dari kondisi komorbiditas yang bersamaan berhubungan dengan peningkatan keparahan, morbiditas, dan kronisitas gangguan depresif. Gangguan yang paling sering dijumpai adalah penyalahgunaan atau ketergantungan alkohol, gangguan panik, gangguan obsesif-kompulsif, dan gangguan ansietas sosial (Rihmer, 2009). 2.2.3. Etiologi 1. Faktor Biologis Norepinefrin. Hubungan yang ditunjukkan oleh studi ilmiah dasar antara downregulation dari reseptor -adrenergik dan respons klinis antidepresan adalah bagian tunggal yang paling kuat dari data yang mengindikasikan suatu peran langsung untuk sistem noradrenegik dalam depresi. Bukti lain juga melibatkan reseptor 2 presinaptik dalam depresi, sebagaimana aktivasi dari reseptor ini berakibat pada penurunan dari jumlah norepinefrin yang dilepaskan. Reseptor 2 presinaptik juga terdapat pada neuron-neuron serotonergik dan mengatur jumlah serotonin dengan efek noredrenergik. 23

Serotonin. Dengan efek yang besar dari selective serotonin reuptake inhibitors (SSRIs) sebagai contoh, fluoxetine (prozac) telah dibuat pada pengobatan depresi, serotonin telah menjadi neurotransmiter amin biogenik yang paling umum dihubungkan dengan depresi. Identifikasi dari multipel subtipe reseptor serotonin telah meningkatkan kegembiraan dalam komunitas penelitian tentang perkembangan dari pengobatan yang lebih spesifik untuk depresi. Disamping fakta bahwa SSRIs dan antidepresan serotonergik lain adalah efektif dalam pengobatan depresi, data lain mengindikasikan bahwa serotonin terlibatdalam patofisiologi depresi. Pengurangan serotonin bisa mencetuskan depresi, dan beberapa pasien dengan impuls bunuh diri memiliki konsentrasi cairan otak yang rendah dari metabolit serotonin dan konsentrasi serotonin yang rendah dari tempat ambilan pada platelet. Dopamin. Walaupun norepinefrin dan serotonin adalah amin biogenik yang paling sering dihubungkan dengan patofisiologi depresi, dopamin juga telah diteorikan untuk memainkan peran. Data menyarankan bahwa aktifitas dopamin bisa menurun pada depresi dan meningkat pada mania. Penemuan dari subtipe - subtipe yang baru dari reseptor dopamin dan pengertian yang meningkat dari regulasi presinaptik dan pasca sinaptik dari fungsi dopamin lebih jauh telah memperkaya penelitian pada hubungan pada dopamin dan gangguan mood. Obat - obat yang menurunkan konsentrasi dopamin sebagai contoh reserpin (serpasil) dan penyakit penyakit yang mengurangi konsentrasi dopamin (misalnya, penyakit parkinson) dihubungkan dengan simptom - simptom depresif. Kontrasnya, obat - obat yang meningkatkan konsentrasi dopamin, seperti tirosin, amfetamin, dan bupropion (Wellbutrin), menurunkan simptom - simptom depresi. Dua teori belakangan ini tentang dopamin dan depresi adalah bahwa jalur dopamin mesolimbik bisa disfungsional pada depresi dan reseptor D1 dopamin bisa hipoaktif dalam depresi. Gangguan Neurotransmiter Lainnya. Penurunan gamma aminobutyric acid (GABA) tampak di dalam plasma, susunan saraf pusat, dan otak 24

untuk depresi. Asam amino glutamat dan glisin tampaknya menjadi excitatory neurotransmitter utama pada susunan saraf pusat. Glutamat dan glisin berikat pada tempat yang berhubungan dengan reseptor N-metyl-Daspartat (NMDA) dan sebagai kelebihannya bisa memiliki efek neurotoksik. Hipokampus memiliki konsentrasi yang tinggi dari reseptor NMDA, jadi adalah mungkin bahwa glutamat bersama dengan hiperkortisolemia memperantarai efek-efek neurokognitif dari stres kronik. Adanya bukti yang muncul bahwa obat-obat yang merupakan antagonis reseptor NMDA memiliki efek-efek antidepresan (Sadock, 2010). 2.2.4. Faktor Genetik Banyak penelitian keluarga, adopsi dan kembar mempunyai catatan (documented) yang panjang terhadap kemampuan menurunkan sifat daripada gangguan mood. Akhir akhir ini, fokus primer dari penelitian genetik adalah untuk mengidentifikasi gen yang spesifik yang menyebabkan kerentanan dengan menggunakan suatu metode genetik molekuler (Sadock, 2010). 2.2.5. Faktor Psikososial Peristiwa kehidupan (Life Events) dan stres lingkungan Pada suatu observasi klinik yang sudah berjalan lama bahwa peristiwa hidup yang menyebabkan stres lebih sering mendahului episode pertama daripada episode dari gangguan mood. Satu teori diusulkan untuk menjelaskan hal ini, bahwa stres yang menyertai episode pertama menghasilkan perubahan dalam keadaan fungsional berbagai neurotransmiter dalam sistim sinyal intra neural. Hasilnya, seseorang mempunyai resiko tinggi untuk mengalami episode dari gangguan mood walaupun tanpa stresor dari luar (Sadock, 2010). 2.2.6. Faktor kepribadian Tidak ada satu ciri (trait) kepribadian atau tipe yang secara unik mempredisposisikan seseorang ke depresi; semua manusia, dari pola kepribadian apapun bisa dan menjadi depresi dibawah keadaan yang sesuai. Orang-orang 25

dengan gangguan kepribadian tertentu, obsesif-kompulsif, histrionik dan ambang bisa menjadi resiko yang lebih besar untuk depresi daripada orang dengan anti sosial atau gangguan kepribadian paranoid (Sadock, 2010). Kejadian-kejadian belakangan yang menekan adalah prediktor paling kuat dari onset suatu episode depresif. Dari perspektif psikodinamik, klinisi selalu tertarik pada arti dari stresor tersebut. Penelitian telah mendemonstrasikan bahwa stresor yang dialami pasien lebih sebagai refleksi secara negatif pada percaya dirinya adalah lebih cenderung untuk menghasilkan depresi. Lebih lanjut, apa yang sepertinya menjadi stresor yang relatif ringan untuk orang lain bisa menghancurkan bagi pasien karena arti idiosinkratik khusus yang melekat pada kejadian tersebut (Sadock, 2010). 2.2.7. Faktor psikodinamik pada depresi Pengertian psikodinamik dari depresi didefinisikan oleh Sigmund Freud dan diperluas oleh Karl Abraham diketahui sebagai pandangan klasik dari depresi. Teorinya memasukkan empat titik kunci: (1) gangguan dalam hubungan ibu anak selama fase oral (10 hingga 18 bulan pertama dari kehidupan) mempredisposisi kerapuhan lanjutan kepada depresi; (2) depresi bisa dihubungkan kepada kehilangan objek yang nyata atau yang dikhayalkan; (3) introyeksi dari objek yang meninggal dunia adalah suatu mekanisme pertahanan yang diminta untuk menghadapi tekanan yang dihubungkan dengan kehilangan objek; (4) karena kehilangan objek diperhatikan dengan campuran cinta dan benci, perasaan marah yang ditunjukkan kepada diri sendiri (Sadock, 2010). Melanie Klein memahami depresi dengan memasukkan ekspresi agresi terhadap orang yang dicintai, sama seperti yang diutarakan Freud. Depresi terjadi ketika pasien menyadari bahwa orang atau cita-cita yang telah mereka jalani tidak pernah berespons dengan cara yang akan memenuhi harapan mereka. Ketika yang lain tidak memenuhi kebutuhan ini terdapat hilangnya kepercayaan diri yang besar yang timbul sebagai depresi. John Bowlby percaya bahwa kerusakan pada kelekatan awal dan perpisahan traumatik pada masa anak-anak mempredisposisi depresi. Kehilangan saat dewasa disebutkan menghidupkan kembali kehilangan 26

yang traumatik pada anak dan mempresipitasi episode depresi dewasa (Sadock, 2010). 2.2.8. Gambaran Klinis Tanda utama dari episode depresif berat adalah mood depresi atau hilang minat atau kesenangan yang menonjol selama sedikitnya 2 minggu dan menyebabkan distres atau hambatan yang bermakna dalam fungsi sosial, pekerjaan, area fungsi penting lainnya pada seorang individu. Selama masa ini seseorang juga menampilkan sedikitnya 4 gejala tambahan dari di bawah ini (Blacker D, 2009). A. Mood depresi Mood depresi adalah gejala yang paling khas terjadi pada > 90% pasien. Pasien melaporkan sendiri sebagai perasaan sedih, murung, hampa, putus asa, muram atau tenggelam dalam kesedihan. Kualitas mood sebaiknya dilukiskan berbeda dari perasaan kesedihan yang normal atau duka cita. B. Anhedonia Tidak mampu menikmati aktifitas yang biasa dilakukan adalah yang paling umum dialami pasien depresi. Pasien atau keluarganya melaporkan dengan jelas adanya penurunan minat pada semua, atau hampir semua aktifitas yang sebelumnya dinikmati seperti seks, hobi dan kegiatan rutinitas sehari-hari. C. Perubahan nafsu makan Sekitar 70% pasien depresi yang diamati terdapat penurunan nafsu makan bersamaan BB (berat badan) yang hilang. Hanya sedikit pasien yang mengalami peningkatan nafsu makan, sering dikaitkan dengan makanan khusus seperti permen. D. Perubahan pola tidur Sekitar 80% pasien depresi mengeluhkan beberapa tipe gangguan tidur, yang paling sering adalah insomnia. Insomnia biasanya dibagi menjadi insomnia biasa (masalah pada susah mengantuk), pertengahan (tidur tetapi 27

sering terbangun sepanjang malam) atau lambat (pasien bangun terlalu pagi). E. Perubahan pada aktifitas tubuh Sekitar setengah dari pasien depresi berkembang dengan terjadinya kemunduran dan perlambatan gerakan atau aktifitas. Mereka menunjukkan lambat berfikir, berbicara, pergerakan tubuh atau menurunnya volume isi pembicaraan dengan jeda yang panjang sebelum menjawab. Pada sekitar persen pasien wanita yang depresi dan 50 persen laki-laki yang depresi. F. Kehilangan tenaga Hampir semua pasien depresi melaporkan kehilangan energi (tenaga). Malas dan kelelahan yang tidak biasanya dan terhambatnya efisiensi pada pekerjaan kecil atau sedang. G. Perasaan tak berharga dan rasa bersalah yang berlebihan dan tak wajar. Pasien depresi dapat mengalami penurunan harga diri yang nyata (dan sering tidak realistik). Pada kebudayaan Eropa, lebih dari setengah pasien depresi menunjukkan rasa bersalah, rentang dari perasaan yang tidak jelas / samar-samar, yang mana kondisi mereka saat ini hasil dari sesuatu yang telah mereka lakukan di masa lalu, sampai kepada waham Frank dan kemiskinan atau memiliki dosa yang tidak dapat diampuni. Kultur lain mengalami rasa malu atau penghinaan. H. Perasaan bimbang dan kurang konsentrasi Sekitar setengah dari pasien depresi mengeluh atau memperlihatkan kelambatan berpikir. Mereka dapat merasakan bahwa mereka tidak mampu berpikir sebaik dahulu dan mereka sukar berkonsentrasi atau mereka mudah bingung. Seringkali ragu-ragu terhadap kemampuan untuk menilai sesuatu dan menemukan kalau mereka kesulitan dalam mengambil keputusan kecil. Pada ujian formal psikologis akurasi pasien berkurang dan kecepatan serta pelaksanaan yang lambat. I. Ide bunuh diri Banyak pasien depresi mengalami pikiran yang berulang-ulang untuk mati, perasaan singkat bahwa orang lain akan lebih baik dengan 28

kematiannya, juga merencanakan untuk melakukan bunuh diri. Lebih dari 15 persen pasien depresif berat yang parah menyukai kematian dengan bunuh diri. Resiko bunuh diri pasien timbul pada episode depresif tetapi kemungkinan tinggi setelah permulaan terapi dan selama 6-9 bulan setelah pemulihan (Blacker, 2009). 2.3. Ansietas 2.3.1. Definisi Ansietas Menurut (DSM-IV-TR) mendefinisikan gangguan ansietas menyeluruh sebagai kecemasan yang berlebihan dan khawatir tentang beberapa peristiwa atau kegiatan sepanjang hari setidaknya satu periode 6 bulan. Khawatir ini sulit untuk dikontrol dan berhubungan dengan gejala somatik, seperti ketegangan otot, lekas marah, sulit tidur, dan gelisah. Kecemasan sulit dikendalikan, secara subyektif menyusahkan, dan menghasilkan penurunan area penting dari kehidupan seseorang (Sadock, 2010). 2.3.2. Etiologi Penyebab gangguan ansietas menyeluruh tidak diketahui. Sebagaimana definisi saat ini gangguan ansietas menyeluruh mungkin dipengaruhi oleh keberagaman kelompok masyarakat. Mungkin karena tingkat tertentu dari ansietas adalah normal dan dapat diterima, perbedaan ansietas normal dari ansietas patologi serta faktor penyebab secara biologis dari faktor penyebab psikososial sulit dibedakan. Kemungkinan faktor biologis dan psikososial saling berkaitan (Sadock, 2010). 2.3.3. Faktor Biologis a. Genetik Penelitian terdahulu menyelidiki genetik dari gangguan ansietas menyeluruh, ditemukan 19,5 persen pasien yang memiliki gangguan ansietas menyeluruh mempunyai keluarga tingkat pertama yang juga dengan diagnosis yang sama. Sebagian besar risiko keluarga berhubungan dengan genetik (30-40 persen), tapi proporsi terbesar berbeda dalam kecenderungan dihubungkan dengan faktor individu dan lingkungan (Lightfoot, 2009). 29

b. Neurokimia Norepinefrin adalah katekolamin yang bekerja sebagai hormon dan neurotransmitter. Inti norepinefrin utama di dalam otak, yaitu locus coeruleus, terlihat diaktifkan oleh stres dan telah dilibatkan dalam perilaku takut, kewaspadaan, proses perhatian. Suatu penelitian menemukan bahwa pasien dengan gangguan ansietas menyeluruh mempunyai tingkat katekolamin plasma yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol. Penelitian lain juga memperlihatkan tingkat norepinefrin plasma yang meningkat pada pasien dengan gangguan ansietas menyeluruh (Sadock, 2010). Neurotransmiter lain yang dihubungkan dengan gangguan ansietas menyeluruh adalah serotonin, yang tersebar luas dalam otak. Deakin dan Graeff pada tahun 1991 mengemukakan 2 jalur serotonergik yang nyata muncul dari raphe nucleus, yaitu: 1) jalur naik (ascending) yang berjalan ke amigdala dan korteks frontal berhubungan dengan kondisi ketakutan dan merupakan model dari gangguan ansietas menyeluruh, 2) jalur turun (descending) yang berjalan ke periaqueduktal gray matter dan berhubungan dengan ketakutan tanpa sebab (seperti panik). Berdasarkan jalur gangguan ansietas menyeluruh, situasi yang secara potensial menakutkan dapat meningkatkan serotonin sinaps, yang memberikan regio kortikal dan limbik menggunakan input ini untuk menilai situasi dan merumuskan suatu respons (Sadock, 2010). Gamma AminoButiryc Acid (GABA) adalah neurotransmitter inhibitor primer dalam sistem saraf pusat dan terdapat pada sebagian besar otak. Farabollini dan kawan- kawan pada tahun 1996 menemukan bahwa sejumlah reseptor benzodiazepin pada hipokampus dan korteks berkurang selama stress (Sadock, 2010). 2.3.4. Faktor Psikososial Dua bidang pikiran utama tentang faktor psikososial mengarah pada perkembangan gangguan ansietas menyeluruh adalah bidang kognitif- perilaku dan psikoanalitik. Menurut kognitif-perilaku, pasien dengan gangguan ansietas menyeluruh merespons secara tidak tepat dan tidak akurat bahaya yang dirasakan. Ketidak akuratan ini dihasilkan oleh perhatian yang selektif terhadap rincian 30

negatif di lingkungan, oleh distorsi dalam pengolahan informasi, dan dengan pandangan yang terlalu negatif terhadap kemampuan diri sendiri dalam mengatasinya. Teori psikoanalitik menganalisis bahwa ansietas merupakan gejala dari konflik bawah sadar yang belum terselesaikan (Sadock, 2010). 2.3.5. Gambaran Klinis Gejala utama dari gangguan ansietas menyeluruh adalah kecemasan yang berkelanjutan dan khawatir yang berlebihan dan disertai oleh sejumlah gejala fisiologis, termasuk ketegangan motorik, hiperaktifitas otonom dan kewaspadaan kognitif. Ansietas berlebihan dan mengganggu aspek lain dari kehidupan seseorang. Gambaran ini harus terjadi selama minimal 6 bulan. Ketegangan motorik ini paling sering dimanifestasikan sebagai keadaan gemetar, gelisah dan sakit kepala. Hiperaktifitas otonomik biasanya dinyatakan dalam bentuk sesak nafas, keringat berlebihan, palpitasi, dan berbagai gejala gastrointestinal. Kewaspadaan kognitif ditunjukkan dengan mudah tersinggung dan mudahnya pasien dikejutkan (Sadock, 2010). Menurut PPDGJ-III gambaran esensial dari gangguan ini adalah adanya ansietas yang menyeluruh dan menetap (bertahan lama), tetapi tidak terbatas pada atau hanya menonjol pada setiap keadaan lingkungan tertentu saja (misalnya sifat mengambang atau free floating) (PPDGJ-III, 1993). 2.4. Simptom Depresi dan Kecemasan Gejala gejala depresi adalah merasa sedih dan bersalah, merasa cemas dan kosong, merasa tidak ada harapan, merasa tidak berguna dan gelisah, merasa mudah tersinggung dan tidak ada yang peduli, gangguan berkonsentrasi, mengingat informasi, membuat keputusan, gangguan pola tidur, kehilangan nafsu makan atau makan terlalu banyak, kekurangan energi dan adanya pikiran untuk bunuh diri (NIMH, 2015). Kecemasan adalah perasaan tidak jelas, subyektif dan tidak spesifik. (Duko et al, 2015). Kecemasan adalah gangguan alam perasaan, ketakutan atau 31

kekhawatiran yang mendalam dan berkelanjutan, tidak mengalami gangguan dalam menilai realitas, kepribadian masih tetap utuh, perilaku dapat terganggu tetapi masih dalam batas-batas normal (NIMH, 2015). Gejala-gejala kecemasan meliputi rasa khawatir, tidak tenang, ragu, bimbang, memandang masa depan dengan was-was, kurang percaya diri, gugup apabila tampil di depan umum, sering merasa tidak bersalah dan menyalahkan orang lain, tidak mudah mengalah, tidak tenang bila duduk, sering kali mengeluh, khawatir berlebihan terhadap penyakit, mudah tersinggung, suka membesarkan masalah yang kecil, sering merasa ragu dalam mengambil keputusan, bila bertanya sesuatu sering kali berulang-ulang, jika sedang emosi sering bertindak histeris (NIMH, 2015). Depresi sering datang bersamaan dengan gejala kecemasan, masalah ini dapat menjadi kronik atau berulang dan menyebabkan kerusakan yang besar pada kemampuan seseorang untuk menjaga tanggung jawab keseharian. Kehadiran depresi dan kecemasan mempunyai dampak yang buruk pada kualitas kehidupan, pembiayaan kesehatan dan perawatan diri (Duko et al, 2015). 2.5..Pengaruh Gejala Kejiwaan Pada Pasien MDR-TB Komplikasi gejala kejiwaan pada pasien MDR-TB dipengaruhi oleh faktor psikososial dan ekonomi. Masalah dukungan keluarga serta beberapa masalah psikososial lain yang sering menjadi keprihatinan utama pada individu dengan MDR-TB meliputi: stigma sosial, diskriminasi, takut dan rasa bersalah terkait dengan risiko infeksi, beban sosio-ekonomi dan psikologis hidup dengan penyakit kronis yang mengancam jiwa, lamanya pengobatan, jumlah obat yang banyak, ketergantungan terhadap orang lain, kegagalan beberapa pengobatan, kehilangan anggota keluarga dan mengalami kemiskinan menjadi dampak yang buruk terhadap kualitas hidup serta harapan kesembuhan pasien MDR-TB (Vega et al, 2004). Lingkungan dan keluarga yang takut akan infeksi terhadap pasien MDR-TB merupakan salah satu faktor yang berkontribusi terhadap stigma sosial yang dapat 32

menghasilkan isolasi sosial sehingga mengakibatkan penolakan diagnosis pasien MDR-TB serta berdampak dalam pengobatan OAT MDR (Vega et al, 2004). Sebagian besar pasien hidup dalam kemiskinan dan penyakit MDR-TB menempatkan beban lebih lanjut tentang keluarga mereka. Karena gejala penyakit dan efek samping obat, banyak pasien tidak mampu bekerja atau memenuhi kebutuhan sosial lainnya, mereka menyerah dan menunda akan pekerjaan maupun pendidikan dan kegiatan lainnya karena merasa frustasi (Acha et al, 2007). Pemberian regimen pada pengobatan MDR-TB dilaporkan telah banyak memberikan efek samping lebih banyak dari OAT lini pertama sebesar 19-55%. Sikloserin adalah salah satu regimen pada pengobatan MDR-TB yang merupakan antibiotik spektrum luas yang telah direkomendasikan oleh WHO sebagai lini kedua kelompok IV obat bakteristatik oral yang digunakan dalam dosis 250-500 mg dua kali sehari. Efek samping dari sikloserin berhubungan dengan efek kejiwaan, seperti depresi, kecemasan, halusinasi, euphoria, perubahan perilaku dan bunuh diri telah dilaporkan sebesar 9,7-50% dari setiap orang yang menggunakan sikloserin. Efek samping sikloserin yang mungkin terjadi adalah ketika penggunaan pada tiga bulan pertama (Saraf et al, 2015). Sikloserin adalah sebuah antibiotik yang dihasilkan oleh streptomyces patorhidaceous. Sikloserin adalah obat yang larut air dan sangat tidak stabil pada ph asam. Sikloserin meiginhibisi berbagai bakteri gram positif dan gram negatif, tetapi hampir digunakan khusus untuk mengobati tuberkulosis yang disebabkan oleh strain Mtb yang resisten sebagai lini pertama. Secara struktur sikloserin analog dengan D-alanine dan menginhibisi penggabungan D-alanine menjadi peptidoglican pentapeptida dengan cara menghambat alanine racemase, yang mengubah L-alanine menjadi D-alanine, dan D-alanyl-D-alanine ligase. Setelah mengkonsumsi sikloserin sebanyak 0,25 gram mencapai sekitar 20-30 mcg/ml dalam darah yang mampu menghambat banyak strain mikobakteria dan bakteri gram negative. Sikloserin tersebar luas di jaringan. Sikloserin diekresi dalam bentuk aktif dalam urin. Dosis teurapeutik yang digunakan untuk mengobati MDR-TB 0,5 1 gr/hari dibagi dalam 2-3 dosis (Katzung, 2012). 33

Sikloserin dapat menyebabkan berbagai toksisitas pada sistem saraf pusat seperti nyeri kepala, tremor, psikosis akut dan kejang. Jika dosis oral dipertahankan dibawah 0,75 gr/hari efek samping tersebut biasaya dapat dihindarkan (Bakhla et al, 2013). Mekanisme yang mungkin secara neurobiologis dari sikloserin yang menyebabkan gangguan psikis dengan cara mengikat dan memodulasi N-methyl- D-aspartate glutamate reseptor (NMDAR) antagonis dan agonis parsial di NMDAR yang berhubungan dengan glycine (GLY) dengan dosis 500 mg atau lebih per hari bisa menyebabkan gangguan psikiatrik pada individu yang rentan. Meskipun dalam beberapa laporan pengobatan MDR-TB yang menyebabkan gangguan psikis pada peresepan polifarmasi tidak terbatas hanya pada obat sikloserin saja, akan tetapi gangguan psikis tersebut dapat terjadi pada pemberian obat-obatan yang bekerja pada NMDAR antagonis dan parsial agonis pada NMDAR yang berhubungan dengan glisin (Bakhla et al, 2013). 2.6. Penilaian Depresi dan Kecemasan Hospital Anxiety and Depression Scale (HADS) pertama kali dikembangkan oleh Zigmont and Snait pada tahun 1983, tujuannya adalah untuk memberikan klinisi sebuah alat pemeriksaan yang dapat diterima, diandalkan dan benar untuk mengindentifikasi dan menghitung derajat depresi dan kecemasan. HADS adalah suatu metode yang telah diterjemahkan lebih dari 25 negara sejak pertama kali dikembangkan. Peran skala ini digunakan untuk mengidentifikasi pasien di rumah sakit umum yang memerlukan evaluasi dari psikiatri (Michopoulos et al, 2008). HADS terdiri dari 14 pernyataan yang dibagi menjadi 2 subskala, yaitu untuk menilai kecemasan (7 pernyataan) dan depresi (7 pernyataan), yang mana pasien menggolongkan masing-masing pernyataan dalam 4 skala nilai, dari nilai 0 (tidak sama sekali) sampai nilai 3 (sangat sering). Nilai yang lebih tinggi mengindikasikan adanya permasalahan. Jawaban pasien dijumlahkan secara terpisah, yaitu penilaian untuk kecemasan dan penilaian untuk depresi, dengan jumlah minimum dan maksimum adalah 0 dan 21 untuk masing - masing skala (Michopoulus et al, 2008). Skala yang digunakan untuk 34

menggolongkan pasien mengalami kecemasan dan depresi dengan pasien yang tidak mengalami kecemasan dan depresi jika dari 21 skala. Jika skala >16 menyatakan kasus berat, skala 11-15 termasuk kasus sedang, dan skala 8-10 adalah kasus ringan, sedangkan skala < 8 adalah bukan merupakan suatu kasus kecemasan atau depresi (Widyadharma et al, 2015). Validitas dan reabilitas HADS sudah dilaporkan beberapa penelitian, di Indonesia telah dilakukan uji reliabilitas oleh Widyadharma et al pada tahun 2015. Hasil interrater agreement untuk HADS-A adalah 0,706. Hasil interrater agreement untuk HADS-D adalah 0,681. Dimana nilai 0,61-0,80 berarti kesepakatan Kappa Cohen adalah baik (Widyadharma et al, 2015). 35