TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Umum Dalam suatu perencanaan pekerjaan, diperlukan pemahaman terhadap teori pendukung agar didapat hasil yang maksimal. Oleh karena itu, sebelum memulai perencanaan Bendung PLTM Telagawaja, perlu adanya dasar teori untuk menentukan spesifikasispesifikasi yang akan menjadi acuan dalam perencanaan pekerjaan konstruksi tersebut. Dasar-dasar teori yang telah kami rangkum untuk perencanaan ini adalah : a. Analisa Hidrologi b. Analisa Hidrolis 2.2 Hidrologi Hidrologi adalah bidang pengetahuan yang mempelajari kejadian-kejadian serta penyebab air alamiah di bumi. Faktor hidrologi yang berpengaruh pada wilayah hulu adalah curah hujan (presipitasi). Curah hujan pada suatu daerah merupakan salah satu faktor yang menentukan besarnya debit banjir yang terjadi pada daerah yang menerimanya (Soemarto,1999). Analisis hidrologi dilakukan guna mendapatkan karakteristik hidrologi dan meteorologi Daerah Aliran Sungai. Tujuannya adalah untuk mengetahui karakteristik hujan, debit air yang ekstrim maupun yang wajar yang akan digunakan sebagai dasar analisis selanjutnya dalam pelaksanaan detail desain. Sedangkan untuk analisis sedimentasi dilakukan guna mengetahui potensi sedimentasi Tugas Akhir Perencanaan Bendung PLTM Telagawaja-Bali II - 1
TINJAUAN PUSTAKA yang diperkirakan terjadi sebelum dibangun Embung Jlantah, digunakan sebagai dasar untuk menentukan besarnya tampungan sedimen yang diperlukan. 2.2.1 Penentuan Luas DAS ( Daerah Aliran Sungai ) Yang dimaksud dengan Daerah Aliran Sungai adalah semua bagian aliran air di sekitar sungai yang mengalir menuju alur sungai, aliran air tersebut tidak hanya berupa air permukaan yang mengalir di dalam alur sungai, tetapi termasuk juga aliran air dipunggung bukit yang mengalir menuju alur sungai sehingga daerah tersebut dinamakan daerah aliran sungai (Soemarto, 1999). Untuk penentuan Luas DAS ini mengacu pada Perencanaan Pengembangan Wilayah Sungai dalam rangka peningkatan kemampuan penyediaan air sungai untuk berbagai kebutuhan hidup masyarakat, sehingga meliputi beberapa ketentuan antara lain (Soemarto, 1999) : a. Luas DAS mengikuti pola bentuk aliran sungai dengan mempertimbangkan aspek geografis di sekitar Daerah Aliran Sungai yang mencakup daerah tangkapan (cathment area) untuk perencanaan tersebut. b. Luas DAS dapat diketahui dari gambaran (deskripsi) yang diantaranya meliputi peta- peta atau foto udara, dan pembedaan skala serta standar pemetaan sehingga dapat menghasilkan nilai-nilai yang sebenarnya. Nilai koefisien korelasi debit di suatu titik sungai yang sama terhadap titik AWLR adalah sebagai berikut : K = CAP / CAA Dimana : K = koefisien korelasi CAP = catchment area lokasi bendung Tugas Akhir Perencanaan Bendung PLTM Telagawaja-Bali II - 2
TINJAUAN PUSTAKA CAA = catchment area AWLR 2.2.2 Debit Banjir Rencana Analisis debit banjir rencana ini ditujukan untuk mengetahui besarnya debit banjir maksimum dalam periode ulang tertentu yang nantinya dipergunakan untuk perhitungan debit banjir rencana. Dalam perhitungan analisa debit banjir rencana dilakukan analisis frekuensi,jenis sebaran, pemilihan jenis sebaran (distribusi) serta uji keselarasan. 2.2.2.1 Analisis Frekuensi Parameter statistik yang digunakan adalah : Koefesien Skewness (CS), adalah nilai yang menunjukkan derajat ketidaksimetrisan dari suatu bentuk distribusi Koefisien Kurtosis (Ck), adalah nilai yang digunakan untuk mengukur keruncingan dari bentuk kurva distribusi, yang umumnya dibandingkan dengan distribusi normal. Koefisien Variasi (Cv), adalah nilai perbandingan antara deviasi standar dengan nilai rata rata hitung suatu distribusi. 2.2.2.1.1 Pengukuran Dispersi Pada kenyataannya tidak semua varian dari suatu variable hidrologi terletak atau sama dengan nilai rata-ratanya. Variasi atau dispersi adalah besarnya derajat dari Tugas Akhir Perencanaan Bendung PLTM Telagawaja-Bali II - 3
TINJAUAN PUSTAKA requirement) Debit andalan (dependable flow)adalah debit minimum (terkecil) sungai yang masih dimungkinkan untuk keamanan operasional suatu bangunan air. Definisi lainnya mengenai debit andalan adalah debit minimum sungai untuk kemungkinan terpenuhi yang sudah ditentukan dan dapat dipakai untuk irigasi. Untuk penentuan debit andalan ada 3 metode analisis yang dapat dipakai yaitu : Analisis frekuensi data debit Neraca air pengamatan Menurut Soemarto (1987), pengamatan besarnya keandalan yang diambil untuk penyelesaian optimum penggunaan air di beberapa macam kegiatan dapat dilihat pada tabel 2.6. Tabel 2.6 Nilai Debit Andalan Untuk Berbagai Macam Kegiatan Kegiatan Keandalan Penyediaan Air Minum 99% Penyediaan Air Industry 95%-98% Penyediaan Air Irigasi Daerah Beriklim Setengah Lembab 70%-85% Daerah Beriklim Kering 80%-95% Pembangkit Listrik Tenaga Air 85%-90%. 2.3.1 Pemilihan Jenis Sebaran Pemilihan jenis sebaran dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan metode analitis dan metode grafis. Tugas Akhir Perencanaan Bendung PLTM Telagawaja-Bali II - 6
TINJAUAN PUSTAKA a. Metode Analitis Metode analitis yaitu dengan memperbandingkan parameter statistik untuk menentukan jenis sebaran yang sesuai dengan kriteria yang dipersyaratkan. Untuk memilih jenis sebaran, ada beberapa macam distribusi yang sering dipakai yaitu : 1) Distribusi Normal Dalam analisis hidrologi distribusi normal sering digunakan untuk menganalisis frekuensi curah hujan, analisis stastistik dari distribusi curah hujan tahuan, debit rata rata tahuan. Distribusi tipe normal, mempunyai koefisien kemencengan (Coefficient of skewness) atau CS = 0 dan Ck = 3. 2) Distribusi Log Normal Distribusi Log Normal merupakan hasil transformasi dari distribusi Normal yaitu dengan mengubah varian X menjadi nilai logaritmik varian X. Distribusi ini dapat diperoleh juga dari distribusi Log Pearson Type III apabila nilai koefisien kemencengan CS = 0. Distribusi tipe Log Normal mempunyai koefisien kemencengan (Coefficient of skewness ) atau CS = 3 CV + C 3. Syarat lain distribusi sebaran Log Normal Cv ~ 0,06, CK = CV 8 + 6 CV 6 + 154 + 16 CV 2 + 3. 3) Distribusi Gumbel I Distribusi Tipe I Gumbel atau Distribusi Extrim Tipe I digunakan untuk analisis data maksimum, misalnya untuk analisis frekuensi banjir. Distribusi Tipe I Gumbel mempunyai koefisien kemencengan (Coefficient of skewness ) atau CS = 1,139. Tugas Akhir Perencanaan Bendung PLTM Telagawaja-Bali II - 7
Distrib usi Normal Distribusi Gumbel Distribusi Log Pearson - 0.05 < Cs < 0.05 Cs > 1.1395 2.7 < Ck < 3.3 Ck > 5.4-0.05 < Cs < 0.05 1.776 > 1.1395 tidak ada batasan tidak memenuhi memenuhi 2.7 < 2.947 < 3.3 2.947 < 5.4 tidak ada batasan memenuhi tidak memenuhi Sumber : Harto, 1993:245
TINJAUAN PUSTAKA a. Uji Sebaran Chi Kuadrat Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut : (X 2 )Cr = K i 1 (EF - OF) 2 EF dimana : EF = n/k Jumlah kelas distribusi dihitung dengan persamaan seperti : K = 1 + 3,22 log n dimana : X 2 )Cr = Harga chi kuadarat OF EF K n = nilai yang diamati (observed frequency) = nilai yang diharapkan (expected frequency) = jumlah kelas distribusi = banyaknya data b. Uji Sebaran Smirnov Kolmogorov Data harus diurutkan dahulu, dari kecil ke besar baru dilakukan penggambaran pada masing masing kertas probabilitas. Penggambaran posisi (plotting positions) yang dipakai adalah cara yang dikembangkan oleh Weinbull dan Gumbel(Sri Harto, 1983:179), yaitu : Tugas Akhir Perencanaan Bendung PLTM Telagawaja-Bali II - 9
TINJAUAN PUSTAKA X rt k S = harga tengah (mean) = faktor frekuensi (dari tabel) = penyimpangan standar (standar deviasi) 2.4 Perencanaan Hidrolis 2.4.1 Umum Perencanaan hidrolis bagian-bagian pokok bangunan utama akan dijelaskan dalam pasal-pasal berikut ini. Perencanaan tersebut mencakup tipe-tipe bangunan yang telah dibicarakan dalam pasal-pasal terdahulu,yakni: bendung pelimpah Di sini akan diberikan kriteria hidrolis untuk bagian-bagian dari tipe bangunan yang dipilih dan sebagai referensi tambahan dapat digunakan SNI 03-1724-1989, SNI 03-2401-1991. 2.4.2 Bendung Pelimpah A. Lebar Bendung Lebar bendung, yaitu jarak antara pangkal-pangkalnya (abutment), sebaiknya sama dengan lebar rata-rata sungai pada bagian yang stabil. Di bagian ruas bawah sungai, lebar rata-rata ini dapat diambil pada debit penuh (bankful discharge): di bagian ruas atas mungkin sulit untuk menentukan debit penuh. Dalam hal ini banjir mean tahunan dapat diambil untuk menentukan lebar rata-rata bendung. Lebar maksimum bendung hendaknya tidak lebih dari 1,2 kali lebar rata- rata sungai pada ruas yang stabil. Tugas Akhir Perencanaan Bendung PLTM Telagawaja-Bali II - 12
TINJAUAN PUSTAKA Tabel 2.2 Harga-harga koefisien K a dan K p Bentuk Pilar K p Untuk pilar berujung segi empat dengan sudut sudut yang dibulatkan pada jari-jari yanghampir sama dengan 0,1 dari tebal pilar 0,02 Untuk pilar berujung bulat 0,01 Untuk pilar berujung runcing 0 Bentuk Pangkal Tembok K a Untuk pangkal tembok segi empat dengan tembok hulu pada 90 0 ke arah aliran 0,20 Untuk pangkal tembok bulat dengan tembok hulu pada 90 0 ke arah aliran dengan 0,5 H 1 > r > 0.15 H 1 0.10 Untuk pangkal tembok bulat di mana r > 0.5 H 1 dan tembok hulu tidak lebih dari 450 ke arah aliran 0 Tugas Akhir Perencanaan Bendung PLTM Telagawaja-Bali II - 14
Kemiringan permukaan hilir K n vertikal 2.000 1,850 3 : 1 1,936 1,836 3 : 2 1,939 1,810 1 : 1 1,873 1,776
TINJAUAN PUSTAKA Gambar 2.11 Faktor pengurangan aliran tenggelam sebagai fungsi p2/h1 dan H2/H1. (Disadur dari US Army Corps of Engineers Waterways Experimental Station) Beberapa faktor faktor lain sehubungan dengan muka air banjir di atas mercu bendung, maka dilakukan perhitungan sebagai berikut : a. Debit Banjir Lebar (q) Dimana : q = Debit per satuan lebar (m³/detik/m) Q = Debit rencana (Q100 = 22.36 m³/detik) Be = Lebar efektif bendung (Be = 6,20 m) Jadi, Tugas Akhir Perencanaan Bendung PLTM Telagawaja-Bali II - 23
TINJAUAN PUSTAKA b. Kecepatan di hulu bendung (v) Dimana : (Kriteria Perencanaan 02) v q P H1 = Kecepatan di hulu bendung (m/detik) = Debit per satuan lebar (m³/detik/m) = Tinggi bendung (P = 2.50 m) = Tinggi energy diatas mercu (H1 = 1,46 m) c. Tinggi Persamaan Energi (Ha) d. Tinggi Muka Air Kritis (Hc) (3) Kecepatan datang (approach velocity) Jika dalam rumus-rumus debit di atas dipakai kedalaman air h1, bukan tinggi energi H1, maka dapat dimasukkan sebuah koefisien kecepatan datang Cv ke persamaan debit tersebut. Harga-harga koefisien ini dapat dibaca dari Gambar 2..12. Tugas Akhir Perencanaan Bendung PLTM Telagawaja-Bali II - 24
TINJAUAN PUSTAKA D. Lantai Muka Bendung Adanya perbedaan muka air di hulu dan hilir bendung menyebabklan terjadinya tekanan pada tubuh bendung sehingga terjadi rembesan di bawah bendung. Apabila rembesan ini tidak diatasi maka akan menyebabkan penggerusan tanah di bawah bendung yang akibatnya akan mengganggu stabilitas bendung. Aliran di bawah bendung pada dasarnya akan mencari hambatan yang terkecil yaitu pada bidang kontak antara dasar bendung dengan tanah di bawahnya. Keadaan ini disebut creep line. Semakin kecil creep line rembesan yang terjadi akan semakin besar. Untuk memperbesar hambatan, creep line harus diperpanjang dengan cara memberi lantai muka, sehingga rembesan yang terjadi kecil atau mendekati nol sampai pada ujung ruang olakan. Metoda yang dipakai untuk menghitung creep line antara lain: 1. Metoda Net flow analisis 2. Metoda Bligh 3. Metoda Lane Dalam perencanaan bendung, creep line dihitung dengan Teori Lane yang disebut metoda angka rembesan. Teori Lane adalah kelanjutan dari Teori Bligh yang berpendapat bahwa perbedaan tekanan di jalur pengaliran air adalah sebanding denngan panjangnya jalan aliran air (creep line), dan dinyatakan sebagai berikut: H l C keterangan: H l = perbedaan tekanan = panjang aliran air (creep line) Tugas Akhir Perencanaan Bendung PLTM Telagawaja-Bali II - 27
TINJAUAN PUSTAKA C = koefisien dari Bligh, tergantung dari jenis material di bawah bendung Untuk perbedaan tekanan di ujung bendung (akhir dari jalur pengaliran air) dapat menggunakan rumus sebagai berikut: H L C keterangan: H L Lv Lh = perbedaan tinggi air di hulu dan hilir bendung = Lv + Lh dari jalur pengaliran air = panjang aliran vertikal = panjang aliran horisontal Maka syarat panjangnya lantai muka adalah Sedangkan pada Teori Lane, energi yang dibutuhkan untuk melewati jalan yang vertikal lebih besar daripada jalan yang horisontal dengan perbandingan 3 : 1 sehingga pada Teori Lane Lv = 3 Lh. Sehingga rumus umumnya menjadi CL 1 Lv Lh 3 H keterangan: CL Lv Lh H = angka rembesan lane = panjang rembesan creep lane (m) = panjang horisontal creep lane (m) = beda tinggi muka air hulu dan hilir (m) Bidang bersudut > 450 dianggap vertikal dan sudut < 450 dianggap horisontal. Perhitungan Creep Line dapat dilihat pada Perhitungan Stabilitas Bendung Harga C tergantung dari material dasar di bawah bendung. Oleh karena itu dapat Tugas Akhir Perencanaan Bendung PLTM Telagawaja-Bali II - 28
TINJAUAN PUSTAKA dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 2.4 Harga Koefisien Bligh dan Lane No Material 1. Pasir amat halus 2. Pasir halus 3. Pasir sedang 4. Pasir kasar 5. Kerikil halus 6. Kerikil sedang 7. Kerukil campur pasir 8. Kerikil kasar termasuk batu-batu kecil 9. Boulder dengan batu-batu kecil dan kerikil kasar 10. Boulder dengan batu-batu kecil dan kerikil 11. Lempung lunak 12. Lempung sedang 13. Lempung keras 14. Lempung sangat keras Sumber: KP 02 hlm. 126 Koefisien C Bligh C Lane 18 8,50 15 7,00-6,00 12 5,00-4,00-3,50 9 - - 3,00-2,50 4,6 - - 2,00-1,80-1,80-1,60 E. Peredam energi Aliran di atas bendung di sungai dapat menunjukkan berbagai perilaku di sebelah bendung akibat kedalaman air yang ada h2. Gambar 2.15 menyajikan kemungkinankemungkinan yang terjadi dari pola aliran di atas bendung. Kasus A menunjukkan aliran tenggelam yang menimbulkan sedikit saja gangguan di permukaan berupa timbulnya gelombang. Kasus B menunjukkan loncatan tenggelam yang lebih diakibatkan oleh kedalaman air hilir yang lebih besar, daripada oleh kedalaman konjugasi. Kasus C adalah keadaan loncat air di mana kedalaman air hilir Tugas Akhir Perencanaan Bendung PLTM Telagawaja-Bali II - 29
Wa A.. p
TINJAUAN PUSTAKA Gaya gempa paling kritis bekerja pada bagian titik berat kontruksi dengan arah horizontal ke arah hilir bendung. Besarnya gaya gempa yang terjadi dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut : K = f. Wa keterangan: K = gaya horisontal akibat gaya gempa ( ton ) f = koefisien gempa ( f = 0,25 untuk daerah Bali kementerian pekerjaan umum ) Wa= gaya berat akibat konstruksi ( ton ) c. Gaya Tekanan Air (Hidrostatis) Gaya tekan air yang bekerja pada tubuh bendung dibagi menjadi 2 yaitu: 1. Tekanan air statis (gaya hidrostatis) Gaya hidrostatis merupakan fungsi dari tekanan di bawah permukaan air. Tekanan air akan selalu tegak lurus terhadap muka bendung baik bagian hulu maupun hilir. Pada perhitungan tekanan air statis diasumsikan bahwa kondisi muka air dalam keadaan normal, yakni muka air bagian hulu setinggi mercu dan bagian hilir dianggap tidak ada airnya. Pw = ½. w. H 2 y = 1/3 H dimana : Pw = Tekanan air statis (ton) w = Berat jenis air (ton/m3) H = Kedalaman air (m) y = Jarak tekanan (Pw) dari dasar dalam (m) 2. Tekanan air dinamik (gaya hidrodinamik) Gaya hidrodinamik adalah gaya tekan air yang bekerja secara tegak lurus pada permukaan konstruksi bendung dan besarnya tekanan air dinamik tergantung pada kedalaman air tersebut. Tugas Akhir Perencanaan Bendung PLTM Telagawaja-Bali II - 43
TINJAUAN PUSTAKA = 7 12 h = 2 5 Pd = Tekanan air dinamis (ton) gw = Berat jenis air (ton/m3) Kh = Koefisien gempa horizontal (0.15) H = Kedalaman air (m) Y = Jarak tekanan (Pd) dari dasar (m) d. Gaya Uplift Pressure Gaya uplift atau gaya angkat ke atas merupakan gaya tekan air di bawah dasar atau pondasi konstruksi bendung dengan arah vertikal. Gaya-gaya ini menyebabkan berkurangnya berat sendiri bangunan. Rumus yang digunakan diambil dari KP 06 hlm. 29 yaitu : Px Hx keterangan: Px Hx Lx L H Lx L x H = gaya angkat air ke atas pada titik x (ton/m) = tinggi energi titik x terhadap muka air di hulu (m) = jarak sepanjang bidang kontak dari hulu sampai titik x (m) = panjang total bidang kontak bendung (m) = beda tinggi energi muka air di hulu da di hilir bendung pada titik tinjauan (m) e. Gaya akibat tekanan lumpur/ sedimen Timbunan brupa endapan pasir dan lumpur akan menumpuk di muka bendung karena terangkut oleh aliran sungai. Endapan ini semakin lama akan semakin banyak dan dapat mengurangi stabilitas bendung terutama geser dan guling. Tekanan akibat lumpur bekerja secara horisontal terhadap muka hulu bendung dapat dihitung dengan rumus dari Kp 06 hlm. 24: Tugas Akhir Perencanaan Bendung PLTM Telagawaja-Bali II - 44
TINJAUAN PUSTAKA Ps 0,5. s. Ka. h 2 Ka tan 45 2 keterangan: Ps = gaya tekan endapan lumpur yang bekerja secara horisontal (ton) s = berat jenis tanah (ton/m 3 ) Ka = koefisien tanah aktif = sudut geser dalam ( o ) = 30 o untuk pasir lepas KP 06 hlm. 24 h = tinggi endapan (m) f. Gaya akibat tekanan tanah Tekanan tanah yang berpengaruh terhadap stabilitas bendung adalah tekanan tanah aktif dan pasif. Apabila tekanan tanah aktif yang terjadi lebih besar dari tekanan tanah pasif maka kemungkinan konstruksi bendung tersebut akan bergeser bahkan terjadi guling. Rumus yang digunakan adalah: 1. Tekanan tanah aktif Pa = 0,5. t. Ka. h 2 Ka = tan 2 (45 o - /2) 2. Tekanan tanah pasif Pp = 0,5. t. Kp. h 2 Kp = tan 2 (45 o + /2) keterangan: Pa = tekanan tanah aktif (ton) Pp = tekanan tanah pasif (ton) t = berat isi tanah (ton/m 3 ) Ka Kp = koefisien tanah aktif = koefisien tanah pasif = sudut geser dalam ( o ) = 30 o untuk pasir lepas KP 06 hlm. 24 h = tinggi tanah (m) Perhitungan daya dukung ini dipakai rumus daya dukung Terzaghi Tugas Akhir Perencanaan Bendung PLTM Telagawaja-Bali II - 45
TINJAUAN PUSTAKA Rumus : q = c. N c + γ.d.n q +1/2.γ.B.N γ Dimana: q = daya dukung keseimbangan (t / m 2 ) B = lebar pondasi ( m) D = kedalaman pondasi ( m ) c = kohesi γ = berat isi tanah ( t / m 3 ) N c, N q, N γ = faktor daya dukung yang tergantung dari besarnya sudut geser dalam ( ) (Sumber : DPU Pengairan, Standart Perencanaan Irigasi KP-02) 2.5.2 Syarat-syarat stabilitas bendung Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam perhitungan stabilitas bendung adalah: a. Dalam berbagai keadaan pada konstruksi bendung yang direncanakan tidak terjadi geser dengan faktor keamanan (fs = 1,5) Fs keterangan: V x f 1,5 H fs V H = faktor keamanan terhadap geser = jumlah gaya-gaya vertikal (ton) = jumlah gaya-gaya horisontal (ton) f = koefisien gesekan (f = 0,4 untuk pasir Kp 02 hlm. 121 ) b. Momen tahan (Mt) konstruksi harus lebih besar daripada momen yang menyebabkan guling (Mg) dengan faktor keamanan ( fg = 1,5 ). Fg Mt Mg 1,5 Tugas Akhir Perencanaan Bendung PLTM Telagawaja-Bali II - 46
TINJAUAN PUSTAKA keterangan: Mt = Momen tahanan terhadap guling (ton.m) Mg = Momen yang menyebabkan guling (ton.m) fk = faktor keamanan terhadap guling (fg =1,5) (Sumber : Teknik Bendung, Ir. Soedibyo) c. Pada kondisi bendung baik dari beton maupun dari pasangan batu kali tidak boleh terjadi tegangan tarik dan ini berarti gaya-gaya yang bekerja harus masuk dalam kern (inti). e L 2 Mo V 1 6 L keterangan: e = eksentrisitas dari gaya-gaya yang bekerja (m) Mo = selisih momen tahan dan momen yang menyebabkan guling (t m) L = panjang dasar pondasi bendung (m) V = jumlah gaya-gaya vertikal (ton) d. Tegangan tanah yang terjadi ( tanah ) tidak boleh melebihi tegangan tanah ijin ( ) dimana tegangan tanah yang diijinkan dalam perencanaan adalah 25 kg./ m 2 pasir KP 06 hlm. 14 V 6e 1 L L untuk e. Setiap titik pada seluruh bagian konstruksi bendung tidak boleh terangkat karena adanya gaya tekan ke atas akibat air di bawah dasar pondasi bendung.secara keseluruhan pada perhitungan stabilitas konstruksi bendung yang direncanakan harus aman terhadap semua gaya-gaya yang bekerja. Tugas Akhir Perencanaan Bendung PLTM Telagawaja-Bali II - 47