BAB II LANDASAN TEORI. dan menggerakkan semua kemampuan serta energi yang dimilikinya demi

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. dalam penyediaan fasilitas untuk industri minyak yang mencakup jasa penguliran

sikap individu maupun kelompok yang mendukung seluruh aspek kerja termasuk

BAB II LANDASAN TEORI. Berdasarkan kamus Webster (2007), etos didefinisikan sebagai keyakinan. secara khas dalam perilaku kerja mereka (Sinamo, 2002).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Motivasi Berprestasi Pada Atlet Sepak Bola. Menurut McClelland (dalam Sutrisno, 2009), motivasi berprestasi yaitu

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI. 1. Definisi Komitmen Karyawan terhadap Organisasi. biaya pelaksanaan kegiatan yang lain (berhenti bekerja).

BAB II LANDASAN TEORI. kebutuhan ini tercermin dengan adanya dorongan untuk meraih kemajuan dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Merriam Webster dalam (Zangaro, 2001), menyimpulkan definisi

BAB II LANDASAN TEORI. A. Motivasi Kerja. dan bantuan yang kuat untuk bertahan hidup. Motivasi adalah memberikan

BAB II URAIAN TEORITIS. pribadi seseorang yang mendorong keinginan individu untuk melakukan kegiatankegiatan

BAB II LANDASAN TEORI

2015 PENGARUH KOMPENSASI DAN MOTIVASI KERJA TERHADAP KINERJA PEGAWAI DI PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN (PUSDIKLAT) GEOLOGI BANDUNG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN TEORI. untuk melakukan atau bertindak sesuatu. Keberadaan pegawai tentunya

BAB II LANDASAN TEORI. Dasar teori untuk menjawab pertanyaan mengenai hubungan job commitment

TINJAUAN PUSTAKA A. MOTIVASI

BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. dengan jumlah karyawan yang relatif banyak dan memiliki karakteristik pola

BAB 2 KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS

BAB I PENDAHULUAN. berjalansecara berkesinambungan, maka sangat dibutuhkan karyawan yang dapat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. efektifitas pengelolaan sumber daya manusia. Organisasi yang berkembang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kepuasan Kerja. sebuah evaluasi karakteristiknya. Rivai & Sagala (2009) menjelaskan

Motivasi penting dikarenakan :

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Kinerja merupakan salah satu alat ukur dari keberhasilan sebuah

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN. tergolong cukup (48.51%). Komitmen afektif masih tergolong cukup dikarenakan

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Lazarus & Folkman (dalam Sarafino, 2006) coping adalah suatu

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN : 107). Mathis dan Jackson (2006 : 98) menyatakan kepuasan kerja adalah

BAB II LANDASAN TEORI. berbeda. Cara pertama diajukan oleh Mowday, Porter, dan Steers, 1982;

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS. Tugas utama pihak manajerial adalah memberikan motivasi

UNIVERSITI MALAYA FAKULTI PENDIDIKAN KUALA LUMPUR

BAB II LANDASAN TEORI. berkaitan dengan komitmen afektif dan budaya organisasi. karena mereka menginginkannya (Meyer dan Allen, 1997)

BAB II LANDASAN TEORI. bekerja yang ditandai secara khas dengan adanya kepercayaan diri, motivasi diri

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Gaya Kepemimpinan Transaksional Definisi Gaya kepemimpinan Transaksional

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. agara diperoleh tenaga kerja yang puas akan pekerjaannya. Fungsi MSDM. dikelompokkan atas tiga fungsi, yaitu (Husein, 2002) :

BAB I PENDAHULUAN. sampai-sampai beberapa organisasi sering memakai unsur komitmen sebagai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. produksi pada perusahaan Keramik Pondowo malang, dengan hasil penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Salah satu ciri kehidupan modern dapat dilihat dari semakin kompleknya

BAB XIII TEKNIK MOTIVASI

BAB I PENDAHULUAN. sumber legitimasinya berasal dari masyarakat. Masyarakat memberikan kepercayaan kepada

BAB I PENDAHULUAN. sekelompok manusia sangat diperlukan untuk dapat bersosialisasi dan bekerja

TINJAUAN PUSTAKA. tujuan perusahaan. Tujuan ini tidak mungkin terwujud tanpa peran aktif

BAB I PENDAHULUAN. mencapai sasaran atau serangkaian sasaran bersama (Robbins, 2006:4). Akibat

II. KAJIAN PUSTAKA. Istilah motivasi berasal dari bahasa Latin movere yang berarti bergerak

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Quality Of Work Life

IKLIM ORGANISASI. Rangkaian Kolom Kluster I, 2012

pekerja yang puas akan membuat kontribusi yang positif terhadap organisasi. Para pimpinan merasakan usaha dan kinerja mereka berhasil apabila

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Keinginan individu bersumber pada kebutuhan masing-masing individu.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Wexley dan Yukl mengartikan kepuasan kerja sebagai the way an

BAB I PENDAHULUAN. mempertahankan yang sudah ada. Disinilah dituntut adanya peranan. stratejik dan koheren untuk mengelola aset paling berharga milik

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berbagai pengaruh lingkungan seperti lingkungan psikologis, pengaruh sosial,

BAB II LANDASAN TEORI. A. Kepuasan Kerja

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Organizational Citizenship Behavior. Menurut Organ, Podsakoff, & MacKinzie (2006), organizational

BAB I PENDAHULUAN. manusia merupakan salah satu unsur yang terpenting di dalam suatu organisasi.

Bisma, Vol 1, No. 7, Nopember 2016 FAKTOR-FAKTOR MOTIVASI KERJA PADA PD JAYA HARDWARE DI PONTIANAK

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tersebut dan tujuan atau akhir daripada gerakan atau perbuatan. Motivasi

BAB II KAJIAN PUSTAKA. organisasi tersebut (Mathis & Jackson, 2006). Menurut Velnampy (2013)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TEORI MOTIVASI & TEKNIK MEMOTIVASI

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan bangsa dan mengembangkan sumber daya manusia. Oleh karena

BAB I PENDAHULUAN. Persaingan di dalam organisasi merupakan konsekuensi logis untuk. bersaing untuk mencapai yang terbaik (Gudono, 2014).

BAB II LANDASAN TEORI. menggambarkan peristiwa kehidupan dalam suatu cara yang positif (Burke, Joyner, Ceko, &

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS. Menurut Veithzal Rivai (2004:309) mendefinisikan penilaian kinerja

BAB I PENDAHULUAN. menghasilkan tamatan atau lulusan sebagai sumber daya manusia yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. mampu memahami kebutuhan para karyawannya agar karyawan. mampu memberikan feedback positif bagi perusahaan, Persaingan yang

BAB I PENDAHULUAN. akibatnya pelayanan sosial kemanusiaan, secara faktual pelayanan rumah sakit telah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Berawal dari Krisis ekonomi Amerika Serikat akhir tahun 2008,

BAB II LANDASAN TEORI. sesuatu. Sebagaimana penjelasan Ajzen (2006) yang mengatakan bahwa

KAJIAN PUSTAKA. Manajemen adalah ilmu dan seni mengatur proses pemanfaatan sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan kesuksesan organisasi di masa depan. Kemampuan perusahaan. efektif dan efisien (Djastuti, 2011:2).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kepuasan Kerja. seseorang. Menurut Wexley dan Yukl (2005: 129) kepuasan kerja adalah cara

BAB I PENDAHULUAN. dan kemampuan yang terakumulasi dalam diri anggota organisasi. menunjang keberhasilan pelaksanaan pekerjaannya.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. manusia untuk bertindak atau bergerak dan secara langsung melalui saluran

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pada jaman sekarang ini, banyak perusahaan berlomba-lomba mencari

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN. dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Kinerja merupakan hasil atau dampak dari kegiatan individu selama periode waktu

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS. pembentukan kerangka pemikiran untuk perumusan hipotesis.

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS. perusahaan yang penting seperti pabrik, atau suatu organisasi secara keseluruhan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kinerja. yang diberikan kepadanya (Mangkunegara, 2000). Sedangkan pengertian kinerja

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS. Konsep tentang Locus of control pertama kali dikemukakan oleh Rotter

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sekolah merupakan institusi yang kompleks. Kompleksitas tersebut,

BAB II KAJIAN TEORI. A. Keterlibatan Kerja. 1. Pengertian Keterlibatan Kerja. Keterlibatan kerja adalah keterlibatan mental dan emosional

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. ketidakpuasannya akan pekerjaannya saat ini. Keinginanan keluar atau turnover

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

MOTIVASI. Kemampuan manajer dalam memotivasi, mempengaruhi, mengarahkan dan berkomunikasi dengan bawahan sangat menentukan efektifitas manajer.

BAB II KAJIAN TEORITIS. diartikan sebagai kekuatan yang terdapat dalam diri individu yang menyebabkan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Organisasi merupakan sistem dan kegiatan manusia yang bekerja sama.

BAB II LANDASAN TEORI. Motivasi berasal dari kata latin motivus yang artinya : sebab, alasan, dasar,

BAB II KAJIAN TEORITIS. sasaran / kriteria / yang ditentukan dan disepakati bersama. Kinerja pegawai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. seorang karyawan agar karyawan tersebut dapat tergerak untuk melakukan

Transkripsi:

BAB II LANDASAN TEORI A. Motivasi Berprestasi 1. Definisi Motivasi Berprestasi Motivasi berprestasi merupakan daya penggerak yang memotivasi semangat bekerja seseorang, yang mendorong seseorang untuk mengembangkan kreativitas dan menggerakkan semua kemampuan serta energi yang dimilikinya demi mencapai prestasi kerja yang maksimal (Mc Clelland, 1987). Motivasi berprestasi merupakan suatu kebutuhan untuk memberikan prestasi yang mengungguli standar. Individu dengan motivasi berprestasi yang tinggi akan mengerjakan sesuatu secara optimal karena mengharapkan hasil yang lebih baik dari standard yang ada. Adanya motivasi berprestasi membuat seseorang mengerahkan seluruh kemampuannya untuk menjalankan semua kegiatan yang sudah menjadi tugas dan tanggung jawabnya untuk mencapai target-target tertentu yang harus dicapainya pada setiap satuan waktu. Individu tersebut menyukai tugas-tugas yang menantang tanggung jawab secara pribadi dan terbuka untuk umpan balik guna memperbaiki prestasi inovatif-kreatifnya. Schultz dan Sidney (1993) juga mendukung bahwa motivasi berprestasi sebagai suatu dorongan atau kebutuhan dalam diri individu untuk meraih hasil atau prestasi tertentu. Heckhausen (1967) menambahkan bahwa motivasi berprestasi sebagai usaha keras individu untuk meningkatkan atau

mempertahankan kecakapan diri setinggi mungkin dalam semua aktivitas dengan menggunakan standar keunggulan sebagai pembanding. Standar keunggulan yang dimaksud adalah berupa prestasi orang lain atau prestasi sendiri yang pernah diraih sebelumnya. 2. Ciri Motivasi Berprestasi Ada beberapa karakteristik dari individu yang memiliki motivasi berprestasi yang dijabarkan oleh McClelland (1987), yakni sebagai berikut: a. Menyukai tugas yang memiliki taraf kesulitan sedang Rohwer (dalam Robbins, 2001) mengatakan bahwa seseorang yang memiliki motivasi berprestasi tinggi akan berusaha mencoba setiap tugas yang menantang tetapi mampu untuk diselesaikan, sedangkan orang yang tidak memiliki motivasi berprestasi tinggi akan enggan melakukannya. Robbins (2001) menambahkan bahwa orang yang memiliki motivasi berprestasi yang tinggi menyukai tugas-tugas yang menantang serta berani mengambil resiko yang diperhitungkan untuk mencapai suatu sasaran yang telah ditentukan. Oleh karena itu, mereka yang memiliki motivasi berprestasi tinggi menyukai tugas-tugas dengan taraf kesulitan sedang yang dianggap realistis sesuai dengan kemampuannya untuk melakukan tuntutan pekerjaan (McCelland, 1987). b. Bertanggung jawab secara personal atas performa kerja Individu yang memiliki motivasi berprestasi yang tinggi memilih untuk bertanggung jawab secara personal terhadap performanya. Mereka akan memperoleh kepuasan setelah melakukan sesuatu yang lebih baik dengan tanggung jawab personal terhadap tugas yang dilakukan. Mereka juga mempunyai

kecenderungan untuk menyelesaikan pekerjaan sampai tuntas, dan selalu ingat akan tugas-tugasnya yang belum terselesaikan. c. Menyukai umpan balik Umpan balik merupakan aspek penting dalam proses motivasi karena dapat memberikan informasi kepada karyawan apakah hasil kerjanya telah berhasil mencapai hasil seperti yang diharapkan. Mereka yang memiliki motivasi berprestasi tinggi menganggap umpan balik sebagai hadiah karena mereka ingin mengetahui seberapa baik mereka mengerjakan tugas tersebut. Individu yang memiliki motivasi berprestasi yang tinggi mengharapkan umpan balik dan membandingkan hasil kerjanya dengan hasil kerja orang lain dengan suatu ukuran keunggulan yaitu perbandingan dengan prestasi orang lain atau standard tertentu. Individu tersebut senang mendapatkan umpan balik yang tepat, cepat dan jelas dari apa yang telah mereka kerjakan. Umpan balik menunjukkan seberapa baik mereka telah bekerja. Mereka selalu mengontrol hasil kerja mereka karena tidak suka mengambil risiko untuk gagal. d. Inovatif Mereka yang memiliki motivasi berprestasi yang tinggi juga selalu berupaya untuk lebih inovatif, menemukan cara baru yang lebih baik dan efisien untuk menyelesaikan pekerjaan mereka. Mereka didorong oleh motif efisiensi, dimana mereka memperhitungkan keefisienan ketika melakukan sesuatu dengan lebih baik. Mereka senang mencari informasi untuk menemukan cara menyelesaikan tugas dengan lebih baik dan menghindari cara kerja yang monoton dan rutin. Mereka yang memiliki motivasi berprestasi tinggi akan mencari kesempatan yang

menantang mulai dari yang mampu mereka lakukan sampai pada sesuatu kesempatan yang sedikit lebih menantang. Ketika orang yang memiliki kebutuhan berprestasi meraih kesuksesan pada tugas dengan taraf kesulitan sedang, maka mereka akan terus meningkatkan level aspirasi mereka dengan cara yang realistis, sehingga dapat bergerak menuju tugas yang lebih sulit dan lebih menantang. e. Ketahanan Mereka yang memiliki motivasi berprestasi tinggi memiliki ketahanan kerja yang lebih tinggi dalam mengerjakan tugas dibanding dengan orang dengan motivasi berprestasi rendah. Individu tersebut umumnya mampu bertahan terhadap tekanan sosial yang ada. Orang dengan motivasi berprestasi tinggi percaya bahwa mereka dapat menyelesaikan pekerjaannya dengan tepat dan baik serta mampu mengerjakan pekerjaan yang serupa dengan hasil yang lebih baik di masa yang akan datang. 3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Motivasi Berprestasi McClelland (1987) mengatakan bahwa motivasi berprestasi dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. a. Faktor Intrinsik Faktor intrinsik merupakan faktor yang berasal dari dalam diri individu. Faktor-faktor intrinsik yang mempengaruhi motivasi berprestasi adalah: 1. Kemungkinan sukses yang dicapai, mengacu pada persepsi individu tentang kemungkinan sukses yang akan dicapai ketika melakukan tugas. Semakin tinggi persepsi individu tentang kemungkinan sukses yang dicapai maka individu tersebut akan semakin termotivasi untuk berprestasi. Atkinson

mengatakan bahwa persepsi individu terhadap kemungkinan sukses pada semua tipe tugas memiliki pengaruh penting terhadap performa. 2. Self-efficacy, mengacu pada keyakinan individu pada dirinya untuk mampu mencapai sukses. Semakin tinggi tingkat keyakinan seseorang maka individu akan semakin termotivasi untuk berprestasi. Individu yang memiliki self-efficacy yang tinggi cenderung termotivasi untuk berprestasi. Individu yang memiliki motivasi berprestasi tinggi berpikir bahwa diri mereka mampu mengerjakan tugas. Hal ini menunjukkan bahwa individu tersebut memiliki self-efficacy yang tinggi. 3. Value, mengacu pada pentingnya tujuan bagi individu. Individu yang memiliki motivasi berprestasi tinggi akan mengerjakan tugas dengan kemungkinan sukses sedang, karena performa dalam beberapa situasi memberikan umpan balik yang terbaik untuk melakukan perbaikan. Sehingga dengan melakukan sesuatu lebih baik maka dapat memberikan pengaruh penting terhadap diri mereka. Individu yang menilai bahwa tujuan itu sangat penting maka individu tersebut akan semakin termotivasi untuk mencapainya karena nilai dapat mengaktifkan usaha individu untuk mencapai performa yang lebih baik. 4. Ketakutan terhadap kegagalan, mengacu pada perasaan individu tentang kegagalan yang akan membuat individu untuk semakin termotivasi sebagai upaya untuk mengatasi kegagalan. 5. Faktor lainnya yang mengacu pada perbedaan jenis kelamin, usia, kepribadian dan pengalaman kerja. McClelland menjelaskan bahwa jenis

kelamin dapat mempengaruhi motivasi berprestasi seseorang. Laki-laki memiliki motivasi berprestasi yang lebih tinggi karena laki-laki lebih dilatih untuk aktif, kompetitif, dan mandiri daripada perempuan karena perempuan lebih pasif, selalu bergantung pada orang lain dan kurang percaya diri. Usia juga dapat mempengaruhi motivasi berprestasi seseorang. Kualitas motivasi berprestasi mengalami perubahan sesuai dengan usia individu. Motivasi berprestasi individu tertinggi pada usia 20-30 tahun, dan mengalami penurunan setelah usia pertengahan. Selanjutnya Gage dan Berliner (1984) mengemukakan bahwa faktor kepribadian juga dapat mempengaruhi motivasi berprestasi seseorang. Individu yang menganggap keberhasilan adalah karena dirinya akan memiliki motivasi berprestasi yang berbeda pula dengan individu yang menganggap keberhasilan hanya karena sesuatu diluar dirinya atau karena keberuntungan saja. Individu yang mengalami kecemasan akan semakin termotivasi karena adanya perasaan takut terhadap kegagalan. b. Faktor Ekstrinsik Faktor ekstrinsik merupakan faktor yang mempengaruhi motivasi berprestasi sesorang yang bersumber dari luar diri individu tersebut. Atkinson mengatakan bahwa faktor ekstrinsik mengacu pada situasi dan adanya kesempatan. Faktor ekstrinsik ini dapat berupa hubungan pimpinan dengan bawahan, hubungan antar rekan sekerja, sistem pembinaan dan pelatihan, sistem kesejahteraan, lingkungan fisik tempat kerja (Andreani dalam Kadir, 2009), status kerja, administrasi dan kebijakan perusahaan (Herzberg dalam Siagian, 1995).

Zainuddin (2004) menegaskan bahwa status kerja, upah, keamanan kerja, kesempatan karir dan lain-lain akan memberikan andil terhadap munculnya motivasi berprestasi. B. Kualitas Kehidupan Bekerja 1. Definisi Kualitas Kehidupan Bekerja Walton (dalam Kossen, 1986) mengatakan bahwa kualitas kehidupan bekerja adalah persepsi pekerja terhadap suasana dan pengalaman pekerja di tempat kerja mereka. Stewart (2007) menyatakan bahwa kualitas kehidupan bekerja menyangkut persepsi karyawan bahwa mereka ingin merasa aman, secara relatif merasa puas dan memperoleh kesempatan pertumbuhan. Kualitas kehidupan bekerja merupakan filosofi manajemen yang bertujuan meningkatkan martabat karyawan, memperkenalkan perubahan budaya, memberikan kesempatan pertumbuhan dan pengembangan (Gibson, 2003). Menurut Lau dan May (1998) kualitas kehidupan bekerja didefinisikan sebagai strategi tempat kerja yang mendukung dan memelihara kepuasan karyawan dengan tujuan untuk meningkatkan kondisi kerja karyawan dan organisasi serta keuntungan untuk pemberi kerja. Kualitas kehidupan bekerja merupakan pendekatan manajemen yang terus menerus diarahkan pada peningkatan kualitas kerja. Kualitas yang dimaksud adalah kemampuan menghasilkan barang dan jasa yang dipasarkan dan cara memberikan pelayanan yang terus menerus disesuaikan dengan kebutuhan konsumen, sehingga barang dan jasa yang dihasilkan mampu bersaing dan

berhasil merebut pasar. Program kualitas kehidupan bekerja pada dasarnya mencari cara untuk meningkatkan kualitas kehidupan dan menciptakan pekerjaan yang lebih baik atau tercapainya kinerja yang tinggi (Gitosudarmo, 2000). Dengan demikian peran penting kualitas kehidupan bekerja adalah mengubah iklim kerja agar organisasi secara teknis dan manusiawi membawa kepada kualitas kerja yang lebih baik. Berdasarkan definisi yang telah diuraikan tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa kualitas kehidupan kerja adalah persepsi pekerja mengenai kesejahteraan, suasana dan pengalaman pekerja di tempat kerja, yang mengacu kepada bagaimana efektifnya lingkungan pekerjaan memenuhi keperluan-keperluan pribadi pekerja. 2. Aspek-Aspek Kualitas Kehidupan Bekerja Walton (dalam Kossen, 1986) mengatakan bahwa kualitas kehidupan bekerja adalah persepsi pekerja terhadap suasana dan pengalaman pekerja di tempat kerja mereka. Suasana pekerjaan yang dimaksudkan adalah berdasarkan kepada delapan kriteria, yaitu: a. Kompensasi yang mencukupi dan adil Gaji yang diterima oleh individu dari kerjanya dapat memenuhi standar gaji yang diterima umum, cukup untuk membiayai suatu tingkat hidup yang layak dan mempunyai perbandingan yang sama dengan gaji yang diterima orang-orang lain dalam posisi yang sama.

b. Kondisi-kondisi kerja yang aman dan sehat Individu tidak ditempatkan kepada keadaan yang dapat membahayakan fisik dan kesehatan mereka, waktu kerja mereka juga sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan. Begitu juga umur adalah sesuai dengan tugas yang dipertanggungjawabkan kepada mereka. Kondisi lingkungan kerja diupayakan relatif bebas dari resiko yang dapat membahayakan karyawan dari hal-hal yang menyebabkan cedera dan penyakit lainnya dimasa datang c. Kesempatan untuk mengembangkan dan menggunakan kapasitas manusia Mengacu pada hubungan antara pekerjaan dengan harga diri karyawan, dimana memungkinkan karyawan untuk menggunakan dan mengembangkan keahlian dan pengetahuannya. Pekerja diberi autonomi, kerja yang mereka lakukan memerlukan berbagai kemahiran, mereka juga diberi tujuan dan perspektif yang diperlukan tentang tugas yang akan mereka lakukan. Pekerja juga diberikan kebebasan bertindak dalam menjalankan tugas yang diberikan dan diberikan kesempatan untuk terlibat dalam pembuatan keputusan yang terkait dengan pekerjaannya dan lingkungan kerjanya. d. Peluang untuk pertumbuhan dan mendapatkan jaminan Suatu pekerjaan dapat memberi sumbangan dalam menetapkan dan mengembangkan kapasitas individu. Kemahiran dan kapasitas individu itu dapat dikembangkan dan dipergunakan dengan sepenuhnya, selanjutnya peningkatan peluang kenaikan pangkat dan promosi dapat diperhatikan serta mendapatkan jaminan terhadap pendapatan. e. Integrasi sosial dalam organisasi pekerjaan

Individu tidak dilayani dengan sikap curiga, mengutamakan konsep egalitarianism, adanya mobilitas untuk bergerak ke atas, merasa bagian dari suatu tim, mendapat dukungan dari kelompok-kelompok primer dan terdapat rasa hubungan kemasyarakatan serta hubungan antara perseorangan. f. Hak-hak karyawan. Hak pribadi seorang individu harus dihormati, memberi dukungan kebebasan bersuara dan terwujudnya pelayanan yang adil. g. Pekerja dan ruang hidup secara keseluruhan Kerja juga memberikan dampak positif dan negatif terhadap ruang kehidupan seseorang. Selain berperan di lingkungan kerja, individu juga mempunyai peranan di luar tempat kerja seperti sebagai seorang suami atau istri dan bapak atau ibu yang perlu mempunyai waktu untuk bersama keluarga. h. Tanggung jawab sosial organisasi Organisasi mempunyai tanggung jawab sosial. Organisasi haruslah mementingkan pengguna dan masyarakat secara keseluruhan semasa menjalankan aktivitasnya. Organisasi yang mengabaikan peranan dan tanggung jawab sosialnya akan menyebabkan pekerja tidak menghargai pekerjaan mereka. 3. Prinsip Kualitas Kehidupan Bekerja Kualitas kehidupan bekerja dapat juga didefinisikan dengan beberapa prinsip kualitas kehidupan bekerja yang penting dalam meningkatkan dan mengoptimalkan kesejahteran dan martabat karyawan (Ronen, 1981). Prinsip tersebut meliputi:

a. security: bebas ketakutan dan kecemasan yang disebabkan faktor pekerjaan yang berkaitan dengan kesehatan, keamanan, pendapatan dan masa depan tenaga kerja, b. equity: penerimaan kompensasi yang setaraf dengan kontribusi yang diberikan karyawan terhadap pekerjaannya, c. individuation: kondisi yang mengizinkan karyawan dalam mengembangkan kemampuan unik karyawan, otonomi dan pembelajaran, dan d. democracy: partisipasi karyawan dalam membuat keputusan yang berkaitan dengan pekerjaannya dan lingkungan kerjanya. 4. Bentuk-Bentuk Kualitas Kehidupan Bekerja Kualitas kehidupan bekerja mempengaruhi kualitas kehidupan karyawan. Kualitas kehidupan bekerja merupakan aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh managemen sumber daya manusia untuk memartabatkan karyawannya dalam lingkungan kerja (Ronen, 1981). Beberapa aktivitas yang dilakukan oleh perusahaan untuk memperbaiki kualitas kehidupan bekerja bagi karyawan adalah: a. Participation Partisipasi karyawan dalam proses membuat keputusan yang berkaitan dengan pekerjaannya dan lingkungan kerjanya dapat memperbaiki kualitas kehidupan bekerjanya. Partisipasi ini ada dua bentuk yaitu partisipasi horizontal yaitu interaksi karyawan dengan teman sekerja dan tim; dan partisipasi vertical yaitu keterlibatan dalam membuat keputusan dengan atasan. Kedua partisipasi ini dapat meningkatkan kualitas kehidupan bekerja karyawan. Tujuannya adalah untuk menyediakan lingkungan dimana karyawan memiliki kebebasan dan

otonomi dalam membuat pilihan yang berkaitan dengan lingkungan kerjanya dan menyesuaikan kepribadiannya dengan tuntutan kerja sebagaimana halnya dengan menyesuaikan pekerjaannya dengan diluar pekerjaannya. b. Job redesign Efektivitas dan efisiensi dalam penyelesesaian tugas dan proses kerja membutuhkan koordinasi yang tinggi dan kontrol yang kuat terhadap karyawan. Penelitian sebelumnya menemukan dampaknya terhadap lingkungan kerja seperti mempengaruhi motivasi karyawan, kepuasan kerja dan performa kerja yang berimplikasi negatif terhadap organisasi dan menurunkan kualitas kehidupan bekerja. Oleh karena itu, penelitian selanjutnya menemukan bahwa mendesain ulang kerja dalam batasan produksi dapat meningkatkan kualitas kehidupan bekerja dan mempertahankan atau meningkatkan produktivitas. Tujuannya adalah untuk menyesuaikan karakteristik pribadi karyawan dengan karakteristik pekerjaan. Salah satu bentuk job redesign adalah job enrichment, dimana dengan meningkatkan tanggung jawab karyawan baik dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengontrolan pekerjaan, dan dengan memberikan kesempatan untuk membuat keputusan tentang metode dan prosedur yang akan dilaksanakan, atau dengan memberikan kesempatan untuk berinteraksi langsung dengan klien atau departemen lain, semuanya dapat meningkatkan kualitas kehidupan bekerja. Dimensi job enrichment mempengaruhi aspek psikologis individu yang kemudian menghasilkan konsekuensi pribadi dan pekerjaan seperti performa kepuasan, ketidakhadiran menurun serta meningkatkan motivasi internal karyawan.

c. Team building Tim merupakan salah satu bentuk kelompok, dimana setiap anggota menganut kepribadian kelompok yang ditandai dengan cohesiveness, beliefs, value and norm dan goal. Kerja tim dapat meningkatkan dan memaksimalkan kerjasama anggota tim dan meningkatkan pembelajaran karyawan untuk mempelajari keahlian karyawan lain terutama cara efisien dalam meningkatkan produksi. 5. Dampak Kualitas Kehidupan Bekerja Rhonen (1981) mengatakan bahwa pengukuran kualitas kehidupan bekerja akan berdampak pada: a. meningkatkan sikap positif karyawan terhadap pekerjaannya dan terhadap perusahaan, b. meningkatkan produktivitas dan motivasi intrinsik karyawan, c. meningkatkan efektifitas perusahaan dan kompetitif perusahaan dalam menghadapi bisnis global. C. Hubungan Kualitas Kehidupan Bekerja dengan Motivasi Berprestasi Motivasi merupakan dorongan untuk memacu karyawan agar lebih aktif dalam melaksanakan pekerjaan guna mencapai tujuan dan hasil yang lebih baik. Salah satu jenis motivasi yang bertujuan untuk melakukan sesuatu dengan lebih baik menurut McClelland adalah motivasi berprestasi. Motivasi berprestasi merupakan daya penggerak yang memotivasi semangat bekerja yang mendorong seseorang untuk mengembangkan kreativitas dan menggerakkan semua

kemampuan serta energi yang dimilikinya demi mencapai prestasi kerja yang maksimal (Mc Clelland, 1987). McClelland (1987) mengatakan bahwa individu yang memiliki motivasi berprestasi yang tinggi berbeda dalam keinginan yang kuat dalam melakukan halhal yang lebih baik. Karyawan memiliki motivasi berprestasi yang tinggi akan mempunyai semangat, keinginan dan energi yang besar dalam diri individu untuk bekerja seoptimal mungkin. Mereka berorientasi pada pekerjaan, dan performa mereka dapat dinilai melalui prestasi kerja dan tujuan yang ditetapkan merupakan tujuan yang tidak terlalu sulit dicapai dan juga tujuan yang tidak terlalu mudah dicapai. Tujuan yang harus dicapai merupakan tujuan dengan derajat kesulitan menengah yang realistis untuk dicapai (Gardner & Shah, 2008). McClelland (1987) menyebutkan bahwa ciri-ciri individu yang memiliki motivasi berprestasi tinggi meliputi ketertarikan terhadap tugas yang memiliki taraf kesulitan sedang, bertanggung jawab secara personal atas performa kerja, menyukai umpan balik, inovatif dan memiliki ketahanan kerja yang lebih tinggi sehingga seseorang yang mempunyai motivasi berprestasi yang tinggi pada umumnya lebih berhasil dalam menjalankan tugas dibandingkan dengan mereka yang memiliki motivasi berprestasi yang rendah. Motivasi berprestasi dipengaruhi oleh faktor intrinsik dan ekstrinsik. Motivasi intrinsik bersumber dari dalam diri individu seperti persepsi individu tentang kemungkinan sukses yang akan dicapai, self-efficacy, nilai pentingnya suatu tujuan, ketakutan akan kegagalan, dan beberapa faktor lainnya seperti jenis kelamin, kepribadian, usia dan pengalaman kerja (McClelland, 1987).

Motivasi berprestasi akan timbul karena ada dorongan eksternal, yaitu sumber motivasi yang berasal dari luar individu yang dapat menggerakkan perilaku berprestasi yang disebut dengan motivasi ekstrinsik. Penelitian menemukan bahwa motivasi berprestasi tinggi memiliki performa yang kurang baik ketika tidak adanya insentif dari pekerjaan. Jadi individu yang memiliki motivasi berprestasi tinggi tidak selalu menunjukkan performa yang lebih baik dari pada individu yang memiliki motivasi berprestasi rendah. Motivasi ekstrinsik merupakan sesuatu yang diberikan oleh perusahaan untuk memenuhi kebutuhan karyawan sehingga mampu meningkatkan kontribusi karyawan. Oleh karena itu, perusahaan penting untuk memahaminya dengan memberikan kualitas kehidupan bekerja yang baik bagi setiap karyawan sehingga dapat mendorong karyawan memaksimalkan kontribusinya pada pencapaian prestasi yang optimal (McClelland, 1987). Kualitas kehidupan bekerja pada dasarnya merupakan praktik manajemen yang bertujuan menciptakan budaya kerja yang mampu memotivasi setiap karyawan untuk dapat mengembangkan diri dan memberikan kontribusi optimal bagi pencapaian sasaran organisasi. Karyawan akan memberikan kontribusi yang lebih besar apabila mereka merasa memiliki kebebasan dalam menyampaikan ide dan merasa mampu menjalin hubungan timbal balik dengan perusahaan. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan Robbins (dalam Lau & May, 1998) bahwa kualitas kehidupan bekerja sebagai sebuah proses dimana organisasi merespon kebutuhan karyawan dengan mengembangkan mekanisme yang mengizinkan

mereka untuk berbagi dalam membuat keputusan dalam mendesain kehidupan kerja mereka. Wentling & Thomas (2007) menemukan bahwa partisipan yang memiliki tingkat motivasi tinggi akan berusaha untuk mencapai sukses dan cenderung membuat perusahaan tempat mereka bekerja mencapai kesuksesan juga. Mereka merasa bahwa energi dan antusiasme yang mereka miliki berhubungan dengan tingkat motivasi tinggi, dimana akan mengarahkan kepada kerja keras. Individu dengan motivasi berprestasi tinggi akan lebih bersemangat dalam memperbaiki performanya ketika ada kesempatan dan lebih terpacu untuk mendapatkan posisi yang menuntut power dan tanggung jawab yang lebih besar (Iyer & Kamalanabhan, 2006). Kualitas kehidupan bekerja merupakan suatu cara untuk mempertahankan karyawan yang bertanggung jawab dan dapat dipercaya serta mampu memberikan kontribusi yang optimal yang merupakan sumber penting dalam organisasi dengan meningkatkan martabat dan menghargai karyawan. Menurut Cuningham (dalam Rose, et. al 2006) hal-hal yang dapat meningkatkan kualitas kehidupan bekerja individu adalah tugas, lingkungan fisik kerja, lingkungan sosial dalam organisasi, sistem administrasi dan hubungan antara kehidupan di dalam dan di luar pekerjaan. Walton mengemukakan delapan kategori utama kualitas kehidupan bekerja yang meliputi kompensasi yang memadai dan adil, kondisi kerja yang aman dan sehat, kesempatan menggunakan dan mengembangkan kapasitas manusia, kesempatan untuk pertumbuhan dan jaminan yang berkesinambungan, integrasi

sosial dalam organisasi, hak-hak karyawan, pekerjaan dan ruang kerja keseluruhan dan tanggung jawab sosial organisasi (Kossen, 1986). Kompensasi merupakan sistem imbalan yang diberikan organisasi yang dapat mempengaruhi berbagai tingkah laku karyawan seperti dapat meningkatkan prestasi kerja, mengurangi absensi dan mempertahankan karyawan yang ahli bahkan mampu menarik sejumlah tenaga kerja yang ahli dari luar. Sistem kompensasi ini harus mencerminkan keadilan dan memadai untuk memenuhi kebutuhan pekerja sesuai standar pekerja yang bersangkutan. Kompensasi yang adil adalah gaji yang diterima oleh individu dari kerjanya dapat memenuhi standar gaji yang diterima umum, mempunyai perbandingan yang sama dengan gaji yang diterima orang-orang lain dalam posisi yang sama. Sedangkan kompensasi yang layak adalah besarnya upah lebih banyak dikaitkan dengan standar hidup dan peraturan-peraturan ketenagakerjaan, seperti kebutuhan fisik minimum dan upah minimum regional. Penelitian Hermawan terhadap pegawai Dinas Pendapatan Daerah tentang kompensasi menemukan bahwa kompensasi berhubungan positif dengan motivasi. Pemberian kompensasi seperti upah, benefit dan insentif memberikan beberapa pengaruh terhadap semangat kerja, produktivitas kerja (Hermawan, 2008), memperbaiki kualitas kehidupan bekerja, memperbaiki performa bisnis (Lau & May, 1998) dan meningkatkan motivasi karyawan (Noe, 2000). Kondisi lingkungan fisik pekerjaan dan tata ruang tempat kerja juga mempengaruhi motivasi berprestasi pada karyawan. Kondisi lingkungan fisik pekerjaan harus ilmiah dan mencerminkan lingkungan fisik yang aman bagi

karyawan meskipun ketika melakukan suatu pergerakan fisik apapun. Peralatan kerja dan literatur harus tersedia dan mestinya tidak harus sama pada setiap karyawan. Toynbee (dalam McClelland, 1987) mengatakan bahwa faktor-faktor lingkungan mempengaruhi kesuksesan. Wentling dan Thomas (2007) dalam penelitiannya menemukan bahwa partisipan yang menganggap perusahaan mereka memberikan lingkungan kerja yang suportif dan kolaboratif, yaitu suasana lingkungan kerja yang terbuka, komunikasi yang jujur, dan berbagi pengetahuan dan informasi di semua direksi akan meningkatkan motivasi berprestasi pada karyawan. Organisasi adalah sebuah sistem sosial yang kompleks. Karyawan menginginkan sebuah kebebasan untuk bertindak dan mengerjakan pekerjaannya tanpa adanya tekanan psikologis. Komunikasi interpersonal harus dijaga dengan baik untuk tetap mempertahankan dan meningkatkan kualitas hubungan dengan teman sejawat, dengan atasan dan dengan bawahan sehingga dapat tercipta suatu integrasi sosial yang baik dalam organisasi (Kondalkar, 2009). Wentling dan Thomas (2007) dalam penelitiannya menemukan bahwa interaksi antar karyawan, yang didasarkan pada kejujuran, saling menghormati dan integritas akan meningkatkan kualitas hubungan dan integritas sosial organisasi. Salah satu faktor dalam mencapai organisasi yang efektif adalah proses komunikasi sehingga terjadi pertukaran informasi, gagasan, dan pengalaman. Komunikasi dapat memelihara motivasi dengan memberikan penjelasan kepada para karyawan tentang apa yang harus dilakukan, seberapa baik

mereka mengerjakannya dan apa yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kinerja jika sedang berada di bawah standar sehingga dapat menjadi umpan balik bagi karyawan (Kondalkar, 2009). Beberapa penelitian juga menemukan bahwa struktur sosial merupakan sumber motivasi berprestasi, paling tidak sebagai pelengkap yang mempengaruhi perilaku usahawan individu. Struktur sosial yang kompetitif diasosiasikan dengan tingkat motivasi berprestasi yang tinggi. Levine (dalam McClelland, 1987) menemukan bahwa peningkatan motivasi berprestasi ini disebabkan oleh sistem status mereka sebagai sebuah kelompok. Struktur sosial yang kompetitif dimana didalamnya dapat meningkatkan kepercayaan diri dan melibatkan aturan-aturan yang demokratis, akan meningkatkan dan mengarahkan kepada motivasi berprestasi yang tinggi. Indvidu dengan motivasi berprestasi yang tinggi akan mengerahkan kemampuan dan keahlian yang dimiliki dan mengembangkan inovasi dan kreatifitas dalam bekerja (McClelland,1987). Kecakapan dan keahlian ini dapat dikembangkan oleh perusahaan dengan memberikan program pengembangan karyawan. Mathis (2001) mengatakan bahwa pengembangan karyawan adalah kegiatan yang berkaitan dengan peningkatan kecakapan guna pertumbuhan berkesinambungan di dalam organisasi untuk mencapai tujuan yang efektif. Program pengembangan karyawan dapat dilakukan melalui pendidikan dan latihan, promosi, dan mutasi atau transfer. Pendidikan dan latihan, mutasi, dan promosi jabatan dapat menimbulkan kepuasan dan kebanggaan pribadi, status sosial yang semakin tinggi dan pengahasilan yang semakin besar; dapat

memotivasi karyawan untuk bekerja dan berprestasi, berdisiplin tinggi dan meningkatkan produktivitas kerjanya; memberikan kesempatan kepada karyawan untuk mengembangkan kreativitas dan inovasinya yang lebih baik sehingga dapat berpengaruh positif terhadap organisasi dan terhadap karyawan. Dengan semakin tinggi pendidikan karyawan akan semakin meningkat ketrampilan dan kecerdasaannya sehingga mereka lebih percaya diri dan semakin dapat mengendalikan diri, yang pada akhirnya akan dapat menyadarkan karyawan arti pentingnya melakukan suatu pekerjaan (Kondalkar, 2009). Adanya kesempatan pertumbuhan dan pengembangan yang diberikan perusahaan akan memotivasi karyawan untuk mengembangkan diri dan karir mereka. Penelitian Unierzyski (2003) menemukan bahwa individu dengan tingkat motivasi berprestasi yang tinggi akan mendorong dirinya untuk mengembangkan olahraganya secara terus menerus. Pengembangan karir dan kemajuan karir diyakini dipengaruhi oleh karakteristik personal, namun bukti menemukan bahwa faktor lingkungan dan organisasi juga berperan penting terhadap proses pengembangan karir (Fowler, 1982). Adanya kesempatan yang lebih banyak untuk mengembangkan dan menggunakan pikiran dan keahlian-keahlian mereka akan lebih dapat membantu memenuhi kebutuhan-kebutuhan pribadi mereka demi meningkatkan harga diri dan martabat. Kualitas kehidupan kerja memfokuskan pada dimensi manusiawi dalam dunia kerja. Alasan pentingnya kualitas kehidupan kerja pada karyawan adalah karena organisasi dapat memberikan sesuatu yang benar dengan menghargai nilainilai kemanusiaan dalam organisasi. Karyawan mengharapkan pekerjaannya

memberikan kenyamanan baik secara fisik maupun psikologis dan seharusnya memberikan sebuah penghargaan dari sisi ekonomi dan emosional (Lehrer, 1982). Organisasi seharusnya memastikan bahwa permintaan pekerjaan sesuai dengan kehidupan personal karyawan dan tanggung jawab pekerjaan. Pekerjaaan seharusnya tidak berbenturan dengan kehidupan pribadi karyawan. Transfer yang terlalu sering, keterlambatan jam kerja, dan perjalanan yang terlalu sering tidak direkomendasikan karena dapat melemahkan energi karyawan. Hal ini dapat mengganggu pola hidup dan produktivitas organisasi sehingga dapat menyebabkan stres kerja pada karyawan dan terjadi ketidakseimbangan lingkungan kerja (Kondalkar, 2009). Kualitas kehidupan kerja seharusnya memberikan suatu ingatan yang menyenangkan tentang tempat kerjanya ketika karyawan pulang ke rumah (Kondalkar, 2009). Setiap pekerjaan harusnya menarik, menantang dan membuat perasaan bahagia pada karyawan. Pekerjaan mempengaruhi motivasi karyawan. Pekerjaan harus memberikan nilai intrinsik pada karyawan dimana karyawan harus bangga dengan komponen tertentu dari pekerjaannya yang dapat mengarahkan pada kepuasan kerja. Kualitas kehidupan kerja fokus terhadap derajat dimana karyawan mampu memuaskan kebutuhan personal yang penting yang dapat dipenuhi oleh organisasi. Pemenuhan kebutuhan ini tergantung pada tingkat kepuasan karyawan dan aspek kebutuhan yang berhubungan dengan domain kerja dapat mempengaruhi kualitas kehidupan kerja (Ronen, 1981). Berbagai faktor kualitas kehidupan bekerja mempengaruhi semangat kerja karyawan. Penelitian Usman (2009) di Pertamina menemukan bahwa adanya

kesempatan pekerja mengembangkan keahliannya, sistem imbalan yang adil dan mencukupi kebutuhan dan lingkungan yang aman dan nyaman bagi karyawan mempengaruhi semangat kerja karyawan. Havlovic, Straw & Heckscher, Scobel (dalam Lau & May, 1998) mengatakan bahwa beberapa karakteristik seperti variasi daripada tugas-tugas kerja, umpan balik daripada pekerjaan, adanya kesempatan untuk menggunakan kemampuan dan keterampilan individu juga mepengaruhi kualitas kehidupan bekerja. Penelitian tentang kualitas kehidupan bekerja sebelumnya menyatakan bahwa bila managemen ingin mengembangkan kekohesifan dan loyalitas maka organisasi harus mengembangkan kebijakan yang mendukung dan jelas. Penelitian Delaney dan Huselid juga menemukan hubungan positif antara praktek managemen sumber daya manusia yang progresif, seperti pelatihan dan penyeleksian staf dengan performa organisasi dengan peningkatan kualitas kehidupan kerja. Peningkatan kualitas kehidupan bekerja berdampak positif terhadap organisasi seperti pencapaian sasaran organisasi, memperbaiki kondisi kerja, meningkatkan efektivitas organisasi, berkontribusi dalam mencari karyawan yang berkualitas, menciptakan lingkungan kerja yang mampu memotivasi karyawannya dalam bekerja, dan mempertahankan kompetitif perusahaan (Lau & May, 1998). Selain itu juga berdampak positif terhadap karyawan dapat menimbulkan perasaan lebih positif terhadap diri sendiri, terhadap pekerjaan yang dilaksanakan (Winardi, 2001) meningkatkan komitmen, efisiensi produktivitas pekerja, dan keterlibatan dalam organisasi (Mullins, 1996), berkurangnya tingkat ketidakhadiran,

rendahnya turnover dan meningkatnya tingkat kepuasan kerja dan menurunkan tingkat perilaku negatif pekerja, dan meningkatkan prestasi karyawan (Havlovic, Cohen, Chang & Ledford, King & Ehrhard, dalam Lau & May, 1998). Kualitas kehidupan kerja dan proses pemberdayaan karyawan dalam perusahaan sangat menentukan kesadaran dari individu karyawan untuk mengubah cara berfikir yang destruktif terhadap perannya dalam perusahaan. Sikap positif yang ditunjukkan karyawan terhadap perusahaan, merupakan cerminan motivasi berprestasi pada diri karyawan tinggi. Karyawan berharap bahwa aktivitas kerja yang dilakukannya akan membawanya kepada suatu keadaan yang lebih memuaskan daripada keadaan sebelumnya. Karena harapan akan keadaan yang lebih memuaskan, maka pekerja akan melakukan usaha-usaha untuk mencapai tujuannya tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa individu yang memiliki motivasi berprestasi memiliki kebutuhan untuk melakukan pekerjaan yang lebih baik dari sebelumnya, selalu berkeinginan mencapai prestasi yang lebih tinggi. Motivasi berprestasi menjadi komponen yang sangat berperan dalam mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas (McClelland, 1987). Beberapa penelitian tentang kualitas kehidupan bekerja dan aspek-aspek kualitas kehidupan bekerja menunjukkan hubungan yang positif terhadap motivasi. Penelitian Usman (2009) di Pertamina menemukan bahwa adanya kesempatan pekerja mengembangkan keahliannya, sistem imbalan yang adil dan mencukupi kebutuhan dan lingkungan yang aman dan nyaman bagi karyawan mempengaruhi semangat kerja karyawan. Havlovic, Straw & Heckscher, Scobel (dalam Lau & May, 1998) mengatakan bahwa beberapa karakteristik seperti

variasi daripada tugas-tugas kerja, umpan balik daripada pekerjaan, adanya kesempatan untuk menggunakan kemampuan dan keterampilan individu juga mepengaruhi kualitas kehidupan bekerja. Penelitian tentang kualitas kehidupan bekerja sebelumnya menyatakan bahwa bila managemen ingin mengembangkan kekohesifan dan loyalitas maka organisasi harus mengembangkan kebijakan yang mendukung dan jelas. Penelitian Delaney dan Huselid juga menemukan hubungan positif antara praktek managemen sumber daya manusia yang progresif, seperti pelatihan dan penyeleksian staf dengan performa organisasi dengan peningkatan kualitas kehidupan kerja. Peningkatan kualitas kehidupan bekerja berdampak positif terhadap organisasi seperti pencapaian sasaran organisasi, memperbaiki kondisi kerja, meningkatkan efektivitas organisasi, berkontribusi dalam mencari karyawan yang berkualitas, menciptakan lingkungan kerja yang mampu memotivasi karyawannya dalam bekerja, dan mempertahankan kompetitif perusahaan (Lau & May, 1998). Selain itu juga berdampak positif terhadap karyawan dapat menimbulkan perasaan lebih positif terhadap diri sendiri, terhadap pekerjaan yang dilaksanakan (Winardi, 2001) meningkatkan komitmen, efisiensi produktivitas pekerja, dan keterlibatan dalam organisasi (Mullins, 1996), berkurangnya tingkat ketidakhadiran, rendahnya turnover dan meningkatnya tingkat kepuasan kerja dan menurunkan tingkat perilaku negatif pekerja, dan meningkatkan prestasi karyawan (Havlovic, Cohen, Chang & Ledford, King & Ehrhard, dalam Lau & May, 1998).

Kualitas kehidupan kerja dan proses pemberdayaan karyawan dalam perusahaan sangat menentukan kesadaran dari individu karyawan untuk mengubah cara berfikir yang destruktif terhadap perannya dalam perusahaan. Sikap positif yang ditunjukkan karyawan terhadap perusahaan, merupakan cerminan motivasi berprestasi pada diri karyawan tinggi. Karyawan berharap bahwa aktivitas kerja yang dilakukannya akan membawanya kepada suatu keadaan yang lebih memuaskan daripada keadaan sebelumnya. Karena harapan akan keadaan yang lebih memuaskan, maka pekerja akan melakukan usaha-usaha untuk mencapai tujuannya tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa individu yang memiliki motivasi berprestasi memiliki kebutuhan untuk melakukan pekerjaan yang lebih baik dari sebelumnya, selalu berkeinginan mencapai prestasi yang lebih tinggi. Motivasi berprestasi menjadi komponen yang sangat berperan dalam mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas (McClelland, 1987). D. Hipotesis Penelitian Berdasarkan uraian diatas, maka hipotesa yang diajukan peneliti dalam penelitian ini adalah 1. Hipotesis mayor: Kualitas kehidupan bekerja merupakan prediktor positif terhadap motivasi berprestasi pada karyawan 2. Hipotesis minor: a. Kompensasi yang adil dan memadai merupakan prediktor positif terhadap motivasi berprestasi pada karyawan

b. Kondisi kerja yang aman dan sehat merupakan prediktor positif terhadap motivasi berprestasi pada karyawan c. Kesempatan pengembangan dan penggunaan kapasitas manusia merupakan prediktor positif terhadap motivasi berprestasi pada karyawan d. Peluang pertumbuhan dan jaminan berkesinambungan merupakan prediktor positif terhadap motivasi berprestasi pada karyawan e. Integrasi sosial di tempat kerja merupakan prediktor positif terhadap motivasi berprestasi pada karyawan f. Pemenuhan hak-hak karyawan merupakan prediktor positif terhadap motivasi berprestasi pada karyawan g. Pekerja dan ruang hidup secara keseluruhan merupakan prediktor positif terhadap motivasi berprestasi pada karyawan h. Tanggung jawab sosial organisasi merupakan prediktor positif terhadap motivasi berprestasi pada karyawan