Variabilitas Suhu dan Salinitas Perairan Selatan Jawa Timur Riska Candra Arisandi a, M. Ishak Jumarang a*, Apriansyah b

dokumen-dokumen yang mirip
Physics Communication

PRISMA FISIKA, Vol. II, No. 1 (2014), Hal ISSN :

Oleh Tim Agroklimatologi PPKS

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PRAKIRAAN MUSIM KEMARAU 2017 REDAKSI

EVALUASI CUACA BULAN JUNI 2016 DI STASIUN METEOROLOGI PERAK 1 SURABAYA

PRAKIRAAN MUSIM 2017/2018

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA

Pengaruh Dipole Mode dan El Nino Southern Oscillation Terhadap Awal Tanam dan Masa Tanam di Kabupaten Mempawah

KATA PENGANTAR KUPANG, MARET 2016 PH. KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI LASIANA KUPANG CAROLINA D. ROMMER, S.IP NIP

Prakiraan Musim Kemarau 2018 Zona Musim di NTT KATA PENGANTAR

PRISMA FISIKA, Vol. I, No. 2 (2013), Hal ISSN :

Gambar 1. Diagram TS

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Kajian Elevasi Muka Air Laut di Perairan Indonesia Pada Kondisi El Nino dan La Nina

PENDAHULUAN Latar Belakang

KATA PENGANTAR TANGERANG SELATAN, MARET 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG. Ir. BUDI ROESPANDI NIP

I. INFORMASI METEOROLOGI

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

I. INFORMASI METEOROLOGI

KATA PENGANTAR REDAKSI. Pengarah : Wandayantolis, S. SI, M. Si. Penanggung Jawab : Subandriyo, SP. Pemimpin Redaksi : Ismaharto Adi, S.

JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 4, Nomor 4, Tahun 2015, Halaman Online di :

I. INFORMASI METEOROLOGI

KATA PENGANTAR. Semarang, 22 maret 2018 KEPALA STASIUN. Ir. TUBAN WIYOSO, MSi NIP STASIUN KLIMATOLOGI SEMARANG

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

KATA PENGANTAR. Negara, September 2015 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI NEGARA BALI. NUGA PUTRANTIJO, SP, M.Si. NIP

Estimasi Arus Laut Permukaan Yang Dibangkitkan Oleh Angin Di Perairan Indonesia Yollanda Pratama Octavia a, Muh. Ishak Jumarang a *, Apriansyah b

POLA DISTRIBUSI SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

KATA PENGANTAR. Pontianak, 1 April 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI SIANTAN PONTIANAK. WANDAYANTOLIS, S.Si, M.Si NIP

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Pasang Surut Surabaya Selama Terjadi El-Nino

BAB I PENDAHULUAN. perencanaan dan pengelolaan sumber daya air (Haile et al., 2009).

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG ANALISIS MUSIM KEMARAU 2013 DAN PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2013/2014

Studi Variabilitas Lapisan Atas Perairan Samudera Hindia Berbasis Model Laut

KATA PENGANTAR PANGKALPINANG, APRIL 2016 KEPALA STASIUN METEOROLOGI KLAS I PANGKALPINANG MOHAMMAD NURHUDA, S.T. NIP

KATA PENGANTAR. merupakan hasil pemutakhiran rata-rata sebelumnya (periode ).

BAB III METODOLOGI. Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian di Samudera Hindia bagian Timur

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG

PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2011/2012 PADA ZONA MUSIM (ZOM) (DKI JAKARTA)

I. INFORMASI METEOROLOGI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memanasnya suhu permukaan air laut Pasifik bagian timur. El Nino terjadi pada

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG

ANALISIS MUSIM KEMARAU 2015 DAN PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2015/2016

Tinjauan Pustaka. II.1 Variabilitas ARLINDO di Selat Makassar

Prakiraan Musim Hujan 2015/2016 Zona Musim di Nusa Tenggara Timur

HASIL DAN PEMBAHASAN

VARIABILITAS SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN BARAT SUMATERA DAN HUBUNGANNYA DENGAN ANGIN MUSON DAN IODM (INDIAN OCEAN DIPOLE MODE)

Praktikum M.K. Oseanografi Hari / Tanggal : Dosen : 1. Nilai SUHU DAN SALINITAS. Oleh. Nama : NIM :

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Anomali Curah Hujan 2010 di Benua Maritim Indonesia Berdasarkan Satelit TRMM Terkait ITCZ

Propinsi Banten dan DKI Jakarta

BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

KATA PENGANTAR. Prakiraan Musim Kemarau 2016

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN METEOROLOGI KLAS III MALI

PENGANTAR. Bogor, Maret 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI DARMAGA BOGOR

Perhitungan Potensi Energi Angin di Kalimantan Barat Irine Rahmani Utami Ar a), Muh. Ishak Jumarang a*, Apriansyah b

PENGARUH PERUBAHAN DAN VARIABILITAS IKLIM TERHADAP DINAMIKA FISHING GROUND DI PESISIR SELATAN PULAU JAWA

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

PENGANTAR. Bogor, September 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI DARMAGA BOGOR. DEDI SUCAHYONO S, S.Si, M.Si NIP

POSITRON, Vol. IV, No. 2 (2014), Hal ISSN :

STASIUN METEOROLOGI KLAS III NABIRE

KONDISI OSEANOGRAFIS SELAT MAKASAR By: muhammad yusuf awaluddin

KATA PENGANTAR. Prakiraan Musim Kemarau 2018

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

El-NINO DAN PENGARUHNYA TERHADAP CURAH HUJAN DI MANADO SULAWESI UTARA EL-NINO AND ITS EFFECT ON RAINFALL IN MANADO NORTH SULAWESI

FENOMENA UPWELLING DAN KAITANNYA TERHADAP JUMLAH TANGKAPAN IKAN LAYANG DELES (Decapterus Macrosoma) DI PERAIRAN TRENGGALEK

Vertical structure of upwelling downwelling in South of Java and Bali Seas of Indian Ocean based on seasonal salinity during period of

Analisis Variasi Cuaca di Daerah Jawa Barat dan Banten

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

2. KONDISI OSEANOGRAFI LAUT CINA SELATAN PERAIRAN INDONESIA

BAB II KAJIAN PUSTAKA

PENGARUH FENOMENA GLOBAL DIPOLE MODE POSITIF DAN EL NINO TERHADAP KEKERINGAN DI PROVINSI BALI

ANALISIS HUJAN BULAN MEI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN JULI, AGUSTUS DAN SEPTEMBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

ANALISIS CUACA KEJADIAN BANJIR TANGGAL 26 OKTOBER 2017 DI BANDARA PONGTIKU KABUPATEN TANA TORAJA

JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 5, Nomor 4, Tahun 2016, Halaman Online di :

hujan, penguapan, kelembaban udara, suhu udara, kecepatan angin dan intensitas

ANALISIS KEJADIAN EL-NINO DAN PENGARUHNYA TERHADAP INTENSITAS CURAH HUJAN DI WILAYAH JABODETABEK SELAMA PERIODE PUNCAK MUSIM HUJAN TAHUN 2015/2016

UPDATE DASARIAN III MARET 2018

Sebaran Arus Permukaan Laut Pada Periode Terjadinya Fenomena Penjalaran Gelombang Kelvin Di Perairan Bengkulu

KONDISI OSEANOGRAFI DI SELAT SUNDA DAN SELATAN JAWA BARAT PADA MONSUN BARAT 2012

POLA ARUS PERMUKAAN PADA SAAT KEJADIAN INDIAN OCEAN DIPOLE DI PERAIRAN SAMUDERA HINDIA TROPIS

ANALISIS CUACA KEJADIAN KELEMBABAN SANGAT RENDAH TANGGAL 31 JANUARI 2018

ANALISIS HUJAN BULAN JUNI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN AGUSTUS, SEPTEMBER DAN OKTOBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

STASIUN METEOROLOGI KLAS III NABIRE

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Arus Tiap Lapisan Kedalaman di Selat Makassar Fluktuasi Arus dalam Ranah Waktu di Lokasi Mooring Stasiun 1

Adaptasi Perikanan Tangkap terhadap Perubahan dan Variabilitas Iklim di Wilayah Pesisir Selatan Pulau Jawa Berbasis Kajian Resiko MODUL TRAINING

BIDANG ANALISIS VARIABILITAS IKLIM

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN METEOROLOGI NABIRE

BIDANG ANALISIS VARIABILITAS IKLIM

BIDANG ANALISIS VARIABILITAS IKLIM

STASIUN METEOROLOGI KLAS III NABIRE

EVALUASI MUSIM HUJAN 2007/2008 DAN PRAKIRAAN MUSIM KEMARAU 2008 PROVINSI BANTEN DAN DKI JAKARTA

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Bab 3. Pengumpulan dan Pengolahan Data. Bab 3 Pengumpulan dan Pengolahan Data. 3.1 Pengumpulan Data

PROSPEK KEJADIAN SIKLON TROPIS DI WILAYAH SAMUDERA HINDIA SELATAN INDONESIA PADA MUSIM SIKLON 2016/2017

Transkripsi:

Variabilitas Suhu dan Salinitas Perairan Selatan Jawa Timur Riska Candra Arisandi a, M. Ishak Jumarang a*, Apriansyah b a Program Studi Fisika, Fakultas MIPA, Universitas Tanjungpura, b Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas MIPA, Universitas Tanjungpura, Jalan Prof. Dr. Hadari Nawawi, Pontianak, Indonesia *Email : ishakjumarang@physics.untan.ac.id Abstrak Telah dilakukan penelitian variabilitas suhu dan salinitas perairan Selatan Jawa Timur (8,5 LS s.d 15 LS dan 111 BT s.d 114,5 BT). Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh ENSO terhadap variabilitas suhu dan salinitas. Data SOI dan indeks SST Nino 3.4 diolah Ms. Excel sehingga menghasilkan grafik SOI dan indeks SST Nino 3.4. Penentuan tahun ENSO dilihat berdasarkan grafik SOI dan indeks SST Nino 3.4. Data suhu dan salinitas dari Argo Float diolah menggunakan Ocean Data View, kemudian setiap output dianalisis berdasarkan fenomena ENSO, selanjutnya dilakukan analisis korelasi SOI dan indeks SST Nino 3.4 terhadap suhu dan salinitas untuk melihat hubungan ENSO terhadap variabilitas suhu dan salinitas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa fenomena ENSO berdasarkan SOI dan Indeks SST Nino 3.4 tidak mempengaruhi variabilitas suhu dan salinitas, sehingga variabilitas suhu dan salinitas pada kondisi El Niño lebih tinggi daripada kondisi La Niña. Tingkat kekuatan SOI terhadap suhu dan salinitas lebih lemah daripada indeks SST Nino 3.4. Tingkat kekuatan SOI terhadap suhu adalah 0,141 dan -0,05 terhadap salinitas. Tingkat kekuatan indeks SST Nino 3.4 terhadap suhu adalah 0,557 dan 0,711 terhadap salinitas. Kata kunci : ENSO, Indeks SST Nino 3.4, Salinitas, SOI, Suhu 1. Latar Belakang Perairan Selatan Jawa Timur memiliki sirkulasi massa air yang unik karena posisinya yang terhubung langsung dengan massa air perairan Samudera Hindia bagian Timur. Sirkulasi di lautan berhubungan dengan sirkulasi atmosfer, sehingga perubahan yang terjadi di atmosfer akan mempengaruhi sirkulasi di lautan. Fenomena El Niño Southern Oscilation (ENSO) merupakan salah satu bagian dari sirkulasi atmosfer yang mempengaruhi sirkulasi perairan Selatan Jawa. ENSO mempengaruhi ketebalan termoklin perairan selatan Jawa hingga Timor, batas atas saat El Niño umumnya lebih dangkal (rerata 50,9 s.d 51,7 meter) daripada saat La Niña (rerata 58,4 s.d 60,2 meter), namun batas bawah termoklin pada kondisi El Niño lebih dalam (rerata 262,9 s.d 281,8 meter) daripada kondisi La Niña (rerata 204,5 259,6 m) [1]. Secara keseluruhan massa air permukaan Samudera Hindia bagian Timur memiliki kisaran suhu 23,5 s.d 29 C dan salinitas 33,5 s.d 35,25 psu [2]. Variabilitas salinitas kedalaman rerata 0 s.d 300 meter di perairan Selatan Jawa hingga Selatan Bali (termasuk Selatan Jawa Timur) diduga dipengaruhi oleh La Niña. Pengaruh tersebut diidentifikasi berdasarkan nilai koefisien pearson antara salinitas dengan indeks SOI pada tahun 2010 yaitu -0,89. Berdasarkan koefisien korelasi tersebut dapat diketahui bahwa Karakteristik variabilitas salinitas menunjukkan pola yang berkebalikan dengan pola SOI dengan kekuatan yang besar [3]. Berdasarkan pemaparan tersebut, maka pengaruh fenomena ENSO terhadap variabilitas suhu dan salinitas perairan Selatan Jawa Timur menjadi suatu hal yang sangat menarik untuk dikaji. Hasil penelitian dapat memberikan gambaran variabilitas suhu dan salinitas Selatan Jawa Timur. 2. Metodologi Data yang digunakan adalah data suhu dan salinitas pada kondisi Normal (Juli 2012 s.d Juni 2013), La Niña (April 2010 s.d Maret 2011) serta saat El Niño (April 2015 s.d Maret 2016) yang diperoleh melalui www.coriolis.eu.org. Fenomena ENSO dilihat berdasarkan data SOI yang diunduh melalui www.bom.gov.au dan indeks SST Nino 3.4 yang diperoleh melalui www.ncep.noaa.gov. Lokasi penelitian berada di perairan Selatan Jawa Timur (8,5 o LS s.d 15 LS dan 111 BT s.d 114,5 BT) seperti Gambar 1. Gambar 1. Lokasi Penelitian 131

PRISMA FISIKA, Vol. V, No. 3 (2017), Hal. 131-137 ISSN : 2337-8204 2.1 Metode Pengolahan dan Analisis Data Data SOI dan indeks SST Nino 3.4 diolah menggunakan Ms. Excel sehingga menghasilkan grafik bulanan SOI dan indeks SST Nino 3.4 seperti Grafik 1 dan Grafik 2. Selanjutnya dilakukan penentuan rentang waktu yang sesuai dengan kriteria fenomena ENSO. Grafik 1. Grafik SOI tahun 2010 s.d 2016 Grafik 2. Indeks SST Nino 3.4 tahun 2010 s.d 2016 Kriteria penentuan setiap kondisi dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2, selanjutnya data suhu dan salinitas diolah menggunakan ODV sehingga dihasilkan output berupa distribusi temporal suhu dan salinitas, profil suhu dan salinitas terhadap kedalaman, serta distribusi suhu dan salinitass permukaan, kemudian setiap output dianalisis berdasarkan fenomena ENSO. Tabel 1. Prediksi ENSO berdasarkan indeks SST Nino 3.4 Indeks SST Nino 3.4 Fenomena >+1,5 C El Niño kuat +1,0 C s.d +1,5 C El Niño sedang +0,5 C s.d +1,0 C El Niño lemah -0,5 C s.d +0,5 C -1,0 C s.d -0,5 C Netral La Niña lemah -1,5 C s.d -1,0 C La Niña sedang <-1,5 C La Niña kuat Sumber: BMKG Indonsia, 2016 Tabel 2. Prediksi ENSO berdasarkan SOI SOI Fenomena <-10 El Niño kuat -10 s.d -5 El Niño lemah-sedang -5 s.d +5 Netral +5 s.d +10 La Niña lemah-sedang >+10 La Niña kuat Sumber : BMKG Indonesia, 2016 Hubungan dan pengaruh ENSO terhadap varibilitas suhu dan salinitas dianalisis berdasarkan korelasi SOI dan indeks SST Nino 3.4 terhadap suhu dan salinitas. [4] Tingkat korelasi berkisar -1 s.d +1. Tanda (negatif) menunjukkan adanya arah hubungan yang berlawanan, sedangkan tanda + (positif) mununjukkan arah hubungan yang searah. Tingkat kekuatan hubungan hasil korelasi dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Tingkat hubungan koefisien korelasi [6] Koefisien Korelasi Tingkat Hubungan 1 Sempurna 0,75 s.d 1 Sangat Kuat 0,5 s.d 0,75 Kuat 0,25 s.d 0,5 Lemah 0 s.d 0,25 Sangat Lemah 0 Tidak Ada 3. Hasil dan Pembahasan 3.1 Variabilitas Suhu Variabilitas suhu dipaparkan berdasarkan profil suhu terhadap kedalaman, distribusi temporal suhu serta distribusi suhu permukaan. Pada profil suhu terhadap kedalaman dipaparkan mengenai rata-rata suhu dan ketebalan setiap lapisan massa air yang disajikan pada Tabel 4 berdasarkan pola lapisan massa air pada Gambar 2. Berdasarkan gambar tersebut dapat dilihat adanya lapisan massa air. Suhu pada lapisan tercampur cenderung homogen, kemudian suhu u turun dengan cepat hingga kedalaman tertentu, selanjutnya suhu kembali mengalami penurunan yang lamban. Penurunan suhu disebabkan oleh berkurangnya intensitas penyerapan cahaya matahari seiring bertambahnya kedalaman. Tabel 4. Profil suhu terhadap kedalaman Kondisi Lapisan Ketebalan (m) Normal Tercampur Termoklin Dalam La Niña El Niño Tercampur Termoklin Dalam Tercampur Termoklin Dalam Rata-rata Suhu ( C) 40 28 170 21 390 10 50 28 170 22 380 11 30 29 180 21 390 10 Hasil penelitian menunjukkan rata-rata suhu lapisan tercampur pada kondisi normal dan La Niña memiliki nilai yang sama yaitu 28 C, meskipun ketebalan lapisan tercampur yang berbeda. Berbeda dengan kondisi lainnya, 132

rata-rata suhu lapisan tercampur pada kondisi El Niño mencapai 29 C. Lapisan tercampur memiliki ketebalan yang berbeda pada setiap kondisi. Lapisan tercampur pada kondisi El Niño lebih dangkal (30 meter) dari kondisi normal (40 meter). Berbeda dengan kondisi El Niño, lapisan tercampur pada kondisi La Niña lebih tebal (50 meter) dari kondisi normal. Perbedaan ketebalan lapisan tercampur berhubungan dengan [5] perbedaan tinggi muka laut antara Samudera Pasifik bagian Barat dan Samudera Hindia. Pada kondisi La Niña, muka laut Samudera Pasifik bagian Barat lebih tinggi daripada muka laut Samudera Hindia sehingga meningkatkan kekuatan Arlindo yang menyebabkan lapisan tercampur menjadi lebih dalam. Melemahnya kekuatan Arlindo pada kondisi El Niño menyebabkan tekanan massa air lapisan tercampur berkurang, sehingga lapisan tercampur menjadi lebih dangkal. Secara keseluruhan dapat dilihat adanya persamaan pola distribusi temporal suhu (Gambar 3) pada lapisan tercampur. Suhu dingin pada lapisan tercampur dapat dilihat pada bulan Juli s.d Oktober. Hal tersebut diduga disebabkan oleh menguatnya hembusan angin yang menyebabkan pengadukan massa air menjadi lebih kuat sehingga suhu menjadi lebih rendah. Secara keseluruhan suhu hangat pada lapisan tercampur dapat dilihat pada bulan Januari s.d Juni kemudian terlihat kembali pada bulan November s.d Desember. Suhu terhangat mencapai puncak pada bulan April. Hal tersebut diduga disebabkan oleh adanya pengaruh hembusan angin yang semakin melemah pada bulan April yang diiringi oleh melemahnya pengadukan massa air, serta tingginya tingkat penyinaran matahari. Hal serupa juga terjadi pada kondisi El Niño, namun pada kondisi El Niño puncak suhu terhangat ditemukan lebih awal yaitu pada bulan Maret. Secara keseluruhan lapisan permukaan (Gambar 4) berisi massa air bersuhu 26,5 s.d 30 C pada kondisi normal, 28 s.d 29 C pada kondisi La Niña serta 28,5 s.d 30,5 C pada kondisi El Niño. Penurunan suhu secara drastis (Gambar 3) ditandai oleh garis-garis rapat yang menunjukkan suhu 26 C yang turun hingga 16 C. Lapisan termoklin pada kondisi El Niño (180 meter) sedikit lebih tebal daripada kondisi normal dan La Niña (170 meter) dengan ratarata suhu 21 o C pada kondisi normal dan El Niño serta 22 C pada kondisi La Niña. Perbedaan ketebalan lapisan termoklin berhubungan dengan pengaruh intensitas curah hujan dan tutupan awan [1]. Pada kondisi El Niño, curah hujan dan tutupan awan berkurang yang kemudian berpengaruh pada semakin tinggi intensitas penyerapan cahaya matahari sehingga kedalaman lapisan termoklin menjadi lebih dalam. Pada kondisi La Niña, curah hujan dan tutupan awan akan meningkat, kemudian intensitas penyerapan cahaya matahari berkurang, sehingga lapisan termoklin menjadi lebih dangkal. Semakin dalam perairan maka garis isoterm yang terbentuk semakin renggang, hal tersebut menunjukkan penurunan suhu semakin lamban seiring bertambahnya kedalaman. Lapisan dalam mulai terlihat pada suhu 15 C. Suhu terendah pada lapisan dalam hingga kedalaman 600 meter >7 C yang tersebar merata. Lapisan dalam pada kondisi normal dan El Niño (390 meter) sedikit lebih tebal daripada kondisi La Niña (380 meter) dengan rata-rata suhu 10 C pada kondisi normal dan El Niño serta 11 C saat La Niña. (a) (b) (c) Gambar 2. Profil suhu terhadap kedalaman saat (a) normal, (b) La Niña serta (c) El Niño 133

Gambar 3. Distribusi temporal suhu saat (a) normal, (b) La Niña, (c) El Niño Gambar 4. Distribusi suhu permukaan saat (a) normal, (b) La Niña, (c) El Niño 3.2 Varibilitas Salinitas Berdasarkan Gambar 5 dapat dilihat salinitas pada lapisan tercampur cenderung lebih rendah, kemudian salinitas meningkat dengan cepat hingga kedalaman tertentu, selanjutnya salinitas mengalami perubahan yang lamban. Berdasarkan Tabel 5 diketahui bahwa rata-rata salinitas lapisan tercampur pada kondisi El Niño (34,3 psu) sedikit lebih tinggi dari kondisi normal dan La Niña (34 psu). Hal tersebut berhubungan dengan massa air yang masuk ke wilayah penelitian pada saat El Niño merupakan massa air bersuhu rendah yang diikuti oleh salinitas tinggi, serta berkurangnya tutupan awan pada kondisi El Niño sehingga panas yang diterima perairan semakin besar yang kemudian meningkatkan intensitas penguapan. Lapisan tercampur pada kondisi El Niño lebih dangkal (30 meter) dari kondisi normal (40 meter), sedangkan lapisan tercampur pada kondisi La Niña lebih tebal (50 meter) dari kondisi normal. Tabel 5. Profil salinitas terhadap kedalaman Kondisi Lapisan Ketebalan (m) Rata-rata Suhu ( C) Normal Tercampur 40 34 Termoklin 140 34,4 Dalam 420 34,7 La Niña Tercampur 50 34 Termoklin 100 34,4 Dalam 450 34,7 El Niño Tercampur 30 34,3 Termoklin 90 34,5 Dalam 480 34,7 Berdasarkan distribusi temporal salinitas (Gambar 6), salinitas <34 psu hanya ditemukan pada kondisi normal dan La Niña, hal tersebut diduga disebabkan oleh massa air yang mengalir ke wilayah penelitian pada kondisi El Niño adalah massa air dingin dari Samudera Pasifik. Rendahnya suhu massa air akan diikuti oleh salinitas yang tinggi. Salinitas <34 psu ditemukan pada Februari s.d Juli pada kondisi 134

normal dan November s.d Desember pada kondisi La Niña. Secara keseluruhan lapisan permukaan (Gambar 7) berisi massa air bersalinitas berkisar 33,5 s.d 34,25 psu pada kondisi normal, 33,9 s.d 34,2 psu ada kondisi La Niña serta 33,5 s.d 34,5 psu pada kondisi El Niño. Salinitas rendah pada lapisan permukaan lebih banyak dijumpai di perairan pantai, hal tersebut kemungkinan disebabkan oleh adanya pengaruh dari intrusi massa air dari sungaisungai di sekitar wilayah penelitian. (a) (b) Rata-rata salinitas lapisan haloklin setiap kondisi tidak mengalami perubahan yang signifikan, rata-rata salinitas lapisan haloklin adalah 34,4 psu pada kondisi normal dan La Niña serta 34,5 psu pada kondisi El Niño. Lapisan haloklin pada kondisi normal lebih tebal (140 meter) daripada kondisi La Niña (100 meter) dan El Niño (90 meter). Lapisan haloklin ditunjukkan oleh warna hijau (salinitas 34,5 psu) pada Gambar 6. Pada kondisi normal, lapisan haloklin terdangkal terjadi pada bulan November sedangkan lapisan haloklin terdalam terjadi pada bulan Agustus. Pada kondisi La Niña, lapisan haloklin terdangkal dijumpai pada bulan April sedangkan lapisan haloklin terdalam dijumpai pada bulan September. Pada kondisi El Niño salinitas 34,5 psu dapat dijumpai di permukaan perairan hingga kedalaman 120 meter. Salinitas 34,5 psu berada di permukaan pada bulan Desember. Lapisan dalam mulai terlihat pada salinitas 34,6 psu. Pada lapisan dalam dapat dilihat adanya massa air bersalinitas tinggi yang ditunjukkan oleh warna merah. Tingginya salinitas tersebut menjadi indikasi adanya intrusi massa air yang masuk ke wilayah penelitian. Pada kondisi normal salinitas maksimum berkisar 34,8 s.d 35,1 psu yang secara umum berada di kedalaman 150 s.d 350 meter. Salinitas 34,8 psu mulai terlihat pada bulan Juni, salinitas 34,9 psu tersebar merata pada bulan September s.d Desember. Salinitas 35 psu hanya ditemukan pada bulan November dan Desember sedangkan salinitas 35,1 psu hanya tersebar pada bulan Oktober. Pada kondisi La Niña, salinitas tertinggi berkisar 34,8 s.d 35 psu di kedalaman 200 s.d 340 meter. Salinitas 34,8 psu hanya dapat ditemukan pada bulan Januari s.d Februari, April serta September s.d Desember. Salinitas 34,9 s.d 35 psu tersebar merata pada bulan Oktober s.d November. Pada kondisi El Niño, salinitas maksimum antara 34,8 s.d 35,3 psu dapat ditemukan di kedalaman 140 s.d 350 meter. Rata-rata salinitas setiap kondisi memiliki nilai yang sama (34,7 psu) namun memiliki ketebalan yang berbeda yaitu 420 meter pada kondisi normal, 450 meter pada kondisi La Niña serta 480 meter pada kondisi El Niño. (c) Gambar 5. Profil salinitas terhadap kedalaman saat (a) normal, (b) La Niña, (c) El Niño 135

Gambar 7. Distribusi temporal salinitas saat (a) normal, (b)la Niña, (c) El Niño Gambar 6. Distribusi temporal salinitas saat (a) normal, (b) La Niña, (c) El Niño 3.3 Analisis Korelasi SOI dan Indeks SST Nino 3.4 terhadap suhu dan salinitas. Berdasarkan pemaparan sebelumnya, distribusi suhu dan salinitas perairan Selatan Jawa Timur pada kondisi El Niño lebih tinggi daripada kondisi La Niña. Berdasarkan hal tersebut maka dilakukan analisis korelasi pearson untuk mengetahui hubungan SOI dan indeks SST Nino 3.4 terhadap suhu dan salinitas permukaan. Hasil korelasi SOI terhadap suhu menunjukkan peningkatan SOI akan disertai kenaikan suhu dengan tingkat kekuatan yang sangat lemah (0,141). Nilai signifikansi SOI terhadap suhu lebih tinggi dari 0,05 yaitu 0,662, hal tersebut menunjukkan bahwa SOI tidak mempengaruhi suhu. Berbeda dengan suhu, peningkatan SOI akan disertai oleh penurunan salinitas dengan tingkat kekuatan yang sangat lemah (0,05). Nilai signifikansi SOI terhadap salinitas menunjukkan angka 0,876, sehingga dapat diketahui bahwa SOI tidak mempengaruhi salinitas. Selain pemaparan tersebut, dapat pula diketahui bahwa korelasi indeks SST Nino 3.4 terhadap suhu dan salinitas memiliki nilai yang lebih tinggi daripada korelasi SOI terhadap suhu dan salinitas. Berdasarkan hasil korelasi diketahui bahwa indeks SST Nino 3.4 yang meningkat akan disertai peningkatan suhu dan salinitas dengan kekuatan sebesar 0,557 terhadap suhu dan 0,711 terhadap salinitas. Seperti halnya SOI, indeks SST Nino 3.4 juga tidak mempengaruhi suhu dan salinitas perairan Selatan Jawa Timur. Hal tersebut dapat dilihat dari signifikansi indeks SST Nino 3.4 yang memiliki nilai lebih dari 0,05 yaitu 0,06 terhadap suhu. Nilai signifikansi indeks SST Nino 3.4 terhadap salinitas memiliki nilai lebih dari 0,005 yaitu 0,009. 4. Kesimpulan Kesimpulan yang dapat diambil pada penelitian ini adalah suhu dan salinitas pada kondisi El Niño lebih tinggi daripada kondisi La Niña. Nilai signifikansi korelasi menunjukkan bahwa ENSO berdasarkan SOI dan Indeks SST Nino 3.4 tidak mempengaruhi variabilitas suhu dan salinitas, namun tingkat kekuatan SOI terhadap suhu dan salinitas lebih lemah daripada indeks SST Nino 3.4. Tingkat kekuatan SOI terhadap suhu adalah 0,141 dan -0,05 terhadap salinitas. Tingkat kekuatan indeks SST 136

Nino 3.4 terhadap suhu adalah 0,557 dan 0,711 terhadap salinitas. Daftar Pustaka [1] Kunarso, Hadi S, Ningsih N.S., Baskoro M.S., Perubahan Kedalaman dan Ketebalan Termoklin pada Variasi Kejadian ENSO, IOD dan Monsun di Perairan Selatan Jawa hingga Pulau Timor, Ilmu Kelautan, 17(2), 87-98, 2012. [2] Teliandi, D., Djunaedi O.S., Purba N.P., Pranowo W.S. Hubungan Variabilitas Mixed Layer Depth Kriteria ΔT=0,5 C Dengan Sebaran Tuna Di Samudera Hindia Bagian Timur, Depik, 2(3), 162-171, 2013. [3] Wardani, R., Pranowo W.S., Indrayanti E. Struktur Vertikal upwelling-downwelling di Samudera Hindia Selatan Jawa hingga Selatan Bali Berdasarkan Salinitas Musiman Periode 2004-2010, Depik, 2(3), 191-199, 2013. [4] Santoso S. Panduan Lengkap SPSS Versi 23., Surabaya: PT Elex Media Komputindo; 2016. [5] Gordon A.L., Ocenography ot the Indonesian Seas and Their Troughflow, J Oceano. Soc, 18, 2005. [6] Qudratullah F.M., Analisis Regresi Terapan : Teori, Contoh Kasus dan Aplikasi dengan SPSS, Yogyakarta: Andi; 2013. [7] Australian Govemment Bureau of Meteorology. [Online]. [cited 2016 April 4. Available from: http://www.bom.gov.au/climate/current/so ihtm1.shtml. [8] Coriolis Operational Oceanography. [Online]. [cited 2016 April 4. Available from: http://www.coriolis.eu.org/dataproducts/d ata-delivery/data-selection. [9] National Oceanic and Atmospheric Administration. [Online]. [cited 2016 April 04. Available from: http://www.cpc.ncep.noaa.gov/data/indices. 137