BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Berikut ini adalah kesimpulan dari hasil dan pembahasan kajian kritis tentang media sosial, pola komunikasi politik dan relasi kuasa dalam masyarakat kesukuan Flores dengan metode Analisis Wacana Kritis Teun van Dijk dan Analisis Percakapan Online atas Diskusi Politik Online tentang pembentukan Provinisi Kepulauan Flores dan grup Facebook Wacana Pembentukan Provinsi Flores. 1. Media Sosial dan Pola Komunikasi Masyarakat Kesukuan Flores a. Dalam diskusi politik online di Grup Facebook WPPF tentang rencana pembentukan Provinsi Kepulauan Flores, pola komunikasi politik masyarakat kesukuan Flores masih didominasi oleh pola strategis sebagaimana pola komunikasi politik melalui media tradisional dan media massa yang sarat konstruksi kepentingan elit politik. Struktur sosio-teknologis media sosial yang memungkinkan lahirnya egaliterianisme warga dan tingginya potensi kualitas deliberatif diskusi online oleh struktur konektivitas dan interaktivitas media sosial memiliki determinasi yang masih kecil dalam konteks komunikasi politik masyarakat kesukuan Flores. Masih menguatnya eltisime politik berbasis struktur etnis-kewilayahan yang berkelindan dengan rendahnya jumlah netizen kepulauan Flores membuat pola komunikasi politik melalui media sosial masih bersifat strategis elitis. Dengan kata lain, 261
determinasi sosial masih cukup kuat dalam praksis politik para netizen Flores khususnya dan seluruh warga kesukuan Flores pada umumnya. Melalui media sosial, terutama dalam percakapan online berupa komentar pada setiap wacana, pola strategis tersebut tampak dengan banyaknya penggunaan strategi monolog, personal revelation (baca: ethnic-regional revelation), flaming, resiprokalitas intra-ideologis bahkan stigmatisasi politis. b. Pola partisipatif semula menjadi idelisme para aktivis politik yang menjadi pionir komunikator politik pada grup media sosial namun menjadi memudar karena beberapa faktor yakni masih beroperasinya unsur etnis-kewilayahan sebagai sarana rekrutmen anggota grup. Hal semacam ini mencerminkan kecenderungan polarisiasi netizen Flores berbasis etnis-kesukuan. Akibatnya, partisipasi politik dalam konteks komunikasi politik melalui media sosial bersifat parsial bahkan terpolarisasi. Selain itu, memudarnya pola partisipatif juga dipengaruhi oleh polarisasi para elit politik lokal yang kemudian mempengaruhi polarisasi para netizen Flores berbasis kepentingan politik. Jika homogenitas kepentingan politik ini berkelindan dengan polarisasi etniskewilayahan maka dengan begitu mudah pola komunikasi politik berubah menjadi kecurigaan. Dinamika semacam ini tampak dalam wacana penentuan calon ibukota PKF di mana desain demokratis seturut peluang sosioteknologis media sosial justru disusupi sentimen etnis-kewilayahan dan kepentingan elit politik lokal melalui unsur grafis (huruf kapital) pada salah satu kota. Struktur percakapan online yang turut membentuk wacana juga 262
memperlihatkan rendahnya kualitas pola partisipatif karena masih begitu dominannya strategi resiprokalitas intra-ideologis. c. Sementara itu, pola deliberatif yang menjadi pola paling ideal yang diberikan oleh struktur interaktivitas media sosial justru tidak tampak sejak awal. Yang terjadi justru deliberasi semu karena para komunikator telah menjelma sebagai bagian dari kelompok penekan berbasis elit politik lokal sehingga pesan politik telah dikemas dalam nada otoritatif bahkan menjadi advokasi politik dari kelompok penekan tersebut. Pergerakan komunikator politik yang demikian justru melahirkan elit baru dalam dinamika politik lokal yakni elit informasi politik lokal maupun diaspora yang terkoneksi erat dengan para politisi lokal. Dengan demikian, peluang demokratisasi yang ditawarkan oleh struktur-struktur sosio-teknologis media sosial belum dimanfaatkan oleh netizen masyarakat kepulauan Flores untuk melipatgandakan jumlah dan kualitas warga Flores melek politik. Masih kuatnya struktur sosial dan politik yang sarat unsur politik kekuasaan elit lokal dan etnis-kewilayahan justru menjadikan media sosial sebagai penguat fragmentasi yang ada di tengah masyarakat kesukuan Flores. 2. Media Sosial dan Relasi Kuasa dalam Masyarakat Kesukuan Flores Relasi kuasa yang terjalin dan beroperasi di balik praksis komunikasi politik masyarakat kesukuan kepulauan Flores melalui media sosial terkait rencana pembentukan Provinsi Kepulauan Flores berlangsung dalam pertarungan strategi dominasi-resisten. Strategi dominasi beroperasi melalui 263
representatisme-regulasisme dan switching elitisme politik dan elitisme infromasi. Sementara strategi resistensi berlangsung melalui fragmentasi dan pembentukan aliansi tandingan serta kulturalisme di balik ketidaktersambungan (unwiring) secara digital. Maka tampak bahwa ideologi elitisme politik dalam masyarakat kesukuan Flores menjelma pada upaya melanggengkan demokrasi elitis tanpa kultur deliberasi politik yang kuat. Aktivis politik yang semula ingin berkiprah independen melalui aktivisme di media sosial lalu terjebak dalam wacana elitisme politik yang ada dengan menjadi bagian dari P4KF yang dikendalikan oleh pimpinan kabupaten dan politisi lokal yang menghendaki segera terbentuknya Provinsi Kepulauan Flores. Penggalangan dukungan pada wacana elitis pun dilakukan melalui tekanan politik dengan menggiring isu pemekaran wilayah hanya pada aspek prosedur-regulasi dengan memetakan elit politik mana saja yang sudah berperan dan dikontraskan dengan yang seharusnya berperan tetapi belum berperan. Akibatnya, aspek lain yang bersentuhan langsung dengan kondisi konkrit warga tidak menjadi bagian dari informasi politik yang disebar. Strategi kelompok kepentingan ini secara strategis sebenarnya sebagai langkah mengatasi pertentangan tidak langsung aktor politik yang kuat secara kultural yakni Gereja Katolik yang berusaha merawat kesatuan misi Katolik di NTT; tidak hanya di Flores. Dengan membawa isu pemekaran hanya melulu politis maka pintu bagi masuknya wacana perlawanan Gereja Katolik dapat diminimalisir. Sebaliknya, elit politik Gereja dan kelompok kontra pemekaran mengusung wacana kultural yang sama yakni kesatuan identitas Flobamora- 264
Kristiani dan kesejahteraan umum yang justru bekerja perlahan dalam masyarakat yang tidak aktif di media sosial. B. Usul-Saran 1. Usul pertama bersifat metodologis yang ditujukan untuk para peneliti lain yang berminat pada interaksi media sosial dan masyarakat lokal-tradisional. Penelitian ini memperlakukan teks media sosial sebagai data yang dibaca dan ditafsir sehingga peneliti lebih tampak sebagai pengamat (observer) ketimbang partisipan. Dengan demikian, hasil penelitian ini merupakan penafsiran dan pemahaman yang mendalam atas teks dan konteks sosial yang ada. Peneliti lain dapat menemukan fenomena lain dengan cara memperlakukan media sosial sebagai sarana mendapatkan data sehingga menjadi lebih partisipatif serta lebih sinkronis. Selain itu, sifat konektivitas dan interaktivitas media sosial memerlukan juga analisis jaringan komunikasi. Sekalipun demikian, asumsi penggunaan multidisiplin dalam kajian teori dan analisis tetap harus dipertahankan bahkan ditingkatkan karena pada media sosial, subjek-subjek yang biasa dalam komunikasi politik seperti komunikator, pesan politik, khalayak dan sebagainya telah tampak kian kompleks. 2. Saran kedua bersifat sumbangan pemikiran berdasarkan hasil temuan terutama bagi para aktor politik di wilayah dengan karakteristik sosial-ekonomi politik seperti di NTT dan para peneliti dan pemerhati kajian media dan masyarakat lainnya. Bahwa pemanfaatan media sosial sebagai sarana komunikasi politik hanya akan menjadi efektif dan mencapai tujuan tertinggi komunikasi politik 265
yakni menciptakan warga yang berpartisipasi politik secara sadar dan cerdas (informed) jika meningkatkan kapasitas interaktivitas dengan berani mengangkat isu politik yang lebih konkrit, merakyat, kurang populer bahkan dilematis atau terbuka pada konflik dan feedback negatif; bukan hanya mengonstruksi citra. Selain itu, karena masih kuatnya struktur sosial-budaya di tengah masyarakat, maka harus disertai juga dengan pemberdayaan terhadap modal sosial politik warga yang lain seperti kelompok-kelompok pro demokrasi lokal (LSM dan komunitas politik lokal dan tokoh agama). Jika tidak, media sosial justru menjadi penambah jurang antara kaum elit politik dan warga dalam hal memaknai dan memperjuangkan kesejahteraan bersama (bonum commune) sebagai cita-cita tertinggi hidup berpolitik. 266