V. DAMPAK PERGULIRAN DANA SPP TERHADAP UMKM. 5.1 Keragaan Penyaluran Pinjaman Dana Bergulir SPP

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. (NSB) termasuk Indonesia sering berorientasi kepada peningkatan pertumbuhan

IV. GAMBARAN UMUM. Kabupaten Lebak merupakan salah satu kabupaten yang terletak di

III. METODE PENELITIAN. Lebak yang merupakan wilayah pelaksana Program Nasional Pemberdayaan

VII. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMBIAYAAN AGRIBISNIS PADA KOPERASI BAYTUL IKHTIAR

VII FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI REALISASI PEMBIAYAAN SYARIAH UNTUK SEKTOR AGRIBISNIS

TINGKAT KEBERDAYAAN EKONOMI PEREMPUAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

VI. MEKANISME PENYALURAN KUR DAN KARAKTERISTIK RESPONDEN

BAB V GAMBARAN UMUM RESPONDEN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. a. Letak, Batas dan Luas Daerah Penelitian. Kabupaten Wonosobo, terletak lintang selatan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Penyaluran Kredit Perbankan Tahun (Rp Miliar).

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ketentuan Umum Perkreditan Bank 2.2. Unsur-unsur dan Tujuan Kredit

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. tangga dapat disimpulkan bahwa tipe rumah tangga 1 (mendapatkan

BAB I PENDAHULUAN. pertanian meliputi sub-sektor perkebunan, perikanan, dan perikanan.

Tabel 1. Perkembangan Nilai Produk Domestik Bruto (PDB) Menurut Skala Usaha Tahun Atas Dasar Harga Konstan 2000

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tabel 1

BAB IV GAMBARAN UMUM. 4.1 Gambaran Umum Lokasi Letak dan Keadaan Fisik

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Peranan UMKM. laju pertumbuhan ekonomi maupun penyerapan tenaga kerja.

Oleh: Elfrida Situmorang

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. sekitar 4 Km dari Kabupaten Gunungkidul dan berjarak 43 km, dari ibu kota

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2. Metode Penentuan Sampel

BAB VII HUBUNGAN ANTARA REPRESENTASI SOSIAL PROGRAM SPP PNPM TERHADAP PERILAKU RESPONDEN DALAM MENGIKUTI PROGRAM SPP PNPM

BAB IV KARAKTERISTIK RESPONDEN DAN SISTEM PERTANIAN

BAB I PENDAHULUAN. Perekonomian Indonesia yang mulai bangkit pasca krisis moneter 1997-

dan jumlah tanggungan keluarga berpengaruh negative terhadap tingkat pengembalian kredit TRI. Penelitian Sarianti (1998) berjudul faktor-faktor yang

Tabel Triangulasi. Fokus 1. Evaluasi Masukan (Evaluation Input) a. Prosedur Pelaksanaan SPP. Wawancara Dokumentasi Observasi

BAB V KARAKTERISTIK PETANI DAN HUBUNGANNYA DENGAN TINGKAT PARTISIPASI DALAM PROGRAM SL-PTT

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. kesadaran masyarakat dalam membayar PBB di Desa Kadirejo.

V. GAMBARAN UMUM LOKASI DAN RESPONDEN

IV. METODE PENELITIAN

VI. KERAGAAN USAHATANI KENTANG DAN TOMAT DI DAERAH PENELITIAN

Analisis Efektivitas Pemberian Pinjaman Program Pembiayaan UMKM Oleh Koperasi Di Jepara (Studi Kasus UJKS Mitra Usaha Jepara)

I. PENDAHULUAN. bentuk investasi kredit kepada masyarakat yang membutuhkan dana. Dengan

BAB VIII AKSES DAN KONTROL RMKL DAN RMKP TERHADAP P2KP

BAB I PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia menyebabkan munculnya. menurunnya konsumsi masyarakat. Untuk tetap dapat memenuhi kebutuhan

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penelitian Terdahulu Mengenai Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Realisasi Kredit

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lembaga Keuangan Mikro (LKM) di Indonesia

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PETANI PADI DALAM PEMANFAATAN SUMBER PERMODALAN: STUDI KASUS DI KABUPATEN SERANG PROVINSI BANTEN

BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA

BAB IV PROFIL DESA BANJARWARU

BAB I PENDAHULUAN. dibandingkan usaha yang tergolong besar (Wahyu Tri Nugroho,2009:4).

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pelaku bisnis di Indonesia sebagian besar adalah pelaku usaha mikro, kecil

VI. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGEMBALIAN KREDIT USAHA RAKYAT MIKRO

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Perkembangan Data Usaha Mikro, Kecil, Menengah, dan Usaha Besar Tahun

2015 FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERILAKU MENABUNG MASYARAKAT

Analisis tingkat kesehatan lembaga unit pengelola kegiatan( studi kasus. pada UPK PNPM Kecamatan Kalijambe Kabupaten Sragen ) Oleh : Wawan Apriyanto

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Yang pertama adalah penelitian yang dilakukan oleh Sari Surya

VI. ANALISIS KEBERLANJUTAN FINANSIAL KOPERASI BAYTUL IKHTIAR

BAB IV IMPLEMENTASI SPP (SIMPAN PINJAM KELOMPOK PEREMPUAN) DAN PENGARUHNYA TERHADAP PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT

III. KERANGKA PEMIKIRAN

PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 13/POJK.05/2014 TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA LEMBAGA KEUANGAN MIKRO

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Modal tanah, tenaga kerja dan manajemen adalah faktor-faktor produksi,

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS Produksi Mencerminkan Tingkat Pendapatan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara yang berkembang saat ini menghadapi banyak

BAB I PENDAHULUAN. keuangan mikro, diperlukan suatu sistem yang mengatur segala bentuk kegiatan

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK INDUSTRI KECIL KERUPUK

V. GAMBARAN UMUM. Desa Lulut secara administratif terletak di Kecamatan Klapanunggal,

Undang-Undang tentang LKM tersebut mengamanatkan beberapa materi pengaturan teknis lebih lanjut terkait kegiatan usaha LKM, tata cara memperol

III. METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Fenomena kemiskinan perdesaan bukan merupakan suatu gejala yang baru.

VII ANALISIS FUNGSI PRODUKSI DAN EFISIENSI

PEMBAHASAN. 5.1 Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pengembalian Kredit. Karakteristik responden baik yang lancar maupun yang menunggak dalam

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. Sekretariat PNPM MP Kecamatan Ranomeeto, maka adapun hasil penelitian. yang didapatkan dapat digambarkan sebagai berikut:

V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. rakyat (Yunan, 2009:2). Pertumbuhan ekonomi juga berhubungan dengan proses

OLEH FIKANTI ZULIASTRI H

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi di Indonesia dewasa ini mengalami perkembangan dan

Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala. di bawah suatu atap dalam keadaan saling ketergantungan (Mardana. 2013).

HASIL DAN PEMBAHASAN. (a) (b) (c)

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB 4 EVALUASI KEEFEKTIFAN PROGRAM DALAM MENINGKATKAN PRODUKSI PADI SAWAH

I. PENDAHULUAN. produksi hanya diterima petani setiap musim sedangkan pengeluaran harus

PENGARUH FAKTOR-FAKTOR SOSIAL TERHADAP CURAHAN WAKTU KERJA KELOMPOK WANITA TANI PADI DI DESA BANJARAN KECAMATAN BANGSRI KABUPATEN JEPARA

II TINJAUAN PUSTAKA Perbedaan Syariah dengan Konvensional

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. tahun kemudian pada tanggal 24 Maret tahun 1925, Kraton Yogyakarta

I. PENDAHULUAN. peningkatan penduduk dari tahun 2007 sampai Adapun pada tahun 2009

BAB I PENDAHULUAN. berasal dari bahasa latin credere atau credo yang berarti kepercayaan

BAB V HUBUNGAN FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL DENGAN TINGKAT PARTISIPASI PEREMPUAN

I. PENDAHULUAN. Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) adalah perusahaan yang didirikan dan. mengelola BUMD Sebagaimana yang diamanatkan dalam GBHN 1999 dan

BAB I PENDAHULUAN. dana (funding) dan menyalurkan dana (lending) masyarakat perekonomian

BAB I PENDAHULUAN. (UMKM) dalam pertumbuhan perekonomian suatu negara sangat penting. Ketika

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

VI ANALISIS EFISIENSI TEKNIS

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian Teknik Penarikan Contoh

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

V. DESKRIPSI RUMAHTANGGA PETANI TANAMAN PANGAN. Pada bagian ini akan disajikan secara singkat deskripsi statistik kondisi

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Kabupaten Blora merupakan kabupaten yang berada di Provinsi Jawa

VI. ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP PENGEMBALIAN KUPEDES PADA BRI UNIT CIJERUK

BAB I PENDAHULUAN. dihadapi oleh semua negara khususnya negara-negara yang sedang

BAB III PRAKTIK KERJASAMA BUDIDAYA LELE ANTARA PETANI DENGAN PEMASOK BIBIT DI DESA TAWANGREJO KECAMATAN TURI KABUPATEN LAMONGAN

Transkripsi:

65 V. DAMPAK PERGULIRAN DANA SPP TERHADAP UMKM 5.1 Keragaan Penyaluran Pinjaman Dana Bergulir SPP Kecamatan Cimarga merupakan salah satu kecamatan yang melaksanakan program SPP sejak diselenggarakannya PNPM Mandiri Perdesaan pada tahun 2008. Kecamatan Cimarga terdiri atas 17 desa, namun ada satu desa yang tidak ikut berpartisipasi melaksanakan program SPP yaitu Desa Sarageni. Hal ini disebabkan karena lokasi Desa Sarageni dari ibukota kecamatan merupakan yang terjauh dengan jarak 37 km, sehingga warga Desa Sarageni kurang berminat untuk mengikuti program SPP. Setiap desa yang melaksanakan program SPP, memiliki jumlah kelompok dan besarnya nilai pinjaman yang berbeda dimana hal tersebut tergantung pada nilai pengajuan pinjaman dari setiap anggota. Keragaan penyaluran pinjaman SPP dapat dilihat berdasarkan indikator jumlah kelompok dari setiap desa dan besarnya nilai pinjaman pada tahun 2010 dan 2011. Tabel 5.1 Jumlah Kelompok dan Nilai Pinjaman SPP Tahun 2010 2011 Jumlah Kelompok Nilai Pinjaman (Rp.Juta) Persentase No Nama Desa Tahun 2010 Tahun 2011 Tahun 2010 Tahun 2011 Perubahan (%) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 Cimarga Intenjaya Jayasari Margajaya Margatirta Mekarmulya Sangkanmanik Tambak Girimukti Jayamanik Karyajaya Mekarjaya Sangiangjaya Sudamanik Margaluyu Gununganten 4 1 1 10 4 1 8 2 3 3 2 6 5 9 2 1 6 1 1 10 2 2 9 2 4 3 3 8 8 10 3 1 42,5 10 16 253 49,5 10 116 20 73,5 42 24 79,5 103,3 262 27 7 111 12 20 281,4 42 20 223 34 108,3 54 52 132,47 142,3 266 47 7 161,18 20 25 11,22-15,15 100 92,24 70 47,35 28,57 116,67 66,63 37,75 1,53 74,07 0 TOTAL 62 73 1.135,3 1.559,47 Sumber : Data Primer UPK SPP Cimarga

66 Berdasarkan Tabel 5.1 keragaan penyaluran pinjaman bergulir SPP di Kecamatan Cimarga menunjukkan hasil yang baik. Hal ini terlihat dari jumlah kelompok SPP yang mengalami peningkatan dari 62 kelompok pada tahun 2010 menjadi 73 kelompok pada tahun 2011. Selain itu, besarnya jumlah pinjaman bergulir SPP yang diperoleh tiap desa juga mengalami peningkatan pada tahun 2011. Hal ini karena jumlah kelompok yang bertambah di tiap desa dan besarnya pinjaman tiap kelompok yang mengalami peningkatan karena tiap anggota memperoleh pinjaman yang lebih besar pada guliran berikutnya akibat kelancaran pengembalian pinjaman. Akan tetapi ada juga desa yang kelompoknya tidak mengajukan pinjaman kembali pada guliran berikutnya sehingga jumlah kelompok dan besarnya pinjaman menjadi berkurang. Desa yang mengalami peningkatan jumlah pinjaman terbesar yaitu Desa Cimarga dengan persentase peningkatan sebesar 161,18 persen. Sektor usaha yang paling banyak dijalankan oleh warga Desa Cimarga yaitu perdagangan dengan jenis usaha warung kelontongan. Omset yang diperoleh dari jenis usaha tersebut bersifat harian sehingga kondisi keuangan usaha perdagangan cukup meyakinkan bagi pelaku usaha untuk memperoleh pinjaman yang lebih besar. Adanya peningkatan jumlah kelompok menunjukkan UMKM di Kecamatan Cimarga yang memperoleh akses permodalan SPP semakin meningkat sehingga diharapkan dapat mengembangkan usaha yang dijalani. Kelompok SPP yang dijadikan sampel dalam penelitian ini berjumlah 7 kelompok yang berasal dari tiga desa yaitu Desa Margajaya sebanyak 5 kelompok, Desa Cimarga 1 kelompok dan Desa Girimukti sebanyak 1 kelompok. Pemilihan ketiga desa tersebut dilakukan berdasarkan keragaman jenis usaha yang

67 dijalani dan tergolong sebagai desa yang sudah berkembang. Indikator keragaan penyaluran pinjaman bergulir SPP dapat juga dilihat dari nilai Non Performing Loan (NPL) dari pinjaman yang diberikan atau tingkat pengembalian pinjaman. Hal ini karena tingkat pengembalian dana SPP yang lancar secara tidak langsung dapat mempengaruhi kelancaran program PNPM Mandiri Perdesaan. Tabel 5.2 Nilai Pinjaman dan Tingkat Pengembalian Tahun 2011 Nama Desa Nama Kelompok Jumlah Anggota Nilai Pinjaman Tingkat Pengembalian Desa Margajaya Tunas Mekar 02 Tunas Mekar 03 As-Syifa Teratai Tunas Karya (orang) 20 16 9 17 12 (Rupiah) 31.300.000 27.400.000 16.000.000 30.000.000 40.000.000 (%) 76 78 76 79 82 Desa Cimarga Belimbing 10 20.000.000 80 Desa Girimukti Burung Merak 14 37.500.000 84 Sumber : Data Primer Tabel 5.2 menunjukkan bahwa banyaknya jumlah anggota kelompok tidak selalu berbanding lurus dengan besarnya nilai pinjaman yang diperoleh. Hal ini dapat dilihat kelompok Tunas Mekar 02 dengan jumlah anggota paling banyak yaitu 20 orang memperoleh pinjaman sebesar 31,3 juta rupiah. Sedangkan kelompok Tunas Karya dengan jumlah anggota 12 orang memperoleh pinjaman paling besar yaitu 40 juta rupiah. Ini disebabkan besarnya pinjaman tiap anggota kelompok Tunas Mekar 02 relatif kecil berkisar antara 1-2 juta rupiah. Adapun untuk kelompok Tunas Karya besarnya pinjaman tiap anggota berkisar antara 2 5 juta rupiah. Berdasarkan hasil survei di lapangan, hal ini bukan disebabkan karena perbedaan jenis usaha, akan tetapi ada salah satu anggota yang membutuhkan pinjaman cukup besar melebihi batasan pinjaman yang ditentukan sehingga menitip pinjaman pada anggota lain dan hal ini merupakan salah satu bentuk moral hazard. Akan tetapi apabila dilihat dari data jumlah pinjaman yang ada,

68 besarnya nilai pinjaman tiap anggota sesuai dengan ketentuan yang ada dimana besarnya nilai pinjaman setiap anggota tidak boleh lebih dari 5 juta rupiah. Hal ini karena sebagian anggota meminjam sebesar 4-5 juta rupiah padahal kebutuhan pinjaman mereka hanya sebesar 2 juta, dan sisanya dipinjamkan pada anggota yang bersangkutan. Pembatasan besarnya jumlah pinjaman SPP tiap anggota bertujuan untuk membantu pelaku usaha di perdesaan yang sulit mendapatkan akses pinjaman pada lembaga keuangan formal. Berdasarkan tingkat pengembalian pinjaman SPP, kelompok SPP yang dijadikan sampel tergolong lancar dengan tingkat pengembalian pinjaman rata-rata diatas 76 persen. Indikator keragaan penyaluran pinjaman SPP selanjutnya yaitu besarnya pinjaman yang diperoleh dilihat berdasarkan jumlah guliran seperti pada Tabel 5.3. Sebanyak 11 orang responden (36,67 %) sudah mencapai guliran keempat atau sudah memperoleh pinjaman hingga empat kali. Jumlah responden yang baru mencapai guliran pertama atau baru memperoleh pinjaman satu kali sebanyak 3 responden. Tabel 5.3 Jumlah Guliran dan Besarnya Nilai Pinjaman Jumlah Guliran Pinjaman (Frekuensi Perolehan Pinjaman) Besar Pinjaman Rata-rata (Rupiah) Jumlah Responden 1 1.500.000 3 2 2.000.000 9 3 3.500.000 7 4 4.500.000 11 Persentase (%) 10 30 23,33 36,67 Berdasarkan Tabel 5.3 dapat dilihat semakin tinggi jumlah guliran semakin besar pula jumlah pinjaman rata-rata yang diperoleh. Ini menunjukkan pada umumnya responden disiplin dalam pengembalian pinjaman dan tidak adanya tunggakan. Berdasarkan ketentuan prosedur pelaksanaan SPP, besarnya pinjaman yang diperoleh didasarkan pada kondisi pinjaman sebelumnya (guliran

69 sebelumnya). Apabila pada guliran sebelumnya tidak terdapat tunggakan maka responden dapat mengajukan pinjaman pada guliran berikutnya dengan jumlah pinjaman yang lebih besar dari pinjaman sebelumnya dengan maksimal besar pinjaman yaitu 5 juta rupiah. Berdasarkan hasil survei ada salah satu responden yang sudah mencapai guliran keempat meminjam dengan besar pinjaman diatas batas maksimum pinjaman dengan cara menitip pinjaman pada anggota yang lain. Hal ini menunjukkan adanya kasus moral hazard. Akan tetapi, karena responden tersebut pembayarannya lancar maka tindakan tersebut tidak diketahui oleh pihak UPK SPP. 5.2 Karakteristik Responden Responden yang dijadikan sampel yaitu kaum perempuan (ibu-ibu) yang memperoleh pinjaman dari program SPP di tiga desa yaitu Desa Margajaya, Desa Cimarga dan Desa Girimukti pada tahun anggaran 2010 dan 2011. Karakteristik responden mengenai tingkat usia, lama pendidikan dan jumlah anggota keluarga maupun karakteristik usaha responden mengenai lama usaha disajikan dalam bentuk statistik deskriptif pada Tabel 5.3. Statistik deskriptif bertujuan untuk mengetahui karakteristik data berdasarkan ukuran pemusatan dan ukuran penyebaran (variasi) data. Ukuran pemusatan data melihat karakteristik responden yaitu tingkat usia, lama pendidikan dan jumlah anggota keluarga dari nilai ratarata (mean). Variasi data atau keragaman menggambarkan penyebaran data dari nilai rata-ratanya dengan menggunakan ukuran standar deviasi.

70 Tabel 5.4 Statistik Deskriptif Karakteristik Responden Anggota SPP Variabel Mean (Rata-rata) Nilai Maksimum Nilai Minimum Standar Deviasi Tingkat Usia Lama Pendidikan Jumlah Anggota Keluarga Lama Usaha 37,87 8,33 4,267 5,33 52 12 7 30 25 3 2 0,7 6,86 2,537 1,112 6,65 Hasil olahan data pada Tabel 5.4 menunjukkan rata-rata usia responden yaitu 38 tahun dengan nilai standar deviasi sebesar 6,86 tahun atau dibulatkan menjadi 7 tahun. Nilai standar deviasi tersebut menunjukkan bahwa usia responden sangat bervariasi atau beragam dan nilainya cukup tersebar dari ratarata usia (38 tahun) dengan simpangan diantara 31 tahun hingga 45 tahun. Hal ini juga ditunjukkan dengan perbedaan usia tertinggi responden yaitu 52 tahun dengan usia terendah responden yaitu 25 tahun. Sebaran usia responden dapat dilihat dari pembagian kelas usia pada Gambar 5.1. 12 10 8 6 4 2 0 10 7 5 3 3 2 25 29 tahun 30 34 tahun 35 39 tahun 40 44 tahun 45 49 tahun 50 54 tahun Gambar 5.1 Tingkat Usia Responden Keragaman usia responden juga terlihat pada Gambar 5.1 yang menunjukkan usia responden tersebar pada setiap kelas usia dengan sebagian besar berada pada interval 30-34 tahun sebanyak 10 orang responden atau sebesar

71 33,33 persen. Rata-rata usia responden berada pada kategori usia produktif yaitu 38 tahun menunjukkan bahwa adanya program bantuan dana bergulir SPP dari pemerintah diharapkan dapat meningkatkan produktivitas usaha yang dijalani. Hal ini karena peluang untuk mengembangkan usaha relatif besar dengan usia yang tergolong produktif. Tingkat pendidikan responden berdasarkan Tabel 5.4 memiliki rata-rata lama pendidikan yaitu 8 tahun atau setingkat dengan kelas 2 SMP dengan lama pendidikan tertinggi responden yaitu 12 tahun atau setara dengan tingkat pendidikan lulusan SMA dan lama pendidikan terendah yaitu 3 tahun atau hanya mendapatkan pendidikan hingga kelas 3 SD. Nilai standar deviasi lama pendidikan responden sangat berbeda dengan tingkat usia responden dimana standar deviasi lama pendidikan responden yaitu sebesar 2,537 tahun atau dibulatkan menjadi 2 tahun. Hal ini menunjukkan lama pendidikan responden tidak terlalu bervariasi dan mendekati nilai rata-rata lama pendidikan responden yaitu 8 tahun dengan simpangan diantara 6 tahun atau lulusan SD hingga 10 tahun atau setara dengan kelas 1 SMA. Apabila dihubungkan dengan jenis usaha yang dijalankan, pada umumnya responden dengan lama pendidikan yang realtif rendah cenderung menjalankan usaha yang relatif tidak beresiko dan tidak memerlukan perhitungan keuangan yang rumit seperti warung jajanan sekolah. Karakteristik responden berikutnya yang dijelaskan dalam statistik deskriptif pada Tabel 5.4 yaitu jumlah anggota keluarga. Jumlah anggota keluarga yang dimaksud yaitu suami, istri (responden), anak dan orang tua atau saudara yang tinggal dalam satu rumah. Anggota keluarga responden rata-rata berjumlah 4 orang dengan standar deviasi sebesar 1 orang. Ini menunjukkan bahwa jumlah

72 anggota keluarga dari seluruh responden tidak terlalu bervariasi dan mendekati rata-rata jumlah anggota keluarga. Hal ini karena dengan nilai simpangan sebesar 1 orang maka sebagian besar responden memiliki jumlah anggota keluarga antara 3 orang hingga 5 orang. Ini menunjukkan peluang responen untuk memperoleh pinjaman cukup besar karena jumlah anggota keluarga tidak terlalu banyak. Perbedaan antara jumlah anggota keluarga terbanyak dengan terendah cukup besar. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 5.4 jumlah anggota keluarga responden terbanyak yaitu 7 orang sedangkan jumlah anggota terendah yaitu 2 orang. 5.2.1 Status Responden dalam Keluarga Karakteristik responden lainnya yang diidentifikasi dalam penelitian ini yaitu status responden di dalam keluarga. Status responden yang merupakan kaum perempuan di dalam keluarga pada penelitian ini dibagi menjadi dua yaitu status sebagai seorang istri dan status sebagai wanita kepala keluarga. 7% Status sebagai wanita kepala keluarga Status sebagai istri 93% Gambar 5.2 Status Responden dalam Keluarga Hasil survei lapangan pada Gambar 5.2 menunjukkan ada dua orang responden penerima pinjaman dana bergulir SPP yang berstatus sebagai wanita kepala keluarga atau sebesar 7 persen dari total responden 30 orang kaum perempuan (ibu-ibu). Status wanita kepala keluarga yang dimaksud yakni status wanita sebagai kepala keluarga yang dikarenakan tidak memiliki suami (berstatus

73 janda). Adapun sisanya sebesar 93 persen atau sejumlah 28 orang responden berstatus sebagai istri atau bukan sebagai kepala keluarga. Adanya responden penerima pinjaman bergulir SPP yang berstatus sebagai kepala keluarga menunjukkan bahwa program SPP yang dilakukan sesuai dengan tujuan awal yaitu untuk memandirikan kaum perempuan. 5.2.2 Jenis Pekerjaan Karakteristik responden untuk jenis pekerjaan dibagi menjadi dua yaitu jenis pekerjaan responden sendiri sebagai penerima pinjaman SPP dan jenis pekerjaan suami apabila responden berstatus sebagai istri di dalam keluarga. Hal ini karena cakupan dalam penelitian ini yaitu rumah tangga sehingga pekerjaan suami atau kepala keluarga juga diidentifikasi. Hasil survei menunjukkan mayoritas jenis pekerjaan responden yaitu sebagai pedagang (60 %) dengan mayoritas sebagai pedagang warung kelontongan. 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% Responden (Ibu ibu) Suami Petani Pegawai Swasta Buruh Lepas Pegawai Negeri Industri Kerajinan Jasa Pedagang Gambar 5.3 Jenis Pekerjaan Responden dan Suami Jenis pekerjaan responden berikutnya yakni bekerja di sektor industri kerajinan rumah tangga dengan jenis usaha sebagai pembuat dompet yang berada di Desa Girimukti sebesar 16,67 persen atau sejumlah lima orang. Jenis pekerjaan

74 responden di sektor jasa sebesar 13,33 persen dengan jenis usaha sebagian besar yaitu penjahit, pangkas rambut dan tambal ban yang dijalankan oleh suami. Jenis pekerjaan kepala keluarga (suami) lebih beragam daripada jenis pekerjaan responden (kaum ibu). Suami mayoritas bekerja sebagai buruh lepas sebesar 21,43 persen atau sejumlah 6 orang dari 28 orang suami, diikuti oleh jenis pekerjaan di sektor industri kerajinan rumah tangga yaitu sebagai pembuat dompet dan pegawai negeri dengan persentase yang sama yaitu 17,86 persen. Gambar 5.3 menunjukkan bahwa mayoritas jenis pekerjaan antara responden (kaum ibu) dan suami berbeda. 5.3 Karakteristik Usaha Responden 5.3.1 Jenis Usaha UMKM Responden Hasil survei yang diperoleh dilapangan, menunjukkan bahwa adanya PNPM Mandiri Perdesaan di Kecamatan Cimarga khususnya program SPP sangat bermanfaat bagi pelaku usaha mikro khususnya pelaku usaha wanita dalam mengatasi persoalan modal. Hal ini karena ada beberapa dari responden yang memiliki jenis usaha lebih dari satu sehingga total usaha yang dijalankan dari keseluruhan responden (30 orang) sebanyak 40 usaha. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 5.4 berikut ini. 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% 50% 20% 15% 15% Perdagangan Jasa Industri Makanan Industri Kerajinan Gambar 5.4 Jenis Usaha yang Memperoleh Pinjaman SPP

75 Berdasarkan data yang telah diolah dalam Gambar 5.4 jenis usaha rumah tangga yang paling banyak diberikan pinjaman SPP yaitu sektor perdagangan dengan mayoritas adalah pedagang warung kebutuhan pokok dan penjual jajanan anak sebesar 50 persen. Hal tersebut dikarenakan mayoritas warga di lokasi penelitian berprofesi sebagai pedagang dan berlokasi dekat dengan sekolah sehingga sebagian besar bergerak pada usaha warungan. 5.3.2 Lama Usaha Responden Berdasarkan survei menyatakan bahwa lama usaha dari seluruh responden cukup beragam dengan nilai standar deviasi sebesar 6,65 tahun atau dibulatkan menjadi 7 tahun pada Tabel 5.4. Hal ini juga ditunjukkan dengan perbedaan antara lama usaha terendah responden yaitu 8 bulan (0,7 tahun) dengan lama usaha tertinggi responden yaitu 30 tahun. Akan tetapi pada umumnya rata-rata lama usaha responden yaitu 5 tahun. Tabel 5.4 menunjukkan lama usaha UMKM para responden. Sebagian besar lama usaha yang dijalankan responden berada pada interval 2 hingga 5 tahun sebesar 50 persen. Pada ketentuan pelaksanaan program pinjaman bergulir SPP, tidak diperlukan persyaratan minimal lama usaha yang dijalankan. Hal ini karena program pinjaman bergulir SPP bertujuan untuk membantu rumah tangga miskin yang membutuhkan modal untuk usaha walaupun baru memulai usaha. Lama usaha responden yang berkisar antara 2 hingga 5 tahun menunjukkan bahwa pelaku usaha untuk memperoleh akses pinjaman pada lembaga formal mengalami kesulitan karena diperlukan persyaratan lama usaha yang biasanya diatas 5 tahun. Oleh karena itu, program pinjaman bergulir SPP berguna bagi pelaku usaha yang terkendala masalah modal dan tidak memiliki akses pada lembaga formal.

76 Tabel 5.5 Lama Usaha UMKM Lama Usaha (Tahun) Frekuensi Persentase (%) < 2 2-5 6-10 > 10 6 20 10 4 15 50 25 10 5.3.3 Besar Modal Awal Usaha Tabel 5.6 menunjukkan bahwa besar modal awal usaha responden mayoritas mencapai 1 juta rupiah dengan persentase sebesar 62,86 persen. Besar modal awal usaha diatas 5 juta rupiah hanya sebesar 5,71 persen atau dua UMKM dengan jenis usaha yaitu industri pembuatan dompet yang memerlukan modal awal cukup besar. Hal ini dikarenakan bahan yang diperlukan untuk membuat dompet relatif mahal terutama untuk aksesoris dompet. Besar modal awal usaha responden dibawah 1 juta menunjukkan bahwa pada umumnya pelaku usaha memulai usaha dengan besaran modal yang relatif rendah dan memang untuk skala UMKM tidak memerlukan modal awal yang cukup besar sehingga dapat memudahkan pelaku usaha dalam menjalankan usaha. Tabel 5.6 Besar Modal Awal Usaha Responden Besar Modal Awal (Rupiah) Frekuensi Persentase (%) 0 1.000.000 >1.000.000 5.000.000 >5.000.000 22 11 2 62,86 31,43 5,71 5.3.4 Sumber Modal Awal Usaha Hasil lapangan berdasarkan Gambar 5.5 menunjukan bahwa sebagian besar modal awal yang digunakan oleh pelaku usaha dalam memulai usahanya bersumber dari diri sendiri yaitu sebesar 70 persen. Sedangkan sumber modal awal usaha yang berasal dari pinjaman informal diantaranya pinjaman dari

77 program SPP dan pinjaman dari saudara sebesar 21 persen. Hal ini dikarenakan ada dari sebagian responden yang baru memulai usaha kembali dengan modal awal berasal dari pinjaman SPP. Sisanya bersumber dari gabungan modal sendiri dan pinjaman dan ada juga yang berasal dari pemberian desa. Data ini menunjukkan bahwa pelaku usaha mikro mampu memulai usahanya secara mandiri. Oleh karena itu, dengan adanya program-program bantuan pinjaman modal dari pemerintah seperti program SPP ini diharapkan dapat mengembangkan UMKM yang telah ada bahkan memunculkan UMKM baru. 6% 3% 21% 70% Sendiri Pemberian Desa Pinjaman Informal Sendiri + Pinjaman Gambar 5.5 Sumber Modal Awal Usaha 5.4 Penguasaan Aset Responden Aset responden yang diteliti dibagi menjadi dua yaitu penguasaan aset lahan dan non lahan yang dimiliki oleh responden diluar aset usaha. Aset lahan dibedakan menjadi tiga yaitu rumah, sawah, dan lahan kering. Aset non lahan juga dibedakan menjadi tiga yaitu kendaraan, perhiasan dan tabungan.

78 Tabel 5.7 Penguasaan Aset Lahan dan Non Lahan Aset Nilai Rata-rata (Rupiah) Persentase (%) Rumah Sawah Lahan Kering 17.605.000 11.800.000 5.991.666,67 28,62 19,18 9,74 Total Aset Lahan 35.396.666,67 57,54 Kendaraan Perhiasan Tabungan 18.519.333,33 2.870.400 4.725.333,33 30,11 4,67 7,68 Total Aset Non Lahan 26.115.066,67 42,46 Hasil survei yang ditunjukkan pada Tabel 5.7 dengan data aset yang telah diolah, memperlihatkan bahwa jenis aset yang paling banyak dimiliki oleh responden yaitu aset lahan dengan jenis aset lahan rumah sebesar 28,62 persen dengan nilai rata-rata sebesar 17,6 juta rupiah. Total nilai aset lahan yang dimiliki responden lebih besar dibandingkan total nilai aset non lahan yaitu sebesar 35,39 juta rupiah atau 57,54 persen dari total aset secara keseluruhan. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar aset yang dimiliki merupakan aset lahan yang bersifat non-liquid sehingga lebih sulit untuk dicairkan menjadi uang dibandingkan aset non lahan yang lebih mudah dicairkan menjadi uang sehingga dapat memberikan kemudahan untuk tambahan modal usaha. Oleh karena itu, adanya program SPP diharapkan dapat membantu pelaku usaha dalam mengatasi persoalan modal usaha. 5.5 Akses Rumah Tangga pada Lembaga Keuangan 5.5.1 Akses Simpanan Rumah Tangga pada Lembaga Keuangan Studi menunjukkan rendahnya akses tabungan rumah tangga terhadap lembaga keuangan formal dan semi formal. Hal ini karena pada umumnya rumah tangga yang memiliki akses pada lembaga keuangan formal khususnya bank yaitu

79 rumah tangga yang berprofesi sebagai pegawai negeri dan swasta dimana pengambilan gaji dilakukan melalui bank dan juga kepentingan transaksi. Tabel 5.8 Akses Simpanan pada Lembaga Keuangan Akses Simpanan Nilai Rata-rata (Rupiah) Partisipasi Formal Bank 9.055.556 n = 9 (30 %) Semi Formal Koperasi Simpan Pinjam 238.888,9 n = 9 (30 %) Informal SPP Sekolah Majelis 363.333,3 200.000 550.000 n = 30 (100 %) n = 1 (3,33 %) n = 1 (3,33 %) Berdasarkan hasil survei, sebagian besar rumah tangga hanya memiliki akses tabungan atau simpanan pada lembaga informal khususnya SPP dengan nilai partisipasi sebesar 100 persen. Hal ini dikarenakan dalam prosedur pelaksanaan pinjaman program SPP, terdapat kebijakan yaitu setiap anggota yang meminjam diwajibkan untuk menabung sebesar 10 persen dari total pinjaman. Tabungan tersebut berfungsi sebagai dana talangan bagi anggota yang tidak mampu membayar angsuran dan sistem tersebut dinamakan tanggung renteng atau disebut tabungan tanggung renteng. Dengan demikian, adanya SPP ini dapat meningkatkan akses simpanan pada lembaga keuangan. Sedangkan akses rumah tangga terhadap simpanan pada lembaga keuangan formal masih relatif sedikit karena jarak yang cukup jauh dengan lokasi lembaga keuangan formal. Selain itu, relatif sedikit responden yang memiliki uang berlebih untuk ditabung, hanya responden rumah tangga yang berprofesi sebagai pegawai negeri yang memiliki akses tabungan cukup besar pada lembaga keuangan formal.

80 5.5.2 Akses Pinjaman Rumah Tangga pada Lembaga Keuangan Tabel 5.9 memperlihatkan mengenai akses pinjaman rumah tangga pada tiga jenis lembaga keuangan, yaitu lembaga keuangan formal, semi formal dan lembaga keuangan informal. Akses simpanan rumah tangga pada lembaga formal khususnya bank tidak menentukan akses pinjaman rumah tangga pada lembaga formal. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 5.8 dan Tabel 5.9, sebanyak 30 persen rumah tangga memiliki akses simpanan pada bank, akan tetapi hanya 23,33 persen rumah tangga yang memiliki akses pinjaman pada bank. Akses rumah tangga terhadap pinjaman pada lembaga formal tidak terlepas dari penguasaan aset yang dimiliki rumah tangga. Hal ini dikarenakan pinjaman pada bank umumnya mengharuskan adanya jaminan atau agunan berupa kepemilikan aset. Tabel 5.9 Akses Pinjaman Rumah Tangga pada Lembaga Keuangan Akses Pinjaman Nilai Rata-rata (Rupiah) Partisipasi Formal Bank - BJB - BTPN Syariah - BCA - BRI 19.971.428 32.666.667 900.000 20.000.000 10.000.000 n = 7 (23,33 %) Semi Formal Koperasi Simpan Pinjam 649.500 n = 10 (33,33 %) Informal SPP Saudara 3.541.333 3.500.000 n = 30 (100 %) n = 3 (10 %) Hasil survei seperti yang ditunjukkan pada Tabel 5.9 memperlihatkan bahwa rumah tangga memiliki akses pinjaman pada setiap jenis lembaga keuangan. Akses pinjaman rumah tangga pada lembaga formal khususnya bank sebesar 23,33 persen dengan bank yang dituju yaitu BJB, BTPN Syariah, BCA dan BRI. Responden rumah tangga yang memiliki akses pinjaman pada lembaga

81 formal khususnya bank sebagian besar merupakan pegawai negeri dengan pengambilan gaji di BJB berjumlah 3 orang responden sehingga nilai rata-rata pinjaman pada BJB relatif lebih besar dibandingkan bank lainnya dan biasanya termasuk jenis kredit konsumsi. Pemilihan akses pada BRI dan BCA dikarenakan kepentingan transaksi usaha dan fasilitas yang memadai. Pemilihan akses pinjaman pada BTPN Syariah dikarenakan pada tahun 2011 bank tersebut mengadakan program pemberian pinjaman dengan berbasis pinjaman kelompok seperti halnya pinjaman program pemerintah yakni SPP. Akses pinjaman rumah tangga pada lembaga keuangan pun mayoritas pada lembaga keuangan informal khususnya SPP dengan partisipasi sebesar 100 persen. Hal ini menunjukkan bahwa pinjaman bergulir SPP dapat diakses oleh semua rumah tangga karena mudahnya persyaratan pengajuan pinjaman SPP dan tidak adanya jaminan atau agunan yang diperlukan hanya berupa simpanan yang disebut tabungan tanggung renteng sebesar 10 persen dari jumlah pinjaman. Berdasarkan survei sebagian besar responden (36,67 %) tetap memilih untuk meminjam pada SPP karena alasan tidak adanya jaminan dan persyaratan pengajuan yang mudah. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 5.10. Tabel 5.10 Alasan Mengajukan Pinjaman pada SPP Alasan Meminjam pada SPP Persentase (%) Persyaratan yang mudah dan jangka waktu pembayaran lama 30 Jangka waktu pembayaran yang lama 13,33 Tidak adanya jaminan/agunan dan persyaratan pengajuan mudah 36,67 Tidak adanya jaminan/agunan dan sistem tanggung renteng 13,33 Sistem tanggung renteng dan jangka waktu pembayaran lama 6,67 TOTAL 100 Rumah tangga dapat memperoleh jumlah pinjaman yang jauh lebih besar jika mendapatkan akses pinjaman pada lembaga formal (bank) dibandingkan

82 dengan mengajukan pinjaman pada lembaga informal (SPP). Namun, karena akses pinjaman pada bank mensyaratkan adanya jaminan yang dirasakan berat untuk dipenuhi oleh rumah tangga, maka rumah tangga lebih memilih mengajukan pinjaman pada SPP. Hal ini dikarenakan tidak memerlukan adanya jaminan walaupun jumlah pinjaman yang diperoleh tidak sebesar jika dibandingkan meminjam pada bank. Penggunaan pinjaman oleh rumah tangga dari tiap lembaga keuangan dapat dilihat pada Gambar 5.6. 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% Formal (Bank) Semi Formal Informal Gabungan Konsumsi Produksi Gambar 5.6 Penggunaan Pinjaman pada setiap Lembaga Keuangan Berdasarkan hasil survei seperti yang terlihat pada Gambar 5.6 sebagian besar rumah tangga yang memiliki akses pinjaman pada lembaga formal menggunakan dana pinjaman untuk kebutuhan konsumtif sebesar 57,14 persen. Pinjaman yang diperoleh dari lembaga formal (bank) relatif besar sehingga pada umumnya merupakan jenis kredit konsumsi yang digunakan untuk membangun rumah atau membeli kendaraan. Adapun untuk akses pinjaman dari lembaga keuangan informal, mayoritas rumah tangga menggunakan dana pinjaman untuk kebutuhan usaha yaitu sebesar 57,57 persen. Hal ini menunjukkan lembaga

83 keuangan informal seperti SPP dengan jumlah pinjaman yang jauh lebih kecil dibandingkan lembaga keuangan formal (bank) justru mampu mengembangkan usaha. Hal ini dikarenakan jumlah pinjaman yang relatif kecil sehingga rumah tangga mengalokasikan hanya untuk kepentingan usaha. Oleh karena itu, adanya pinjaman bergulir SPP program pemerintah dapat membantu mendorong perkembangan UMKM. Dalam pelaksanaan penyaluran pinjaman bergulir SPP, tidak semua anggota SPP memperoleh pinjaman sesuai dengan jumlah pinjaman yang diajukan atau disebut dengan istilah credit rationing. Credit rationing juga merupakan indikator keragaan penyaluran pinjaman, yaitu suatu kondisi adanya perbedaan antara nilai pinjaman yang diinginkan (pengajuan) dengan nilai pinjaman yang terealisasi. Hasil survei terdapat 23 persen responden memperoleh pinjaman dengan jumlah yang lebih rendah dari jumlah pengajuan pinjaman. Ini disebabkan karena adanya kemacetan pengembalian pinjaman pada guliran pinjaman sebelumnya. Jumlah pinjaman yang diperoleh 25 persen lebih rendah dari pinjaman yang diajukan oleh responden yang mengalami credit rationing. 23% Mengalami Credit Rationing Tidak Mengalami Credit Rationing 77% Gambar 5.7 Credit Rationing dalam Penyaluran Pinjaman SPP

84 5.6 Pendapatan Rumah Tangga 5.6.1 Struktur Pendapatan Rumah Tangga Karakteristik struktur pendapatan rumah tangga merupakan struktur pendapatan rumah tangga yang diperoleh responden dari usaha tani dan non usaha tani maupun diluar usaha rumah tangga seperti kiriman yang diperoleh dari salah satu anggota keluarga (anak). Tabel 5.11 Struktur Pendapatan Rumah Tangga Pendapatan Rata-rata per Tahun (Rupiah) Persentase (%) Pendapatan Usaha Tani Industri Rumah Tangga Dagang Jasa Buruh Gaji Pensiunan Kiriman 6.771.500 8.261.333,33 8.557.966,67 4.361.000 1.692.000 5.960.000-2.688.000 17,70 21,6 22,37 11,28 4,42 15,5-7,03 Total 38.246.800 100 Berdasarkan hasil data survei pada Tabel 5.11 menunjukkan bahwa struktur pendapatan terbesar yang diperoleh responden yaitu berasal dari sektor perdagangan yang merupakan bagian dari pendapatan non usaha tani sebesar 22,37 persen. Hal ini dikarenakan pada umumnya responden rumah tangga berprofesi sebagai pedagang. Pendapatan dari sektor perdagangan sebagian besar merupakan usaha warung kelontongan. Selanjutnya diikuti oleh pendapatan yang berasal dari industri rumah tangga sebesar 21,6 persen. Pendapatan untuk sektor industri rumah tangga ini dibedakan menjadi dua jenis usaha yaitu industri makanan olahan dan industri kerajinan rumah tangga dalam hal ini adalah pembuatan dompet. Kontribusi struktur pendapatan rumah tangga yang berasal dari usaha tani padi yaitu sebesar 17,70 persen. Hal ini disebabkan lahan sawah

85 yang dimilki sebagian besar rumah tangga rata-rata hanya seluas 1.475 m 2 (0,14 ha), sehingga kontribusi struktur pendapatan rumah tangga dari usaha tani tergolong rendah. Kontribusi struktur pendapatan rumah tangga dari gaji yaitu sebesar 15,5 persen. Pendapatan gaji tersebut berasal dari rumah tangga yang bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) dengan mayoritas berprofesi guru. Adapun untuk pendapatan yang berasal dari sektor jasa dengan jenis usaha sebagian besar adalah penjahit, pangkas rambut dan tambal ban yaitu hanya sebesar 11,28 persen dari total pendapatan. Kontribusi struktur pendapatan rumah tangga terendah berasal dari pendapatan buruh yaitu sebesar 4,42 persen. 5.6.2 Dampak Pinjaman Bergulir SPP terhadap Pendapatan Pinjaman bergulir program SPP bertujuan untuk memudahkan akses masyarakat khususnya pelaku usaha anggota SPP terhadap permodalan usaha sehingga usaha yang dijalankan dapat lebih berkembang. Dampak pinjaman bergulir SPP terhadap perkembangan usaha, selanjutnya akan berdampak juga terhadap pendapatan pelaku usaha anggota SPP. Dampak pinjaman terhadap pendapatan dilihat dengan cara membandingkan omset dan laba (keuntungan) yang diperoleh responden sebelum memperoleh pinjaman bergulir SPP dengan kondisi setelah memperoleh pinjaman berdasarkan jenis usaha yang dijalankan. Pelaku usaha anggota SPP pada umumnya tidak hanya menjalankan satu jenis sektor usaha tetapi juga melakukan diversifikasi usaha. Nilai omset usaha saat sebelum dan sesudah memperoleh pinjaman dapat dilihat pada Tabel 5.12

86 Tabel 5.12 Dampak Pinjaman Bergulir SPP terhadap Nilai Omset Usaha Omset Rata-rata per Tahun (Rupiah) Perkembangan Omset Usaha Jenis Sektor Usaha Frekuensi Sebelum Mendapat Setelah Mendapat Jumlah (Rupiah) Persentase (%) Pinjaman Pinjaman Perdagangan 12 51.708.533 74.684.600 22.976.067 44,43 Jasa 6 26.298.333 33.024.170 6.725.837 25,57 Industri 5 79.610.700 107.223.400 27.612.700 34,68 Rumah Tangga Perdagangan 6 41.106.700 59.150.000 19.043.300 47,48 + Industri Jasa + Industri 1 20.504.000 26.260.800 5.756.800 28,07 Berdasarkan Tabel 5.12 jenis usaha yang dijalankan oleh responden terbagi dalam lima sektor usaha yaitu sektor perdagangan, jasa, industri rumah tangga yang mencakup industri makanan olahan dan industri kerajinan pembuatan dompet, gabungan perdagangan dan industri serta gabungan jasa dan industri. Pemberian pinjaman bergulir SPP memberikan dampak positif terhadap pendapatan di semua jenis sektor usaha. Sektor perdagangan merupakan jenis usaha yang dominan dijalankan oleh sebagian besar responden yaitu sebanyak 12 responden. Peningkatan omset pada sektor gabungan perdagangan dan industri merupakan yang terbesar diantara yang lainnya yaitu sebesar 47,48 persen. Hal ini disebabkan sebagian responden membuka usaha baru di sektor lain setelah memperoleh pinjaman bergulir SPP sehingga usaha yang dijalankan lebih beragam. Kemudian dilanjutkan peningkatan omset pada sektor perdagangan sebesar 44,43 persen. Hal ini dikarenakan untuk sektor perdagangan omset yang diterima bersifat harian (tiap hari) sehingga perputaran pendapatannya lebih cepat dibandingkan sektor industri rumah tangga dan jasa, yang omsetnya bersifat

87 mingguan. Dampak pinjaman terhadap pendapatan dapat juga dilihat dari keuntungan yang diperoleh pada saat sebelum dan setelah memperoleh pinjaman bergulir SPP. Tabel 5.13 menunjukkan dampak pinjaman bergulir SPP terhadap keuntungan yang diperoleh UMKM. Tabel 5.13 Dampak Pinjaman Bergulir SPP terhadap Keuntungan Keuntungan Rata-rata per Tahun Perkembangan Keuntungan Usaha Jenis Sektor Usaha Frekuensi Sebelum Mendapat Setelah Mendapat Jumlah (Rupiah) Persentase (%) Pinjaman Pinjaman Perdagangan 12 10.557.970 15.219.800 4.661.830 44,15 Jasa 6 5.304.700 6.653.240 1.348.540 25,42 Industri 5 9.261.300 12.426.100 3.164.800 34,17 Rumah Tangga Perdagangan 6 8.382.500 12.355.700 3.973.200 47,40 + Industri Jasa + Industri 1 6.080.000 7.860.000 1.780.000 29,27 Peningkatan keuntungan pada sektor gabungan perdagangan dan industri juga merupakan yang terbesar yaitu mengalami peningkatan sebesar 47,40 persen. Berdasarkan hasil survei di lapangan, responden merasakan adanya dampak positif dari pemberian pinjaman bergulir SPP ini, dimana ada dari responden yang awalnya sudah memiliki usaha namun sudah beberapa tahun tidak beroperasi karena terkena musibah. Akan tetapi, setelah menerima pinjaman bergulir SPP akhirnya dapat membuka usaha kembali sehingga ada tambahan sumber pendapatan. Oleh karena itu, pinjaman bergulir SPP ini sangat dirasakan manfaatnya oleh responden karena setelah memperoleh pinjaman SPP, responden dapat memiliki usaha yang sebelumnya justru tidak mempunyai usaha. Selain itu, dampak positif dari pinjaman bergulir SPP yang dirasakan responden yaitu jenis

88 usaha yang dijalankan responden menjadi beragam setelah memperoleh pinjaman SPP. Contohnya, usaha yang dijalankan awalnya hanya warungan akan tetapi setelah memperoleh pinjaman usahanya tidak hanya warungan tetapi juga usaha industri makanan olahan. Hal ini menunjukkan bahwa pinjaman bergulir SPP dapat menjadikan responden melakukan diversifikasi (keragaman) usaha atau produk yang pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan pelaku usaha. Dampak pinjaman SPP terhadap peningkatan pendapatan juga disebabkan karena responden anggota SPP pada umumnya memang mengalokasikan dana pinjaman SPP untuk menambah modal usaha. 30% 13% 57% Murni untuk Modal Modal + Konsumsi Pendidikan Modal + Konsumsi Sehari hari Gambar 5.8 Penggunaan Dana Pinjaman SPP oleh Pelaku Usaha Berdasarkan Gambar 5.8 sebagian besar pelaku usaha menggunakan dana pinjaman dari SPP untuk keperluan modal usaha saja yaitu sebesar 57 persen atau sebanyak 17 responden pelaku usaha dari total responden. Adapun penggunaan dana pinjaman SPP selanjutnya dialokasikan untuk gabungan modal usaha dan keperluan kebutuhan rumah tangga yaitu sebesar 30 persen. Hal ini menunjukkan bahwa responden SPP sebagai pelaku usaha terbilang disiplin dalam menggunakan dana pinjaman SPP. Ini dikarenakan mayoritas responden

89 menggunakan dana pinjaman untuk kegiatan yang produktif yaitu untuk modal usaha sehingga dampak yang dirasakan cukup besar terhadap peningkatan pendapatan. 5.7 Dampak Perguliran SPP terhadap UMKM dengan Persamaan Simultan Simpan Pinjam Perempuan (SPP) sebagai salah satu skim kredit program pemerintah harus dapat memberikan dampak positif terhadap perkembangan usaha yang dijalankan oleh anggota kelompok SPP. Untuk melihat pengaruh pinjaman bergulir SPP terhadap perkembangan UMKM, dilakukan analisis dengan menggunakan model persamaan simultan dan diuji signifikansinya dengan menggunakan aplikasi software SAS 9.1. Hasil pengolahan data menunjukkan bahwa nilai R 2 dari keempat persamaan berada diantara 0,43079 hingga 0,63042. Hal ini dikarenakan data yang digunakan merupakan data primer dengan keragaman yang cukup besar. Selain itu, tidak ada pelanggaran asumsi autokorelasi yang terjadi pada setiap persamaan. Hal ini ditunjukkan dengan nilai Durbin-Watson dari keempat persamaan yang terletak di daerah tidak adanya autokorelasi. 5.7.1 Besar Pinjaman UMKM Besar pinjaman UMKM merupakan besarnya jumlah pinjaman dua tahun terakhir yang diperoleh pemilik UMKM dari Simpan Pinjam Perempuan (SPP). Tabel 5.14 menunjukkan faktor-faktor yang mempengaruhi besar pinjaman yang diperoleh pemilik usaha anggota SPP.

90 Tabel 5.14 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Besar Pinjaman UMKM Variabel Koefisien t-statistik Probabilitas Elastisitas Intersep 111388,9 0,12 0,9042 Aset -0,00028-0,23 0,8206 Omset sebelum pinjaman 0,002961 1,75 0,0930** 0,13308 Jumlah Guliran 1034909 3,57 0,0015* 1,08914 Lama Usaha 11446,17 0,25 0,8065 R 2 = 0,43079 F hitung = 4,73* Durbin-Watson = 1,71033 Ket : * signifikan pada taraf nyata 5 persen ** signifikan pada taraf nyata 10 persen. Berdasarkan hasil pendugaan, besar pinjaman UMKM memiliki nilai R 2 sebesar 0,43079 yang artinya 43,07 persen keragaman besar pinjaman UMKM dapat dijelaskan oleh setiap variabel penjelas yang ada dalam model. Variabel yang berpengaruh nyata terhadap besar pinjaman UMKM yaitu omset usaha sebelum memperoleh pinjaman dan jumlah guliran pinjaman. Omset usaha memiliki pengaruh positif terhadap besarnya jumlah pinjaman yang diperoleh UMKM dengan koefisien sebesar 0,002961. Ini berarti apabila omset usaha meningkat 100 ribu rupiah maka besar pinjaman yang akan diperoleh UMKM akan meningkat sebesar 296,1 rupiah cateris paribus. Secara statistik, omset usaha signifikan pada taraf nyata 10 persen terhadap besarnya jumlah pinjaman yang diperoleh UMKM dengan nilai t-statistik sebesar 1,75. Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin besar omset usaha maka semakin besar peluang UMKM untuk memperoleh jumlah pinjaman yang lebih besar. Berdasarkan survei, jenis usaha pembuatan dompet yang termasuk sektor industri rumah tangga dengan omset paling besar seperti pada Tabel 5.12 memperoleh jumlah pinjaman yang relatif besar juga dibandingkan sektor usaha lainnya yaitu berkisar antara 4-5 juta rupiah. Nilai elastisitas variabel omset usaha adalah 0,13308 yang berarti bahwa besarnya jumlah pinjaman yang diperoleh UMKM tidak elastis terhadap nilai omset usaha. Nilai elastisitas tersebut memiliki

91 arti apabila terjadi perubahan pada omset usaha sebesar 10 persen, maka besar pinjaman yang akan diperoleh hanya akan berubah sebesar 1,33 persen. Jumlah guliran berpengaruh positif terhadap besarnya jumlah pinjaman yang diperoleh UMKM dengan nilai t statistik 3,57 dan signifikan pada taraf nyata 5 persen. Hasil tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi jumlah guliran yang telah ditempuh maka semakin besar jumlah pinjaman yang diperoleh. Berdasarkan hasil survei seperti pada bagian sebelumnya pada Tabel 5.10 responden yang telah mencapai guliran keempat, memperoleh pinjaman dengan jumlah yang lebih besar yaitu sekitar 4,5 juta rupiah. Hal ini juga menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki tingkat pengembalian yang lancar sehingga jumlah pinjaman yang diperoleh semakin besar dengan semakin tingginya jumlah guliran. Hasil pendugaan aset dan lama usaha secara statistik tidak berpengaruh nyata terhadap besarnya jumlah pinjaman. Hal ini dikarenakan memang pada dasarnya, skim kredit program pemerintah khususnya pinjaman bergulir SPP ini tidak membutuhkan adanya jaminan yang biasanya berupa aset sehingga nilai aset yang dimiliki responden tidak berpengaruh nyata terhadap besarnya pinjaman. Selain itu, kredit program pemerintah pada umumnya bertujuan untuk membantu mengembangkan usaha yang baru dijalankan sehingga lama usaha tidak berpengaruh nyata terhadap besar pinjaman. 5.7.2 Nilai Penjualan (Omset) UMKM Omset UMKM merupakan nilai total penjualan dari output yang dihasilkan atau diproduksi dan dijual dalam satuan rupiah per tahun. Faktor-faktor yang mempengaruhi nilai omset UMKM dapat dilihat pada Tabel 5.15

92 Tabel 5.15 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nilai Omset UMKM Variabel Koefisien t-statistik Probabilitas Elastisitas Intersep -1,027E8-0,77 0,4503 Aset Usaha 0,702659 4,34 0,0002* 0,25370 Besar Pinjaman 89,09874 2,32 0,0288* 1,13032 Lama Usaha -1713949-0,23 0,8190 Modal Awal Usaha 13,39023 0,69 0,4984 R 2 = 0,63042 F hitung = 10,66 Durbin-Watson = 1,916734 Ket : * signifikan pada taraf nyata 5 persen Berdasarkan hasil pendugaan, nilai omset usaha memiliki nilai R 2 sebesar 0,63042 yang artinya 63,04 persen keragaman nilai omset dapat dijelaskan oleh masing-masing variabel penjelas yang ada dalam model. Variabel yang berpengaruh nyata terhadap nilai omset UMKM yaitu aset usaha dan besar pinjaman. Aset usaha memiliki pengaruh positif terhadap omset usaha dengan koefisien sebesar 0,7026. Ini berarti apabila aset yang dimiliki pelaku usaha meningkat sebesar 100 rupiah maka omset usaha akan meningkat sebesar 70,26 rupiah cateris paribus. Aset usaha secara statistik signifikan pada taraf 5 persen. Nilai elastisitas variabel aset usaha adalah 0,25370. Hal tersebut menunjukkan bahwa omset UMKM tergolong tidak elastis terhadap nilai aset usaha yang dimiliki. Artinya, setiap nilai aset usaha mengalami perubahan sebesar 10 persen, maka omset yang diperoleh hanya akan berubah sebesar 2,53 persen. Besar pinjaman berpengaruh positif terhadap omset yang diperoleh UMKM dengan koefisien sebesar 89,09874 dan signifikan pada taraf nyata 5 persen. Omset usaha responden mengalami peningkatan sebesar 36,05 persen setelah memperoleh pinjaman bergulir SPP yaitu dari 43,64 juta rupiah per tahun menjadi 60,06 juta rupiah per tahun. Ini dikarenakan dana pinjaman memang digunakan untuk modal usaha. Nilai elastisitas variabel besar pinjaman yaitu sebesar 1,13032 yang berarti omset usaha elastis terhadap besarnya jumlah

93 pinjaman yang diperoleh. Nilai ini memiliki arti apabila besar pinjaman mengalami peningkatan 10 persen, maka akan meningkatkan omset usaha sebesar 11,30 persen. Hal ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Osa (2010) mengenai dampak keberadaan LKM terhadap perkembangan UMKM di DKI Jakarta yang hasilnya bahwa besar pinjaman berpengaruh positif terhadap omset usaha dan signifikan pada taraf nyata 5 persen. Tabel 5.16 Dampak Pinjaman Bergulir SPP terhadap UMKM Berkembang atau Tidak Alasan Persentase (%) Usaha Berkembang Memberikan/menambah modal Jumlah produk semakin banyak Jenis usaha yang dijalankan menjadi beragam atau bertambah Menambah asset usaha 13,33 Total Usaha Berkembang 83,33 Usaha Tidak Kurangnya pembeli atau permintaan Berkembang atau tetap Pinjaman digunakan untuk konsumsi 3,33 10 Pengelolaan usaha yang kurang baik 3,33 Total Usaha Tidak Berkembang atau Tetap 16,67 10 20 40 Tabel 5.16 menunjukkan bahwa pinjaman bergulir SPP berdampak positif terhadap perkembangan UMKM. Sebesar 40 persen responden mengakui bahwa jenis usaha yang dijalankan menjadi beragam atau bertambah setelah mendapatkan pinjaman bergulir dari SPP. Akan tetapi, berdasarkan survei di lapangan ada juga UMKM yang tidak berkembang setelah memperoleh pinjaman bergulir dari SPP. Hal ini dikarenakan sebesar 10 persen responden menggunakan pinjaman bergulir SPP untuk kebutuhan konsumsi bukan untuk kepentingan usaha. Selain itu, tidak berkembangnya usaha juga dikarenakan kurangnya pembeli atau permintaan dan pengelolaan usaha yang kurang baik sehingga dampak dari pinjaman bergulir SPP tidak meningkatkan perkembangan usaha.

94 5.7.3 Nilai Keuntungan UMKM Keuntungan adalah selisih antara total pendapatan dengan total biaya atau jumlah pendapatan bersih yang diperoleh dalam satuan rupiah per tahun. Tabel 5.17 menunjukkan faktor-faktor yang mempengaruhi nilai keuntungan UMKM. Tabel 5.17 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nilai Keuntungan UMKM Variabel Koefisien t-statistik Probabilitas Elastisitas Intersep 18360440 1,03 0,3118 Total Biaya 0,028697 1,41 0,1717 Omset setelah pinjaman 0,041134 3,07 0,0051* 0,31417 Tingkat Pendidikan 381127,3 0,23 0,8218 Lama Usaha -415973-0,64 0,5285 R 2 = 0,47173 F hitung = 5,58 Durbin-Watson = 1,886591 Ket : * signifikan pada taraf nyata 5 persen Hasil pendugaan menunjukkan bahwa nilai keuntungan UMKM memiliki nilai R 2 = 0,47173 yang artinya keragaman nilai keuntungan UMKM yang dapat dijelaskan dengan baik oleh masing-masing variabel penjelas yang terdapat dalam persamaan yaitu sebesar 47,17 persen. Nilai omset usaha setelah memperoleh pinjaman berpengaruh positif dengan koefisien sebesar 0,041134 terhadap nilai keuntungan UMKM. Ini berarti setiap peningkatan omset usaha sebesar 100 ribu rupiah maka akan meningkatkan keuntungan usaha sebesar 4.113,4 rupiah. Omset usaha signifikan pada taraf 5 persen, yang menunjukkan semakin besar nilai omset, maka semakin besar pula keuntungan usaha yang diperoleh. Keuntungan usaha responden sebelum memperoleh pinjaman rata-rata mencapai 7,91 juta rupiah per tahun. Setelah memperoleh pinjaman keuntungan usaha responden mengalami peningkatan sebesar 36,08 persen menjadi 10,90 juta rupiah per tahun. Nilai elastisitas variabel omset usaha adalah 0,31417 yang menunjukkan bahwa nilai keuntungan UMKM tidak elastis (tidak peka) terhadap perubahan nilai omset usaha. Nilai tersebut memiliki arti setiap nilai omset usaha

95 mengalami perubahan sebesar 10 persen, maka nilai keuntungan hanya akan berubah sebesar 3,14 persen. Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Osa (2010) mengenai dampak keberadaan LKM terhadap perkembangan UMKM di DKI Jakarta yang hasilnya bahwa nilai omset usaha berpengaruh positif terhadap keuntungan usaha dan signifikan pada taraf nyata 5 persen. Lama usaha tidak signifikan secara statistik terhadap keuntungan usaha yang diperoleh. Hal ini berarti lama usaha responden tidak berpengaruh terhadap besarnya keuntungan UMKM. Berdasarkan hasil survei banyak responden dengan lama usaha lebih dari 10 tahun tetapi justru keuntungan yang diperoleh semakin berkurang bukan semakin meningkat, karena banyaknya persaingan usaha sehingga keuntungan usaha yang diperoleh pun berkurang. 5.7.4 Penyerapan Tenaga Kerja Tenaga kerja merupakan penggunaan input berupa tenaga manusia dalam kegiatan usaha dalam satuan jumlah orang yang bekerja. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyerapan tenaga kerja ditunjukkan pada Tabel 5.18 Tabel 5.18 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyerapan Tenaga Kerja UMKM Variabel Koefisien t-statistik Probabilitas Elastisitas Intersep -0,48099-0,20 0,8468 Besar Pinjaman 9,771E-7 1,82 0,0796** 1,14255 Keuntungan Usaha 1,068E-7 2,68 0,0126* 1,28887 Jumlah Anggota Keluarga -0,70563-1,19 0,2453 R 2 = 0,47418 F hitung = 7,82 Durbin-Watson = 1,946973 Ket : * signifikan pada taraf nyata 5 persen ** signifikan pada taraf nyata 10 persen Berdasarkan pendugaan, nilai R 2 yang dihasilkan yaitu sebesar 0,47418 yang artinya keragaman penyerapan tenaga kerja yang dapat dijelaskan dengan baik oleh masing-masing variabel penjelas yang terdapat dalam persamaan yaitu sebesar 47,42 persen. Penyerapan tenaga kerja dipengaruhi oleh besarnya

96 pinjaman dan keuntungan usaha yang diperoleh. Besar pinjaman berpengaruh positif terhadap penyerapan tenaga kerja dan signifikan pada taraf nyata 10 persen. Hal tersebut berarti semakin besar jumlah pinjaman maka semakin besar kemungkinan untuk menyerap tenaga kerja lebih banyak. Ini sesuai dengan hasil survei, khususnya untuk usaha industri pembuatan dompet setelah memperoleh pinjaman, jumlah dompet yang dapat dihasilkan semakin banyak sehingga menambah jumlah tenaga kerja. Nilai elastisitas variabel besar pinjaman adalah 1,14255 yang berarti penyerapan tenaga kerja elastis atau peka terhadap besar pinjaman yang diperoleh. Artinya, jika terjadi perubahan besar pinjaman sebesar 10 persen, maka akan meningkatkan peyerapan tenaga kerja sebesar 11,42 persen. Keuntungan usaha secara statistik berpengaruh nyata dan signifikan pada taraf nyata 5 persen. Ini menunjukkan apabila keuntungan usaha yang diperoleh semakin tinggi maka pelaku usaha cenderung untuk menambah atau menyerap tenaga kerja. Nilai elastisitas keuntungan usaha adalah 1,28887. Hal tersebut berarti bahwa penyerapan tenaga kerja elastis (peka) terhadap besarnya keuntungan usaha yang diperoleh. Berdasarkan survei, sektor usaha yang paling banyak menyerap tenaga kerja yaitu sektor industri rumah tangga dengan jenis usaha pembuatan dompet. Adapun untuk sektor perdagangan pada umumnya merupakan unit usaha sendiri tanpa pekerja (self-employment). Secara keseluruhan, jika dilihat dari keterkaitan antar variabel maka besarnya pinjaman berpengaruh positif terhadap omset usaha. Omset usaha selanjutnya berpengaruh terhadap keuntungan yang diperoleh dan keuntungan usaha berpengaruh terhadap penyerapan tenaga kerja. Dengan demikian, usaha responden anggota SPP mengalami perkembangan setelah memperoleh pinjaman bergulir SPP.