BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Psoriasis adalah penyakit kulit inflamasi kronis yang sering dijumpai

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA. gejala klinis yang khas berupa plak eritematosa berbatas tegas dalam berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Psoriasis vulgaris merupakan suatu penyakit inflamasi kulit yang bersifat

BAB I PENDAHULUAN. ditutupi sisik tebal berwarna putih. Psoriasis sangat mengganggu kualitas hidup

7.2 CIRI UMUM SITOKIN

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan seperti trauma, infeksi atau obat-obatan (Van de Kerkhof, 2012).

BAB I PENDAHULUAN. Psoriasis merupakan penyakit kulit yang penyebabnya sampai saat ini masih belum

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. proliferasi dan diferensiasi keratinosit yang abnormal, dengan gambaran klinis

BAB I PENDAHULUAN. Pasien dapat mengalami keluhan gatal, nyeri, dan atau penyakit kuku serta artritis

BAB 2 TERMINOLOGI SITOKIN. Sitokin merupakan protein-protein kecil sebagai mediator dan pengatur

BAB I PENDAHULUAN. dengan hiperproliferasi dan diferensiasi abnormal keratinosit, dengan gambaran

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI

BAB I PENDAHULUAN. sering ditemukan pada wanita usia reproduksi berupa implantasi jaringan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. membuat kadar kolesterol darah sangat sulit dikendalikan dan dapat menimbulkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dengan gejala klinis berupa plak eritematosa berbatas tegas dalam berbagai

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Atopi berasal dari bahasa Yunani yaitu atopos, yang memiliki arti tidak pada

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. akibat proses tersebut maka tampak skuama, eritema dan indurasi. 7

BAB I PENDAHULUAN. Psoriasis merupakan penyakit kulit autoimun kronis yang mengakibatkan

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berwarna keputihan. Penyakit ini umumnya mengenai daerah ekstensor. pada tiap populasi bervariasi di berbagai belahan dunia.

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. penyebab yang belum diketahui sampai saat ini, ditandai oleh adanya plak eritema

BAB I PENDAHULUAN. 8,7% di tahun 2001, dan menjadi 9,6% di tahun

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Cedera ginjal akut (Acute Kidney Injury / AKI) memiliki insidensi yang terus meningkat setiap tahunnya

BAB 1 PENDAHULUAN. pilosebasea yang ditandai adanya komedo, papul, pustul, nodus dan kista dengan

PENGETAHUAN DASAR. Dr. Ariyati Yosi,

FAKTOR IMUNOLOGI PATOGENESIS ENDOMETRIOSIS

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. atau berlebih yang dapat mengganggu kesehatan. Dahulu obesitas identik dengan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

IMUNITAS HUMORAL DAN SELULER

serta terlibat dalam metabolisme energi dan sintesis protein (Wester, 1987; Saris et al., 2000). Dalam studi epidemiologi besar, menunjukkan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. yang dewasa ini paling banyak mendapat perhatian para ahli. Di. negara-negara maju maupun berkembang, telah banyak penelitian

BAB I PENDAHULUAN. utama morbiditas dan mortalitas ibu dan janin. The World Health

Tahapan Respon Sistem Imun Respon Imune Innate Respon Imunitas Spesifik

BAB I PENDAHULUAN. penyakit beragam (Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011). Manifestasi klinis SLE

BAB I PENDAHULUAN. reaksi imun berupa plak eritematosa, skuama berwarna putih keperakan berlapislapis,

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi di seluruh dunia oleh World Health Organization (WHO) dengan

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kerusakan jaringan periodontal yang meliputi gingiva, tulang alveolar, ligamen

BAB I PENDAHULUAN. sebasea yang dapat dialami oleh semua usia dengan gambaran klinis yang bervariasi antara

BAB VI PEMBAHASAN. Analisis jumlah limfosit T CD4+ pada penelitian ini dijadikan baseline yang juga

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. disebabkan oleh Human Papillomavirus (HPV) tipe tertentu dengan kelainan berupa

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Fakta menunjukkan bahwa pada proses penuaan terjadi kemunduran dan deplesi jumlah sel

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II KOMPONEN YANG TERLIBAT DALAM SISTEM STEM IMUN

BAB I PENDAHULUAN. depigmentasi kulit berupa makula hipopigmentasi disebabkan karena hilangnya

Di seluruh dunia dan Amerika, dihasilkan per kapita peningkatan konsumsi fruktosa bersamaan dengan kenaikan dramatis dalam prevalensi obesitas.

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan jumlah penyandang diabetes cukup besar untuk tahun-tahun

BAB I PENDAHULUAN. Tindakan pembedahan ekstremitas bawah,dapat menimbulkan respons,

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. jenis teripang yang berasal dari Pantai Timur Surabaya (Paracaudina australis,

BAB I PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan agen penyebab Acquired

BAB I PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) masih menjadi salah satu masalah kesehatan dunia,

BAB I PENDAHULUAN. berkembang secara bermakna setelah 2 minggu (Harper, 2005). 75% di antaranya berada di Asia, Afrika (20%), dan Amerika Latin (5%).

BAB I. PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. respon terhadap stres adalah hippocampus. Hippocampus merupakan bagian dari

BAB 2. Tinjauan Pustaka

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

SEL SISTEM IMUN SPESIFIK

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

SOAL UTS IMUNOLOGI 1 MARET 2008 FARMASI BAHAN ALAM ANGKATAN 2006

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Penyakit hati menahun dan sirosis merupakan penyebab kematian kesembilan di

BAB I PENDAHULUAN. Kusta merupakan salah satu penyakit infeksi yang masih mendapatkan

BAB I PENDAHULUAN. virus DEN 1, 2, 3, dan 4 dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegepty dan Aedesal

PENDAHULUAN. Secara alamiah seluruh komponen tubuh setelah mencapai usia dewasa tidak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

KONSEP DASAR IMUNOLOGI

Mekanisme Pertahanan Tubuh. Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. yaitu : hemostasis, inflamasi, proliferasi, dan remodeling. Setiap fase penyembuhan

BAB I PENDAHULUAN. hipopigmentasi berwarna putih susu berbatas tegas. Vitiligo mengenai sekitar 0,5-1% dari

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

MEKANISME RESPON IMUN TERHADAP KANKER PAYUDARA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Luka adalah terjadinya diskontinuitas kulit akibat trauma baik trauma

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

MATURASI SEL LIMFOSIT

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. karakteristik hiperglikemia (kadar gula darah yang tinggi) yang terjadi karena

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. KHS terjadi di negara berkembang. Karsinoma hepatoseluler merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kanker ovarium merupakan keganasan yang paling. mematikan di bidang ginekologi. Setiap tahunnya 200.

BAB I PENDAHULUAN. negara karena serangan Jantung. Salah satu penyakit yang menyebabkan kematian

Imunitas Innate dan Adaptif pada Kulit Adapted from Fitzpatrick s Dermatology in General Medicine, 8th Edition

FISIOLOGI SISTEM PERTAHANAN TUBUH. TUTI NURAINI, SKp., M.Biomed

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Angka kematian ibu (AKI) merupakan salah satu indikator untuk

BAB I PENDAHULUAN. DM yaitu DM tipe-1 dan DM tipe-2. Diabetes tipe-1 terutama disebabkan

I. BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. cukup tinggi menyebabkan kematian penduduk dunia dan sekarang ini jumlah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penderita DM di dunia diperkirakan berjumlah > 150 juta dan dalam 25

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Menurut World Health Organization (WHO) ditingkat dunia AKB berkisar sekitar 37 per 1000

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kondisi hiperglikemia pada saat masuk ke rumah. sakit sering dijumpai pada pasien dengan infark miokard

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Psoriasis Psoriasis adalah penyakit kulit inflamasi kronis yang sering dijumpai namun penyebab utama masih belum diketahui secara pasti. Pada penyakit ini dapat terjadi papul dan plak eritema dengan skuama berlapis, erupsi pustular dan eritrodermik. Tempat yang paling sering terkena adalah kulit kepala, siku dan lutut, tangan, kaki, badan, dan kuku.,11,12 2.1.1 Epidemiologi Psoriasis terjadi secara universal. Namun menurut laporan yang dipublikasikan prevalensinya pada populasi yang berbeda bervariasi dari 0,1 hingga 11,8 persen. Insidensi tertinggi di Eropa yaitu di Denmark (2,9 persen). Prevalensi berkisar antara 2,2 persen hingga 2,6 persen di Amerika Serikat dan sekitar 10.000 kasus yang baru terdiagnosis per tahunnya. Insidensi psoriasis rendah di Asia (0,4 persen).,13 2.1.2 Etiologi dan Patogenesis Psoriasis merupakan penyakit kulit inflamasi dengan dasar genetik yang kuat, dikarakteristikkan dengan perubahan growth factor dan diferensiasi epidermal dengan abnormalitas biokimia, imunologi, dan vaskular. 14,1

Penelitian terhadap keterlibatan gen tertentu dalam psoriasis dimulai sejak satu dekade yang lalu, namun hanya satu lokus yang disebut sebagai psoriasis susceptibility 1 (PSORS1) yang telah dikonfirmasi secara konsisten. PSORS1 berlokasi pada major histocompatibility complex (MHC, kromosom 6p21.3). Alel HLA multipel telah dihubungkan dengan dengan psoriasis, yaitu HLA-B13, HLA B-37, HLA B-46, HLA B-7, HLA Cw1, HLA Cw6, HLA- DR7, dan HLA-DQ9. HLA-Cw6 secara konsisten menunjukkan risiko relatif tertinggi untuk psoriasis pada populasi Kaukasia. 3 Subset yang paling dikenali dari sel T regulatory (Tregs) adalah CD4 + CD2 +. Penelitian menunjukkan adanya gangguan fungsi inhibisi dan kegagalan dalam menekan proliferasi sel T efektor. Sel natural killer (sel NK) adalah penghasil utama IFN-ᵞ dan berperan sebagai penghubung antara imunitas dibawa dan imunitas didapat. Sel NK dijumpai pada psoriasis dan dapat memicu pembentukan lesi psoriasis dalam sistem model xenograft. Sel T pada lesi psoriasis mempunyai hubungan dengan sel dendritik (SD) yang mempunyai peranan dalam memulai respon imun didapat dan induksi self tolerance. Beberapa subset SD telah ditemukan dan banyak dijumpai dalam keadaan matang pada lesi psoriasis. Sel langerhans (SL) dianggap sebagai SD yang imatur. Sel mast dan makrofag banyak dijumpai pada lesi psoriasis inisial dan yang berkembang. Temuan dari penelitian menunjukkan bahwa makrofag

mempunyai peran utama dalam patogenesis psoriasis, yaitu melalui produksi tumor necrosis factor (TNF)-α. Keratinosit merupakan penghasil utama sitokin-sitokin proinflamasi, kemokin, growth factor, serta mediator-mediator lain. Sel-sel endotel dan fibroblas merupakan partisipan dalam proses patogenik. Sel-sel endotel sangat teraktivasi pada lesi psoriasis yang sedang berkembang dan matang, mengalirkan darah dengan jumlah 10 kali lipat lebih banyak ke lesi, dan memainkan peran utama dalam mengendalikan fluks leukosit dan protein serum ke jaringan psoriasis. Fibroblas mendukung proliferasi keratinosit secara parakrin dimana proses ini mengalami peningkatan pada psoriasis. Fibroblas menghasilkan banyak faktor kemotaktik dan mendukung migrasi sel T keluar dari lesi psoriasis. Jaringan sitokin dalam psoriasis sangat kompleks dan melibatkan aksi interaksi antara berbagai sitokin, kemokin, dan growth factor serta reseptor disamping mediator-mediator yang dihasilkan oleh banyak tipe sel. Selain IFN-ᵞ terdapat banyak sitokin dan kemokin yang mengalami peningkatan pada psoriasis. Abnormalitas yang lebih kompleks telah diamati pada sitokin-sitokin imunomodulator dan reseptornya termasuk IL-1 dan TGF-β. Plak psoriasis dikarakteristikkan dengan banyaknya sitokin yang dihasilkan oleh sel Th1 (IFN- ᵞ, IL-2, dan TNF-α). Sel dendritik juga mengeluarkan sitokin-sitokin yaitu IL- 18, IL-20, IL-23, dan TNF-α. IL-18 dan IL-23 menstimulasi produksi IFN-ᵞ. Berbagai growth factor diekspresikan secara berlebihan pada psoriasis. Anggota dari famili epidermal growth factor (EGF) menginduksi produksinya

pada keratinosit, termasuk transforming growth factor-α, amphiregulin (ARE6), dan heparin-binding EGF-like growth factor. Aktivasi reseptor EGF menstimulasi keratinosit dari vascular endothelial growth factor (VEGF). Ekspresi nerve growth factor (NGF) juga ditingkatkan oleh keratinosit pada kulit psoriasis, dan reseptor NGF meningkat di saraf perifer kulit lesi. Growth factor parakrin yang dihasilkan di luar epidermis dapat juga berperan penting dalam menstimulasi hiperplasia epidermal psoriasis, termasuk insulin like growth factor-1 dan keratinocyte growth factor. Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan adanya hubungan antara leptin serum dengan psoriasis vulgaris. Terlebih lagi penelitian menunjukkan bahwa leptin dapat merupakan penanda keparahan dan kronisitas psoriasis vulgaris. 1,6 2.1.3 Gambaran klinis Lesi klasik psoriasis ialah plak merah meninggi dan berbatas tegas dengan permukaan berskuama putih. Ukuran lesi dapat bervariasi mulai dari bintik papul hingga plak yang menutupi area tubuh yang luas. Di bawah skuama terdapat eritema homogen berkilat dan bintik-bintik perdarahan yang tampak jika skuama dilepas dikarenakan melukai kapiler berdilatasi di bawahnya (tanda Auspitz). Penggoresan skuama menggunakan pinggir kaca objek akan menyebabkan terjadinya perubahan warna menjadi lebih putih seperti goresan pada tetesan lilin yang disebut sebagai fenomena tetesan lilin. Erupsi psoriasis

cenderung simetris dan hal ini merupakan gambaran yang dapat membantu dalam menegakkan diagnosis. Fenomena Koebner (juga dikenal sebagai respon isomorfik) adalah induksi psoriasis traumatik pada kulit nonlesi. Reaksi Koebner biasanya terjadi pada 7 hingga 14 hari setelah trauma dan skitar 2 persen pasien dapat mengalami fenomena Koebner semasa hidupnya. Fenomena Koebner tidak spesifik untuk psoriasis akan tetapi dapat membantu dalam menegakkan diagnosis. Terdapat beberapa bentuk klinis psoriasis yaitu: Psoriasis vulgaris Psoriasis vulgaris merupakan bentuk psoriasis tersering, didapati pada sekitar 90 persen pasien. Plak merah, berskuama, dan simetris yang belokasi di bagian ekstensor ekstremitas, terutama lutut dan siku, kulit kepala, lumbosakral bawah, bokong, dan genital. Tempat predileksi lainnya termasuk umbilikus dan celah intergluteal. Psoriasis guttata (eruptif) Psoriasis guttata (berasal dari bahasa latin gutta berarti tetesan ) dikarakteristikkan dengan erupsi papul-papul kecil (diameter 0, hingga 1, cm) di badan bagian atas dan ekstremitas proksimal. Psoriasis plak kecil Psoriasis plak kecil secara klinis mirip dengan psoriasis guttata tetapi dapat dibedakan dengan onsetnya pada pasien lebih tua, kronisitasnya, dan lesinya 16

yang lebih besar (1-2 cm) yang lebih tebal dan berskuama daripada penyakit guttata. Psoriasis inversa Lesi psoriasis dapat berlokasi pada lipatan kulit utama seperti aksila, genito krural, dan leher. Skuama biasanya minimal atau tidak ada dan lesi menunjukkan eritema berbatas tegas yang sering berlokasi di area kontak kulit ke kulit. 2.2 Leptin Leptin (disebut juga protein OB) merupakan protein yang ditemukan pada tahun 1994 oleh Friedman dan kolega dengan mengidentifikasi gen mutan (ob) yang mendasari obesitas pada tikus ob/ob. Leptin berasal dari bahasa Yunani leptos yang berarti tipis, berasal dari klon gen ob dan terutama dihasilkan oleh adiposit (jaringan adiposa putih) bersamaan dengan berbagai sitokin lainnya. 8 Leptin merupakan polipeptida non glikosilasi 16 kd yang terdiri dari 167 asam amino dengan nilai normal dalam darah berkisar antara 1,2-9, ng/ml pada pria dan 4,1-2,0 ng/ml pada wanita. Leptin mengatur pengendalian berat badan melalui reseptor kognitif di hipotalamus. Leptin dapat juga diekspresikan dalam jumlah sedikit di jaringan-jaringan lainnya seperti plasenta dan saluran cerna. 1,2,17-20 Auwerx dan Steals 1998 Hidetoshi et al. (2009) mengemukakan bahwa struktur leptin berisi empat α-heliks anti paralel yang saling tersambung yang sangat mirip dengan anggota sitokin-sitokin heliks rantai panjang seperti

interleukin-6 (IL-6), IL-11, IL-12, granulocyte colony stimulating factor (G- CSF) dan yang lainnya. Muoio et al. (2002) menyatakan bahwa leptin meregulasi berat badan dengan cara menginhibisi masukan makanan dan menstimulasi konsumsi energi. Leptin juga telah dikenal sebagai faktor kunci dalam meregulasi banyak respon biologis termasuk tekanan darah, hematopoiesis, fungsi neuroendokrin, angiogenesis, pembentukan tulang, dan reproduksi. Reseptor leptin terutama diekspresikan di hipotalamus, tetapi juga diekspresikan di jaringan-jaringan lain seperti keratinosit, fibroblas, sel-sel endotel, dan sel-sel mononuklear darah perifer. 22-2 1,21 Terdapat banyak bukti bahwa leptin memiliki efek sistemik selain berhubungan dengan homeostatis energi, termasuk regulasi neuroendokrin, reproduksi, hematopoietik, dan fungsi imun. 26 Leptin mempunyai peranan penting dalam inflamasi dan dalam imunoregulasi. Menurut Otero et al. (200) leptin mengaktivasi sel-sel monosit/makrofag dan mempotensiasi produksi sitokin-sitokin proinflamasi, tumor necrosis factor alpha (TNF-α), interleukin (IL)-6, dan mengarahkan diferensiasi sel T menjadi fenotip Th1, mengekspresikan interferon gamma (IFN)-ᵧ dan IL-2. Menurut Gabay et al. (2001) leptin menunjukkan bahan-bahan anti inflamasi tertentu dengan cara melepaskan antagonis reseptor IL-1. Oleh karena itu leptin telah diimplikasikan dalam patogenesis kondisi inflamasi autoimun seperti chronic bowel disease dan artritis rematoid. Penelitian yang dilakukan Bernotiene et al. (2006) dan Murad et al. (2003) menunjukkan bahwa leptin menstimulasi proliferasi keratinosit,

mengekspresikan molekul-molekul adhesi dan meningkatkan angiogenesis serta pertumbuhan sel-sel endotel. Oleh karena itu tampak adanya hubungan yang erat antara imunopatogenesis psoriasis dan efek proliferasi dan imunologi leptin. 1,27,28 Hal yang penting dari banyak sitokin adalah perlindungan terhadap adanya apoptosis sel-sel. Berdasarkan penelitian terdahulu telah ditemukan bahwa leptin meningkatkan viabilitas dan melemahkan apoptosis berbagai tipe sel seperti osteoblas, sel-sel 13actor13ic, dan sel-sel islet. Terlebih lagi, pada temuan terbaru tampak bahwa leptin menginhibisi apoptosis yang diinduksi stress dari limfosit T in vivo. Penelitian ini menguji efek leptin dalam kelangsungan hidup monosit dan apakah efek ini terjadi berdasarkan kerja anti apoptosis dari leptin. Tampak bahwa leptin meningkatkan survival yang bergantung dosis dari monosit darah. Leptin meningkatkan efek survival ini dengan cara mencegah apoptosis sel-sel monosit melalui aktivasi MAPK. Hal ini sesuai dengan peran jalur p42/44 MAPK yang telah dikenali dalam respon imun secara umum, dan sinyal anti apoptosis monosit khususnya. Data-data tersebut mendukung hipotesis adanya peran leptin sebagai 13actor trofik penting terhadap monosit darah. Telah dihipotesiskan bahwa rendahnya konsentrasi leptin serum dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi dengan cara menurunkan priming sel T helper (Th) dan mempengaruhi fungsi timus. Sebaliknya efek dari peningkatan Th1 oleh leptin berhubungan dengan peningkatan kerentanan untuk mengalami penyakit autoimun. 2 11

Penelitian yang dilakukan oleh Cerman et al. (2008) dan Wang et al. (2008) menunjukkan adanya peranan leptin dalam patogenesis psoriasis vulgaris akan tetapi perannya dalam keparahan penyakit masih memerlukan penelitian lebih lanjut. 21 Beberapa penelitian telah mempelajari efek leptin terhadap respon imun dibawa dan didapat. Pada imunitas dibawa leptin meningkatkan fungsi fagositik makrofag/monosit tikus melalui aktivasi fosfolipase. Terhadap makrofag leptin juga meningkatkan sekresi sitokin proinflamasi seperti tumor necrosis factor-α (TNF-α) (awal), interleukin 6 (IL-6) (lanjut), dan IL-12. Efek fasilitasi dari leptin terhadap fungsi makrofag/monosit telah dikonfirmasi pada manusia. Tampak bahwa leptin dapat menstimulasi proliferasi monosit sirkulasi manusia in vitro dan dapat meningkatkan ekspresi penanda-penanda aktivasi termasuk CD38, CD69, CD2 (rantai α reseptor IL-2) dan CSD71 (reseptor transferin). Pada sel-sel polimorfonuklear individu sehat leptin menstimulasi produksi reactive oxygen species (ROS) dan kemotaksis melalui mekanisme yang masih kontroversial dan dapat atau tidak dapat berinteraksi dengan monosit. Kemudian di dalam sel-sel natural killer leptin berperan dalam perkembangan, diferensiasi, proliferasi, aktivasi, dan sitotoksisitas melalui efek yang diperantarai oleh posforilasi signal transducers and activator of transcription-3 (STAT-3) dan peningkatan ekspresi gen untuk perforin dan IL-2. 21 21 21

Dalam imunitas didapat leptin mempunyai efek pleiotropik yang kemungkinan menunjukkan peningkatan kemampuan sistem imun memberikan respon yang luas terhadap struktur molekular yang berbeda melalui pengenalan terbatas dari kompleks peptida/major histocompatibility complex (MHC). 21 2.3 Psoriasis Vulgaris dan Leptin Psoriasis vulgaris adalah kelainan kulit inflamasi kronis yang diperantarai oleh elemen-elemen sistem imun dibawa dan didapat. Sel T hampir selalu terlibat saat dimulainya lesi psoriasis. Sel T yang terakivasi pada taut dermal epidermal dianggap mendorong respon proliferasi hiperplastik melalui kumpulan sitokin-sitokin Th1 termasuk tumor necrosis factor (TNF)-α, interferon-ᵧ dan berbagai interleukin (IL). Leptin merupakan salah satu sitokin utama yang dihasilkan oleh adiposa dan telah diteliti perannya dalam mengendalikan homeostatis energi melalui regulasi nafsu makan. Leptin juga penting untuk imunitas yang diperantarai sel. Defisiensi leptin kongenital pada manusia mengakibatkan rendahnya frekuensi sel T CD4+ darah dan juga proliferasi sel T yang rusak serta produksi sitokinsitokin seperti interferon (IFN)-ᵧ. Leptin tampak berperan terhadap T helper (Th)1 dan menekan respon imun Th2. In vitro leptin bekerja pada sel T naif, yaitu meningkatkan sekresi IL-2 dan proliferasi dan juga meningkatkan produksi IFN-ᵧ oleh sel T memori. Oleh karena itu level leptin yang meningkat dapat mengakibatkan peningkatan respon imun tipe Th1 akibat berkurangnya aktivitas sel T regulator. 18,29-31 6

Leptin berperan penting dalam proses inflamasi yang melibatkan sel T dan dapat memodulasi aktivitas sel T-helper dalam respon imun selular. Oleh karena itu leptin mempunyai peran dalam inflamasi yaitu mengaktivasi monosit dan makrofag, meningkatkan sitokin-sitokin proinflamasi, serta mengarahkan diferensiasi sel T menjadi fenotipe Th1 dan mengekspresikan INF-ᵞ dan IL-2. Leptin juga dapat menstimulasi proliferasi keratinosit, ekspresi molekul-molekul adhesi dan angiogenesis dan juga pertumbuhan sel-sel endotel. Pada psoriasis, respon imun efektor berkembang disebabkan antigen kulit yang tidak diketahui dan aktivasi sel T terutama berupa pola sitokin tipe 1. Produksi IFN-ᵞ menginduksi aktivasi keratinosit dan dan sel-sel endotel serta menginduksi produksi sitokin-sitokin proinflamasi (IL-1, TNF-α) dan kemokin-kemokin (IL- 8). TNF-α, sitokin-sitokin lain seperti IL-6 dan growth factor terlibat dalam patogenesis psoriasis dan mekanisme hiperproliferasi. Level serum dari bahanbahan tersebut dapat berhubungan dengan aktivitas penyakit. Oleh karena psoriasis merupakan suatu penyakit inflamasi yang diperantarai imun dan ditandai dengan adanya hiperproliferasi keratinosit dan infiltrasi limfosit T maka leptin dapat menghubungkan antara fungsi sel T dan inflamasi pada psoriasis. 9 6,32-34