BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Lampiran 2. Surat Keterangan Telah Melaksanakan Penelitian

4 HASIL PENELITIAN. 4.1 Statistik Produksi Ikan dan Telur Ikan Terbang Produksi tahunan ikan dan telur ikan terbang

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

oaj STUDI PERTUMBUHAN DAN BEBERAPA ASPEK REPRODUKSI

POTENSI UDANG DOGOL (Metapenaeus ensis) DI KABUPATEN KEBUMEN JAWA TENGAH. Abstrak

3 METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi Penelitian

2. TINJAUAN PUSTAKA Rajungan (Portunus pelagicus)

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu :

TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

3. METODE PENELITIAN

BAB III BAHAN DAN METODE

Beberapa contoh air, plankton, makrozoobentos, substrat, tanaman air dan ikan yang perlu dianalisis dibawa ke laboratorium untuk dianalisis Dari

III. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN

WAKTU PERENDAMAN DAN PERIODE BULAN : PENGARUHNYA TERHADAP KEPITING BAKAU HASIL TANGKAPAN BUBU DI MUARA SUNGAI RADAK, PONTIANAK

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi

3. METODE PENELITIAN. Gambar 3. Peta daerah penangkapan ikan kuniran di perairan Selat Sunda Sumber: Peta Hidro Oseanografi (2004)

3. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

ANALISIS DAERAH PENANGKAPAN RAJUNGAN (Portunus pelagicus) BERDASARKAN PERBEDAAN KEDALAMAN PERAIRAN DENGAN JARING ARAD (Mini Trawl) DI PERAIRAN DEMAK

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Pramuka I II III

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

3 METODE PENELITIAN. Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian

ASPEK REPRODUKSI IKAN LELAN (Osteochilus vittatus C.V) Di SUNGAI TALANG KECAMATAN LUBUK BASUNG KABUPATEN AGAM

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BIOLOGI REPRODUKSI IKAN JUARO (Pangasius polyuranodon) DI DAERAH ALIRAN SUNGAI MUSI, SUMATERA SELATAN ABDUL MA SUF

Migrasi Ikan Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya

METODE. Waktu dan Tempat Penelitian

Jurnal Perikanan dan Kelautan Vol 1. No. 1, Desember 2010: 24-31

3.3. Pr 3.3. P os r ed e u d r u r Pe P n e e n l e iltiitan

JOURNAL OF MANAGEMENT OF AQUATIC RESOURCES. Volume 2, Nomor 2, Tahun 2013, Halaman Online di :

MENENTUKAN TINGKAT KEMATANGAN GONAD KEPlTlNG BAKAU KAITANNYA DENGAN PERKEMBANGAH GAMET

II. METODOLOGI 2.1 Prosedur Pelaksanaan Penentuan Betina dan Jantan Identifikasi Kematangan Gonad

statistik menggunakan T-test (α=5%), baik pada perlakuan taurin dan tanpa diberi Hubungan kematangan gonad jantan tanpa perlakuan berdasarkan indeks

3. METODE PENELITIAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan pada bulan April sampai dengan Desember 2013 di Sungai

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat

2.2. Morfologi Ikan Tambakan ( H. temminckii 2.3. Habitat dan Distribusi

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

3. METODE PENELITIAN

5 PEMBAHASAN 5.1 Komposisi Hasil Tangkapan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 17. Kandang Pemeliharaan A. atlas

TINJAUAN PUSTAKA. sangat kuat terjadi dan terbentuk riak-riakan pasir besar (sand ripples) yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. : Octinopterygii. : Cypriniformes. Spesies : Osteochilus vittatus ( Valenciennes, 1842)

3. METODE PENELITIAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Ciri Morfologis Klasifikasi

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

3. METODE PENELITIAN

III. METODOLOGI. Bawang, Provinsi Lampung selama 6 bulan dimulai dari bulan April 2013 hingga

I. PENDAHULUAN. maka lautan merupakan satu-satunya tempat kumpulan organisme yang sangat. besar di planet bumi (Resosoedarmo, dkk, 1990).

BAB II KAJIAN PUSTAKA

METODE PENELITIAN. Gambar 2. Peta lokasi penangkapan ikan kembung perempuan (R. brachysoma)

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

PARAMETER POPULASI DAN ASPEK REPRODUKSI IKAN KUNIRAN (Upeneus sulphureus) DI PERAIRAN REMBANG, JAWA TENGAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. : Kabupaten Brebes Propinsi Jawa Tengah

BAB I PENDAHULUAN UMUM

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Plankton merupakan organisme renik yang hidup melayang-layang di air dan

ANALISIS PERBEDAAN KEDALAMAN DAN SUBSTRAT DASAR TERHADAP HASIL TANGKAPAN RAJUNGAN (Swimming Crab) DENGAN ARAD RAJUNGAN DI PERAIRAN WEDUNG, DEMAK

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2. Ikan layur (Trichiurus lepturus) (Sumber :

SNI : Standar Nasional Indonesia. Benih Ikan Nila Hitam (Oreochromis niloticus Bleeker) kelas benih sebar

3. METODE PENELITIAN

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26/KEPMEN-KP/2016 TENTANG

Titin Herawati, Ayi Yustiati, Yuli Andriani

Pertumbuhan Ikan Bilih (Mystacoleucus padangensis Bleeker) Di perairan Sungai Aek Alian Kecamatan Balige Kabupaten Toba Samosir Sumatera Utara

sebagai sumber pendapatan masyarakat. Indonesia mempunyai potensi sumber memberikan kontribusi yang besar bagi rakyatnya.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

PENGARUH WAKTU PENANGKAPAN KEPITING BAKAU

3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Akuatik Jurnal Sumberdaya Perairan 48 ISSN

BAB III BAHAN DAN METODE

bio.unsoed.ac.id TELAAH PUSTAKA A. Morfologi dan Klasifikasi Ikan Brek

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1. Jumlah Armada Penangkapan Ikan Cirebon Tahun Tahun Jumlah Motor

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR KEP. 45/MEN/2006 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR /KEPMEN-KP/2017 TENTANG PELEPASAN IKAN GURAMI (OSPHRONEMUS GORAMY) GALUNGGUNG SUPER

3. METODE PENELITIAN

LINGKUNGAN BISNIS PELUANG BISNIS BUDIDAYA IKAN MAS : IMADUDIN ATHIF N.I.M :

ORDO DECAPODA. Kelompok Macrura : Bangsa udang & lobster

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan selama 4 bulan dimulai dari bulan Oktober 2013

KERANGKA PENDEKATAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai. (Sosrodarsono et al., 1994 ; Dhahiyat, 2013).

Transkripsi:

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Letak dan Kondisi Penelitian Kabupaten Cirebon dengan luas wilayah 990,36 km 2 merupakan bagian dari wilayah Provinsi Jawa Barat yang terletak di bagian timur dan merupakan batas sekaligus sebagai pintu gerbang antara Provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah. Letak geografisnya antara 108 o 40 108 o 48 BT dan 6 o 30 7 o 00 LS (Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Cirebon, 2011). Gebangmekar merupakan desa yang berada di lingkup Kecamatan Gebang Kabupaten Cirebon, dengan Wilayah Desa dibelah oleh Sungai Kali Ciberes. Desa Gebangmekar termasuk desa pesisir dengan penduduk desa hampir 80% bermatapencaharian nelayan perikanan. Letak geografis Desa Gebangmekar terletak pada posisi 108 o 43 5 BT dan 6 o 49 LS dengan batas-batas wilayah sebagai berikut : Sebelah Utara : Laut Jawa Sebelah Barat : Desa Gebang Kulon Kecamatan Gebang Sebelah Selatan : Jalan Nasional Desa Gebang Ilir Sebelah Timur : Desa Gebang Ilir 4.2 Komposisi Jumlah Hasil Tangkapan Rajungan Jumlah total hasil tangkapan selama penelitian sebanyak 540 ekor dari 15 trip. Jumlah total hasil tangkapan rajungan yang diperoleh pada kedalaman 6 8 m sebanyak 233 ekor terdiri dari 75 ekor rajungan betina dan 158 rajungan jantan (Lampiran 9) dan pada kedalaman 9 11 m, yakni sebanyak 307 ekor terdiri dari 109 ekor rajungan betina dan 198 ekor rajungan jantan (Lampiran 10) (Gambar 11). 22

Ekor 23 250 200 150 100 Betina jantan 50 0 6-8 m 9-11 m Kedalaman Gambar 11. Perbandingan Total Hasil Tangkapan Rajungan Betina dan Jantan Pada Kedalaman Berbeda Jumlah hasil tangkapan rajungan per trip berdasarkan kisaran kedalaman menunjukkan nilai yang berbeda. Rata-rata jumlah hasil tangkapan rajungan per trip pada kedalaman 6 8 m sebesar 15,53 (43%) dan pada kedalaman 9 11 m sebesar 20,47 (57%) (Gambar 12). 9-11 m 57% 6-8 m 43% Gambar 12. Persentase Perbandingan Total Jumlah Hasil Tangkapan

24 Berdasarkan hasil tangkapan rajungan selama penelitian, diperoleh rajungan jantan lebih banyak dibandingkan dengan rajungan betina dengan perbandingan 2 : 1. Hal ini diduga disebabkan karena tempat penangkapan rajungan berada didaerah pantai yang mempunyai salinitas yang rendah yang disenangi dan merupakan habitat yang sesuai bagi rajungan jantan. Menurut Perry dkk (2001), rajungan betina memilih perairan yang lebih tinggi salinitasnya, sedangkan rajungan jantan lebih menyenangi perairan dengan salinitasnya relatif rendah, sehingga rajungan jantan mempunyai daerah penyebaran yang lebih luas sampai ke muara sungai. Berdasarkan hasil uji t-student terhadap rata-rata jumlah hasil tangkapan rajungan (Lampiran 11) yang tertangkap pada dua perlakuan kedalaman diperoleh nilai t hitung sebesar 2,245, sedangkan t tabel pada taraf 5% sebesar 2,048 dengan kata lain bahwa t hitung lebih besar dibandingkan dengan t tabel pada taraf 5% sehingga keputusannya tolak (H 0 ) (Lampiran 12). Hal ini berarti bahwa rata-rata jumlah hasil tangkapan rajungan pada kedalaman 6 8 m dan 9 11 m memberikan hasil yang berbeda nyata. Analisis data jumlah hasil tangkapan rajungan pada masingmasing kedalaman, dapat dilihat pada Tabel 2. Pemasangan alat pada kedalaman 9 11 m merupakan daerah perairan yang cukup dalam di perairan sekitar Cirebon. Banyaknya jumlah hasil tangkapan rajungan selama penelitian pada perairan tersebut diduga karena rajungan melakukan ruaya ke perairan pada kisaran kedalaman tersebut. Rajungan akan melakukan migrasi ke perairan yang lebih dalam setelah umur rajungan cukup untuk menyesuaikan diri pada kondisi suhu dan salinitas perairan (Nontji, 1993).

25 Tabel 2. Komposisi Jumlah Hasil Tangkapan Rajungan Ulangan Kedalaman 6-8 m 9-11 m 1 14 19 2 22 12 3 12 18 4 24 12 5 15 14 6 8 21 7 17 13 8 7 9 9 16 49 10 8 23 11 16 34 12 27 26 13 21 23 14 19 21 15 7 13 Total 233 307 Rata-rata 15,53 20,47 4.3 Ukuran Hasil Tangkapan Rajungan Berdasarkan data yang diperoleh pada saat penelitian, hasil tangkapan rajungan memiliki ukuran panjang yang berbeda-beda pada setiap trip. Tabel dibawah ini merupakan tabel interval kelas dari seluruh hasil tangkapan pada kedua kedalaman yaitu kedalaman 6 8 m dan kedalaman 9 11 m (Tabel 3). Kisaran ukuran panjang rajungan yang paling banyak tertangkap adalah kisaran ukuran 58,5 64,1 mm (31%). Pada masing-masing kedalaman kisaran ukuran panjang rajungan tersebut sebanyak 75 ekor pada kedalaman 6 8 m dan 92 ekor pada kedalaman 9 11 m. Kisaran ukuran panjang rajungan kedua yang paling banyak tertangkap adalah kisaran ukuran 52,8 58,4 mm (26%). Kisaran ukuran panjang rajungan yang paling sedikit tertangkap dari seluruh total hasil tangkapan adalah kisaran ukuran 24,3 29,9 dan 30 35,6. Rajungan pada kisaran ukuran tersebut hanya tertangkap di kedalaman 6 8 m.

26 Tabel 3. Interval Kelas Ukuran Panjang Rajungan Pada Kedalaman Berbeda No Interval Kelas Kelas (mm) 6-8 m 9-11 m Total % 1 24,3-29,9 1-1 0 2 30-35,6 1-1 0 3 35,7-41,3 3 10 13 2 4 41,4 47 17 11 28 5 5 47,1-52,7 49 55 104 19 6 52,8-58,4 56 83 139 26 7 58,5-64,1 75 92 167 31 8 64,2-69,8 19 38 57 11 9 69,9-75,5 10 16 26 5 10 75,6-81,2 2 2 4 1 Total 233 307 540 100 Kisaran ukuran panjang rajungan betina yang banyak tertangkap adalah kisaran ukuran 58,8 65,6 mm (35%). Pada kisaran ukuran tersebut banyak ditangkap di masing-masing kedalaman, yaitu sebanyak 27 ekor pada kedalaman 6 8 m dan sebanyak 38 ekor pada kedalaman 9 11 m. Kisaran ukuran kedua yang banyak tertangkap adalah kisaran ukuran 51,9 58,7 mm (28%). Sedangkan pada kisaran ukuran 31,2 38 mm tidak ada rajungan betina yang tertangkap pada masing-masing kedalaman (Tabel 4). Pada kisaran ukuran panjang rajungan jantan yang banyak tertangkap adalah kisaran ukuran 58,6 64,2 mm (30%). Kisaran ukuran tersebut pada masing-masing kedalaman paling banyak tertangkap, yaitu sebanyak 50 ekor pada kedalaman 6 8 m dan sebanyak 58 ekor pada kedalaman 9 11 m. Kisaran ukuran panjang rajungan kedua yang banyak tertangkap adalah kisaran ukuran 52,9 58,5 mm. Sedangkan kisaran ukuran rajungan yang paling sedikit tertangkap adalah kisaran ukuran 30,1 35,7 mm. Pada kisaran ukuran tersebut hanya satu rajungan yang tertangkap yaitu pada kedalaman 6 8 m (Tabel 5).

27 Tabel 4. Interval Kelas Ukuran Panjang Rajungan Betina Pada Kedalaman Berbeda No Interval Kelas Betina Kelas (mm) 6-8 m 9-11 m Total % 1 24,3-31,1 1-1 0 2 31,2 38 - - 0 0 3 38,1-44,9 8 7 15 8 4 45-51,8 16 24 40 22 5 51,9-58,7 21 30 51 28 6 58,8-65,6 27 38 65 35 7 65,7-72,5 2 9 11 6 8 72,6-79,4-1 1 1 Total 75 109 184 100 Tabel 5. Interval Kelas Ukuran Panjang Rajungan Jantan Pada Kedalaman Berbeda No Interval Kelas Jantan Kelas (mm) 6 8 m 9 11 m Total % 1 30,1-35,7 1-1 0 2 35,8-41,4 3 3 6 2 3 41,5-47,1 7 9 16 4 4 47,2-52,8 31 32 63 18 5 52,9-58,5 40 57 97 27 6 58,6-64,2 50 58 108 30 7 64,3-69,9 17 26 43 12 8 70-75,6 8 12 20 6 9 76,7-81,3 1 1 2 1 Total 158 198 356 100 Ukuran rajungan yang tertangkap selama penelitian didominasi oleh kisaran ukuran panjang 58,5 64,1 mm (31%). Ukuran rajungan betina yang tertangkap pada kedalaman 6 8 m maupun 9 11 m didominasi oleh kisaran ukuran panjang 58,8 65,6 mm sedangkan ukuran rajungan jantan yang tertangkap didominasi oleh kisaran ukuran panjang 58,6 64,2 mm dengan persentase masing-masing sebesar 35% dan 30%. Hal ini menunjukkan bahwa pada kedua perlakuan kedalaman yaitu 6 8 m dan 9 11 m, ukuran rajungan 58,5 64,1 mm tersebar merata di kedua kedalaman tersebut, baik rajungan jantan

28 dan rajungan betina. Distribusi ukuran menggambarkan adanya dominansi dari ukuran rajungan atau ukuran kelas tertentu. Sehingga diperkirakan komposisi ukuran hasil tangkapan mencerminkan komposisi ukuran rajungan yang ada di lokasi penelitian. Ukuran rajungan betina dan jantan terkecil yang tertangkap pada kedalaman 6 8 m yaitu 24,3 mm dan 30,1 mm, dan ukuran rajungan betina dan jantan terbesar yang tertangkap yaitu 71,5 mm dan 76,5 mm. Sedangkan ukuran rajungan betina dan jantan terkecil yang tertangkap pada kedalaman 9 11 m yaitu 39,3 mm dan 40,0 mm dan ukuran rajungan betina dan jantan terbesar yang tertangkap yaitu 78,8 mm dan 80,4 mm. Ukuran-ukuran ini menunjukkan bahwa rajungan jantan memiliki ukuran tubuh lebih besar daripada rajungan betina, sesuai dengan pernyataan Xiao dan Kumar (2004) dalam Sunarto (2011) bahwa rajungan jantan relatif lebih besar dari betina. 4.4 Bobot Hasil Tangkapan Rajungan Berdasarkan bobot total hasil tangkapan yang diperoleh selama penelitian, rajungan yang tertangkap sebanyak 66,073 kg. Bobot rajungan pada kedalaman 6 8 m rajungan yang tertangkap sebanyak 28,26 kg (43%) dan pada kedalaman 9 11 m sebanyak 37,813 kg (57%) (Gambar 13). Kedalaman 9-11 m; 37,813 Kg Kedalaman 6-8 m; 28,26 Kg Gambar 13. Persentase Bobot Total Hasil Tangkapan Rajungan Pada Kedalaman Berbeda

29 Berdasarkan hasil uji t-student terhadap rata-rata bobot hasil tangkapan rajungan (Lampiran 13) yang tertangkap pada kedua kedalaman diperoleh nilai t hitung sebesar 2,176, sedangkan t tabel pada taraf 5% sebesar 2,048 dengan kata lain bahwa t hitung lebih besar dibandingkan dengan t tabel pada taraf 5% sehingga keputusannya tolak (H 0 ) (Lampiran 14). Hal ini berarti bahwa rata-rata bobot jumlah hasil tangkapan rajungan pada kedalaman 6 8 m dan 9 11 m memberikan hasil yang berbeda nyata. Analisis data bobot hasil tangkapan rajungan pada masing-masing kedalaman, dapat dilihat pada Tabel 7. Bobot rajungan betina maupun jantan bervariasi sangat luas. Pada kedalaman 6 8 m bobot rajungan betina terendah 19 gr dan bobot rajungan betina tertinggi 178 gr sedangkan bobot rajungan jantan terendah 20 gr dan bobot rajungan jantan tertinggi 319 gr. Pada kedalaman 9 11 m bobot rajungan betina terendah 28 gr dan bobot rajungan betina tertinggi 250 gr, sedangkan bobot rajungan jantan terendah 32 gr dan bobot rajungan tertinggi 255 gr. Tabel 7. Bobot Hasil Tangkapan (kg) Ulangan Kedalaman 6-8 m (Kg) 9-11 m (Kg) 1 1,183 1,984 2 2,073 1,183 3 1,291 1,537 4 2,558 1,45 5 1,761 1,877 6 1,166 2,803 7 2,072 1,822 8 1,32 1,676 9 2,086 6,282 10 1,071 3,109 11 2,099 4,189 12 3,293 3,152 13 2,462 2,813 14 2,795 2,558 15 1,03 1,378 Total 28,26 37,813 Rata-rata 1,884 2,25

30 Berdasarkan pada Tabel 7 dapat dikatakan bahwa bobot rajungan pada kedalaman 9 11 m lebih besar daripada bobot rajungan pada kedalaman 6 8 m. Hasil penelitian Muslim (2000) di Sulawesi Selatan menemukan bahwa rajungan yang berukuran besar biasanya didapatkan pada perairan yang lebih dalam, sedangkan rajungan yang berukuran kecil didapatkan pada perairan yang lebih dangkal. Menurut Rounsefell (1975) dalam Suwarni (1985) bahwa pada saat burayak (juvenil), rajungan mendiami daerah muara sungai yang dangkal, sering pada salinitas yang rendah. Setelah melakukan perkawinan antara jantan dengan betina maka rajungan berina bergerak ke perairan lepas pantai yang lebih dalam dengan salinitas tinggi. 4.5 Hasil Tangkapan Rajungan Berdasarkan Jenis Kelamin Jumlah total hasil tangkapan rajungan jantan selama penelitian sebanyak 356 ekor (66%), sedangkan rajungan betina sebanyak 184 ekor (34%) dengan keseluruhan hasil tangkapan sebanyak 540 ekor dalam 15 kali trip (Gambar 14). Jantan 66% Betina 34% Gambar 14. Hasil Tangkapan Rajungan Betina dan Jantan Pada Kedalaman Berbeda Jumlah total rajungan jantan paling banyak tertangkap pada pemasangan alat di kedalaman 9 11 m, yakni sebanyak 198 ekor (56%) dan pemasangan alat pada kedalaman 6 8 m sebanyak 158 ekor (44%) (Gambar 15).

31 9-11 m 56% 6-8 m 44% Gambar 15. Hasil Tangkapan Rajungan Jantan Pada Kedalaman Berbeda Persentase jumlah hasil tangkapan rajungan betina paling banyak terdapat pada pemasangan alat di kedalaman 9 11 m, yakni sebanyak 109 ekor (59%), sedangkan pemasangan alat pada kedalaman 6 8 m sebanyak 75 ekor (41%) (Gambar 16). 9-11 m 59% 6-8 m 41% Gambar 16. Hasil Tangkapan Rajungan Betina Pada Kedalaman Berbeda Rajungan yang tertangkap dapat dibedakan jenis kelaminnya berdasarkan warna karapasnya. Warna karapas pada rajungan jantan adalah kebiru-biruan dengan bercak-bercak putih terang, sedangkan pada betina memiliki warna karapas kehijau-hijauan dengan bercak-bercak keputih-putihan agak suram.

32 Perbedaan ini jelas pada individu yang agak besar walaupun belum dewasa (Nontji, 1993). Rajungan betina dan jantan banyak ditangkap pada kedalaman 9 11 m dibandingkan dengan kedalaman 6 8 m. Menurut Nontji (1993), rajungan hidup pada habitat yang beraneka ragam seperti pantai dengan dasar pasir, pasir lumpur, dan juga di lautan terbuka. Pada keadaan biasa rajungan tinggal di dasar perairan sampai kedalaman 65 m, tapi sesekali juga dapat terlihat di dekat permukaan atau kolom perairan pada malam hari saat mencari makan ataupun berenang dengan sengaja mengikuti arus. Sehingga hal ini menyebabkan banyaknya rajungan jantan dan betina yang ditangkap pada kedalaman 9 11 m. Hasil tangkapan rajungan berdasarkan jenis kelamin pada penelitian ini menunjukkan hasil bahwa rajungan jantan lebih banyak tertangkap dibandingkan dengan rajungan betina. Perbedaan jumlah hasil tangkapan jantan pada setiap kisaran kedalaman ini dikarenakan kebiasaan rajungan yang selalu bergerak untuk mencari makan maupun bergerak menuju perairan dalam untuk memijah. Hal serupa terjadi pada penelitian yang dilakukan oleh Darya (2002) dimana rajungan yang tertangkap lebih banyak rajungan jantan dibandingkan betina. Banyaknya rajungan jantan dan betina yang tertangkap bergantung pada keberadaan dan aktivitasnya di fishing ground tersebut (Saedi, 1997). 4.6 Tingkat Kematangan Gonad Rajungan Betina Berdasarkan pengamatan morfologi terhadap tingkat kematangan gonad rajungan betina yang tertangkap selama penelitian sebanyak 184 ekor memiliki nilai yang bervariasi. Pada kedalaman 6 8 m terdiri dari TKG I sebanyak 19 ekor (25%), TKG II sebanyak 14 ekor (19%), TKG III sebanyak 11 ekor (14%), TKG IV sebanyak 14 ekor (19%) dan TKG V sebanyak 17 ekor (23%). Sedangkan pada kedalaman 9 11 m terdiri dari TKG I sebanyak 28 ekor (26%), TKG II sebanyak 10 ekor (9%), TKG III sebanyak 22 (20%), TKG IV sebanyak 21 ekor (19%) dan TKG V sebanyak 28 ekor (26%) (Gambar 17).

Ekor 33 30 25 20 15 10 6-8 m 9-11 m 5 0 I II III IV V TKG Gambar 17. Jumlah Tingkat Kemantangan Gonad Rajungan Betina pada Kedalaman Berbeda Pada kedalaman 9 11 m tingkat kematangan gonad rajungan betina yang lebih mendominasi adalah TKG I dan TKG V. Banyaknya TKG V pada kedalaman tersebut adalah karena betina yang bertelur lebih menyukai perairan dalam yang memiliki salinitas tinggi yang cocok untuk berkembang biak. Rajungan betina lebih menyenangi perairan dengan salinitas yang lebih tinggi terutama untuk melakukan pemijahan, sehingga menyebar ke perairan yang lebih dalam. West Australian Goverment (1997) menyatakan bahwa dalam siklus hidupnya rajungan betina yang sedang bertelur akan melakukan ruaya ke laut terbuka. Iskandar (2001) lebih memperjelas dengan menyatakan bahwa rajungan betina cenderung berada di daerah yang mempunyai salinitas tinggi. Tingkat kematangan gonad pada kedalaman 6 8 m dalam 15 kali ulangan memberikan tingkat kematangan gonad yang bervariasi. Seperti pada ulangan ke 4 dan ke 12, tingkat kematangan gonadnya bervariasi mulai dari TKG I sampai TKG V. Berbeda dengan ulangan-ulangan lainnya yang hanya mendapatkan satu TKG, dua ataupun tiga TKG saja. Sedangkan pada ulangan ke-10 tidak mendapatkan rajungan betina (Gambar 18).

34 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 TKG V TKG IV TKG III TKG II TKG I Gambar 18. Persentase Tingkat Kematangan Gonad Betina Pada Kedalaman 6 8 m Tingkat kematangan gonad rajungan betina pada kedalaman 9 11 m menunjukkan tingkat kematangan gonad yang bervariasi pada setiap ulangannya sebanyak 15 kali. Pada ulangan ke-9 dan ke-12 rajungan betina yang tertangkap mempunyai TKG yang bervariasi, yaitu terdapat TKG I sampai TKG V. Sedangkan pada ulangan ke-4 dan ke-8 rajungan betina yang tertangkap hanya menunjukkan TKG IV (Gambar 19). 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 TKG V TKG IV TKG III TKG II TKG I Gambar 19. Persentase Tingkat Kematangan Gonad Rajungan Betina Pada Kedalaman 9 11 m

35 Menurut Effendy dkk (2006), rajungan hidup di daerah estuaria kemudian bermigrasi ke perairan yang mempunyai salinitas yang lebih tinggi. Saat telah dewasa, rajungan yang siap memasuki masa perkawinan akan bermigrasi ke daerah pantai. Setelah melakukan perkawinan, rajungan akan kembali ke laut untuk menetaskan telurnya. Hal ini yang menyebabkan banyaknya rajungan betina yang tertangkap adalah TKG V. Sama halnya dengan TKG I banyak ditangkap karena rajungan tersebut telah menentaskan telurnya di laut. TKG I pada rajungan betina yang tertangkap melalui pengamatan morfologi mempunyai gonad berwarna kuning pudar (Gambar 20), TKG II mempunyai gonad berwarna kuning keemasan (Gambar 21), TKG III mempunyai gonad berwarna orange muda (Gambar 22), TKG IV mempunyai gonad berwarna orange tua (Gambar 23) dan TKG V telur rajungan berwarna kuning, kecoklatan hingga kehitaman (Gambar 24). Seperti penelitian yang dilakukan oleh Sunarto (2011) yang menyatakan bahwa berdasarkan bentuknya gonad betina yang diamati perkembangannya menunjukkan bahwa TKG I memiliki warna kuning pucat dan seterusnya berubah menjadi orange muda, orange tua dan kuning tua. Gambar 20. Rajungan dengan TKG I

36 Gambar 21. Rajungan dengan TKG II Gambar 22. Rajungan dengan TKG III Gambar 23. Rajungan dengan TKG IV

37 Gambar 24. Rajungan dengan TKG V 4.7 Hubungan Panjang Karapas dan Bobot Tubuh Rajungan Ukuran rajungan jantan yang tertangkap selama penelitian memiliki ukuran panjang karapas terbesar 80,4 mm dan ukuran terkecil 30,1 mm sedangkan bobot rajungan jantan yang tertangkap memiliki bobot terbesar 303 gram dan bobot terkecil 20 gram. Ukuran rajungan betina yang tertangkap memiliki ukuran panjang karapas terbesar 78,8 mm dan ukuran terkecil 24,3 mm, sedangkan bobot tubuh rajungan betina terbesar 250 gram dan bobot terkecil 19 gram.

Bobot Rajungan 38 Hubungan panjang karapas dan bobot tubuh rajungan yang tertangkap selama penelitian adalah sebagai berikut : W Betina = 0,038 L 1,964 W Jantan = 0,0017 L 2,745 Berdasarkan hasil b yang didapatkan dari analisis hubungan panjang karapas dan bobot rajungan, nilai b untuk rajungan betina adalah 1,964 dan nilai b untuk rajungan jantan adalah 2,745 (Lampiran 14 dan Lampiran 15). Nilai b rajungan betina dan jantan yang didapatkan menunjukkan bahwa nilai b lebih kecil dari tiga atau berdasarkan kriteria dapat dinyatakan bahwa pertumbuhan rajungan betina dan jantan bersifat allomatrik negatif (b < 3) artinya pertumbuhan bobotnya tidak secepat pertumbuhan panjang. Menurut Effendie (1997) nilai yang lebih besar atau lebih kecil dari 3 pertumbuhan ikan dikatakan allometrik, nilai b < 3 maka pertambahan ikan tersebut tidak seimbang dengan pertambahan bobotnya. Pertambahan panjangnya lebih cepat dari pada pertambahan bobotnya. Kemungkinan yang ketiga adalah jika harga b > 3 dapat ditafsirkan bahwa pertambahan bobot ikan lebih cepat daripada pertambahan panjangnya. 350 300 250 200 150 Betina Jantan Power (Betina) Power (Jantan) y = 0,001x 2,745 R² = 0,787 y = 0,038x 1,964 R² = 0,599 100 50 0 0 20 40 60 80 100 Panjang Karapas Rajungan Gambar 25. Hubungan panjang karapas dan bobot rajungan betina dan jantan

39 Berdasarkan gambar 25 ukuran karapas rajungan jantan mempunyai ukuran lebih besar daripada ukuran karapas rajungan betina. Hal ini diduga berhubungan dengan pemanfaatan energi untuk pertumbuhan gonad rajungan betina yang lebih besar daripada rajungan jantan. Effendie (1997) menyatakan bahwa pertumbuhan merupakan proses biologis yang kompleks dan dipengaruhi oleh banyak faktor, yaitu faktor dalam dan faktor luar. Faktor dalam merupakan faktor yang sukar dikontrol, diantaranya keturunan, seks dan umur. Faktor luar yang utama mempengaruhi pertumbuhan adalah makanan dan suhu perairan selain parasit dan penyakit. Keberhasilan dalam mendapatkan makanan akan menentukan pertumbuhan, oleh karena itu dalam satu keturunan akan didapatkan ukuran yang bervariasi.