V. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT KEMISKINAN

dokumen-dokumen yang mirip
III. METODOLOGI PENELITIAN

DAMPAK KEBIJAKAN FISKAL TERHADAP KINERJA SEKTOR PERTANIAN DI PROVINSI RIAU. The Impact of Fiscal Policy on Performance of Agriculture in Riau Province

III. METODE PENELITIAN

VII. HASIL ESTIMASI MODEL DAMPAK KEBIJAKAN FISKAL TERHADAP PEREKONOMIAN DAERAH

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

Daftar Isi. Daftar Isi... i Daftar Tabel... iii Daftar Gambar... vii 1. PENDAHULUAN...1

Analisis Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

BAB VII KEBIJAKAN UMUM DAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. dampak investasi dan pengeluaran pemerintah terhadap kinerja perekonomian

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan

III. METODE PENELITIAN. berupa time series dari tahun 1995 sampai tahun Data time series

BAB I PENDAHULUAN. Menjadi UU 32/2004) tentang Pemerintah Daerah memisahkan dengan tegas

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dengan meningkatkan pemerataan dan keadilan. Dengan

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

BAB I PENDAHULUAN. provinsi. Dalam provinsi itu dikembangkan kembali dalam kabupaten kota,

I. PENDAHULUAN. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan

I. PENDAHULUAN. pemerintahan termasuk kewenangan daerah. Salah satu bukti adalah Undang-undang

III. METODE PENELITIAN

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V ARAH KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. Negara dimaksudkan untuk meningkatkan efektifitas dan efesiensi. penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat.

BAB IV. KERANGKA PEMIKIRAN. Bab ini merupakan rangkuman dari studi literatur dan kerangka teori yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dampak diberlakukannya kebijakan otonomi daerah. Sistem otonomi daerah

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS. peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BAB I PENDAHULUAN. dan kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan yang

PENDAHULUAN. Belanja daerah, atau yang dikenal dengan pengeluaran. pemerintah daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

BAB III. METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya pembangunan nasional di negara-negara berkembang. difokuskan pada pembangunan ekonomi dalam rangka upaya pertumbuhan

V. GAMBARAN UMUM. Penyajian gambaran umum tentang variabel-variabel endogen dalam

BAB III KERANGKA PENDANAAN PEMBANGUNAN DAERAH TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan, pembangunan di

BAB I PENDAHULUAN. dan kewajiban setiap orang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, pembangunan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan

3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Daerah, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki hak,

BAB I PENDAHULUAN. daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam perkembangannya, kebijakan ini

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan pada hakekatnya merupakan suatu proses kemajuan dan

BAB I PENDAHULUAN. pembelanjaan. Pengeluaran-pengeluaran untuk membiayai administrasi

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan

BAB V ARAH KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. upaya yang berkesinambungan yang meliputi pembangunan masyarakat, bangsa,

BAB 1 PENDAHULUAN. karena sebagian orang tua lebih memilih untuk mempekerjakan anaknya dari pada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam landasan teori, akan dibahas lebih jauh mengenai Pertumbuhan

V. PEMBAHASAN. perekonomian daerah. Pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah

BAB I PENDAHULUAN. nasional yang akan mempercepat pemulihan ekonomi dan memperkuat ekonomi

I. PENDAHULUAN. pengelolaan pemerintah daerahnya, baik ditingkat propinsi maupun tingkat kabupaten

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang

I. PENDAHULUAN. pembangunan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. mengelola daerahnya sendiri. Namun dalam pelaksanaannya, desentralisasi

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Undang-Undang Nomor No.12 tahun 2008 (revisi UU no.32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi di dalam peraturan perundang-undangan telah

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I. Kebijakan tentang otonomi daerah di Indonesia, yang dikukuhkan dengan

BAB I PENDAHULUAN. ketentuan umum UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Guna menunjukkan alokasi sumber daya manusia, material, dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi sehingga dapat menggambarkan bagaimana kemajuan atau kemunduran yang

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Lampung Barat.

BAB I PENDAHULUAN. kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No.

BAB I PENDAHULUAN. pemeliharaan hubungan yang serasi antara pemerintah pusat dan daerah.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. keuangan lembaga publik, diantaranya : Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu

BAB I PENDAHULUAN. mengatur tentang otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pada tahun 2000, Banten merupakan wilayah pemekaran dari Jawa

BAB I PENDAHULUAN. menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi luas

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia. Seiring perkembangan zaman tentu kebutuhan manusia bertambah, oleh

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

BAB I PENDAHULIAN. Dewasa ini, perhatian pemerintah terhadap masalah-masalah yang

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia, desentralisasi fiskal mulai hangat dibicarakan sejak

BAB I PENDAHULUAN. merupakan pusat kegiatan perekonomian, agar kegiatan sektor riil meningkat

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

V. ANALISIS MODEL PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan merupakan suatu proses perubahan yang berlangsung

BAB I PENDAHULUAN. terkandung dalam analisis makro. Teori Pertumbuhan Ekonomi Neo Klasik

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan tersebut diharapkan dapat memberikan trickle down effect yang

Rumus yang digunakan untuk menghitung Rasio Kemandirian Fiskal adalah:

IV. KONDISI FISKAL PEMERINTAH DAERAH

Pertumbuhan yang telah dicapai dari berbagai kebijakan akan memberi dampak positif terhadap penyerapan tenaga kerja, dan mengurangi angka pengangguran

BAB I PENDAHULUAN. landasan hukum bagi yang dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang

BAB I PENDAHULUAN. daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah tentang APBD.

BAB I PENDAHULUAN. Proses globalisasi pemerintahan pada daerah Indonesia di tahun 2001

ANALISIS PEMETAAN KINERJA FISKAL DAN PENGARUH TRANSFER TERHADAP KINERJA KEUANGAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA TENGAH OLEH KHURUM MAQSUROH H

I. PENDAHULUAN. Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

Transkripsi:

V. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT KEMISKINAN 5.1. Hasil Estimasi Model Ekonometrika Setelah dilakukan respesifikasi-respesifikasi terhadap model desentralisasi fiskal Provinsi Riau, diperoleh 28 persamaan yang terdiri 18 persamaan struktural dan 10 persamaan identitas. Hasil estimasi model dengan menggunakan metode ekonometrik 2SLS (two stage least squares) menunjukkan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap variabel-variabel endogen dalam model yaitu terhadap 18 persamaan struktural tersebut. Hasil analisis terhadap variabel endogen masingmasing akan dijelaskan. Keragaan umum hasil estimasi model ekonometrika yang terdiri dalam 4 blok secara keseluruhan menunjukkan hasil yang baik. Semua peubah penjelas yang dimasukkan ke dalam persamaan mempunyai tanda yang sesuai dengan harapan dilihat dari teori ekonomi. Evaluasi hasil estimasi berdasarkan kriteria statistika yaitu lebih dari 80 persen persamaan memiliki nilai R 2 di atas 0.70, nilai Dw berkisar antara 0.6-2.171 dan secara umum parameter peubah penjelas signifikan pada taraf nyata α < 25 %. Meskipun demikian, secara umum variabel eksogen yang dimasukkan dalam persamaan mampu menjelaskan keragaman setiap variabel endogennya. Selain kriteria statistik (R 2 ) tersebut, hasil analisis menunjukkan bahwa semua variabel eksogen dan predetermined memiliki tanda yang sesuai dengan dugaan dan berdasarkan teori ekonomi serta kondisi di lapang, hasilnya cukup logis. Hasil statistik t menunjukkan semua variabel predetermined yang berpengaruh nyata terhadap variabel endogen yang menggunakan taraf nyata atau

93 α = 25 %. Secara keseluruhan hasil estimasi model cukup representatif menggambarkan fenomena kinerja fiskal dan perekonomian daerah dalam otonomi di Provinsi Riau. Tanda dan besaran parameter estimasi dari keragaan umum ini baik secara teoristis dan logis mampu memperkuat keberadaan model untuk analisis selanjutnya. 5.2. Keragaan Penerimaan Daerah Keragaan blok penerimaan fiskal daerah ditunjukkan oleh Pajak Daerah (TAXD), Retribusi Daerah (RETRD), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Penerimaan Bagi Hasil Pajak (BHTAXD). 5.2.1. Pajak Daerah Total Pengeluaran Pemerintah (TEXP) dan Konsumsi Masyarakat (KONM) berpengaruh positif dan signifikan terhadap Pajak Daerah (TAXD). Parameter estimasi peubah Dummy Desentralisasi Fiskal (DDF) bertanda negatif yang berarti terdapat penurunan jumlah pungutan pajak pada periode sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal. Hasil estimasi mengindikasikan bahwa semakin besar Total Pengeluaran Pemerintah (TEXP) akan berpengaruh terhadap usaha pemerintah daerah untuk meningkatkan ketersediaan fiskal melalui mekanisme pajak daerah, dan dalam jangka pendek tidak elastis namun dalam jangka panjang memiliki respon yang elastis terhadap penerimaan pajak daerah. Demikian halnya dengan Konsumsi Masyarakat (KONM) berpengaruh positif dan signifikan terhadap Pajak Daerah. Pajak daerah memiliki peranan penting setelah desentralisasi fiskal sebagai sumber PAD, sebelum desentalisasi fiskal sumber PAD didominasi dari retribusi

daerah. Hasil regresi dari model-model pada Blok Penerimaan Daerah tertera pada tabel 11 di bawah ini. Tabel 11. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Dana Alokasi Umum dan Bagi Hasil Pajak Sumberdaya Alam Model Pajak Daerah (TAXD) Retribusi Daerah (RETRD) Dana Alokasi Umum (DAU) Bagi Hasil Pajak Daerah (BHPJSDA) Variabel Parameter Estimasi Elastisitas SR LR Prob> T Total Pengeluaran Pemerintah (TEXP) 0.018028 0.15 1.2 0.0001 94 Kepatutan Statistik Konsumsi Masyarakat (KONM) 0.000069176 0.11 0.16 0.0042 R 2 =0.8252 Dummy Otonomi (DDF) -23565 0.0182 F hit = 51.189 Lag TAXD 0.078497 0.2089 DW = 0.923 Produk Dometik Regional Bruto (PDRB) -0.00000328 0.76 1.06 0.1669 R 2 = 0.625 Total Pengeluaran Pemerintah(TEXP) 0.005659 0.45 0.71 0.0001 F hit =28.262 Dummy Otonomi (DDF) 10841 0.2079 DW = 1.392 Total Pengeluaran Pemerintah (TEXP) 0.319255 0.15 0.18 0.0001 Angkatan Kerja (AKED) -1.499357 1.12 1.14 0.3033 R 2 =0.9649 Populasi(POP) 1.158344 0.11 0.16 0.0459 Bagi Hasil Pajak Sumberdaya Alam (BHPJSDA) -0.64378 1.02 1.28 0.0001 F hit =268.58 Dummy Otonomi(DDF) 348073 0.0366 DW = 2.042 Pendapatan Asli Daerah (PAD) 1.493081 1.13 1.19 0.0001 R 2 = 0.9442 Pengeluaran Sektor Ekonomi(PESE) 0.30203 0.11 0.15 0.0001 F hit = 287.28 Dummy Otonomi -170301 0.46 0.55 0.0003 DW = 1369 5.2.2. Retribusi Daerah PDRB berpengaruh positif dan signifikan terhadap Retribusi Daerah begitu juga Total Pengeluaran Pemerintah (TEXP) berpengaruh positif dan signifikan terhadap Retribusi Daerah (RETRD). Parameter estimasi peubah Dummy Desentralisasi Fiskal (DDF) bertanda positif yang berarti terdapat perbedaan jumlah pungutan retribusi pada periode sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal yang menunjukkan peningkatan pungutan retribusi. Hasil estimasi mengindikasikan bahwa semakin besar PDRB akan berpengaruh terhadap usaha pemerintah daerah untuk meningkatkan ketersediaan fiskal melalui mekanisme retribusi daerah, dan dalam jangka pendek tidak elastis

95 namun dalam jangka panjang memiliki respon yang elastis terhadap penerimaan retribusi daerah. Sementara Total Pengeluaran Pemerintah (TEXP) berdampak positif terhadap meningkatnya penerimaan pajak daerah namun respon jangka pendek dan jangka panjangnya tidak elastis terhadap penerimaan retribusi daerah. 5.2.3. Dana Alokasi Umum Angkatan Kerja Daerah (AKED) dan bagi hasil penerimaan sumberdaya alam (BHPJSDA) berpengaruh negatif dan signifikan terhadap Dana Alokasi Umum (DAU), artinya semakin besar AKED dan BHPESDA maka alokasi DAU terhadap daerah semakin kecil. Sementara Total Pengeluaran Pemerintah (TEXP) dan Jumlah Penduduk (POP) berpengaruh positif dan signifikan terhadap DAU, artinya semakin besar TEXP dan POP maka alokasi dana perimbangan untuk daerah semakin besar. Peubah Dummy Desentralisasi (DDF) menunjukkan perbedaan yang signifikan jumlah DAU pada periode sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal, dimana daerah setelah diberlakukannya desentralisasi fiskal mengalami peningkatan alokasi DAU dan pada saat yang terjadi peningkatan total penerimaan daerah. Meningkatnya Total Pengeluaran Pemerintah (TEXP) dan Populasi penduduk (POP) signifikan terhadap semakin meningkatnya dana alokasi umum (DAU) dengan respon yang kurang elastis baik jangka pendek maupun jangka panjang. Hal ini mengindikasikan bahwa dana alokasi umum (DAU) sebagai instrumen desentralisasi fiskal dan sebagai dana penyeimbang dari pemerintah pusat merupakan sumber utama ketersediaan fiskal (fiskal available) di daerah untuk membiayai kebutuhannya. Sehingga meningkatnya kebutuhan fiskal di daerah sangat direspon oleh meningkatnya transfer dana alokasi umum (DAU).

96 Salah satu dampaknya pemerintah daerah menjadi berkurang upayanya terhadap meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) dari pajak dan retribusi, dan akan terjadi kecendrungan pemerintah daerah tergantung terhadap dana alokasi umum (DAU). Angkatan Kerja Daerah (AKED) dan bagi hasil penerimaan sumberdaya alam (BHPJSDA) berpengaruh negatif dan signifikan terhadap Dana Alokasi Umum (DAU), memiliki respon yang elastis baik jangka pendek maupun jangka panjang terhadap DAU. Semakin besar jumlah PDRB dan AKED maka jumlah alokasi DAU semakin kecil yang diterima daerah. Hal ini menunjukkan bahwa daerah telah memiliki ketersediaan fiskal yang baik, sehingga alokasi DAU semakin kecil dari pemerintah pusat. Variabel Dummy Desentralisasi Fiskal (DDF) berpengaruh positif dan signifikan terhadap DAU. Hal tersebut menunjukan bahwa setelah desentralisasi fiskal DAU meningkat dibandingkan sebelum desentralisasi fiskal. Peningkatan DAU setelah desentralisasi fiskal merupakan fenomena yang disebabkan karena setelah desentralisasi fiskal pengeluaran rutin dan pembangunan semakin meningkat hingga 100 persen. Aspek peningkatan alokasi dana rutin dan pembangunan di daerah menunjukkan bahwa daerah merespon baik terhadap kebijakan desentralisasi fiskal terutama dalam peningkatan penerimaan dan pengalokasian fiskal. Harapannya fenomena tersebut mampu memacu pertumbuhan ekonomi daerah dan meningkatnya palayanan publik dari anggaran yang tersedia secara seimbang antar sektor.

97 5.2. 4. Penerimaan Bagi Hasil Pajak Daerah Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Pengeluaran Sektor Ekonomi (PESE), berpengaruh positif dan signifikan terhadap Penerimaan Bagi Hasil Pajak Daerah (BHTAXD). Peubah Dummy Desentralisasi Fiskal (DDF) bernilai negatif yang menunjukkan terjadi penurunan jumlah Penerimaan Bagi Hasil Pajak Daerah pada sesudah desentralisasi fiskal. Bagi hasil pajak merupakan variabel dana perimbangan atau transfer pemerintah pusat, namun menunjukan potensi pemungutan pajak daerah, artinya semakin banyak masyarakat yang sadar bahwa pajak terutama membayar pajak akan meningkatkan perolehan dana bagi hasil pajak. Hasil estimasi mengindikasikan bahwa semakin besar PAD dan PDRB akan berpengaruh terhadap usaha pemerintah daerah untuk meningkatkan ketersediaan fiskal melalui mekanisme peningkatan bagi hasil pajak daerah, dan dalam jangka pendek dan jangka panjang memiliki respon yang elastis terhadap Penerimaan Bagi Hasil Pajak Daerah. Seme ntara Pengeluaran Sektor Ekonomi (PESE), berdampak positif terhadap meningkatnya penerimaan pajak daerah namun respon jangka pendek dan jangka panjangnya tidak elastis terhadap Penerimaan Bagi Hasil Pajak Daerah Penerimaan daerah yang terkait dengan hubungan fiskal pusat dan daerah mempertimbangkan tentang karakteristik penduduk seperti jumlah orang miskin, kondisi sumberdaya daerah, seperti luas wilayah dan sumberdaya alam. Berdasarkan hasil kajian Shah (2000) bahwa secara rinci, faktor-faktor yang menjadi pertimbangan pemerintah untuk mengaloksikan Inpres dan sumbangan daerah otonom (SDO) yaitu jumlah penduduk, jumlah gaji pegawai negeri,

kondisi prasarana, jumlah usia sekolah, kebutuhan obat-obatan, desa tertinggal, dan penduduk miskin. 98 5.2.5. Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Total Pendapatan Daerah (TPED) Pendapatan Asli Daerah merupakan penerimaan daerah dari berbagai usaha Pemda untuk mengumpulkan dana guna keperluan daerah yang bersangkutan dalam membiayai kegiatan rutin maupun pembangunannya yang terdiri dari Pajak Daerah (TAXD), Retribusi Daerah (RETRD) dan Laba Usaha milik daerah (LABUD). Total Pendapatan Daerah berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum dan Khusus (DAU dan DAK), Bagi Hasil Pajak Daerah, Penerimaan Lain-lain dan Sisa Anggaran Tahun Sebelumnya (SAPBDTS). Total Pengeluaran Pemerintah (TEXP) dan Kepadatan Penduduk (KPDK) berpengaruh positif dan signifikan terhadap Pajak Daerah (TAXD). Parameter estimasi peubah Dummy Desentralisasi Fiskal (DDF) bertanda positif dan signifikan yang berarti terdapat perbedaan jumlah pungutan pajak pada periode sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal yang menunjukkan peningkatan jumlah pungutan pajak. Pajak daerah memiliki peranan penting setelah desentralisasi fiskal sebagai sumber PAD, sebelum desentalisasi fiskal sumber PAD didominasi dari retribusi daerah. 5.3. Keragaan Pengeluaran Daerah Blok pengeluaran fiskal daerah ditunjukkan dengan adanya Pengeluaran Rutin Daerah (PERDA), Pengeluaran Pembangunan/Pengeluaran Sektor Ekonomi (PESE), dan Pengeluaran Sektor Pelayanan Sosial Umum (PEPSU). Keragaan

99 Pengeluaran Rutin ditunjukkan oleh Pengeluaran Rutin Gaji (PERGA), dan Pengeluaran Rutin Non Gaji (PERNGA). Sementara keragaan pengeluaran pembangunan/ekonomi ditunjukkan oleh pengeluaran sektor pertanian (PESPER): pertanian dan irigasi. Pengeluaran sektor non pertanian (PESNPER): sektor industri, perdagangan, tenaga kerja, transmigrasi, dan pariwisata. Pengeluaran sektor infrastruktur (PEINF): sektor transportasi dan sektor pembangunan daerah. Kemudian keragaan Pengeluaran Sektor Pelayanan Sosial Umum (PEPSU) ditunjukkan oleh Pengeluaran sektor pelayanan sosial (PEPSO): pendidikan, kesehatan, lingkungan, dan agama. Pengeluaran sektor pelayanan umum (PEPUM): sosial politik, hukum, keama nan, iptek, dan aparatur pemerintahan. 5.3.1. Pengeluaran Rutin Gaji Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK) berpengaruh positif dan signifikan terhadap Pengeluaran Rutin Gaji (PERGA). Interaksi peubah Dummy Desentralisasi Fiskal (DDF) dan Jumlah Pegawai Otonom (JPGO) menunjukkan bahwa peningkatan jumlah pegawai berpengaruh terhadap peningkatan Pengeluaran Rutin Gaji (PERGA) yang signifikan antara periode sebelum dengan sesudah desentralisasi fiskal. Hasil estimasi mengindikasikan bahwa semakin besar PAD, DAU dan DAK akan berpengaruh terhadap usaha pemerintah daerah untuk meningkatkan pengeluaran fiskal melalui mekanisme pengeluaran rutin terutama pengeluaran rutin gaji (PERGA), dan dalam jangka pendek tidak elastis namun dalam jangka panjang memiliki respon yang elastis terhadap penerimaan pengeluaran rutin gaji (PERGA) daerah, namun DAK tidak memiliki respon yang elastis baik jangka pendek maupun jangka panjang terhadap PERGA.

100 Tabel 12. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengeluaran Rutin Gaji, Pengeluaran Rutin non Gaji, Pengeluaran Sektor Pertanian, Pengeluaran Sektor non Pertanian, Pengeluaran Infrastruktur, Pengeluaran Pelayanan Sosial dan Pengeluaran Pelayanan Umum Model Pengeluaran Rutin Gaji (PERGA) Pengeluaran Rutin non Gaji (PERNGA) Pengeluaran Sektor Pertanian (PEPER) Pengeluaran Sektor non Pertanian (PESNPER) Pengeluaran Infrastruktur (PEINF) Pengeluaran Pelayanan Sosial (PEPSO) Pengeluaran Pelayanan Umum (PEPUM) Variabel Parameter Estimasi elastisitas Prob> T Kepatutan Statistik SR LR Pendapatan Asli Daerah (PAD) 0.383819 0.65 1.74 0.1874 R 2 =0.9954 Dana Alokasi Umum (DAU) 0.151388 0.43 1.55 0.0032 Dana Alokasi Khusus (DAK) 0.993192 0.03 0.05 0.0001 Jumlah Pegawai (JPGO) 22.04847 0.029 F hit =2289.6 Dummy Otonomi (DDF) 306035 0.0001 DW = 2.012 Pendapatan Asli Daerah (PAD) 4.826865 0.72 1.12 0.0001 R 2 =0.561 Sisa APBD tahun lalu (SAPBDTS) 0.643801 0.22 0.25 0.0071 Populasi (POP) 1.270016 0.09 0.12 0.0204 F hit =15.78 Dummy Otonomi (DDF) 389767 0.1968 DW = 1.179 Total Pengeluaran Pemerintah (TPED) 0.025489 1.75 1.81 0.0001 R 2 =0.8461 Penyerapan Tenaga kerja Pertanian (PTKP) 0.355056 0.55 0.62 0.0118 Dummy Otonomi (DDF) 49899 0.0026 F hit =68.65 Lag PESPER 0.061055 0.2873 DW = 1.371 Total Pendapatan Daerah (TPED) 0.058006 1.03 1.24 0.0001 R 2 =0.8979 Penyerapan Tenaga Kerja non Pertanian (PTKNP) 0.156778 0.67 0.82 0.4078 Sektor Perdagangan (PDGN) -0.004609 0.51 0.75 0.0889 F hit =109.9 Dummy Otonomi (DDF) 108565 0.0005 DW = 1.568 Total Pendapatan Daerah (TPED) 0.187368 1.09 1.14 0.0001 R 2 =0.915 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) 0.000038569 0.98 1.01 0.0652 F hit =182.6 Luas Wilayah(LWIL) 6.069424 0.13 0.17 0.0505 DW = 1.643 Pendapatan Asli Daerah (PAD) 2.724481 0.24 0.29 0.0001 R 2 =0.6765 Jumlah desa/kelurahan (JEDEKE) 108.377488 0.77 1.08 0.5312 Sektor Pendidikan (PDDK) 3.34776 0.88 1 0.1057 Sektor Kesehatan (KSHT) 4.373712 0.0343 F hit =14.63 Lag PEPSO 0.180812 0.0242 DW = 1673 Pendapatan Asli Daerah (PAD) 10.414599 0.66 0.71 0.0001 R 2 =0.8496 Sisa APBD tahun sebelumnya (SAPBDTS) 0.372938 0.05 0.14 0.0147 Populasi (POP) 0.706894 0.0312 Dummy Otonomi (DDF) -531437 0.3796 F hit =49.07 Lag PEPUM 0.055978 0.2874 DW = 1.060

101 Hal ini mengindikasikan bahwa dari pengalokasian ketersediaan fiskal (fiscal available) terhadap pengeluaran rutin gaji sangat tergantung dari besar jumlah Pendapatan Asli Daerah (PAD), dan Dana Alokasi Umum (DAU). Semakin tinggi PAD dan DAU, maka akan berdampak positif terhadap pengeluaran rutin gaji. 5.3.2. Pengeluaran Rutin Non Gaji Pendapatan Asli Daerah (PAD), Sisa Anggaran Tahun Sebelumnya (SAPBDTS), dan Jumlah Penduduk (POP) berpengaruh positif dan signifikan terhadap jumlah pengeluaran Rutin Non Gaji (PERNGA). Peubah Dummy Desentralisasi Fiskal (DDF) menunjukkan perbedaan yang signifikan terhadap Pengeluaran Rutin Non Gaji (PERNGA) antara periode sebelum dengan sesudah desentralisasi fiskal. Hasil estimasi mengindikasikan bahwa semakin besar Pendapatan Asli Daerah (PAD) akan berpengaruh terhadap usaha pemerintah daerah untuk meningkatkan pengeluaran fiskal melalui mekanisme pengeluaran rutin terutama pengeluaran Rutin Non Gaji (PERNGA). Komponen pengeluaran rutin non gaji tersebut meliputi belanja barang, biaya pemeliharaan, belanja perjalanan dinas, dan belanja lain-lain. Dalam jangka pendek tidak elastis namun dalam jangka panjang memiliki respon yang elastis terhadap penerimaan Pengeluaran Rutin Non Gaji (PERNGA) daerah. Sementara Sisa Anggaran Tahun Sebelumnya (SAPBDTS) dan Jumlah Penduduk (POP) memiliki hubungan positif terhadap meningkatnya pengeluaran rutin gaji namun respon jangka pendek dan jangka panjangnya tidak elastis terhadap pengeluaran Rutin Non Gaji.

102 Hal ini mengindikasikan bahwa dari pengalokasian ketersediaan fiskal (fiscal available) terhadap pengeluaran Rutin Non Gaji sangat tergantung dari besar jumlah penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Semakin tinggi PAD, maka akan berdampak positif terhadap pengeluaran Rutin Non Gaji. Demikian pula halnya dengan kontribusi SAPBDTS terhadap Pengeluaran Rutin Non Gaji. 5.3.3. Pengeluaran Sektor Pertanian Total Penerimaan Daerah (TPED), Jumlah Penyerapan Tenaga Kerja Pertanian (PTKP) berpengaruh positif dan signifikan terhadap Pengeluaran Sektor Pertanian (PESPER). Jumlah Pengeluaran Sektor Pertanian tahun sebelumnya (LPESPER) menjadi pertimbangan besarnya alokasi sektor tersebut. Peubah Dummy Desentralisasi Fiskal (DDF) menunjukkan perbedaan yang signifikan Pengeluaran Sektor Pertanian pada periode sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal. Total Penerimaan Daerah (TPED) memberikan pengaruh signifikan terhadap Pengeluaran Sektor Pertanian (PESPER) dan memiliki respon positif serta respon yang elastis baik jangka pendek maupun jangka panjang. Sementara Penyerapan Tenaga Kerja Pertanian (PTKP) memiliki respon yang tidak elastis terhadap pengeluaran sektor pertanian baik jangka pendek maupun jangka panjang. Meningkatnya total penerimaan daerah (TPED) signifikan dan memiliki respon yang elastis terhadap meningkatnya pengeluaran sektor pertanian (PESPER). Berkaitan dengan hubungan jumlah Pengeluaran Rutin Daerah (PERDA) dan Pengeluaran Sektor Pertanian (PESPER), harus ada kebijakan dari pemerintah daerah untuk proporsional dalam pengeluaran rutin maupun pembangunan agar

103 tidak terjadi gap alokasi sektor terutama sektor pertanian. Dari hasil analisis alokasi anggaran APBD menunjukan bahwa di Provinsi Riau baik sebelum maupun sesudah desentralisasi fiskal (1997-2000) dan (2001-2004) alokasi pengeluaran sektor pertanian tidak ada perubahan yang signifikan. Padahal kenyataan riil sektor menunjukkan bahwa sektor pertanian harus mendapatkan penanganan yang optimal guna meningkatkan perekonomian daerah, terutama dalam hal alokasi anggaran dalam rangka meningkatkan penyerapan tenaga kerja sektor pertanian dan produksi. 5.3.4. Pengeluaran Sektor Produksi Non Pertanian Total Penerimaan Daerah (TPED), berpengaruh positif dan signifikan terhadap jumlah Pengeluaran Sektor Non Pertanian (PESNPER). Jumlah Penyerapan Tenaga Kerja Non Pertanian (PTKNP) berpengaruh positif dan signifikan terhadap Pengeluaran Pembangunan Sektor Non Pertanian. Peubah Dummy Desentralisasi Fiskal (DDF) menunjukkan perbedaan yang signifikan Pengeluaran Sektor Non Pertanian pada periode sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal. Total penerimaan daerah menjadi bahan pertimbangan strategis dalam kaitannya pengalokasian terhadap sektor non pertanian, yang berarti kebijakan pengalokasian sektor non pertanian harus mampu memberikan pertumbuhan yang signifikan terhadap sektor pertanian, sehingga kedua sektor ini mampu berjalan dengan baik. Jumlah pengeluaran tahun sebelumnya (LPESNPER) berpengaruh nyata terhadap Pengeluaran Pembangunan Sektor Pertanian. Total Pendapatan Daerah (TPED) signifikan terhadap pengeluaran sektor non pertanian (PESNPER) dan memiliki respon yang elastis dalam jangka pendek

104 maupun jangka panjang serta hubungan yang positif. Jumlah Penyerapan Tenaga Kerja Non Pertanian (PTKNP) tidak elastis baik jangka pendek maupun jangka panjang terhadap PESNPER. Hal ini menunjukan bahwa pengeluaran sektor non pertanian sangat dipengaruhi oleh besarnya Total Penerimaan Daerah (TPED), sementara Jumlah Penyerapan Tenaga Kerja Non Pertanian (PTKNP) berpengaruh positif namun tidak signifikan. 5.3.5. Pengeluaran Infrastruktur Total Pendapatan Daerah (TPED) signifikan terhadap pengeluaran sektor infrastruktur (PEINF) dan memiliki respon yang elastis dalam jangka pendek maupun jangka panjang serta hubungan yang positif. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) memiliki respon yang elastis dalam jangka panjang, dan berbeda halnya dengan LWIL tidak elastis baik jangka pendek maupun jangka panjang terhadap pengeluaran infrastruktur. Hal ini menunjukan bahwa semakin tinggi TPED, PDRB dan LWIL akan berdampak terhadap peningkatan alokasi fiskal pengeluaran infrastuktur, sebaliknya semakin rendah TPED, PDRB dan LWIL akan berdampak negatif terhadap pengeluaran infrastruktur. Berdasarkan hasil analisis di atas, guna memacu pertumbuhan ekonomi daerah, maka pemerintah daerah melalui mekanisme pengajuan APBD harus mempertimbangkan dengan baik terhadap pengeluaran infrastruktur. Kenyataan menunjukkan bahwa Provinsi Riau memiliki keterhambatan laju pertumbuhan ekonominya karena minimnya ketersediaan infrastruktur daerah khususnya transportasi (jalan). Hal ini berpengaruh secara operasional terhadap distribusi sumberdaya pertanian maupun non pertanian, sehingga tingkat mobilisasi

105 ekonomi dan teknis mengalami keterhambatan, terutama sektor pertanian. Alokasi dana APBD harus mampu meningkatkan ketersediaan infrastruktur yang mampu diakses oleh publik dengan merata. 5.3.6. Pengeluaran Pelayanan Sosial Pendapatan Asli Daerah (PAD), Jumlah Penduduk (POP), Jumlah Desa dan Kelurahan (JDEKE), Pengeluaran pemerintah bidang pendidikan (PDDK) dan kesehatan (KSHT) berpengaruh positif dan signifikan terhadap Pengeluaran Pelayanan Sosial (PEPSO). Peubah Dummy Desentralisasi Fiskal (DDF) menunjukkan ada perbedaan yang signifikan Pengeluaran Pelayanan Sosial pada periode sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal. Pengeluaran LPEPSO tahun sebelumnya berpengaruh signifikan terhadap pengeluaran sektor pelayanan sosial. 5.3.7. Pengeluaran Pelayanan Umum Meningkatnya jumlah Pendapatan Asli Daerah (PAD) nyata berpengaruh terhadap meningkatnya pengeluaran sektor pelayanan umum (PEPUM), memiliki respon yang tidak elastis baik jangka pendek maupun jangka panjang. Sisa Anggaran Tahun Sebelumnya (SAPBDTS) berpengaruh positif terhadap pengeluaran sektor pelayanan umum dan tidak elastis. Hasil estimasi di atas menunjukkan bahwa bahwa faktor yang utama menentukan pengeluaran fiskal daerah baik rutin maupun sektor-sektor pembangunan adalah jumlah penduduk, pengeluaran bidang pendidikan dan kesehatan dan penerimaan daerah itu sendiri. Peningkatan jumlah pengeluaran rutin gaji juga meningkat signifikan setelah pelaksanaan desentralisasi fiskal dimana gaji pemerintah yang masuk pada anggaran rutin pusat kini dibebankan

106 pada anggaran rutin daerah. Faktor luas wilayah dan kegiatan perekonomian juga berpengaruh positif terhadap pengeluaran pembangunan. Berbagai kajian sejalan dengan temuan penelitian ini yaitu besarnya belanja rutin tergantung dari jumlah penduduk, total pengeluaran pemerintah, jumlah pendapatan. Sedangkan belanja pembangunan terutama tergantung pada jumlah penerimaan pemerintah (Azis, 1984 ; Hanani, 2000; Brodjonegoro dkk, 2000). 5.4. Keragaan Perekonomian Daerah Keragaan perekonomian daerah ditunjukkan oleh, Investasi Daerah (INVD), Ekspor Daerah (EXPRD), Impor Daerah (IMPRD), Produksi Sektor Pertanian (PRSP) dan Produksi Sektor Non Pertanian (PRSNP). 5.4.1. Investasi Daerah Pendapatan Asli Daerah (PAD), Upah Minimum Regional (UMR) berpengaruh negatif terhadap Investasi (INVD), sebaliknya Retribusi Daerah (RETRD) berpengaruh positif terhadap investasi daerah. Peubah Dummy Desentralisasi Fiskal (DDF) menunjukkan terjadi penurunan setelah desentralisasi fiskal terhadap Investasi daerah (INVD). Hasil analisis menunjukkan bahwa tingkat Retribusi Daerah (RETRD) berhubungan negatif terhadap Investasi Daerah (INVD). Jika retribusi daerah meningkat, maka akan mengurangi tingkat investasi daerah, sebaliknya jika retribusi daerah menurun, membuat kondisi kondusif bagi investasi daerah. Sementara UMR dan PAD berdampak positif dan signifikan terhadap investasi daerah namun memiliki respon tidak elastis pada jangka pendek namun elastis pada jangka panjang terhadap Investasi Daerah (INVD).

107 Tabel 13. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Investasi Daerah, Ekspor Daerah, Impor Daerah, Peroduksi Sektor Pertanian dan Produksi Sektor non Pertanian Model Investasi Daerah (INVD) Ekspor Daerah (EXPRD) Impor Daerah (IMPRD) Produksi Sektor Pertanian (PRSP) Produksi Sektor non Pertanian (PRSNP) Variabel Parameter Estimasi Elastisitas Prob> T Kepatutan Statistik SR LR Upah Minimum Regional (UMR) 190.651759 0.28 0.39 0.5431 Pendapatan Asli Daerah (PAD) 55.823292 0.55 0.62 0.3297 R 2 =0.888 Retribusi Daerah (RETRD) -270.73099 0.77 1.05 0.1028 F hit =2.23 Dummy Otonomi (DDF) -11340105 0.0382 DW = 1.768 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) 0.900305 0.68 0.98 0.0001 R 2 =0.967 Exchange Rate (EXR) 11308 0.77 1.06 0.4706 F hit =543.3 Lag (EXPRD) 0.056105 0.1222 DW = 1.29 PDRB -0.563812 0.98 1.01 0.0001 R 2 =0.712 Ekspor Daerah (EXPRD) 0.645449 0.51 0.65 0.0001 F hit =47.75 Lag IMPRD 0.137054 0.0959 DW = 1.621 UPSP -105.42202 0.65 0.88 0.0025 R 2 =0.548 Populasi (POP) 46.905626 0.87 1.02 0.0001 F hit =20.67 Dummy Otonomi (DDF) 9170293 0.0407 DW = 1.37 UPSNP (Upah Sektor non Pertanian) 109.972294 1.18 1.33 0.0272 R 2 = 0.983 Total Pengeluaran Sektoral (TPSEK) 0.997961 0.88 1.21 0.0001 F hit =588.14 Dummy Otonomi (DDF) -8824538 0.1653 DW = 0.510 Hubungan yang signifikan antara investasi daerah dan pengeluaran pembangunan sektor ekonomi sejalan dengan studi Lin dan Liu (2000) yang mengatakan bahwa pengeluaran pemerintah tidak hanya mempengaruhi sisi permintaan agregat melalui mekanisme konsumsi pemerintah (G) tetapi juga mempengaruhi sisi produksi melalui pembentukan modal dengan pilihan-pilihan infrastruktur dan alokasi pembiayaan sektor produksi yang lebih produktif. 5.4.2. Ekspor Daerah Ekspor daerah merupakan salah satu sumber devisa daerah. Total Pengeluaran Pemerintah (TEXP) dan PDRB berpengaruh positif dan signifikan terhadap Ekspor Daerah (EXPRD). PDRB berpengaruh signifikan terhadap Ekspor Daerah (EXPRD) namun memiliki respon tidak elastis baik pada jangka

108 pendek maupun jangka panjang serta memiliki hubungan positif. Semakin meningkat nilai PDRB akan mampu meningkatkan jumlah ekspor daerah, terutama dari aspek produksi sektor pertanian dan non pertanian (produksi sektoral). 5.3.3. Impor Daerah PDRB, nilai ekspor daerah (EXPRD) bertanda positif dan berpengaruh signifikan terhadap Impor Daerah (IMPRD). PDRB memiliki respon yang elastis dalam jangka panjang, hal ini menunjukkan bahwa PDRB yang di dalamnya ada total produksi sektoral memberikan pengaruh signifikan terhadap tingkat Impor daerah, semakin meningkat nilai produksi sektoral maka akan mangurangi tingkat impor, bahkan memiliki kecendrungan untuk ekspor. 5.3.4. Produksi Sektor Pertanian Upah Tenaga Kerja Sektor Pertanian (UPSP), yang menjadi variabel penjelas untuk Produksi Sektor Pertanian (PRSP) menunjukkan pengaruh negatif sedangkan populasi menunjukkan pengaruh yang positif terhadap PRSP. Sementara populasi berpengaruh signifikan terhadap produksi sektor pertanian dan memiliki respon elastis dalam jangka panjang. Hal ini menunjukkan bahwa semakin besar populasi daerah terhadap sektor pertanian akan mampu meningkatkan jumlah produksi sektor pertanian dalam jangka panjang. 5.3.5. Produksi Sektor non Pertanian Upah Tenaga Kerja Sektor Non Pertanian (UPSNP), Total Pengeluaran Sektoral yang menjadi variabel penjelas untuk Produksi Sektor Non Pertanian

109 (PRSNP) menunjukkan pengaruh positif. Sedangkan pengeluaran sektor perdagangan berpengaruh negatif. Hasil estimasi memperlihatkan bahwa peningkatan tingkat upah akan meningkatkan produktifitas sektor non pertanian begitu juga pengeluaran pemerintah pada sektor ini. Sedangkan DDF yang bertanda negatif mengindikasikan ada penurunan produksi sektor non pertanian setelah desentralisasi fiskal. 5.5. Tingkat Kemiskinan Tingkat kemiskinan digambarkan dengan melihat Jumlah Penduduk Miskin Perkotaan (MISKT) dan Jumlah Penduduk Miskin Perdesaan. Adapun Jumlah penduduk miskin (MISTOT) ditunjukkan dengan penjumlahan MISKT dan MISDS. 5.5.1. Jumlah Penduduk Miskin Perkotaan Dana Alakosi Umum (DAU), Tingkat Upah (UPSNP) dan Penyerapan Tenaga Kerja (PTKNP) serta DDF berpengaruh negatif terhadap Jumlah Penduduk Miskin Perkotaan (MISKT) sedangkan POP dan Pengeluaran Sosial dan Umum bernilai positif dan signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin di perkotaan dapat berkurang dengan peningkatan Tingkat Upah (UPSNP) dan peningkatan penyerapan tenaga kerja (PTKNP). Pembukaan lapangan kerja di perkotaan dan pemberian upah yang layak akan mengurangi beban kemiskinan di perkotaan.

110 5.5.2. Jumlah Penduduk Miskin Perdesaan Pengeluaran Sektor Ekonomi (PESE) dan Populasi signifikan terhadap pengeluaran sektor infrastruktur (PEINF) dengan hubungan yang positif. Sedangkan Bagi Hasil Pajak Daerah (BHPJSDA), DAU dan Penyerapan Tenaga Kerja (PTKP) berpengaruh negatif dan signifikan terhadap MISDS. Tabel 14. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Jumlah Penduduk Miskin Perkotaan dan Jumlah Penduduk Miskin Perdesaan Model Jumlah Penduduk Miskin Perkotaan (MISKT) Jumlah Penduduk Miskin Perdesaan (MISDS) Variabel Parameter Estimasi Elastisitas SR LR Prob> T Kepatutan Statistik Dana Alokasi Umum (DAU) -0.00000510 0.234 0.02954 R 2 =0.9208 Populasi (POP) 0.000022058 0.0777 F hit =92.60 Upah Sektor non Pertanian (UPSNP) -0.000127 0.0083 DW = 1.131 Pengeluaran Sektor Umum (PEPSU) 0.000005282 1.13 1.45 0.1785 Penyerapan Tenaga Kerja non Pertanian (PTKNP) -0.00016 0.0027 Dummy Otonomi (DDF) -100.876347 0.0001 Pengeluaran Sektor Ekonomi (PESE) 0.000039084 0.0001 Bagi Hasil Pajak Sumberdaya Alam (BHPJSDA) -0.00001714 1.412 1.4205 0.0001 R 2 =0.981 Dana Alokasi Umum (DAU) -0.00002121 0.02126 Populasi (POP) 0.000037548 0.4414 F hit =424.27 Penyerapan Tenaga Kerja Pertanian (PTKP) -0.000177 0.0110 DW = 0.650 Dummy Otonomi (DDF) -368.005782 0.5109 Hal ini menunjukan bahwa meningkatnya BHPJSDA, DAU dan PTKP akan berdampak terhadap penurunan jumlah penduduk miskin di perdesaan Berdasarkan hasil analisis di atas, guna mengurangi tingkat kemiskinan, maka pemerintah daerah harus membuka lapangan kerja seluas-luasnya baik di perkotaan maupun perdesaan. Hal ini akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja yang berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.