V. HASIL DAN PEMBAHASAN. 5.1 Evaluasi Lahan TPA Galuga dan Kawasan Sekitarnya

dokumen-dokumen yang mirip
III. METODOLOGI PENELITIAN

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

Syarat Penentuan Lokasi TPA Sampah

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 1. Karakteristik Lahan Kesesuaian Tanaman Karet

II. TINJAUAN PUSTAKA

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Kondisi Eksisting Fisiografi Wilayah Studi. wilayahnya. Iklim yang ada di Kecamatan Anak Tuha secara umum adalah iklim

TINJAUAN PUSTAKA. yang mungkin dikembangkan (FAO, 1976). Vink, 1975 dalam Karim (1993)

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan

TINJAUAN PUSTAKA. Lahan merupakan sumberdaya alam strategis bagi pembangunan di sektor

TINJAUAN PUSTAKA. A. Ubi Jalar (Ipomoea batatas L.)

I. PENDAHULUAN. Nanas merupakan tanaman buah berupa semak yang mempunyai nama ilmiah

TANAH / PEDOSFER. OLEH : SOFIA ZAHRO, S.Pd

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Letak Geografis. Daerah penelitian terletak pada BT dan

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

ANALISIS TANAH SEBAGAI INDIKATOR TINGKAT KESUBURAN LAHAN BUDIDAYA PERTANIAN DI KOTA SEMARANG

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah

BAB III METODE PENELITIAN. adanya dan mengungkapkan fakta-fakta yang ada, walaupun kadang-kadang

HASIL DAN PEMBAHASAN. perlakuan Pupuk Konvensional dan kombinasi POC 3 l/ha dan Pupuk Konvensional

II. TINJAUAN PUSTAKA A.

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 1. Lahan pertanian intensif

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN. 6.1 Deskripsi Lingkungan Permukiman Sekitar Tempat Pembuangan Akhir Sampah Galuga Berdasarkan Penilaian Responden

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

I. TINJAUAN PUSTAKA. bahan induk, relief/ topografi dan waktu. Tanah juga merupakan fenomena alam. pasir, debu dan lempung (Gunawan Budiyanto, 2014).

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN

Lampiran 1. Deskripsi Profil

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. terletak di Kabupaten Wonogiri, Provinsi Jawa Tengah. Kecamatan

Gambar 3. Peta Orientasi Lokasi Studi

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Tema : Ketidaksesuaian Penggunaan Lahan

KAJIAN KORELASI KARAKTERISTIK AGROEKOLOGI TERHADAP PRODUKSI KELAPA SAWIT DAN KARET DI PROVINSI LAMPUNG

Pemetaan Tanah.

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Secara Geografis Kota Depok terletak di antara Lintang

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Lampiran 1 Hasil pengamatan kedalaman tanah dan batuan (bedrock) untuk pemasangan peralatan pengamatan hidrokimia di DAS mikro Cakardipa.

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL...

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. merupakan kawasan konservasi tanah dan air bagi kawasan Bopunjur (Bogor,

Pemantauan Kerusakan Lahan untuk Produksi Biomassa

Laporan Status Lingkungan Hidup Daerah 2013 BAB I PENDAHULUAN

IV. TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu. Analisis terhadap sampel tanah dilakukan di Laboratorium Tanah Fakultas

Tabel Lampiran 1. Sifat Kimia Tanah di Wilayah Studi Penambangan PT Kaltim Prima Coal

KONDISI TANAH DAN TEKNIK REHABILITASI LAHAN PASCA-ERUPSI GUNUNG MERAPI. Deddy Erfandi, Yoyo Soelaeman, Abdullah Abas Idjuddin, dan Kasdi Subagyono

1.5. Lingkup Daerah Penelitian Lokasi, Letak, Luas dan Kesampaian Daerah Penelitian Lokasi dan Letak Daerah Penelitian...

BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April - Juli 2013 di Laboratorium

BAB III PROSEDUR PENELITIAN. penelitian dengan baik dan benar, metode penelitian juga merupakan suatu cara

MITIGASI BENCANA ALAM II. Tujuan Pembelajaran

Pengelolaan Emisi Gas pada Penutupan TPA Gunung Tugel di Kabupaten Banyumas. Puji Setiyowati dan Yulinah Trihadiningrum

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Kondisi Eksisting Fisiografi Wilayah Studi

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teoritis Gambaran Umum Lahan Pertanian di Area Wisata Posong Desa Tlahap terletak di Kecamatan Kledung,

LEMBAR KERJA SISWA. No Jenis Tanah Jenis tanaman Pemanfaatannya

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Karakteristik dan Fisiografi Wilayah. lingkungan berhubungan dengan kondisi fisiografi wilayah.

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Karakteristik dan Geofisik Wilayah. genetik tanaman juga dipengaruhi oleh faktor eksternal yang berupa nutrisi

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III LANDASAN TEORI A. Hidrologi Menurut Triatmodjo (2008), Hidrologi adalah ilmu yang berkaitan dengan air di bumi, baik mengenai terjadinya,

LAMPIRAN II HASIL ANALISA SWOT

TINJAUAN PUSTAKA. A. Material Vulkanik Merapi. gunung api yang berupa padatan dapat disebut sebagai bahan piroklastik (pyro = api,

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

Klasifikasi Kemampuan Lahan

V. EVALUASI KEMAMPUAN LAHAN UNTUK PERTANIAN DI HULU DAS JENEBERANG

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENGELOLAAN EMISI GAS PADA PENUTUPAN TPA GUNUNG TUGEL DI KABUPATEN BANYUMAS

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. tersebut relatif tinggi dibandingkan daerah hilir dari DAS Ciliwung.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. TINJAUAN PUSTAKA. produk tanaman yang diinginkan pada lingkungan tempat tanah itu berada.

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan sumber daya yang sangat penting untuk kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

HASIL DAN PEMBAHASAN. Sifat-sifat Tanah. Sifat Morfologi dan Fisika Tanah. Sifat morfologi dan fisika tanah masing-masing horison pada pedon pewakil

BAB III METODOLOGI PENELITIAN DAN PELAKSANAAN PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA. legend of soil yang disusun oleh FAO, ultisol mencakup sebagian tanah Laterik

BAB I PENDAHULUAN. fasilitas perkotaan di beberapa kota besar di Indonesia timbul berbagai masalah yang

BAB III METODE PENELITIAN

III. BAHAN DAN METODE

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III LANDASAN TEORI

PEMANTAUAN, PELAPORAN DAN EVALUASI

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kopi merupakan tanaman yang dapat mudah tumbuh di Indonesia. Kopi

BAB III METODE PERECANAAN. 7044`55011`` sampai 8026`35045`` Lintang Selatan. 3.2 Lokasi

KEMAMPUAN LAHAN DI KECAMATAN SIMO KABUATEN BOYOLALI PROPINSI JAWA TENGAH. Skripsi S-1 Program Studi Geografi

TATA CARA PENELITIAN

penyediaan prasarana dan sarana pengelolaan sampah (pasal 6 huruf d).

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

TATA CARA PEMBUATAN RENCANA INDUK DRAINASE PERKOTAAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Rumusan Masalah

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di lahanpertanaman ubi kayu yang telah ditanami

Gambar 3 Peta lokasi penelitian terhadap Sub-DAS Cisangkuy

Transkripsi:

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Evaluasi Lahan TPA Galuga dan Kawasan Sekitarnya Menilai suatu lahan/lokasi sesuai atau tidak dijadikan sebagai lahan untuk TPA memerlukan kaidah-kaidah ilmiah baik dari aspek fisik, lingkungan, dan sosial-ekonomi. Kajian ilmiah yang dijadikan sebagai indikator pembangunan dan penempatan suatu TPA di suatu tempat tidak terlepas dari peran semua pihak terutama pemerintah sebagai instansi tertinggi. Selain harus memenuhi persyaratan lingkungan, pengelola tempat pembuangan akhir sampah juga harus memperhatikan upaya-upaya alternatif terkait dengan pengelolaan sampah terencana dari hulu ke hilir. Evaluasi lahan untuk TPA Galuga dan kawasan sekitarnya berpedoman kepada kriteria yang ditentukan dalam Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007), dan Widiatmaka et al. (2004). Parameter utama seperti kesesuaian lahan untuk lokasi tempat pembuangan akhir sampah berbasis daya dukung lahan dan lingkungan provinsi DKI (Lampiran 12-17) meliputi: geologi, topografi/fisiografi, jenis tanah, tekstur tanah, drainase, dan penggunaan lahan, kriteria atau parameter lainnya juga harus diperhatikan. Kriteria kesesuaian lahan untuk tempat pembuangan sampah secara terbuka (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007) diantaranya adalah: ancaman banjir, kedalaman sampai hamparan batuan, kedalaman sampai padas keras, permeabilitas, muka air tanah meliputi apparent dan perched, kemiringan lereng, serta longsor menjadi kriteria lahan lainnya yang menjadi kajian. Kriteria ini dinilai sangat penting untuk dijadikan referensi pembangunan suatu TPA. Berdasarkan parameter tersebut, penilaian lahan atau evaluasi lahan di TPA Galuga dan kawasan sekitarnya dikelompokkan ke dalam beberapa kategori, yaitu: lokasi/lahan yang sangat memenuhi syarat (S1), lokasi/lahan yang cukup memenuhi syarat (S2), lokasi/lahan yang memenuhi syarat secara marginal (S3), dan di luar lokasi-lokasi yang tidak memenuhi syarat (N). Secara umum, pemberian harkat kelas kesesuaian lahan untuk kawasan TPA Galuga dan kawasan sekitarnya disajikan pada Tabel 17. 53

5.1.1 Evaluasi Lahan TPA Galuga dan Kawasan Sekitarnya Berdasarkan Geologi/Bahan Induk Bahan induk banyak mempengaruhi sifat tanah dengan tingkat yang bervariasi. Secara umum, semakin muda tanah semakin besar pengaruh bahan induk. Pada tanah muda pengaruh bahan induk tampak jelas terhadap tekstur. Namun, hal ini tidak berlaku pada tanah-tanah yang sudah berkembang lanjut. Kriteria berdasarkan geologi/bahan induk dinilai penting dijadikan sebagai kriteria lahan untuk tempat pembuangan akhir sampah karena lahan tersebut relatif harus kedap air untuk mencegah terjadinya kontaminasi air bawah tanah. Kawasan TPA Galuga dan sekitarnya memiliki bahan induk tuf andesit. Bahan induk tuf andesit merupakan bahan induk yang berasal dari tuf volkan intermedier yang bersifat andesit. Tanah dengan bahan induk ini relatif memiliki struktur yang kuat dan tekstur yang cenderung halus. Berdasarkan Widiatmaka et al. (2004) lahan dengan bahan induk tuf andesit dikelaskan pada lahan kelas S1 (sangat sesuai) untuk dijadikan sebagai TPA (Lampiran 12). Berdasarkan hal itu, lahan TPA Galuga dan kawasan sekitarnya dinilai sangat sesuai (S1), karena bahan induk tuf andesit cukup mampu menahan hasil dekomposisi sampah. 5.1.2 Evaluasi Lahan TPA Galuga dan Kawasan Sekitarnya Berdasarkan Topografi/Fisiografi Kesesuaian topografi/fisiografi didasarkan pada kondisi fisik wilayah baik faktor ketinggian maupun kemiringan lereng. Topografi/fisiografi perlu diperhatikan dalam penentuan pembangunan suatu lokasi TPA. Bentuk wilayah akan mempengaruhi tingginya gunungan sampah atau timbunan sampah. Fisiografi datar sangat sesuai dijadikan sebagai lokasi TPA karena pertimbangan lingkungan dan aksesibilitas. Sebaliknya, jika topografi wilayah curam atau terjal maka akan rawan terjadinya longsor baik longsor dari gunungan sampah maupun longsor dari lahan. Lokasi TPA sebaiknya tidak berada pada daerah cekungan, karena wilayah dengan karakteristik topografi seperti ini apabila terjadinya 54

genangan dari air limbah sampah maka akan mudah menimbulkan pencemaran di lingkungan sekitar. Kawasan TPA Galuga berada pada ketinggian 170-218 mdpl (Gambar 11) dengan tingkat kemiringan lereng <15% (Gambar 12). Artinya, kawasan TPA Galuga berada pada fisiografi agak miring/bergelombang. Analisis terhadap kondisi eksisting lahan dilakukan di 3 (tiga) titik pengamatan di sekitar TPA Galuga. Titik-titik tersebut dinilai cukup mewakili dari lokasi areal TPA Galuga secara keseluruhan. Titik tersebut yaitu T2IPS, T3IPS, dan T4IPS (Gambar 17). Berdasarkan hasil pengamatan dan analisis peta ketinggian dan peta lereng Desa Galuga, titik-titik tersebut berada pada ketinggian 230-250 mdpl dengan tingkat kemiringan lereng 8-15%, dan >15 % (Tabel 12). Gambar 17. Peta Tiga Titik Pengamatan dalam Evaluasi Lahan TPA Galuga 55

Nama Tabel 12. Ketinggian dan Kemiringan Lereng Pada Tiga Titik Pengamatan E Koordinat S Ketinggian (mdpl) Kemiringan Lereng (%) Bentuk Wilayah T2IPS 106 0 38'39,9'' 06 0 34'02,2'' 233 8-15 Agak miring/ bergelombang T3IPS 106 0 38'28,6'' 06 0 34'03,9'' 246 >15 Miring/berbukit T4IPS 106 0 38'30,7'' 06 0 33'55,4'' 247 8-15 Agak miring/ Bergelombang Pada tiga titik pengamatan, daerah sekitar TPA Galuga berada di wilayah topografi/fisiografi agak miring/bergelombang sampai miring/berbukit. Berdasarkan peta lereng Desa Galuga, areal buangan TPA Galuga berada pada wilayah dengan kemiringan lereng <15% (datar-bergelombang). Berdasarkan Widiatmaka et al. (2004), lahan dengan fisiografi datar sampai bergelombang dikelaskan pada lahan kelas S2 (cukup sesuai) untuk dijadikan sebagai TPA (Lampiran 13). Berdasarkan hal ini, dengan kriteria modifikasi TPA Galuga dan kawasan sekitarnya dikelaskan kepada kategori kelas S3 (sesuai marginal). Artinya, upaya atau alternatif lain yang baik dan terencana terkait manajemen pengelolaan sampah harus dilakukan apabila proses pengelolaan sampah di TPA ini terus akan berlangsung. Sebagai contoh pengelolaan lahan dengan cara mendatarkan bentuk wilayah yang bergelombang atau dengan cara mengoptimalkan sistem buangan air limbah karena hal ini akan dapat meminimalkan ataupun mencegah dampak terhadap pencemaran lingkungan sekitar. 5.1.3 Evaluasi Lahan TPA Galuga dan Kawasan Sekitarnya Berdasarkan Jenis Tanah Menurut Peta Tanah Bogor (PPT, 1992), TPA Galuga berada pada kawasan dengan jenis tanah latosol cokelat kemerahan (Gambar 13). Berdasarkan Widiatmaka et al. (2004), lahan dengan jenis tanah latosol cokelat kemerahan dikelaskan pada kelas S3 (sesuai marginal) untuk dijadikan sebagai lokasi TPA (Lampiran 14). Namun, berdasarkan jenis tanah ini dilakukan dengan kriteria modifikasi, sehingga evaluasi lahan TPA Galuga dan kawasan sekitarnya dikelaskan pada kelas S1 (sangat sesuai) untuk TPA. Penilaian sampai pada kelas 56

S1dilihat dari karakteristik tanah meliputi sifat fisika dan kimia tanah dan sifatsifat tanah lainnya, diantaranya: kedalaman solum tanah, tanah yang bukan jenuh air, serta tanah yang cukup berkembang. 5.1.4 Evaluasi Lahan TPA Galuga dan Kawasan Sekitarnya Berdasarkan Sifat-Sifat Tanah 5.1.4.1 Sifat Kimia Tanah TPA Galuga dan Kawasan Sekitarnya Tanah latosol cokelat kemerahan di TPA Galuga merupakan tanah yang telah mengalami perkembangan lanjut atau tanah tua. Hasil analisis menunjukkan bahwa tanah ini relatif masam dengan kisaran ph 4-5. Tingkat kesuburan tanah ini kurang baik dimana reaksi tanah secara umum rendah yang ditemukan di seluruh lapisan dengan C-organik dan N-total rendah dari lapisan atas sampai lapisan bawah. Nilai C-organik tanah di lapisan atas sebesar 3% dan semakin ke lapisan bawah semakin rendah. Hal serupa juga berlaku terhadap N-total di lapisan atas sebesar 0,26% dan semakin ke lapisan bawah semakin rendah. Hal ini juga terlihat dari nilai KTK dan KB yang cukup rendah. KTK merupakan jumlah total kation yang dapat dipertukarkan (cation exchangable) pada permukaan koloid yang bermuatan negatif. Kation diserap oleh koloid tanah karena adanya muatan listrik. Nilai KTK tanah latosol cokelat kemerahan berada pada kisaran 15-21 me/100g. Nilai ini menunjukkan nilai KTK yang baik apabila tanah dengan nilai KTK tersebut dijadikan sebagai TPA. Artinya, kemampuan tanah latosol cokelat kemerahan dalam menjerap kation yang beracun hasil dari tumpukan sampah cukup bagus sehingga pencemaran lingkungan sekitar relatif berkurang. Hal serupa juga ditunjukkan oleh nilai KB tanah. Nilai KB tanah yang rendah menyebabkan jumlah kation yang beracun bisa dijerap dalam jumlah yang relatif lebih banyak. Berdasarkan tingkat kesuburannya yang rendah, tanah latosol cokelat kemerahan dinilai kurang produktif untuk pertanian. Ini menunjukkan bahwa lahan kawasan TPA Galuga dinilai sudah baik dijadikan sebagai lokasi untuk TPA. Hal ini juga sesuai menurut SNI T-11-1991-03, dimana salah satu kriteria pemilihan lokasi TPA sampah adalah kondisi tanah meliputi produktivitas tanah. 57

Semakin tidak produktif, tanah tersebut dinilai semakin baik untuk dijadikan sebagai TPA. Secara umum beberapa sifat kimia tanah latosol cokelat kemerahan kawasan Desa Galuga disajikan pada Tabel 13. Tabel 13. Analisis Sifat Kimia Tanah Latososl Cokelat Kemerahan (Desa Galuga) Simbol Kedalaman ph Basa-Basa (me/100g) Jumlah KTK C- N- horison Basa-basa Tanah KB(%) organik total (cm) (baru) H 2 O KCl K Na Ca Mg (me/100g) (me/100g) (%) (%) Ap 0-10 5 4,7 0,05 0,12 6,29 1,77 8,24 20,47 40,23 3,05 0,26 E 10-42 4,8 4,5 0,04 0,18 4,71 0,90 5,83 21,02 27,72 1,32 0,12 AB 42-90 5,1 4,5 0,02 0,25 4,43 0,80 5,50 15,03 36,61 1,73 0,10 B 90-156 4,8 4,2 0,02 0,18 2,99 0,64 3,82 18,37 20,79 0,72 0,07 C/R >156 4,3 4,2 0,02 0,15 1,81 0,82 2,80 18,05 15,53 0,47 0,12 Pengamatan dan identifikasi yang dilakukan di 3 (tiga) titik menunjukkan bahwa sifat kimia tanah pada masing-masing titik tidak berbeda jauh karena titik tersebut masih berada di satu lahan dengan jenis tanah latosol cokelat kemerahan. Topsoil atau permukaan tanah pada ketiga titik rata-rata berada pada ph (H 2 O) 4,2-4,7 dan ph (KCl) 3,9-4,2. Kandungan C-organik yang ada di ketiga titik juga tidak terlalu jauh berbeda kecuali di titik T2IPS. Perbedaan di titik ini lebih disebabkan oleh penggunaan lahan diatasnya yang berupa lahan terbuka, sedangkan dua titik lainnya berupa rerumputan dan kebun campuran karena bahan organik mempengaruhi nilai C-organik. Sifat kimia tanah pada 3 (tiga) titik pengamatan disajikan pada Tabel 14. Nama Tabel 14. Analisis Sifat Kimia Tanah pada Tiga Titik Pengamatan ph (1:5) Basa-Basa (me/100g) Jumlah Basabasa 2 O KCl K Na Ca Mg H (me/100g) KTK Tanah (me/100g) KB(%) C- organik (%) N- total (%) T2IPS 4,2 3,9 0,03 0,26 2,76 1,02 4,07 26,25 15,51 4,26 0,49 T3IPS 4,7 4,0 0,02 0,24 1,75 0,98 2,99 25,72 11,64 0,84 0,06 T4IPS 4,2 4,2 0,04 0,27 2,76 0,93 3,99 21,08 18,93 3,69 0,31 5.1.4.2 Evaluasi Sifat Fisika Tanah TPA Galuga dan Kawasan Sekitarnya Sifat fisik tanah merupakan faktor dasar penting dalam penentuan lahan untuk lokasi tempat pembuangan akhir sampah. Kedalaman solum, tekstur tanah, permeabilitas, dan drainase merupakan beberapa sifat fisik tanah yang dijadikan 58

kajian. Penilaian atau evaluasi pada masing-masing karakteristik fisik tanah diperlukan untuk penentuan evaluasi dari kondisi tanah secara keseluruhan. a) Solum Tanah Ketebalan tanah atau solum tanah menunjukkan berapa tebal tanah diukur dari permukaan tanah sampai ke batuan induk. Kedalaman solum suatu tanah dapat dilihat dari penampang vertikal tanah yang biasa disebut sebagai profil tanah. Profil tanah latosol cokelat kemerahan yang ada di kawasan TPA Galuga disajikan pada Lampiran 6. Tanah latosol cokelat kemerahan di kawasan TPA Galuga dan sekitarnya merupakan tanah dengan perkembangan yang cukup matang dan sudah berkembang lanjut. Solum tanah yang cukup dalam terlihat dari perkembangan horizonnya.warna tanah dapat digunakan sebagai petunjuk tentang sifat-sifat tanah antara lain: kandungan bahan organik tanah, keadaan drainase dan aerasi tanah. Dengan jenis tanah latosol cokelat kemerahan, warna tanah di setiap horizon tampak sangat mewakili yaitu hue 7,5 YR (cokelat) dan 5 YR (cokelat kemerahan), value berkisar 3 dan 4 dengan chroma berkisar 4 dan 6 (Tabel 15). Tabel 15. Perkembangan Horizon Tanah Latosol Cokelat Kemerahan Horizon Kedalaman ph Warna (cm) H 2 O KCl Ap 0-10 7,5 YR 3/4 5,0 4,7 E 10-42 5 YR 4/6 4,8 4,5 AB 42-90 5 YR 3/4 5,1 4,5 B 90-156 5 YR 4/6 4,8 4,2 C/R >156 5 YR 4/6 4,3 4,2 Perkembangan horizon tanah ltosol cokelat kemerahan menunjukkan beberapa parameter kriteria kesesuaian lahan untuk tempat pembuangan sampah secara terbuka yang ditulis dalam Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007) meliputi kedalaman sampai hamparan batuan dan sampai padas keras. Kedalaman sampai hamparan batuan dan kedalaman sampai padas keras yang ditunjukkan oleh horizon (C/R) baru terlihat pada kedalaman >150 cm, tepatnya pada kedalaman 59

156 cm. Berdasarkan kriteria tersebut, lahan di TPA Galuga dan kawasan sekitarnya dinilai baik atau sangat sesuai (S1) dijadikan sebagai lahan untuk TPA. b) Tekstur Tanah Tekstur tanah merupakan parameter fisik tanah lainnya yang harus diperhatikan sebagai lokasi untuk TPA. Jika tekstur tanah terlalu kasar maka akan berakibat terhadap pencemaran lingkungan. Diakibatkan pori-pori yang cukup besar, aliran air buangan sampah atau yang biasa dikenal dengan air lindi akan mudah masuk ke daerah air bawah tanah sehingga bisa mencemari lingkungan sekitar. Hasil analisis laboratorium dengan menggunakan metode pipet (3 fraksi) menunjukkan bahwa kawasan TPA Galuga dan sekitarnya tepatnya di 3 (tiga) titik yang diamati dengan mengacu kepada segitiga tekstur, kandungan liat yang cukup tinggi yakni 71-89%, tanah di kawasan ini termasuk ke dalam kelas tekstur liat (Gambar 18). Tekstur liat merupakan tekstur dengan pori-pori yang kecil dimana ukuran pori-pori tanah mencapai <2 mikrometer. Tekstur liat juga menyebabkan terbentuknya pori-pori mikro. Hal ini mengakibatkan daya pegang air cukup kuat dan penyerapan air cukup bagus dan banyak. Rembesan air limbah sampah akan bisa diserap dengan optimal sehingga pencemaran lingkungan baik dari air limbah maupun hasil dekomposisi sampah bisa berkurang. Berdasarkan Widiatmaka et al. (2004), lahan dengan kelas tekstur liat dikelaskan pada kelas lahan S1 (sangat sesuai) untuk dijadikan sebagai lokasi TPA (Lampiran 15). Ini menandakan bahwa lahan TPA Galuga dan kawasan sekitarnya dinilai sangat sesuai (S1) bila dijadikan sebagai lokasi TPA. 60

100 Persentase (%) 80 60 40 20 0 T2IPS T3IPS T4IPS Pasir Debu Liat Titik Pengamatan Gambar 18. Perbandingan Tekstur Tiga Fraksi pada Tiga Titik Pengamatan c) Permeabilitas Tanah Penentuan apakah suatu tanah jenuh air atau tidak bisa dilihat dari nilai permeabilitas tanah. Permeabilitas secara kuantitatif diartikan sebagai kecepatan bergeraknya suatu cairan pada suatu media berpori dalam keadaan jenuh. Secara lebih sederhana permeabilitas tanah merupakan cepat lambatnya air meresap ke dalam tanah melalui pori-pori tanah baik ke arah horizontal maupun ke arah vertikal. Cepat atau lambatnya perembesan air ini sangat ditentukan oleh tekstur tanah. Semakin kasar tekstur tanah semakin cepat perembesan air. Ketiga titik analisis yaitu T2IPS, T3IPS, dan T4IPS, nilai permeabilitasnya tidak jauh berbeda. Nilai permeabilitas tanah berada pada nilai <5 cm/jam (Gambar 19), dengan kelas permeabilitas agak lambat sampai sedang. Ini menandakan bahwa tanah ini relatif tidak jenuh air. Berdasarkan kriteria kesesuaian lahan untuk tempat pembuangan sampah secara terbuka dalam Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007), lahan kawasan TPA Galuga dengan nilai permeabilitas <5 cm/jam dinyatakan baik atau sangat sesuai (S1) untuk dijadikan sebagai lokasi TPA. 61

Nilai Permeabilitas (cm/jam) 5 4 3 2 1 0 T2IPS T3IPS T4IPS Titik Pengamatan Kedalaman (30-60) cm Kedalaman (0-30) cm Gambar 19. Perbandingan Nilai Permeabilitas pada Tiga Titik Pengamatan d) Muka Air Tanah Muka air tanah merupakan kedalaman air yang berada di dalam tanah baik berada di lapisan atas maupun di lapisan bawah. Hal yang perlu dilihat sebagai kriteria tanah lainnya untuk dijadikan sebagai lokasi TPA yaitu muka air tanah (apparent dan perched). Apparent merupakan air tanah yang langsung terlihat di lapisan bagian atas, sedangkan perched merupakan air bawah tanah (ground water). Dari tiga titik pengamatan didapatkan kedalaman muka air tanah baik apparent maupun perched berturut-turut berada pada kedalaman >150 cm dan >90 cm (Tabel 16). Berdasarkan kriteria kesesuaian lahan untuk tempat pembuangan sampah secara terbuka dalam Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007), dengan kedalaman tersebut menandakan bahwa muka air tanah lahan kawasan TPA Galuga ini dinilai baik atau sangat sesuai (S1) untuk dijadikan sebagai lokasi TPA. Tabel 16. Kedalaman Muka Air Tanah Pada Tiga Titik Pengamatan No Titik Pengamatan Apparent (cm) Perched (cm) 1 T2IPS >150 >90 2 T3IPS >150 >90 3 T4IPS >150 >90 62

e) Drainase Tanah Drainase dapat diartikan sebagai kemampuan tanah melalukan air atau aliran air keluar dari tanah. Kelas drainase perlu menjadi kajian terkait dengan lokasi atau lahan untuk tempat pembuangan akhir sampah. Menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2001) dalam Widiatmaka et al. (2004), kelas drainase merupakan resultan dari drainase permukaan penampang tanah dan permeabilitas tanah. Penilaian kelas drainase didasarkan pada tekstur dan struktur tanah. Apabila kelas drainase tanah tersebut buruk, maka akan terjadi penghambatan pada proses dekomposisi sampah. Kelas drainase di wilayah kawasan TPA Galuga dan sekitarnya berada pada kelas drainase sedang/agak baik. Drainase sedang/baik menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2001) dalam Widiatmaka et al. (2004), dinyatakan sebagai air ditahan massa tanah, penampang terlihat basah untuk sementara waktu. Karatan di horizon B bagian bawah antara kedalaman 80-120 cm dari permukaan dengan daerah dataran atau lereng bagian bawah. Kelas drainase sedang/agak baik yang ada di kawasan TPA Galuga ini juga dapat dilihat dari nilai permeabilitas yang lambat-sedang dengan tekstur halus/liat. Sehingga aliran air tanah menjadi cukup baik atau tidak tergenang karena tanah memiliki peredaran udara yang cukup baik. Berdasarkan Widiatmaka et al. (2004), lahan dengan drainase sedang/agak baik dikelaskan pada lahan kelas S2 (cukup sesuai) untuk dijadikan sebagai TPA (Lampiran 16), sehingga penilaian drainase lahan TPA Galuga dan kawasan sekitarnya dikategorikan pada kelas S2 (cukup sesuai) untuk dijadikan sebagai TPA. Penilaian pada kelas S2 ini memiliki sejumlah pembatas diantaranya sistem drainase buangan dari pengelolaan TPA. Secara hidrologi TPA Galuga kurang baik dalam sistem drainase pada saat pengolahan untuk menampung air limpasan. Kondisi ini diperburuk dengan kurang optimalnya instalasi pengeluaran leachate (air lindi). Setelah peristiwa longsoran sampah di sebelah utara TPA yang terjadi pada bulan Februari 2010 (Nusantaraku, 2010). Kondisi ini rentan terutama pada saat curah hujan yang cukup tinggi dapat mencemari lingkungan sekitar terutama kawasan persawahan yang berada di sebelah utara TPA. Tingkat kesesuaian S2 63

dari segi drainase tanah ini akan lebih terlihat jika didukung dengan sistem drainase pengolahan sampah yang baik. 5.1.5 Evaluasi Lahan TPA Galuga dan Kawasan Sekitarnya Berdasarkan Penggunaan Lahan Tempat pembuangan akhir sampah bukanlah tempat yang dipenuhi dengan kegiatan dan keramaian penduduk atau daerah yang padat di kawasan pemukiman. Selain itu, lokasi TPA bukanlah tempat yang berada disekitar kawasan degan nilai ekonomis yang tinggi atau lahan yang dimanfaatkan oleh penduduk untuk industri dan pemanfaatan ekonomi lainnya. Lokasi TPA juga bukan tempat yang berada di kawasan persawahan atau pemanfaatan lahan untuk kebutuhan pangan lainnya karena dapat mempengaruhi produktivitas tanaman pertanian yang ditanama serta mencemari lingkungan. Data penggunaan lahan diambil dari data Citra Quickbird tahun 2010 yang mencakup kawasan TPA Galuga dan sekitarnya meliputi areal wilayah Desa Galuga (Gambar 12). Terlihat bahwa penggunaan lahan di wilayah Desa Galuga didominasi oleh vegetasi dan kawasan TPA Galuga berada dekat dengan persawahan. Areal persawahan yang relatif dekat di sebelah utara bagian barat dari TPA Galuga menyebabkan kawasan TPA Galuga dikelaskan ke dalam kelas S3 (sesuai marginal) menurut penggunan lahan. Hal ini berlainan seperti yang ada dalam Widiatmaka et al. (2004), dimana lahan dengan penggunaan lahan berupa sawah dan vegetasi dikelaskan pada kelas S1 (sangat sesuai) untuk dijadikan TPA di DKI Jakarta (Lampiran 17). Berdasarkan hal ini, penilaian sampai pada kelas S3 dilakukan dengan kriteria modifikasi yang didasarkan dengan kondisi eksisting lahan TPA Galuga saat ini. Jarak sawah terdekat dengan TPA Galuga berdasarkan eksisting lahan adalah 35 m. Jarak ini dinilai terlalu dekat dengan TPA sehingga dipastikan TPA Galuga memiliki beberapa pembatas terkait operasionalnya. Kondisi ini ditunjukkan dengan kondisi lapang dimana akibat peristiwa longsoran sampah, tumpukan sampah dan air lindi juga sudah berada di sebagian areal persawahan dekat TPA yang notebene saat ini sudah tidak lagi berfungsi. Lahan ini akhirnya dibebaskan sehingga kegiatan pertanian tidak ada lagi kecuali di bagian utara. 64

Artinya areal persawahan yang cukup luas di sebelah utara dari TPA yang masih digunakan oleh penduduk sekitar TPA merupakan pembatas operasional TPA. Disamping itu, pembatas lain diantaranya IPAL (Instalasi pengolahan Air Limbah) juga merupakan pembatas yang harus diterapkan di TPA Galuga seperti sistem IPAL yang tidak mencemari areal persawahan yang masih berfungsi dan lingkungan sekitar. 5.1.6 Evaluasi Lahan TPA Galuga dan Kawasan Sekitarnya Berdasarkan Potensi Bencana (Ancaman Banjir dan Longsor) Bencana alam meliputi ancaman banjir dan longsor menjadi salah satu kriteria kesesuaian lahan untuk tempat pembuangan akhir sampah secara terbuka yang ada dalam Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007). Bencana alam merupakan salah satu faktor penentu dalam menetapkan lokasi TPA. Daerah yang rawan dengan bencana alam sangat sulit untuk dijadikan sebagai lokasi TPA. Lokasi TPA Galuga berada pada bentuk wilayah yang bergelombang. Sifat fisik tanah yang cukup baik menyerap air hujan menyebabkan potensi bencana berupa ancaman longsor dari lahan dan banjir tidak pernah terjadi di kawasan ini. Berdasarkan kondisi tersebut, daerah kawasan TPA Galuga saat ini dinilai baik atau sangat sesuai (S1) untuk dijadikan sebagai lokasi TPA. Evaluasi terhadap beberapa parameter utama (kondisi lahan) meliputi geologi, topografi/fisiografi, jenis tanah (sifat fisika dan kimia tanah), penggunaan lahan, serta potensi bencana (banjir dan longsor) kawasan TPA Galuga saat ini dinilai cukup baik (sesuai) untuk dijadikan sebagai lokasi untuk TPA. Berdasarkan kriteria kesesuaian lahan untuk tempat pembuangan akhir sampah secara terbuka (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007) dan Widiatmaka et al. (2004), TPA Galuga dan kawasan sekitarnya dikelaskan ke dalam kelas S3 (sesuai marginal) untuk dijadikan sebagai tempat pembuangan akhir sampah. Penilaian sampai pada kelas S3 ini memiliki sejumlah pembatas yang dominan, yaitu topografi meliputi ketinggian dan kemiringan lereng, serta penggunaan lahan. Hal ini menunjukkan bahwa operasional TPA Galuga saat ini harus tetap memperhatikan dan melakukan upaya-upaya penanganan terhadap permasalahan TPA, pengurangan dampak negatif terhadap lingkungan sekitar, serta alternatif 65

terbaru terkait dengan manajemen pengelolaan dan operasioanl di TPA agar keberlangsungan TPA Galuga tidak mencemari lingkungan sekitar. Tabel 17. Harkat Evaluasi Lahan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Galuga dan Kawasan Sekitarnya Kelas Kesesuaian Lahan untuk TPA Galuga Hardjowigeno dan No. Parameter Widiatmaka (2007), Widiatmaka Widiatmaka et al. et al. (2004) (2004), dan Modifikasi 1 Geologi/Bahan Induk S1 S1 2 Lereng (%) S2 S3 3 Jenis Tanah S3 S1 4 Sifat Tanah - Kedalaman sampai hamparan batuan - Kedalaman sampai padas keras - Tekstur - Permeabilitas - Muka air tanah Apparent Perched - Drainase S2 6 Penggunaan Lahan S2 S3 7 Ancaman Banjir S1 S1 8 Longsor S1 S1 S1 Evaluasi Lahan TPA Galuga dan Kawasan Sekitarnya : S1 S1 S1 S1 S1 S1 S2 S3 5.2 Rekomendasi Lokasi Areal Perluasan TPA Galuga TPA Galuga merupakan salah satu TPA terbaik yang dimiliki oleh Pemerintah Kota Bogor dan Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor. Terkait dengan minimnya lahan dan sulitnya mencari lahan yang baru serta volume produksi sampah yang ditimbulkan perhari semakin meningkat, Pemerintah Kota Bogor sebagai pihak pengelola diprediksi akan memperpanjang pengoperasian TPA Galuga. Kondisi operasional TPA Galuga yang semula direncanakan menggunakan sistem controlled landfill semakin lama berubah menjadi sistem open dumping. Berkurangnya fasilitas penunjang, sistem pengelolaan sampah baik dari sumber 66

sampai ke pengolahan (TPA) yang kurang baik, serta minimnya sumber daya manusia (SDM) dan pendananaan menjadi faktor utama perubahan sistem pembuangan di TPA ini. Terlihat, dari gunungan sampah di TPA Galuga yang saat ini telah lebih 10 m dan diperkirakan akan semakin meningkat. Berdasarkan standar pengelolaan TPA secara nasional, gunungan sampah hanya diperbolehkan sampai pada ketinggian 5 m. Apabila gunungan sampah semakin tinggi maka akan rawan terhadap ledakan gas metan (CH 4 ) yang dihasilkan dari tumpukan sampah. Hal ini tentu akan mengancam keselamatan dan keamanan penduduk sekitar. Luas areal buangan TPA Galuga yang saat ini mencapai 5 ha. Areal buangan ini dinilai tidak akan mampu lagi untuk menampung sampah baik dari Kota Bogor maupun Kabupaten Bogor dengan daya angkut sampah ke TPA Galuga sebanyak 2.500-3.000 m 3 /hari. Salah satu bentuk alternatif yang bisa dijalankan adalah perluasan areal TPA terutama pada areal buangan sampah. Selain upaya peningkatan dalam hal pengelolaan sampah secara keseluruhan baik dari tahap pengangkutan sampai ke pengolahan, upaya ini akan bisa mengurangi dampak terhadap pencemaran lingkungan sekitar. Dalam penentuan lokasi-lokasi yang bisa dijadikan sebagai areal perluasan kawasan TPA Galuga yang difokuskan di kawasan sekitar TPA dengan memperhatikan daya dukung lahan dan lingkungan serta tidak mengenyampingkan aspek sosial kehidupan warga setempat khususnya penduduk Desa Galuga. Analisis dan identifikasi dilakukan di 8 (delapan) titik pengamatan dari kondisi eksisting lahan di Desa Galuga (Gambar 20). Kedelapan titik tersebut diantaranya 4 titik berada di kawasan sekitar TPA Galuga yang berjarak sekitar 40 m. Sedangkan 4 titik lainnya berada relatif jauh dengan rata-rata jarak pengamatan 500 m dari TPA Galuga. Jarak ini cukup mewakili areal wilayah Desa Galuga secara keseluruhan. Lokasi yang terpilih untuk perluasan TPA merupakan lokasi yang memenuhi syarat ditinjau dari aspek geologi, tanah meliputi sifat tanah, topografi/fisiografi, penggunaan lahan, serta potensi bencana (banjir dan longsor). Berdasarkan hasil evaluasi lahan, TPA Galuga dan kawasan sekitarnya dikategorikan kepada kelas S3 (sesuai marginal) untuk dijadikan sebagai lokasi 67

TPA. Hal ini mengindikasikan bahwa perluasan TPA bisa dilakukan di kawasan sekitar dengan mempertimbangkan beberapa aspek lain. Daerah atau areal yang bisa dijadikan sebagai areal perluasan TPA Galuga saat ini yang terletak di kawasan sekitar TPA disajikan pada Gambar 21. Gambar 20. Peta Titik Pengamatan dalam Rekomendasi Perluasan TPA Galuga Perluasan TPA Galuga berjarak 500 m dari seluruh sisi TPA Galuga yang meliputi seluruh wilayah Desa Galuga. Beberapa aspek yang menjadi kajian utama yang diperhatikan dalam upaya penentuan areal perluasan TPA ini meliputi jenis tanah, kemiringan lereng, jaringan jalan, dan penggunaan lahan (persawahan). Salah satu jenis tanah yang ada di sebelah barat Desa Galuga yaitu kompleks aluvial cokelat dan aluvial cokelat kekelabuan (Gambar 11). Tanah ini dinilai sangat tidak sesuai untuk dijadikan sebagai areal perluasan TPA. Sifat dan karakteristik tanah yang tidak bagus karena kemampuan tanah ini untuk mendekomposisi bahan sampah sangat rendah. Solum tanah yang pendek yang terlihat dari horizonnya serta daya serap tanah terhadap air buangan sampah tidak baik sehingga dapat mencemari lingkungan sekitar. 68

Gambar 21. Peta Rekomendasi Perluasan Areal TPA Galuga Pengamatan lapang terhadap karakteristik tanah ini dilakukan pada 2 (titik) pengamatan yaitu T7IPS dan T8IPS dengan jarak antara kedua titik 800 m. Karakteristik tanah kompleks aluvial cokelat dan aluvial cokelat kekelabuan baik sifat kimia maupun sifat fisika tanah disajikan pada Tabel 18 dan Tabel 19, sedangkan profil tanah disajikan pada Lampiran 7. Ketidaksesuaian jenis tanah kompleks aluvial dan aluvial cokelat kekelabuan untuk dijadikan sebagai areal perluasan TPA menyebabkan dilakukannya buffering (area batas) dengan batas jarak 50 m dari kompleks tanah tersebut. Tabel 18. Sifat Fisika Tanah Kompleks Aluvial Cokelat dan Aluvial Cokelat Kekelabuan Desa Galuga Pedon Simbol Tekstur (%) Kedalaman Warna Pewakil horizon Pasir Debu Liat Kompleks aluvial cokelat dan aluvial cokelat kekelabuan II Ap 0-20 30,05 15,97 53,98 10 YR 3/3 C/R >20 31,57 7,67 60,76 10 YR 4/6 69

No Tabel 19. Sifat Kimia Tanah Kompleks Aluvial Cokelat dan Aluvial Cokelat Kekelabuan Kawasan Desa Galuga Nama ph (1:5) Basa-Basa (me/100g) Jumlah Basa-basa H2O KCl K Na Ca Mg (me/100g) KTK Tanah (me/100g) KB(%) C- organik (%) 1 T7IPS 5,0 4,6 0,10 0,32 6,39 3,17 9,98 25,34 39,38 2,66 0,24 2 T8IPS 4,6 4,3 0,04 0,27 3,93 1,87 6,12 21,41 28,58 2,36 0,24 N- total (%) Areal perluasan juga dilakukan dengan mempertimbangkan faktor topografi meliputi kemiringan lereng. Penentuan areal perluasan hanya dilakukan di wilayah dengan kemiringan <15 % meliputi kemiringan lereng <8% dan 8-15%. Kemiringan lereng >15% dinilai tidak sesuai untuk dijadikan areal perluasan dikarenakan fisiografi areal yang cukup terjal dan rentan terhadap (potensi) bencana sehingga wilayah dengan kemiringan lereng tersebut langsung dieliminasi. Penentuan areal perluasan juga mempertimbangkan aspek jalan meliputi jalan kabupaten yang lebarnya sekitar 7 m dan jalan desa. Pembangunan jalan kabupaten yang sedang dilaksanakan oleh pemerintah daerah yang berada di sebelah selatan dari TPA Galuga menyebabkan juga dilakukannya buffering dengan jarak 100 m dari jalan tersebut, sedangkan untuk jalan desa yang berada di sebelah barat TPA dilakukan buffering dengan jarak 5 m. Buffering juga dilakukan pada aspek penggunaan lahan berupa persawahan. Kawasan persawahan dinilai tidak sesuai untuk areal perluasan karena sifat atau karakteristik tanah yang sudah berubah sehingga tidak bagus untuk lokasi TPA. Dari kondisi eksisting berdasarkan data Citra Quickbird 2010, jarak sawah terdekat dengan TPA Galuga berjarak sekitar 35 m. Berdasarkan hal ini, maka secara keseluruhan buffering dengan areal persawahan dilakukan dengan jarak 35 m. Lokasi areal perluasan TPA Galuga yang bisa direkomendasikan meliputi kawasan sebelah utara TPA Galuga yang berjarak sekitar 500 m ke arah Desa Cijujung, sebelah tenggara dari TPA Galuga sekitar 400 m ke arah Desa Dukuh. Luas areal TPA Galuga menjadi 21,620 ha. Melalui perluasan ini, luas areal buangan TPA meningkat 16,689 ha dari 4,931 ha areal buangan TPA yang lama. Perluasan sebesar 16,689 ha ini mempengaruhi luasan penggunaan lahan lainnya yang ada di kawasan tersebut, diantaranya: kebun campuran sebesar 0,311 ha, 70

lahan terbuka sebesar 0,629 ha, kawasan pemukiman sebesar 1,153 ha, vegetasi (pepohonan dan rerumputan) sebesar 15,058 ha, dan lahan yang telah diusahakan/industri rumah tangga setempat sebesar 0,105 ha. Penentuan lokasi untuk areal perluasan ini dipastikan akan merugikan beberapa pihak seperti pada kawasan pemukiman, lahan yang telah diusahakan/industri rumah tangga, dan kebun campuran. Apabila perluasan ini dilakukan, maka harus dilakukan upaya-upaya untuk meminimalisasi dampak kerugian tersebut seperti biaya pembebasan lahan dengan memberikan uang ganti rugi atau biaya retribusi kerugian, penambahan sarana dan prasarana umum seperti pengalokasian pemukiman baru, dan upaya-upaya alternatif lain juga perlu dilakukan terhadap penduduk sekitar yang mengalami kerugian. Disamping itu, yang paling penting adalah upaya pendekatan dan kerja sama pihak pengelola dengan masyarakat sekitar agar dampak dari perluasan areal TPA Galuga tidak berpengaruh terhadap kelestarian lingkungan sekitar dan kehidupan sosial masyarakat setempat secara keseluruhan. 5.3 Identifikasi Isu Prioritas Keberadaan TPA Galuga Prioritas keberadaan TPA Galuga di Desa Galuga diketahui melalui nilai (skor) yang didapatkan melalui Analytic Hierarchy Process (AHP). Semakin tinggi nilai yang diperoleh menandakan bahwa variabel atau faktor tersebut lebih prioritas dibandingkan dengan faktor lain yang memiliki nilai lebih rendah. Sesuai persepsi masing-masing stakeholders, bobot nilai setiap faktor juga berbeda-beda. Stakeholders dikelompokkan atas pengelola TPA, pekerja TPA, dan masyarakat/penduduk sekitar TPA. Persepsi Pemerintah Daerah dalam hal ini Dinas Kebersihan dan Pertamanan yang diwakili oleh UPTD TPA Kota Bogor merupakan cerminan keterwakilan persepsi pihak pengelola TPA. Pemerintah Kota Bogor sebagai pengelola TPA dinilai lebih mengerti tentang semua tahap pengelolaan dan operasional TPA serta mengerti terhadap permasalahan dan kondisi yang terjadi di TPA. Sedangkan persepsi para pekerja TPA merupakan cerminan dari pihak yang memanfaatkan adanya suatu TPA. Para pekerja TPA dalam hal ini diantaranya supir truk sampah, kernet truk sampah, dan petugas lapang TPA lainnya. 71

Masyarakat atau penduduk merupakan pihak yang mendapatkan pengaruh langsung dan tidak langsung dari aktivitas di sekitar TPA. 5.3.1 Perbandingan Persepsi Pengelola TPA Galuga, Pekerja TPA Galuga, dan Penduduk Sekitar TPA Galuga Masing-masing stakeholders meliputi pengelola TPA, pekerja TPA, dan penduduk sekitar TPA Galuga memiliki pandangan tersendiri terhadap pembangunan dan operasional TPA Galuga. Hirarki pertama mencakup 3 aspek, diantaranya aspek ekonomi, lingkungan, dan sosial. Ketiga aspek ini menggambarkan latar belakang pembangunan dan operasional TPA Galuga. Gambar 22 menunjukkan hasil analisis dengan metode AHP pada hirarki 1 dari persepsi masing-masing stakeholders. Berdasarkan hasil analisis data didapatkan bahwa pekerja TPA Galuga dan penduduk sekitar TPA Galuga memprioritaskan aspek ekonomi untuk menilai kepentingan keberadaan TPA Galuga. Hal ini terlihat dimana skor terhadap aspek ekonomi bagi para pekerja sebesar 0,429 atau 43% dan penduduk sekitar dengan skor 0,420 atau 42% (Lampiran 4). Bagi kedua stakeholders, aspek ini dinilai sangat penting karena dengan adanya TPA Galuga bisa mendapatkan penghasilan (pendapatan) yang cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Terlebih, banyak penduduk sekitar yang memanfaatkan keberadaan TPA Galuga dengan menjadi pemulung, pengepul, dan lapak untuk menambah penghasilan sehari-hari. Bahkan, bagi sebagian penduduk pekerjaan tersebut sudah menjadi pekerjaan tetap. Berbeda dengan kedua stakeholders (pekerja TPA dan penduduk sekitar TPA), pihak pengelola lebih memprioritaskan aspek lingkungan sebagai faktor yang paling mempengaruhi keberadaan TPA Galuga dengan skor 0,375 atau 38%. Pihak pengelola memandang bahwa keberadaan TPA Galuga di Desa Galuga merupakan prioritas utama dari aspek lingkungan. Pemerintah Kota Bogor yang tidak memiliki TPA dikarenakan lahan dan lingkungan yang tidak memadai di tengah kota akhirnya memilih alternatif dengan mengambil alih kepemilikan TPA Galuga dari Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor. Perhatian terhadap aspek 72

lingkungan di tengah kota mendorong pihak pengelola mengambil alih kepemilikan TPA Galuga dari Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor. Aspek selanjutnya yaitu aspek sosial menjadi aspek prioritas kedua sebagai unsur penting untuk menilai keberadaan TPA Galuga bagi masing-masing stakeholders. Pihak pengelola dan pekerja TPA Galuga memandang perhatian terhadap aspek sosial masing-masing memiliki prioritas yang sama yakni dengan skor 0,333 atau 33%. Hal ini juga berlaku bagi penduduk sekitar dimana perhatian terhadap aspek sosial menjadi aspek kedua dengan skor 0,323 atau 32%. Skor ini relatif lebih kecil dibandingkan dengan pihak pengelola dan pekerja. Kurangnya perhatian para pekerja dan penduduk sekitar terhadap lingkungan sekitar terlihat dari skor yang diperoleh menurut kedua kelompok responden tersebut yaitu sebesar 0,238 atau 24% dan 0,258 atau 26%. Aspek lingkungan ini menjadi aspek dengan prioritas terendah bagi pekerja TPA dan penduduk sekitar TPA. Rendahnya persepsi ini karena banyak dari para pekerja tersebut tidak berasal atau bertempat tinggal di kawasan sekitar TPA atau Desa Galuga. Sebaliknya, pihak pengelola memandang bahwa aspek ekonomi menjadi aspek dengan prioritas terendah dengan nilai sebesar 0,292 atau 29%. Secara umum, berdasarkan hirarki pertama, keberadaan TPA Galuga di Desa Galuga relatif dapat diterima oleh pekerja dan penduduk sekitar. Walaupun keberadaan TPA Galuga menjadi isu dan kontroversi, namun hal ini tidak menyurutkan kemauan masyarakat sekitar dan pekerja TPA untuk mencari penghasilan. Prioritas terhadap aspek sosial ternyata lebih rendah dibandingkan dengan prioritas terhadap aspek ekonomi. Aspek lingkungan yang semula diperkirakan menjadi halangan terbesar ternyata tidak menjadi pertimbangan penting bagi penduduk untuk menilai keberadaan TPA Galuga. Aspek lingkungan merupakan aspek penting yang dipertimbangkan pihak pengelola guna menjamin keberlangsungan operasional TPA Galuga dan mencegah dampak negatif terhadap penurunan kualitas lingkungan yang baru akan dirasakan dalam jangka panjang. 73

0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0.0 Pengelola Pekerja Penduduk ekonomi lingkungan sosial Gambar 22. Perbandingan Hasil AHP Hirarki 1 dalam Persepsi Prioritas Keberadaan TPA Galuga Menurut Masing-Masing Stakeholders TPA Galuga Hirarki 2 menunjukkan beberapa kondisi yang ditimbulkan akibat adanya aspek-aspek pada hirarki 1. Kondisi ini disebut sebagai sub-kriteria dari ketiga aspek tersebut. Terlihat, masing-masing stakeholders lebih mementingkan aspek ekonomi dari adanya keberadaan TPA Galuga sampai saat ini. Aspek ekonomi memiliki 2 komponen (sub-kriteria) yaitu kesempatan kerja dan pendapatan (Gambar 23). Kepentingan ekonomi seperti permintaan akan kebutuhan seharihari yang semakin meningkat semakin meyakinkan masing-masing stakeholders bahwa adanya kesempatan kerja dan pendapatan merupakan prioritas utama. Pekerja TPA dan penduduk sekitar TPA misalnya lebih memprioritaskan sub-kriteria pendapatan dibandingkan kesempatan kerja dengan skor berturut-turut 0,254 atau 25% dan 0,229 atau 23. Perhatian terhadap kesempatan kerja oleh para pekerja TPA lebih besar dibandingkan dengan penduduk sekitar TPA yakni dengan skor berturut-turut sebesar 18% dan 19%. Sebaliknya, pihak pengelola lebih memprioritaskan sub-kriteria kesempatan kerja dengan skor 0,150. Subkriteria kesempatan kerja menurut pihak pengelola bersifat tetap, sedangkan pendapatan sifatnya lebih relatif. Sub-kriteria pendapatan dan resiko bencana menjadi sub-kriteria yang sekunder dengan skor yang sama yaitu 0,142. Adanya faktor keamanan/kenyamanan dalam melakukan aktifitas seharihari merupakan sub-kriteria ketiga (tersier) bagi para pekerja TPA dan penduduk sekitar TPA dengan masing-masing skor 0,123 dan 0,115. Adanya kepastian penghasilan setiap hari, serta kegiatan dalam melakukan pekerjaan yang relatif aman membuat kedua stakeholders memprioritaskan sub-kriteria ini. Hal ini menepis anggapan bahwa isu dan kontroversi operasional TPA Galuga yang ada 74

selama ini tidak terlalu mendapat tanggapan berarti bagi kedua pemangku kepentingan. Selanjutnya, perhatian pihak pengelola TPA terhadap kehidupan sosial masyarakat dan pekerja TPA terlihat dimana sub-kriteria gangguan kesehatan menjadi prioritas tersier setelah kesempatan kerja, pendapatan dan resiko bencana dengan skor 0,126 (Lampiran 5). Secara umum, adanya kepentingan akan mendapatkan penghasilan dan kesempatan kerja menandakan bahwa kontroversi TPA Galuga yang terjadi selama beberapa tahun terakhir ini lambat laun bisa diterima warga setempat terkait dengan makin besarnya kebutuhan sehari-hari sehingga memanfaatkan keberadaan TPA Galuga menjadi pilihan penting. Hal ini didukung dengan rasa aman yang dirasakan oleh oleh masyarakat dan pekerja TPA dimana perhatian pihak pengelola TPA terhadap kondisi kesehatan masyarakat sekitar dinilai cukup besar seperti adanya pengobatan gratis setiap bulan, pemberian air bersih. Hal ini juga dirasakan oleh para pekerja seperti adanya fasilitas pengobatan gratis serta uang kesehatan yang diberikan oleh pihak pengelola. Keamanan/Kenyamanan Komponen Aspek ekonomi Lingkungan Sosial Sarana dan Prasarana Gangguan Kesehatan Resiko Bencana Produkivitas Lahan Pertanian Polusi Pendapatan Kesempatan Kerja penduduk pekerja pengelola 0.0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 Bobot Skor (Nilai) AHP Gambar 23. Perbandingan Hasil AHP Hirarki 2 dalam Persepsi Prioritas Keberadaan TPA Galuga Menurut Masing-Masing Stakeholders TPA Galuga 75

5.3.2 Persepsi Seluruh Stakeholders TPA Galuga Persepsi seluruh stakeholders dianalisis dari persepsi gabungan seluruh stakeholders. Baik pengelola TPA, pekerja TPA, maupun penduduk sekitar menyatakan bahwa keberadaan TPA Galuga cukup diterima dan diakui operasionalnya. Hal ini tidak lebih dari masalah kepentingan ekonomi. Semakin meningkatnya kebutuhan hidup sehari-hari, permintaan akan penghasilan dirasa cukup tinggi sehingga keberadaan TPA Galuga relatif lebih dimanfaatkan secara positif. Pada hirarki 2, seluruh stakeholders menyatakan bahwa aspek ekonomi lebih dipentingkan dengan skor 0,380 dibandingkan aspek-aspek lainnya, dengan sub-kriteria pendapatan dengan nilai 0,206 dan kesempatan kerja dengan nilai 0,174. Aspek sosial menjadi prioritas kedua setelah ekonomi dengan nilai yang tidak jauh berbeda yaitu sebesar 0,330 atau 33% dengan sub-kriteria kemanan/kenyamanan dengan nilai 12%, kemudian gangguan kesehatan dengan nilai 11%, dan sarana dan prasarana umum dengan nilai 10%. Aspek lingkungan yang menjadi kajian atau perhatian utama terkait keberadaan suatu TPA di suatu daerah selama ini ternyata menjadi aspek atau kriteria yang kurang diperhatikan dengan nilai 0,290. Beberapa sub-kriteria utama yaitu resiko bencana dan polusi memiliki prioritas yang sama dengan nilai 0,098 kemudian produktivitas lahan pertanian menjadi prioritas terendah dengan nilai 0,095 dari keseluruhan subkriteria yang ada. Secara umum, hirarki 2 menunjukkan seluruh stakeholders menilai keberadaan TPA Galuga diterima karena kepentingan atau prioritas terhadap pendapatan (penghasilan) relatif lebih tinggi dibandingkan dengan hal lainnya, dengan persentase kepentingan sebesar 21%. Sedangkan kesempatan kerja dan faktor keamanan/kenyamanan untuk beraktivitas menjadi prioritas selanjutnya dengan persentase masing-masing sebesar 17% dan 12%. Hasil lengkap analisis AHP Hirarki 1 dan 2 untuk prioritas keberadaan TPA Galuga dari persepsi seluruh stakeholders TPA Galuga disajikan pada Gambar 24. Kondisi ini tentu menjadi tugas yang sangat berat bagi pemerintah baik Kota Bogor maupun Kabupaten Bogor. Kurangnya perhatian masyarakat terhadap aspek sosial dan lingkungan yang seharusnya merupakan perhatian dan kajian 76

utama dari pembangunan dan operasional suatu TPA mengindikasikan perlunya upaya penyadaran tentang pentingnya aspek baik tersebut. Upaya-upaya terkait dengan masalah ini sangat perlu dilakukan. Hal ini juga semakin menguatkan agar pencemaran lingkungan akibat keberadaan dan operasional TPA Galuga bisa berkurang terutama bagi kehidupan sosial dan lingkungan sekitar. Gambar 24. Hasil Lengkap AHP pada Hiraraki 1 dan 2 dalam Persepsi Prioritas Keberadaan TPA Galuga Menurut Seluruh Stakeholders TPA Galuga 77

5.3.3 Perbandingan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pernyataan Setuju Terhadap Keberadaan TPA Galuga oleh Seluruh Stakeholders TPA Galuga Menurut Analisis Hayashi 2 Perbandingan analisis Hayashi 2 dimaksudkan untuk melihat pengaruh pemahaman tentang beberapa aspek terkait TPA Galuga dengan tingkat persetujuan terhadap keberadaan TPA Galuga. Dalam analisis Hayashi 2 digunakan 12 variabel penjelas yaitu: latar belakang pembangunan TPA, sistem pembuangan TPA, bentuk semuberdaya lahan sekitar TPA, adanya peluang/kesempatan kerja, bentuk pendapatan/penghasilan, bentuk kesejahteraan, adanya polusi, pengaruh terhadap produktivitas lahan pertanian, adanya gangguan kesehatan, ketersediaan sarana dan prasarana umum, keamanan/ kenyamanan, serta kelompok responden. Hasil analisis Hayashi 2 diperoleh bahwa nilai eta square (correlation ratio) sebesar 5.330. Berdasarkan kalkulasi nilai t dengan tingkat kepercayaan 90% (α=0,10) didapat nilai r sebesar 0,306. Variabel penjelas yang memiliki nilai korelasi parsial diatas nilai r menyatakan variabel yang cukup signifikan (berpengaruh nyata) mempengaruhi variabel tujuan. Berdasarkan nilai r tersebut dengan tingkat kepercayaan 90%, didapatkan bahwa variabel penjelas sistem pembuangan TPA, sumberdaya lahan sekitar TPA, bentuk kesejahteraan sekitar TPA, pengaruh produktivitas lahan pertanian, gangguan kesehatan, bentuk keamanan/kenyamanan, serta jenis/kelompok responden merupakan variabel penjelas yang berpengaruh signifikan terhadap persetujuan akan keberadaan TPA Galuga. Jika pada kategori variabel penjelas didapatkan nilai skor kategori positif maka kategori variabel tersebut meningkatkan (berbanding lurus) pencapaian variabel tujuan tidak setuju terhadap keberadaan TPA Galuga. Sebaliknya apabila skor kategori variabel penjelas negatif pada maka kategori variabel tersebut meningkatkan (berbanding lurus) terhadap pencapaian variabel tujuan setuju terhadap keberadaan TPA Galuga. Beberapa arah kategori yang positif, sebagai contoh ketidaktahuan stakeholders terhadap latar belakang pembangunan TPA, sistem pembuangan di TPA, sumberdaya lahan sekitar TPA, adanya polusi, 78

kesejahteraan di lingkungan sekitar yang baik, kemampuan untuk mendapatkan penghasilan/pendapatan baik, dan keamanan yang baik merupakan variabel penjelas yang mempengaruhi pernyataan setuju terhadap keberadaan TPA Galuga, begitupula sebaliknya untuk arah kategori variabel penjelas yang memiliki skor kategori negatif. Hasil analisis Hayashi 2 lengkap disajikan pada Lampiran 16. Ringkasan arah pengaruh setiap kategori variabel penjelas terhadap tingkat persetujuan keberadaan TPA disajikan pada Tabel 20. Stakeholders yang setuju dengan keberadaan TPA Galuga di Desa Galuga sebanyak 24 orang dari seluruh total responden (80%), dan yang tidak setuju sebanyak 6 orang (20%). Pernyataan yang tidak setuju dinyatakan oleh stakeholders yang relatif tidak memanfaatkan TPA. Sebaliknya, pernyataan setuju dinyatakan oleh stakeholders yang lebih memanfaatkan keberadaan TPA terutama pencapaian ekonomi. Tabel 20. Hasil Analisis Kuantifikasi Hayashi 2 Menurut Seluruh Stakeholders TPA Galuga Variabel Tujuan Kategori Frekuensi Skor Pernyataan Setuju Terhadap Keberadaan TPA Galuga Variabel Penjelas Latar Belakang dan Pembangunan TPA Galuga Sistem Pembuangan Sampah TPA Galuga Sumberdaya Lahan Sekitar TPA Galuga Kesempatan Kerja di Sekitar TPA Galuga Kesejahteraan di Sekitar TPA Galuga Pendapatan di Sekitar TPA Galuga Adanya Polusi Pengaruh Produktivitas Lahan di Sekitar TPA Galuga Gangguan Kesehatan Ketersediaan Sarana dan Prasarana Umum Keamanan dan Kenyamanan Jenis Responden 1 : Setuju 2 : Tidak Setuju 1 : Tidak Tahu 2 : Tahu 1 : Tidak Tahu 2 : Tidak Baik 3 : Sedang/Cukup Baik 4 : Baik 1 : Tidak Tahu 2 : Tahu 1 : Sedikit 2 : Banyak 1 : Tidak Baik 2 : Sedang/Cukup Baik 3 : Baik 1 : Sedang 2 : Baik 1 : Tidak Tahu 2 : Ada 1 : Tidak Tahu 2 : Tidak Baik 3 : Sedang/Cukup Baik 1 : Tidak Tahu 2 : Ada 1 : Sedikit 2 : Cukup 3 : Banyak 1 : Sedang 2 : Baik 1 : Penduduk 2 : Pekerja 3 : Pengelola 24 6 16 14 11 4 12 3 25 5 8 22 2 13 15 22 8 8 22 20 5 5 4 26 1 23 6 8 22 13 14 3 Kategori -0,88228 3,52911 0,01170-0,01338-1,93063 11,65817-1,14219-3,89649-0,07819 0,39095-0,06782 0,02466 0,37227 0,37227-0,37227 0,01421-0,03908 0,00345-0,00125 0,15476 0,01369-0,63273-13,83688 2,12875 0,10636-0,00479 0,00062 0,31240-0,11360-0,06374 0,00680 0,24446 Korelasi Parsial 0,05098 0,57783 0,44929 0,27796 0,43632 0,11986 0,07531 0,47891 0,54196-0,38447 0,50734 0,34755 79