KAJIAN POPULASI KEPITING BAKAU, Scylla spp. DI HUTAN BAKAU HASIL REHABILITASI DI INSTALASI TAMBAK PERCOBAAN MARANA, MAROS

dokumen-dokumen yang mirip
PENGENALAN UMUM BUDIDAYA KEPITING BAKAU

I. PENDAHULUAN. Kepiting bakau (Scylla serrata) dapat dijumpai hampir di seluruh perairan pantai. Kepiting

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ANALISIS BEBERAPA ASPEK BIOLOGI KEPITING BAKAU (SCYLLA SERRATA) DI PERAIRAN SUKOLILO, PANTAI TIMUR SURABAYA

BIMTEK BUDIDAYA KEPITING BAKAU

I. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki sumber daya hutan bakau yang membentang luas di

Analisis Parameter Dinamika Populasi Kepiting Bakau (Scylla serrata) di Kecamatan Kwandang, Kabupaten Gorontalo Utara

TOLERANSI KADAR GARAM JENIS KEPITING BAKAU DI TAMBAK

Akuatik Jurnal Sumberdaya Perairan 48 ISSN

PERTUMBUHAN CALON INDUK IKAN BERONANG Siganus guttatus TURUNAN PERTAMA (F-1) DENGAN BOBOT BADAN YANG BERBEDA

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

Seminar Nasional Tahunan X Hasil Penelitian Kelautan dan Perikanan, 31 Agustus 2013

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

RINGKASAN. Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut merupakan satusatunya

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Gambaran Umum Kabupaten Gorontalo Utara. Kabupaten Gorontalo Utara merupakan salah satu Kabupaten yang terletak

I. PENDAHULUAN. diakibatkan oleh berbagai macam faktor, salah satunya adalah munculnya penyakit yang

Seminar Nasional Tahunan IX Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 14 Juli 2012

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDEDERAN IKAN BERONANG (Siganus guttatus) DENGAN UKURAN TUBUH BENIH YANG BERBEDA

LAJU EKSPLOITASI KEPITING BAKAU (Scylla serrata) DI PERAIRAN MANGROVE MAYANGAN, SUBANG JAWA BARAT

3 METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu 3.2 Teknik Pengambilan Data Pengumpulan Data Vegetasi Mangrove Kepiting Bakau

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas

TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti

SERAPAN TIRAM Crassostrea iredalei TERHADAP POPULASI Nannochloropsis sp. DENGAN KEPADATAN AWAL BERBEDA

Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang. berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Komunitas vegetasi ini

oaj STUDI PERTUMBUHAN DAN BEBERAPA ASPEK REPRODUKSI

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Oleh : Rodo Lasniroha, Yuniarti K. Pumpun, Sri Pratiwi S. Dewi. Surat elektronik :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis,

UPAYA PENINGKATAN PRODUKSI PADA BUDIDAYA UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei) POLA TRADISIONAL PLUS DENGAN PENAMBAHAN TEPUNG TAPIOKA

I. PENDAHULUAN. Kepiting bakau (Scylla serrata) merupakan salah satu komoditas perikanan

KERAPATAN HUTAN MANGROVE SEBAGAI DASAR REHABILITASI DAN RESTOCKING KEPITING BAKAU DI KABUPATEN MAMUJU PROVINSI SULAWESI BARAT

PENGARUH PERBEDAAN SUHU AIR PADA PERKEMBANGAN LARVA KEPITING BAKAU, Scylla olivacea

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga II TINJAUAN PUSTAKA. Genus Scylla mempunyai tiga spesies lain yaitu Scylla serata, S. oseanica dan S.

PENTOKOLAN UDANG WINDU (Penaeus monodon) SISTEM HAPA DENGAN UKURAN PAKAN BERBEDA

Pengaruh Pemberian Pakan Tambahan Terhadap Tingkat Pertumbuhan Benih Ikan Bandeng (Chanos chanos) Pada Saat Pendederan

Lampiran 1. Rata-rata laju pertumbuhan bobot, lebar karapas dan panjang karapas kebiting bakau, Scyla srerata selama penelitian.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

I. PENDAHULUAN. Potensi perairan pantai Indonesia yang cukup luas adalah merupakan

TINGKAT KEMATANGAN GONAD KEPITING BAKAU Scylla paramamosain Estampador DI HUTAN MANGROVE TELUK BUO KECAMATAN BUNGUS TELUK KABUNG KOTA PADANG.

ANALISIS POTENSI KEPITING BAKAU (Scylla spp) DI KABUPATEN SERAM BAGIAN BARAT

PARAMETER POPULASI DAN ASPEK REPRODUKSI IKAN KUNIRAN (Upeneus sulphureus) DI PERAIRAN REMBANG, JAWA TENGAH

I. PENDAHULUAN. perikanan. Usaha di bidang pertanian Indonesia bervariasi dalam corak dan. serta ada yang berskala kecil(said dan lutan, 2001).

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang khusus terdapat

I. PENDAHULUAN. 4,29 juta ha hutan mangrove. Luas perairan dan hutan mangrove dan ditambah dengan

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR /KEPMEN-KP/2017 TENTANG PELEPASAN IKAN GURAMI (OSPHRONEMUS GORAMY) GALUNGGUNG SUPER

TINGKAT BIOAKUMULASI LOGAM BERAT PB (TIMBAL) PADA JARINGAN LUNAK Polymesoda erosa (MOLUSKA, BIVALVE)

I. PENDAHULUAN. dibentuk oleh berbagai komponen biotik dan abiotik, komponen-komponen ini saling

3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2. Metode Kerja Bahan dan peralatan pada pengamatan morfometri

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

PENGARUH INTENSITAS PENCAHAYA AN PADA PEMELIHARA AN L ARVA KEPITING BAKAU, Scylla paramamosain

BAB I PENDAHULUAN. Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut.

PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN PAKAN TERHADAP PRODUKSI PEMBESARAN IKAN MAS (Cyprinus carpio) DI KERAMBA JARING APUNG WADUK CIRATA

PEMBESARAN KEPITING BAKAU (Scylla serrata) DI TAMBAK DENGAN PEMBERIAN PAKAN BERBEDA

3. METODE PENELITIAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

HUBUNGAN LEBAR KARAPAS DAN BERAT KEPITING BAKAU (Scylla spp) HASIL TANGKAPAN DI DESA KAHYAPU PULAU ENGGANO PROVINSI BENGKULU

Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011

BAB III METODE PENELITIAN. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 5 berikut:

PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP IKAN BETOK (Anabas testudineus) YANG DIPELIHARA PADA SALINITAS BERBEDA

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

EFISIENSI PENGGUNAAN PLANKTON UNTUK PEMBENIHAN KERAPU BEBEK (Cromileptes altivelis) PADA HATCHERI SKALA RUMAH TANGGA

DAFTAR PUSTAKA. Anonimus Data Administratif Kecamatan Medan Belawan Kota Medan.

METODE PENELITIAN. Gambar 7 Lokasi penelitian di perairan dangkal Semak Daun.

BAB I PENDAHULUAN. ekologis yaitu untuk melakukan pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery

I. PENDAHULUAN. Hampir 75 % tumbuhan mangrove hidup diantara 35ºLU-35ºLS (McGill, 1958

SEBARAN DAERAH PENANGKAPAN KEPITING BAKAU (Scylla sp.) DI PERAIRAN KARANGANTU SERANG BANTEN

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENGANGKUTAN KRABLET KEPITING BAKAU (Scylla paramammosain) SISTEM KERING

BAB I PENDAHULUAN. antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai

PENAMBAHAN TEPUNG TAPIOKA PADA BUDIDAYA UDANG PENAEID DI TAMBAK

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

KARYA ILMIAH BISNIS DAN BUDIDAYA KEPITING SOKA. Di susun oleh : NAMA :FANNY PRASTIKA A. NIM : KELAS : S1-SI-09

I. PENDAHULUAN. Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat

POTENSI SUMBERDAYA KEPITING BAKAU (Scylla sp.) YANG DIPERDAGANGKAN DI KOTA TARAKAN, PROPINSI KALIMANTAN UTARA. Natanael 1), Dhimas Wiharyanto 2)

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian. Kabupaten Gorontalo Utara merupakan wilayah administrasi yang

BAB 1 PENDAHULUAN. mempunyai panjang garis pantai lebih kurang 114 km yang membentang

Utara, ( Universitas Sumatera Utara, Medan, Indonesia ABSTRACT

HUBUNGAN BOBOT PANJANG IKAN TUNA MADIDIHANG Thunnus albacares DARI PERAIRAN MAJENE SELAT MAKASSAR SULAWESI BARAT Wayan Kantun 1 dan Ali Yahya 2

TEKNIK PENANGKAPAN IKAN SIDAT DENGAN MENGGUNAKAN BUBU DI DAERAH ALIRAN SUNGAI POSO SULAWESI TENGAH

PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan

Studi Morfometri dan Tingkat Kematangan Telur Kepiting Bakau (Scylla sp.) di Kawasan Perairan Demak

PENDAHULUAN. serius karena perkembangan populasi manusia dan pembangunan yang tidak. Latar belakang. rnenghubungkannya dengan Samudera Indonesia.

PENDAHULUAN. garis pantai sepanjang kilometer dan pulau. Wilayah pesisir

TINGKAT KEMATANGAN GONAD KEPITING BAKAU (Scylla serrata Forskal) DI HUTAN MANGROVE TELUK BUO KECAMATAN BUNGUS TELUK KABUNG KOTA PADANG

TINJAUAN PUSTAKA. lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut

ANALISIS HUBUNGAN PANJANG BERAT IKAN HIMMEN (Glossogobius sp) DI DANAU SENTANI KABUPATEN JAYAPURA ABSTRAK

WAhaNa berita Mangrove INdonesiA WAhaNa berita Mangrove INdonesiA

BAHAN DAN METODE. Percobaan 1. Pengaruh pemberian bahan aromatase inhibitor pada tiga genotipe ikan nila sampai tahap pendederan.

BAB I PENDAHULUAN. terluas di dunia sekitar ha (Ditjen INTAG, 1993). Luas hutan mangrove

ARTIKEL ILMIAH. STUDI POPULASI KEPITING BAKAU (Scylla spp.) PADA KAWASAN HUTAN MANGROVE DESA SUNGAI ITIK KECAMATAN SADU KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR

PENDAHULUAN. terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Transkripsi:

219 Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2013 KAJIAN POPULASI KEPITING BAKAU, Scylla spp. DI HUTAN BAKAU HASIL REHABILITASI DI INSTALASI TAMBAK PERCOBAAN MARANA, MAROS ABSTRAK Erfan Andi Hendrajat dan Gunarto Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau Jl. Makmur Dg. Sitakka No. 129, Maros 90512, Sulawesi Selatan E-mail: litkanta_05@yahoo.co.id Kepiting bakau jenis Scylla spp. mempunyai nilai ekonomis tinggi di kawasan Asia Tenggara, sehingga keberadaannya semakin berkurang akibat penangkapan intensif. Rehabilitasi hutan bakau seperti di kawasan ITP Marana, Maros merupakan suatu cara untuk mengembalikan eksistensi populasi kepiting bakau jenis Scylla spp. yang hidupnya sangat bergantung pada keberadaan hutan bakau. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui komposisi spesies dan peningkatan jumlah populasi kepiting bakau Scylla spp. di kawasan bakau di ITP Marana dalam kaitannya dengan kegiatan pengelolaannya. Pengamatan kelimpahan kepiting bakau dilakukan mulai bulan April 2012 hingga Maret 2013, setiap bulan selama dua hari berturut-turut (4 kali tangkap) pada puncak pasang tinggi, sampling dilakukan dengan cara menangkap kepiting menggunakan alat tangkap perangkap (rakkang). Lima stasiun penangkapan kepiting di dalam kawasan hutan bakau di ITP Marana ditetapkan berdasarkan perbedaan jarak dari Sungai Marana. Kepiting yang tertangkap diukur panjang dan lebar karapas, bobot total, diidentifikasi hingga spesies berdasarkan ciri morfologinya. Selanjutnya kepiting dilepas kembali ke tambak/kawasan bakau di ITP Marana. Data yang dikumpulkan adalah data hasil tangkapan kepiting dan data jumlah kepiting bakau yang telah ditebar di kawasan tambak hutan bakau Marana baik yang berasal dari hatcheri maupun dari alam. Data kualitas air (salinitas, oksigen terlarut, ph, dan suhu air) di kawasan hutan bakau Marana juga dimonitor setiap bulan sekali. Berdasarkan hasil tangkapan kepiting bakau setiap bulan jumlahnya berfluktuatif dan didominasi oleh S. olivacea dan S. serrata (April-Desember 2012) dengan ukuran bobot/ekor berkisar 5-800 g. Namun setelah terjadi banjir pada awal Januari 2013, S. serrata lebih dominan tertangkap dari pada S. Olivacea pada bulan Februari-Maret 2013. Jumlah hasil tangkapan rakkang di hutan bakau ITP marana relatif lebih tinggi dari hutan bakau lainnya yakni 2,32 ind. kepiting/rakkang/hari. Hal ini karena adanya Kegiatan rehabilitasi ekosistem mangrove, kegiatan pembenihan yang produksinya langsung ditebar di tambak, serta kegiatan pemacuan stok kepiting bakau menyebabkan terjadinya peningkatan populasi kepiting bakau di kawasan tersebut. KATA KUNCI: kepiting bakau, Scylla spp, hutan bakau, rehabilitasi, ITP Marana PENDAHULUAN Kepiting bakau jenis Scylla spp. secara alami tersebar di perairan kawasan Indo Pasifik (Keenan, 1998). Di Asia Tenggara kepiting tersebut mempunyai nilai ekonomis yang tinggi, sehingga banyak ditangkap untuk diperdagangkan baik untuk konsumsi dalam negeri, maupun ekspor. Di Indonesia, kepiting hasil tangkapan tersebut terdiri atas ukuran kecil 30-75 g digunakan untuk bibit pada budidaya pembesaran di tambak, ukuran 75-100 g untuk industri produksi kepiting cangkang lunak. Sedangkan untuk ukuran 100-200 g digunakan untuk pembesaran dan produksi kepiting bertelur atau penggemukan. Dengan demikian sebenarnya industri hilir budidaya kepiting bakau di Indonesia telah berkembang, namun industri hulunya, yaitu produksi benih dari panti benih belum berhasil dengan baik, di mana pasok benih untuk budidaya sampai saat ini masih mengandalkan hasil tangkapan dari alam. Hal tersebut menyebabkan semakin hari populasi kepiting bakau di alam semakin berkurang akibat tangkap lebih seperti yang terjadi di perairan muara Sungai Cenranae Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan (Gunarto et al., 1999). Sementara upaya produksi benih kepiting dari hatcheri masih dalam taraf penelitian dan produksinya masih berfluktuatif. Dengan demikian sebagai alternatif lain dalam upaya penyediaan benih kepiting bakau dilakukan dengan cara peningkatan stok secara alami dan harus digiatkan terutama di kawasan mangrove hasil rehabilitasi (Walton et al., 2007; Lewis et al., 2008).

Kajian populasi kepiting bakau di hutan bakau... (Erfan Andi Hendrajat) 220 Penanaman kembali/rehabilitasi kawasan mangrove telah dilakukan di kawasan tambak ITP Marana dan pada saat ini tanaman bakau telah berumur 18 tahun. Dengan umur tersebut menurut Macintosh et al. (2002), organisme yang hidupnya berasosiasi dengan mangrove telah nampak pulih kembali melalui proses penambahan atau kolonisasi. Untuk mempelajari peningkatan stok, hal yang pertama harus diketahui adalah data awal hasil tangkapan kepiting bakau di daerah mangrove yang terpilih untuk peningkatan stok dan juga pemilihan spesies yang tepat untuk peningkatan stok kepiting bakau di lokasi tersebut yang telah ditentukan. Menurut Lewis et al. (2008), untuk mempelajari peningkatan stok kepiting bakau di mana benihnya dari hatcheri, maka harus dilakukan pendekatan multi disiplin di antaranya dinamika populasi, genetika stok alami kepiting yang ada, interaksi kepiting yang distoking dengan habitat yang baru ditempati, kesehatan benih yang dihasilkan dari hatcheri, dan monitoring keberhasilan lepas tangkap kepiting. Adanya informasi hasil penelitian yang detail mengenai kelimpahan, pergerakan, pertumbuhan, mortalitas alami dari kepiting yang telah dilepas juga sangat diperlukan. Telah diketahui terdapat empat spesies kepiting bakau yaitu S. serrata, S. tranquebarica, S. olivacea dan S. paramamosain (Keenan, 1998). Menurut Lewis et al. (2008), kepiting bakau S. olivacea sangat cocok untuk upaya peningkatan stok karena pada umumnya habitatnya di lubang-lubang dalam kawasan mangrove, sedangkan S. paramamosain dan S. serrata habitatnya lebih luas tidak hanya di mangrove tetapi juga pergerakannya lebih luas hingga ke laut. Kelimpahan kepiting bakau di mangrove hasil rehabilitasi bervariasi. Walton et al. (2006) mengestimasi sebanyak 38-138 ind./ha, sedangkan Lebata et al. (2007) mengestimasi populasi kepiting bakau di mangrove hasil rehabilitasi di Naisud dan Bugtong Bato, Ibajay, Aklan, Filipina hanya sebanyak 14-34 ind./ha. Hubungan antara kepiting bakau Scylla sp. dan hutan bakau telah diketahui sejak dulu, sehingga rehabilitasi kawasan dengan penanaman tanaman mangrove dimaksudkan untuk menginisiasi pulihnya stok alami fauna yang telah hilang, satu di antaranya adalah kepiting bakau jenis Scylla spp. Kelimpahan kepiting S. olivacea di kawasan mangrove hasil rehabilitasi sebanyak 186-401 ind./ha adalah sama dengan kelimpahan kepiting bakau di kawasan hutan bakau yang masih sehat (Walton et al., 2007). Chandrasekaran & Natarajan (1994) mendapatkan kepiting bakau dengan ukuran lebar karapas 20-30 mm banyak didapatkan pada daerah pasang surut di daerah mangrove Pichavaram, India Tenggara. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui komposisi spesies dan peningkatan jumlah populasi kepiting bakau Scylla spp. di kawasan bakau ITP Marana, sebagai dampak adanya kegiatan penelitian pembenihan kepiting bakau, budidaya silfo kultur kepiting bakau di kawasan mangrove, dan upaya peningkatan stok kepiting bakau yang pada akhirnya data tersebut sangat penting dalam pengelolaan kepiting bakau di kawasan hutan bakau hasil rehabilitasi seperti di ITP Marana. BAHAN DAN METODE Penelitian dilakukan di kawasan hutan bakau kurang lebih seluas 10 ha yang terpencar di areal pertambakan Instalasi Tambak Percobaan Marana, Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau, Maros. Lokasi tersebut telah ditetapkan sebagai areal pengelolaan sumberdaya kepiting bakau, di mana berbagai kegiatan penelitian kepiting bakau telah dilakukan di antaranya pembenihan dan pembesaran kepiting bakau di tambak maupun di areal mangrove. Lima stasiun penangkapan kepiting bakau ditetapkan di kawasan bakau terutama di aliran saluran air masuk dari Sungai Marana (Salo Marana) yang memasok air ke pertambakan dan hutan bakau yang ada di ITP Marana (Gambar 1). Di setiap stasiun dipasang rakkang yang merupakan alat tangkap tradisional masing-masing sebanyak 14 unit. Penangkapan dilakukan setiap bulan selama dua hari berturut-turut (4 kali tangkap) pada puncak pasang tinggi dimulai dari bulan April 2012 hingga Maret 2013. Pada setiap operasional penangkapan, rakkang diberi umpan berupa potongan ikan non ekonomis, selanjutnya rakkang diletakkan berjejer di saluran dengan jarak antara rakkang sekitar 10 m. Setelah air mulai surut, maka keberadaan kepiting di dalam rakkang diperiksa. Kepiting yang tertangkap dalam rakkang selanjutnya diikat dan dibawa ke laboratorium untuk diukur panjang dan lebar karapas, bobot total, serta jenis kelaminnya. Setelah 4 kali penangkapan (2 hari) selesai, selanjutnya kepiting bakau dilepas kembali ke tambak. Bersamaan dengan waktu penangkapan kepiting bakau juga dilakukan pengambilan data kualitas air (salinitas, oksigen terlarut, suhu air, dan ph air).

221 Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2013 Jumlah benih kepiting bakau baik yang dari alam (S. serrata) maupun dari hatcheri (S. paramamosain dan S. olivacea) yang telah ditebar/distoking seperti terlihat pada Tabel 1. Total jumlah benih sebanyak 18.200 individu yang terdiri atas ukuran 0,5-1,0 g (benih hatcheri) dan 30-50 g (benih alam). Data jumlah kepiting hasil tangkapan di lima stasiun dibandingkan dan dianalisis menggunakan rancangan acak kelompok, di mana waktu penangkapan (bulan) diasumsikan sebagai kelompok. Data kualitas air dan data penunjang lainnya dianalisis secara deskriptif. Identifikasi spesies kepiting bakau yang tertangkap dengan rakkang berdasarkan bentuk morfologinya (Keenan et al., 1998). Tabel 1. Jumlah kepiting yang distocking di kawasan hutan bakau ITP Marana Sumber benih Waktu tebar Ukuran (g) Jumlah benih kepiting ditebar Tambak Mangrove Jumlah dipanen Benih hatcheri 2011 Jan-Des 0,5-1 3.200 Benih hatcheri 2012 Jan-Des 0,5-1 7.800 Benih alam (2012) April 2012 30-50 2.700 150 Benih alam (2012) Juni 2012 30-50 2.100 Benih alam (2012) Juli 2012 30-50 1.000 60 Benih hatcheri (2013) Jan-Maret 0,5-1 1.600 Total hingga Maret 2013 13.600 4.800 Gambar 1. Kawasan hutan bakau hasil rehabilitasi di ITP Marana dengan 5 stasiun penangkapan kepiting bakau HASIL DAN BAHASAN Hasil tangkapan kepiting bakau di hutan bakau hasil rehabilitasi di ITP Marana dari bulan April 2012 hingga Maret 2013 ditunjukkan pada Gambar 1. Pada bulan April hingga Juni jumlah hasil tangkapan masih rendah, tertinggi 8 ind./4 kali tangkap/stasiun. Pada bulan Juli hingga September 2012 jumlah hasil tangkapan meningkat tajam terutama di stasiun 1, 3, dan 5 hingga mencapai 20-30 ind./4 kali tangkap. Hal ini berkaitan dengan kedekatan lokasi stasiun 1 dengan tempat budidaya kepiting bakau di lahan bakau (Gambar 1). Tempat budidaya kepiting di lahan bakau meskipun dipagari dengan waring hitam, tetapi kepiting masih bisa keluar lokasi tambak bakau dengan cara menggali lubang di bawah pematang dan keluar ke saluran air terdekat. Di stasiun 3 dan 5 lokasinya berdekatan dengan tempat budidaya kepiting bakau hasil pembenihan dan juga berdekatan dengan

Kajian populasi kepiting bakau di hutan bakau... (Erfan Andi Hendrajat) 222 tambak bakau lokasi peningkatan stok kepiting bakau, sehingga hasil tangkapan kepiting bakau di stasiun tersebut relatif tinggi. Pada bulan Oktober hingga November 2012, hasil tangkapan yang paling rendah adalah di stasiun 2. Sedangkan pada bulan Desember 2012 hasil tangkapan kepiting relatif sama di semua stasiun. Hal ini mengindikasikan bahwa kepiting telah terdistribusi merata di seluruh perairan hutan bakau di ITP Marana yang kemungkinan akibat air pasang tinggi. Hill et al. (1982) menyatakan bahwa hutan bakau menyediakan pakan yang cukup untuk kepiting bakau Scylla spp. di antaranya berbagai jenis krustasea, gastropoda, dan bivalvia (Gambar 2). Gambar 2. Populasi kepiting hasil tangkapan di kawasan bakau hasil rehabilitasi di ITP Marana Hasil tangkapan pada bulan Januari 2013, nampak menurun, hal ini akibat terjadi banjir yang merendam daerah hutan bakau di ITP Marana selama 3 hari, sehingga kemungkinan banyak kepiting yang mati atau hanyut terbawa air ke laut. Sedangkan hasil tangkapan bulan Februari hingga Maret nampak mulai mengalami peningkatan. Berdasarkan uji statistik menunjukkan bahwa hasil tangkapan kepiting di stasiun 1 tidak berbeda nyata (P>0,05) dengan hasil tangkapan kepiting bakau di stasiun 3 dan 5, tetapi berbeda nyata (P<0,05) dengan hasil tangkapan kepiting di stasiun 4. Hasil tangkapan kepiting bakau di stasiun 2 lebih rendah dan berbeda nyata (P<0,05) dengan hasil tangkapan kepiting di stasiun 1, 3, 4, dan 5. Sedangkan hasil tangkapan kepiting di stasiun 3 tidak berbeda nyata (P>0,05) dengan hasil tangkapan kepiting di stasiun 4 dan stasiun 5. Komposisi dan kelimpahan tiap spesies kepiting bakau hasil tangkapan di setiap stasiun ditunjukkan pada Gambar 3, 4, 5, 6, dan 7. Di stasiun 1, terdapat dua tren puncak hasil penangkapan kepiting yaitu dari bulan April dan puncaknya di bulan Juli dan September sebanyak 24 ind./4 kali tangkap dan 15 ind./4 kali tangkap. Tingginya hasil tangkapan pada bulan Juli 2012 terutama pada stasiun 1 disebabkan posisi stasiun 1 berdekatan dengan lokasi budidaya silfo kultur di mana kepiting dari tambak silfo kultur banyak yang lepas keluar dari tambak setelah masuk bulan ketiga pemeliharaan. Puncak kedua terjadi dari bulan Oktober hingga Maret 2013. Jumlah hasil tangkapan tertinggi dijumpai pada bulan Desember 2012 dan Februari 2013 masing-masing sebanyak 14 dan 15 ind./4 kali tangkap. Dominasi spesies kepiting hasil tangkapan adalah S. olivacea dan diikuti oleh spesies S. serrata. S. olivacea merupakan Jenis kepiting asli pantai Barat, Selatan dan Timur Sulawesi Selatan, jenis kepiting ini banyak tertangkap di kawasan mangrove Malili Kabupaten Luwu, Kabupaten Wajo, Kabupaten Bone, Kabupaten Sinjai, juga di Kabupaten Maros dan Pangkep. Pada bulan Maret S. serrata mulai menggeser dominasi S. olivacea dan nampak nyata di stasiun 3 dan 4 di mana jumlah hasil tangkapan pada bulan Februari dan Maret 2013 S. serrata lebih banyak dari pada S. olivacea. Di Stasiun 2, tren kepiting hasil tangkapan hampir sama dengan stasiun 1, yaitu puncak tertinggi jumlah kepiting hasil tangkapan diperoleh pada bulan September dan Desember 2012 dengan jumlah hasil tangkapan antara 15-25 ind./4 kali tangkap. Hasil tangkapan kepiting di stasiun 4 nampak berbeda, di mana puncak tertinggi hasil tangkapan kepiting adalah pada bulan September yang didominasi oleh S. serrata dengan jumlah tangkapan mencapai 13 ind./4 kali tangkap (Tabel 1).

223 Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2013 Gambar 3. Komposisi dan kelimpahan kepiting bakau hasil tangkapan di stasiun 1 hutan bakau ITP Marana Gambar 4. Komposisi dan kelimpahan kepiting bakau hasil tangkapan di stasiun 2 hutan bakau ITP Marana Gambar 5. Komposisi dan kelimpahan kepiting bakau hasil tangkapan di stasiun 3 hutan bakau ITP Marana Gambar 6. Komposisi dan kelimpahan kepiting bakau hasil tangkapan di stasiun 4 hutan bakau ITP Marana Gambar 7. Komposisi dan kelimpahan kepiting bakau hasil tangkapan di stasiun 5 hutan bakau ITP Marana Total hasil tangkapan sebanyak 651 individu selama satu tahun dari bulan April 2012 hingga Maret 2013. Penangkapan kepiting tersebut dilakukan pada saat air puncak pasang tinggi dan dilakukan selama dua hari (4 kali tangkap) setiap bulan. Jumlah alat tangkap yang digunakan sebanyak 70 unit. Dengan demikian kepadatan kepiting yang tertangkap rakkang sebanyak 651/70/4 = 2,32 ind. kepiting/rakkang/hari. Jumlah hasil tangkapan tersebut ternyata lebih tinggi dari pada jumlah kepiting yang tertangkap/rakkang/hari di hutan bakau alami (1,89 ind. kepiting/rakkang/hari) ataupun di hutan mangrove hasil rehabilitasi di Filipina (1,71 dan 0,8 ind. kepiting/rakkang/hari) (Walton et al., 2007). Untuk upaya konservasi dan peningkatan produksi kepiting bakau di hutan bakau maka pengetahuan yang perlu diperdalam adalah patologi, ekofisiologi, genetik, dan reproduksinya (Biswaranjan & Chainy, 2012).

Kajian populasi kepiting bakau di hutan bakau... (Erfan Andi Hendrajat) 224 Tabel 2. Jumlah dan jenis kepiting bakau yang tertangkap di hutan bakau ITP Bulan Jumlah S. serrata S. olivacea S. paramamosain Kelimpahan (%) Jumlah Kelimpahan (%) Jumlah Kelimpahan (%) S. transquebarica Jumlah Kelimpahan (%) April 3 17,6 7 41,2 7 41,2-0 17 Mei 3 13 19 82,6 1 4,3-0 23 Juni 9 17,3 43 82,7-0 - 0 52 Juli 14 20 55 78,6 1 1,4-0 70 Agustus 17 27,9 44 72,1-0 - 0 61 September 29 28,7 70 69,3-0 2 2 101 Oktober 22 36,7 37 61,6-0 1 1,7 60 Nopember 11 23,9 34 73,9-0 1 2,2 46 Desember 26 32,1 55 67,9-0 - 0 81 Januari 13 41,9 17 54,8-0 1 3,2 31 Februari 23 43,4 30 56,6-0 - 0 53 Maret 35 62,5 20 35,7-0 1 1,8 56 Total Jumlah hasil tangkapan rakkang di hutan bakau ITP Marana relatif lebih tinggi dari hutan bakau lainnya. Hal ini karena adanya beberapa aktivitas penelitian di antaranya pembenihan kepiting yang produksinya langsung ditebar di tambak, meskipun diberi pakan, tetapi tidak pernah dipanen massal. Panen hanya beberapa ekor yang sudah memijah ataupun matang gonad penuh dan selanjutnya ditetaskan di hatcheri. Jumlah kepiting hasil pembenihan dapat dilihat pada Tabel 1. Di samping itu, adanya penelitian budidaya kepiting bakau secara silfo kultur, di mana kepiting ditebar dengan padat tebar 1-5 ekor/m2 dengan total benih ditebar sebanyak 2.700 ind. Selanjutnya adanya penebaran kepiting untuk peningkatan stok kepiting bakau sebanyak 2.100 ind. pada lahan mangrove yang dipagari seluas 2,1 ha. Dengan demikian berdasarkan kalkulasi jumlah kepiting bakau yang ditebar di areal mangrove dan tambak ITP Marana sebanyak 18.400 ind. (Tabel 1). Tabel 3. Panjang dan lebar karapas, serta bobot kepiting yang tertangkap rakkang di hutan bakau ITP Marana Bulan Panjang karapas (mm) Kisaran Lebar arapas (mm) Bobot (g) Jumlah tertangkap Kepiting muda/lebar < 100 mm (%) Kepiting dewasa/lebar > 100 mm (%) April 50-100 70-145 85,96-800 17 47,06 52,94 Mei 20-90 32-140 5,6-590 23 78,26 21,74 Juni 30-140 44-169 13,86-596,85 52 82,69 17,31 Juli 25-85 40-115 11,3-377,92 70 77,14 22,86 Agustus 30-85 45-125 14-411 61 68,85 31,15 September 30-115 45-160 16-855 101 67,33 32,67 Oktober 23-80 40-120 8-488 60 83,33 16.67 Nopember 30-85 45-130 20-319 46 86,07 13,93 Desember 20-80 30-115 40-405 81 77,11 22,78 Januari 30-85 60-130 24-471 31 58,06 41,93 Februari 33-100 55-150 22-605 53 73,58 26,41 Maret 30-85 45-125 16-378 56 48,07 51,92 Rata-rata 70,62 29,38

225 Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2013 Jumlah kepiting yang tertangkap rakkang pada waktu sampling setiap bulan ukurannya bervariasi dari tingkat benih hingga induk dewasa baik jantan maupun betina. Berdasarkan persentase maka jumlah kepiting bakau muda selalu lebih banyak tertangkap pada setiap bulan dibanding kepiting ukuran dewasa (lebar karapas > 100 mm). Pada bulan April persentasi kepiting muda maupun kepiting dewasa yang tertangkap agak berimbang yaitu masing-masing 47% dan 53%. Sedangkan pada bulanbulan berikutnya persentase kepiting muda selalu lebih tinggi dari pada kepiting dewasa. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kepiting bakau yang masuk ke daerah mangrove untuk mencari makan pada saat air pasang adalah didominasi kepiting ukuran kecil dengan lebar karaps < 100 mm. Kepiting seperti krustasea lainnya tidak mempunyai bagian-bagian tubuh yang keras yang dapat digunakan untuk melacak umur, untuk itu metode interpretasi data frekuensi panjang (dalam hal ini lebar karapas) adalah yang paling umum digunakan. Dari analisis pertumbuhan lebar karapas didapat persamaan regresi (Gulland & Holt, 1959 dalam Pauly, 1984) variabel bebas (x) berpengaruh nyata (signifikan) terhadap y (variabel tak bebas). Persamaan regresi: Y= 21,78-2x di mana: Variabel bebas (x)= (Lt+Lt+1)/2 Variabel tak bebas (y)= L/ T Nilai konstanta pertumbuhan (k)=-b =2 Lebar infinity (L oo )= -a/b= 10,89 cm Pendugaan hubungan umur dengan lebar karapas kepiting berdasarkan persamaan Von Bertalanffy (Pauly, 1984): Lt = L oo (1-e -k(t-t0) ) Dengan demikian bentuk persamaan pertumbuhan adalah sebagai berikut: Lt = 10,89 (1-e -2(t-t0) ) Nilai L oo = 10,89 ini lebih rendah dibanding L oo kepiting bakau dari Segara Anakan, Cilacap yaitu sebesar 12,90 cm (Toro, 1982). Hal ini disebabkan lebih banyak kepiting muda (ukuran benih) yang tertangkap di kawasan hutan bakau ITP Marana dengan menggunakan alat tangkap rakkang, selain itu, penelitian ini dilaksanakan pada tahun pertama kegiatan peningkatan stok kepiting bakau di kawasan tersebut. Kondisi lingkungan juga memengaruhi kecepatan pertumbuhan kepiting bakau. Gunarto et al. (1987) melaporkan bahwa laju pertumbuhan kepiting lebih lambat pada kadar garam 30-32 ppt dibandingkan dengan kadar garam 10-20 ppt. Kadar garam di kawasan hutan bakau ITP Marana berkisar 0-61 ppt. Jumlah benih kepiting bakau yang digunakan untuk stocking di kawasan bakau seluas sekitar 10 ha sebanyak 18.400 ind. dengan asumsi harga per ind. @ Rp 1.000,- maka total dana yang dikeluarkan untuk pengadaan benih sebanyak Rp 18.400.000,-. Seandainya panen/penangkapan kepiting di areal lahan bakau tersebut dimulai setelah satu tahun dari penebaran dan dilakukan selama 2 hari (4 kali tangkap/bulan) dengan jumlah rakkang sebanyak 70 unit. Dalam satu tahun diperoleh kepiting bakau sebanyak 647 ind. Jumlah tersebut sebanyak 70,62% adalah kepiting muda dengan lebar karapas <100 mm dan bobot < 200 g, sedangkan sisanya yaitu sebanyak 29,38% merupakan kepiting dewasa dengan lebar karapas > 100 mm dan berjumlah sekitar 187 ind. kepiting atau sekitar 37,4 kg (1kg terdiri atas 5 ind. dengan bobot @ 200 g) yang bisa langsung dijual dengan harga per kg Rp 50.000,- Rp 100.000,-. Sedangkan sisanya sebanyak 460 ind. kepiting bisa dibesarkan di tambak, atau untuk restocking di kawasan hutan bakau. Apabila panen/penangkapan kepiting bakau dilakukan selama 6 hari (12 kali tangkap/bulan) dalam 2 kali periode pasang, diharapkan bisa diperoleh sebanyak 1.941 ind./tahun, di mana 112 kg adalah kepiting ukuran konsumsi yang bisa langsung dijual dengan harga @ Rp 50.000,- Rp 100.000,- per kilogram. Artinya bahwa setiap bulan hanya diperbolehkan menjual sebanyak 9 kg kepiting

Kajian populasi kepiting bakau di hutan bakau... (Erfan Andi Hendrajat) 226 ukuran konsumsi. Sedangkan kepiting yang ukurannya lebih kecil bisa digemukkan, untuk produksi kepiting cangkang lunak atau dibesarkan di tambak untuk restocking kembali. Hasil pengukuran kualitas air di lahan bakau ITP Marana, Maros dapat dilihat pada Tabel 4. Pada musim hujan terutama pada bulan Januari, salinitas terendah mencapai 0 ppt dijumpai di stasiun 2, sedangkan stasiun lainnya salinitas terendah adalah 2 ppt. Pada musim kemarau (bulan September hingga Desember) salinitas berkisar 47-61 ppt. Hal tersebut akibat tidak adanya sumber air tawar yang masuk ke pertambakan mangrove di ITP Marana. Kondisi ini menyebabkan banyak kepiting bakau mati akibat gagal ganti kulit. Salinitas yang baik untuk pertumbuhan kepiting bakau adalah 15 ppt (Gunarto et al., 1987). Konsentrasi oksigen terlarut di kawasan perairan hutan bakau Marana nampak sangat berfluktuatif di semua stasiun. Hal ini berkaitan dengan proses pembusukan dedaunan mangrove dan adanya pasang surut. Konsentrasi oksigen terendah pada saat air surut pada kisaran 0,4-2,28 mg/l. Sedangkan pada saat air pasang pada kisaran 4,76-8,04 mg/l. Purnamaningtyas & Syam (2010) melaporkan bahwa habitat kepiting di hutan bakau Mayangan, Subang dengan kandungan oksigen 1,94-3,78 mg/l; ph 7,7-8,3; dan salinitas 19-33 ppt. Kepiting bakau mampu hidup pada perairan dengan konsentrasi oksigen yang rendah, karena kepiting biasanya hidup membenamkan dirinya di lumpur, namun pada saat pergantian kulit biasanya diperlukan konsentrasi oksigen yang tinggi. Kisaran suhu air terluas di perairan hutan bakau Marana dijumpai di stasiun 1 dan 2 yaitu 28,3 C-36,1 C dan 26,6 C-34,9 C. Sedang yang mempunyai kisaran suhu tersempit adalah di stasiun 5 yaitu 28 C-33,9 C. Nilai ph air di semua stasiun berada pada kisaran 7,5-8. Berdasarkan data hasil tangkapan kepiting, maka di stasiun 2 paling sedikit jumlah kepiting bakau yang tertangkap rakkang. Hal ini kemungkinan ada kaitan dengan salinitas dan suhu yang paling rendah dijumpai di stasiun 2. Sedangkan yang paling banyak kepiting tertangkap adalah di stasiun 3 diikuti oleh stasiun 4, 1, dan 5. Tabel 4. Kisaran beberapa parameter kualitas air di kawasan bakau ITP Marana, Maros Parameter Status 1 2 3 4 5 Salinitas (ppt) 2-47 0-52 2-59 2-49 2-61 DO (mg/l) 0,4-8,04 0,98-5,96 1,89-7,21 2,28-4,76 1,97-7,5 Suhu air ( C) 28,3-36,1 26,6-34,9 27,8-34,9 27,8-33,5 28,0-33,9 ph air 7,5-8,0 7,5-8,0 7,5-8,0 7,5-8,0 7,5-8,0 KESIMPULAN Komposisi jenis kepiting bakau yang tertangkap dengan rakkang di kawasan bakau ITP Marana dengan jenis yang memiliki kelimpahan tertinggi adalah S. olivacea sebesar 35,7%-82,7%; S. serrata sebesar 13% 62,5%; S. paramamosain sebesar 1,4%-41,2% dan S. tranquebarica sebesar 1,7%-3,2%. Jumlah hasil tangkapan kepiting bakau menggunakan alat tangkap rakkang di hutan bakau ITP Marana relatif lebih tinggi dibanding hutan bakau lainnya yakni 2,32 ind. kepiting/rakkang/hari. Kegiatan rehabilitasi ekosistem mangrove, adanya kegiatan pembenihan yang produksinya langsung ditebar di tambak, serta kegiatan pemacuan stok kepiting bakau menyebabkan terjadinya peningkatan populasi kepiting bakau di kawasan tersebut. DAFTAR ACUAN Biswaranjan, P. & Chainy, G.B.N. 2012. Biology and conservation of the genus Scylla spp. in India subcontinent. J. Environ Biol., 33: 871-879. Chandrasekaran, V.S. & Natarajan, R. 1994. Seasonal abundance and distribution of seeds of mud crab Scylla serrata in Pichavaram mangrove, Southeast India. J. Aqua Trop., 9: 343-350. Gunarto, Mustafa, A., & Suharyanto. 1987. Pemeliharaan kepiting bakau, Scylla serrata Forskal pada berbagai tingkat kadar garam dalam kondisi laboratorium. J. Penel. Bud. Pantai, 3(2): 60-64.

227 Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2013 Gunarto, Daud, R., & Usman. 1999. Kecenderungan penurunan populasi kepiting bakau di perairan muara sungai Cenranae, Sulawesi Selatan ditinjau dari analisis parameter sumberdaya. J. Pen. Perik. Pantai, 5(3): 30-37. Hill, B.J., Williams, M.J., & Dutton, P. 1982. Distribution of juvenile subadult and adult Scylla serrata on tidal flat of Australia. Marine Biology, 69: 117-120. Keenan, C.P., Davie, P.J.F., & Mann, D.L. 1998. A revision of the Genus Scylla de Haan, 1833 (Crustacea: Decapoda: Brachyura: Portunidae). Raffles Bull. Zool., 46: 217 45. Lebata, J.H., Le Vay, L., Primavera, J.H., Walton, M.E.M., & Binas, J.B. 2007. Population and fisheries of Scylla spp. in the mangrove of Naisud and Bugtong Bato, Ibajay, Aklan, Philiphina. Bull. Mar. Sci., 80: 891-904. Lewis, L.V., Lebata, J.H., Walton, M.E., Primavera, J., Quinitio, E., Lavilla-Pitogo, C., Parado-Estepa, F., Rodriguez, E., Ut, V. Ng., Truong, T. Ng., Sorgeloos, P., & Wille, M. 2008. Approaches to stock enhancement in mangrove-associated crab fisheries. Fisheries Science, 16(1-3): 72-80. Macintosh, D.J., Ashton, E.C., & Havanon, S. 2002. Mangrove rehabilitation and intertidal biodiversity. A study in Ranong mangrove ecosystem, Thailand. Estuar. Coast. Shelf Sci., 55: 331-345. Pauly, D. 1984. Some simple method for the assessment of tropical fish stock. FAO of the United Rome. Purnamaningtyas, E. & Syam, A. 2010. Kajian kualitas air dalam mendukung pemacuan stok kepiting bakau di Mayangan Subang, Jawa Barat. Limnotek, 17(1): 85-93. Toro, A.V. 1992. Pengamatan segi-segi biologi kepiting bakau (Scylla serrata Forskall) di perairan mangrove Segara Anakan, Cilacap, Jawa Tengah. Stasiun Penelitian Oseanologi Pulau Pari. LON- LIPI. Jakarta, 23 hlm. Walton, M.E., Le Vay, L., Lebata, J.H., Binas, J., & Primavera, J.H. 2006. Seasonal abundance, distribution, and reqruitment of mud crab (Scylla spp.) in replanted mangrove. Est. Coast. Shelf Sci., 66: 493-500. Walton, M.E., Le Vay, L., Lebata, J.H., Binas, J., & Primavera, J.H. 2007. Replanting of mangroves restores mud crab Scylla olivacea populations in mangrove rehabilitation efforts. Panay island, Philipphina. Biological Conservation, 138: 180-188. Williams, M.J. & Primavera, J.H. 2001. Choosing tropical Portunid species for culture, domestication and stock enhancement in the Indo-Pacific. Asian Fisheries Science, 14: 121-142.

Kajian populasi kepiting bakau di hutan bakau... (Erfan Andi Hendrajat) 228 DISKUSI Nama Penanya: Pertanyaan: Tanggapan: Pak Jojo Banyak bidang terkait genetik, apakah yang lain ikut terlibat? Apakah ada faktor lain yang menurunnya populasi/predator/hama? Kami berharap ada rekan-rekan untuk terlibat dalam penelitian ini, dari peneliti belum ada Hamanya adalah kepiting itu sendiri (kanibal) dan biawak dan juga manusia/ pencuri. Faktor faktor lain belum ada