BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang khusus terdapat

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang khusus terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut (Tjardhana dan Purwanto, 1995). Kondisi tersebut mengakibatkan ekosistem mangrove bersifat unik yaitu sebagai penghubung antara daratan dengan perairan laut sehingga akan terjadi percampuran antara organisme daratan dan lautan. Hutan mangrove adalah bagian dari komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh di perairan asin (Nybakken, 1992). Mangrove menciptakan habitat bagi banyak komunitas organisme lain, dan melalui fotosintesis mangrove menyediakan energi dasar bagi sebuah ekosistem yang luar biasa (Hogart, 2007). Sistem hutan mangrove adalah yang paling produktif diantara sistem bumi. Produktivitas umumnya ditingkatkan oleh perairan yang dangkal yang merupakan sifat dari sistem estuary alami, menguntungkan kelangsungan hidup dan pertumbuhan hampir seluruh organisme. Suatu kombinasi dari produktivitas alami yang tinggi dan air payau yang dangkal bersama-sama menyediakan habitat yang beranekaragam dan baik yang mendukung hidup hewan yang beranekaragam dan luas dalam berbagai tingkatan daur hidup (Marsoedi, 1997). 1

2 Sebagai daerah peralihan antara laut dan darat, ekosistem mangrove memiliki gradien sifat lingkungan yang tajam. Karakteristik ekosistem mangrove yang khas ini menyebabkan hutan mangrove memiliki berbagai fungsi baik dari segi fisik, biologis/ekologis dan sosial ekonomi. Berdasarkan fungsi fisiknya, hutan mangrove memiliki peranan penting dalam melindungi pantai dari gelombang besar, angin kencang dan badai. Mangrove juga dapat melindungi pantai dari abrasi, menahan lumpur, mencegah intrusi air laut dan juga menangkap sedimen. Secara ekonomis hasil hutan mangrove baik kayu maupun non kayu dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai bahan konstruksi, kayu bakar, bahan baku kertas, bahan makanan, kerajinan, obat-obatan, pariwisata, dan masih banyak lagi (Kustanti, 2011); sedangkan dari segi biologis, mangrove merupakan tempat ideal untuk berpijah (nursery ground) dari berbagai jenis larva ikan dan udang yang bernilai ekonomi penting (Wibisono, 2005). Berbagai fungsi dan manfaat hutan mangrove bagi kedua ekosistem tersebut tidak lepas dari keberadaan perakaran mangrove yang juga memiliki berbagai keunikan. Bentuk perakaran mangrove yang unik tersebut mampu terendam dalam air yang kadar garamnya bervariasi dan mampu meredam gerak pasang surut air laut sehingga secara fisik berfungsi sebagai pelindung pantai (Tjardhana dan Purwanto, 1995). Selain itu, adanya perakaran mangrove mampu menjadi penghalang bagi luruhan daun yang gugur atau seresah agar tidak terbawa arus sehingga 2

3 dapat digunakan sebagai sumber bahan organik. Bentuk perakaran vegetasi mangrove biasanya berupa akar nafas sebagai bentuk adaptasi terhadap tempat tumbuh yang kadar garamnya tinggi dan kehidupannya dipengaruhi oleh gelombang air laut. Vegetasi mangrove pada umumnya berupa akar nafas dimana akarnya menjulang ke atas karena beradaptasi terhadap lumpur yang memiliki sedikit oksigen di dalamnya serta sebagai bentuk adaptasi agar vegetasi dapat berdiri tegak di daerah lumpur yang sifatnya sangat lunak (Keeley, 2007). Salah satu komponen dari rantai makanan di perairan mangrove adalah makrobenthos. Makrobenthos pada rantai makanan tersebut memiliki peran yang sangat besar dalam penyediaan hara bagi pertumbuhan dan perkembangan pohon-pohon mangrove maupun bagi makrobenthos itu sendiri. Seresah daun yang gugur akan di dekomposisisikan oleh mikroba dengan urutan sebagai berikut : seresah mangrove dibusukkan oleh organisme saprofit, kemudian didekomposisikan oleh detritivor dan omnivor (benthos/makrobenthos). Menurut Odum (1971), fauna makrobenthos juga memiliki fungsi penting dalam rantai makanan karena merupakan sumber makanan bagi beberapa ikan dan sebagai salah satu pengurai bahan organik. Makrobenthos berperan sebagai pengaduk/penggali lumpur yang memungkinkan oksigen masuk kedalam lumpur sehingga mampu diserap oleh akar mangrove. Hal ini akan mengatasi kondisi anoksik yang sering terjadi pada ekosistem mangrove. 3

4 Kepiting bakau (Scylla serrata) adalah jenis kepiting yang hidup di habitat mangrove/hutan bakau. Scylla serrata merupakan komoditas ekspor disamping rajungan (Portunus pelagicus). Bila rajungan mempunyai nilai ekonomis penting sebagai daging dalam kaleng atau dalam keadaan beku, maka kepiting bakau dapat dipasarkan dalam keadaan hidup karena lebih tahan hidup di luar air (Juwana 2004). Scylla serrata adalah spesies kepiting bakau yang dominan di Indonesia. Diperkirakan sekitar 80% dari total pendaratan kepiting bakau adalah dari spesies ini (Cholik & Hanafi, 1991). Perikanan kepiting di Indonesia diharapkan dapat terus tumbuh di masa yang akan datang karena beberapa alasan, yaitu: adanya peningkatan permintaan pada komoditas ini yang diindikasikan dengan peningkatan harga di pasar lokal maupun internasional; sumberdaya perikanan mendukung spesies ini baik untuk penangkapan dari alam maupun budidaya; pengetahuan dan pengalaman teknik budidaya kepiting semakin berkembang (Cholik & Hanafi 1991). Kepiting banyak diminati karena daging kepiting tidak saja lezat, tetapi juga menyehatkan. Meskipun mengandung kolesterol, makanan ini rendah kandungan lemak jenuh dan merupakan sumber Niacin, Folate, dan Potassium. Selain itu juga merupakan sumber protein, Vitamin B12, Phosphorous, Zinc, Copper, dan Selenium. Selenium diyakini berperan dalam mencegah kanker dan perusakan kromosom, juga meningkatkan daya tahan terhadap infeksi virus dan bakteri. Fisheries Research and Development Corporation di Australia melaporkan bahwa dalam 100 gram daging kepiting bakau mengandung 22 mg Omega-3 (EPA), 58 mg Omega-3 (DHA), dan 15 4

5 mg Omega-6 (AA) yang penting untuk pertumbuhan dan kecerdasan anak (Muskar 2007). Walaupun memiliki banyak manfaat bagi ekosistem dan masyarakat, pengelolaan kepiting bakau di desa Bedono masih sangat rendah. Masyarakat beranggapan kepiting bakau cukup sulit untuk dikelola sehingga sebagian besar masyarakat lebih memilih rajungan yang relatif mudah untuk dikembangkan. Akibat kurangnya minat dari masyarakat, penelitian mengenai perkembangan kepiting bakau di desa Bedono juga tidak terlalu banyak. Hutan mangrove Bedono, Kabupaten Demak, Jawa Tengah merupakan salah satu kawasan rehabilitasi yang dibuat untuk mendukung kelangsungan siklus biologis dalam ekosistem hutan mangrove agar bermanfaat bagi masyarakat yang ada di sekitarnya. Hutan mangrove Bedono dikelola pada berbagai tahun tanam. Pada penelitian ini, dilakukan pengamatan pada tahun tanam 2003, 2005, dan Tahun Tanam 2003 dan 2006 berada cukup jauh dari pemukiman penduduk, sehingga untuk mencapai lokasi tersebut harus menggunakan perahu. Dahulu, tahun tanam 2003 dan 2006 masih daratan yang dapat digunakan untuk pertanian. Namun, akibat abrasi menyebabkan daratan mengalami kerusakan yang cukup besar. Tahun tanam 2005 berada dekat dengan pemukiman masyarakat sehingga kondisi hutan mangrove pada daerah ini akan sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Faktor Lingkungan ini mungkin akan berhubungan dengan perkembangan biota perairan yang terdapat di 5

6 dalamnya. Pada saat ini kondisi hutan mangrove pada tahun tanam 2003 sangat berbeda dengan tahun tanam 2005 dan Tahun tanam 2003 telah mengalami kerusakan cukup besar akibat abrasi yang terjadi bertahun-tahun sehingga dibutuhkan adanya rehabilitasi hutan mangrove untuk mempertahankan kelestarian ekosistemnya. Selain itu, rehabilitasi hutan mangrove akan dapat meningkatkan populasi biota perairan pada ekosistem tersebut. Rehabilitasi hutan bakau di kawasan pesisir pantai Desa Bedono Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak dimulai setelah adanya bantuan oleh OISCA yang bekerja sama dengan pemerintah. Rehabilitasi yang dilakukan, dipusatkan di daerah pesisir pantai yang mengalami abrasi dan banjir rob. Kerusakan hutan bakau yang paling parah yaitu di Desa Bedono Kecamatan Sayung Kabupaten Demak yang hampir sebagian besar penduduknya direlokasi ke daerah yang jauh dari bibir pantai Rumusan Masalah Kepiting merupakan biota perairan yang penyebarannya terdapat di air tawar, payau, dan laut. Namun sebagian besar kepiting yang kita kenal banyak hidup di perairan payau terutama dalam ekosistem mangrove. Kepiting bakau dapat mengindikasikan keberhasilan pengelolaan ekosistem mangrove. Dengan kemampuan adaptasi yang sangat baik, kepiting bakau menjadi salah satu spesies kunci (key spesies) pada hutan mangrove. 6

7 Pada ekosistem mangrove, kepiting bakau berfungsi sebagai dekomposer (detritivor). Kepiting bakau menguraikan seresah dari daun vegetasi mangrove yang gugur sehingga meningkatkan bahan organik pada permukaan tanah. Selain itu, kepiting bakau juga dapat menjadi distributor oksigen pada hutan mangrove. Lubang-lubang yang dibentuk oleh kepiting bakau pada permukaan tanah dapat mendistribusikan oksigen untuk memperbaiki kondisi anoksik yang terjadi pada substrat yang lebih dalam. Pada kawasan rehabilitasi mangrove desa Bedono, kepiting bakau sangat perlu dilestarikan agar dapat mendukung rantai makanan pada ekosistem hutan mangrove. Dengan pengelolaan yang baik, maka populasi kepiting bakau akan semakin tinggi sehingga masyarakat dapat memanfaatkannya untuk kebutuhan ekonomi, kesehatan, dan lain-lain. Sebagai salah satu biota perairan yang memiliki adaptasi yang cukup baik, berkurangnya spesies kepiting bakau juga dapat mengindikasikan kerusakan ekosistem hutan mangrove. Rehabilitasi hutan mangrove desa Bedono sudah dimulai oleh dinas perikanan dan kelautan kabupaten demak bekerja sama dengan lembaga swadaya masyarakat yakni, OISCA pada tahun Sampai saat ini rehabilitasi hutan mangrove masih berlangsung sehingga kerusakan lahan akibat abrasi dan banjir rob juga berangsur-angsur menurun. Berdasarkan fungsi dan manfaat dari kepiting bakau dan rehabilitasi hutan mangrove tersebut, maka dirasa perlu dilakukan 7

8 penelitian mengenai Hubungan Antara Faktor Lingkungan dan Kepadatan Kepiting Bakau (Scylla serrata) di Tiga Kawasan Rehabilitasi Mangrove Pantai Utara Kabupaten Demak, Jawa Tengah Tujuan penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Mengetahui kerapatan vegetasi mangrove pada tahun tanam 2003, 2005, dan 2006 di Hutan Mangrove Bedono, Kecamatan Sayung, Demak, Jawa Tengah. 2. Mengetahui kepadatan populasi kepiting bakau pada tahun tanam 2003, 2005, dan 2006 di Hutan Mangrove Bedono, Kecamatan Sayung, Demak, Jawa Tengah. 3. Mengetahui hubungan antara faktor fisik dan kimia perairan dengan kepadatan kepiting bakau pada tahun tanam 2003, 2005, dan 2006 di Hutan Mangrove Bedono, Kecamatan Sayung, Demak, Jawa Tengah Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan: 1. Informasi tentang besarnya kerapatan vegetasi mangrove dan kepadatan kepiting bakau pada tahun tanam 2003, 2005, dan 2006 di Hutan Mangrove Bedono, Kecamatan Sayung, Demak, Jawa Tengah. 2. Pengetahuan kepada masyarakat dan pengelola mengenai peranan rehabilitasi mangrove terhadap kepadatan kepiting bakau. 8