Mam MAKALAH ISLAM Spirit Jum'at 22 Desember 2014
Makalah Islam Spirit Jum'at Jaja Zarkasyi, MA Direktur Rumah Moderasi Islam (RUMI)
Setiap hari jum at, masjid-masjid akan dipenuhi umat Islam yang hendak menunaikan ibadah sholat Jum at. Di berbagai pelosok Jakarta, setiap jum atan jumlah jamaah bahkan meluber hingga ke jalanan. Tengok saja Masjid Cut Mutia Menteng, hingga ke taman dan bahkan di trotoar jalanan akan disesaki oleh para jamaah sholat jum at. Beberapa gedung yang tidak memiliki masjid dengan kapasitas besar, bahkan memvermak parkiran untuk dijadikan tempat sholat jumat. Rasanya kebanggaan sebagai umat Islam begitu terasa di hari jum at. Betapa tidak, pada hari jum at kita dapat menyaksikan bahwa masjid-masjid yang ada sangat sempit, sampai-sampai tidak bisa menampung jamaah yang membludak. Mereka dari berbagai profesi; supir taksi, penarik bajaj, pegawai kantoran, pegawai bank, tukang parkir, hingga para PNS membaur dalam suasana hangat, saling menyapa, saling berbagi sajadah atau koran sebagai alas. Belum lagi para penjual yang rela berbagi tempat untuk menjajakan barangnya, tanpa ada senggolan satu dengan yang lainnya. Hari jum at banyak memberi nilai yang sebetulnya tengah menghilang dari kehidupan berbangsa dan bernegara kita, setidaknya tengah meredup. Mentalitas, moralitas hingga sosial-kemasyarakatan, setidaknya itu yang tengah dilanda kiris. Mentalitas kita seperti mengarah pada individualis, mudah terpancing sebelum
tabayun, gemar mencaci daripada memberi solusi, mengkritik ala bumi hangus. Media sosial bak sampah yang dipenuhi dengan beragam gosip dan cercaan yang hanya didasarkan pada gosip-gosip tak bertuan, tak jelas asal dan usulnya. Bayangkan, ada sahabat kita yang setiap hari menampilkan link berita dari portal yang belum jelas akuntabilitasnya, profesionalitasnya. Tanpa disadari apa yang diposting telah menimbulkan banyak prasangka dan praduga buruk, menambah ruwet permasalahan, bahkan membuat orang lain sibuk dengan menjelekan keburukan, sementara lupa untuk merencanakan kebaikan yang visioner. Belajar dari semangat hari Jum at, mungkin kita perlu meningkatkan intensitas pertemuan dan sosialisasi dengan banyak kalangan dan latar belakang profesi, keahlian dan culture. Tanpa disadari, globalisasi telah menjauhkan masyarakat dari bersosialisasi, saling menyapa dan bertatap muka. Dalam jarak yang begitu jauh itu, maka apapun yang timbul dapat memicu lahirnya kesalahpahaman, kecurigaan dan bahkan permusuhan. Celakanya, banyak yang tak sadar telah terjerumus pada perangkap globalisasi, membawa agama menjauh dari kehidupan nyata, agama sebatas sebuah status di medsos. Karena itulah tepat kiranya jika silaturahim, dialog atau apapaun itu, untuk dikedepankan ketimbang
menumpahkan segala curiga dan ketidaksetujuan melalui medsos. Saya teringat dengan khutbah jum at seorang khotib di sebuah basement gedung perkantoran, 2 bulan yang lalu. Dalam khutbahnya, sang khotib mengistilahkan semakin banyak orang yang kita sapa, akan ada banyak perspektif yang akan memperkaya mentalitas dan moralitas kita. Sebaliknya, semakin sedikit dan membatasi pergaulan, akan semakin miskin dengan perspektif, dan inilah benih lahirnya pribadi yang individualis, merasa benar sendiri, merasa pintar sendiri, merasa dan merasa paling ter dan ter.. Rasanya benar, semakin kita banyak menyapa sahabat-sahabat dengan latar belakang budaya, profesi, bahkan agama sekalipun, bergaul, berdiskusi dan berdialog, akan memberi kita banyak sikap bijak dalam menyikapi perbedaan. Maka, momentum jum atan sesungguhnya memberi peringatan bagi kita bahwa masjid tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah, namun juga untuk memperkuat tali ukhuwah, solidaritas dan soliditas umat. Bisa dibayangkan jika intensitas pertemuan dan saling sapa itu sangat tingggi, maka ini akan mereduksi potensi konflik dan kesalahpahaman menjadi nilai-nilai kebersamaan da saling menghargai. Jum atan juga memberi arti penting lainnya bagi kita, yaitu semangat berbagi dalam kelapangan. Berbagi sajadah dan koran sebagai tempat sujud merupakan
cerminan bahwa kelapangan itu harus dibagi, tidak untuk dikuasai sendiri. Kita hanya mengambil tempat yang cukup untuk dapat duduk dan beridri dengan nyaman, tidak mengambil tempat yang sangat luas dan berlebihan. Mentang-mentang pejabat, lalu seenaknya mengambil tempat duduk yang begitu luas, ini tidak terjadi dalam jum atan. Semuanya berbagi, semuanya saling memberi jatah tempat yang sebelumnya memang sudah sempit. Nilai ini patut kita terapkan sebagai pengikat nilainilai kebangsaan. Semangat berbagi kelapangan merupakan nilai luhur yang akan membawa bangsa ini menjadi besar, kuat dan berwibawa. Terkadang kita bingung dengan masih adanya mereka yang tak mendapatkan akses pendidikan, kesehatan; berada dalam garis kemiskinan, keterpurukan. Darimanakah perubahan itu harus dimulai? Salah satu jawabannya adalah dimulai dari semangat berbagi kelapangan kepada sesama. Si kaya menyantuni si miskin, yang pintar mengajari yang masih terbelakang, yang kuat menyayangi yang lemah, inilah contoh semangat berbagi yang sangat kita butuhkan demi kuatnya ketahanan bangsa ini. Inilah spirit jum at yang begitu dinanti kehadirannya, hingga para jamaah rela berdesakan dan tersengat panas matahari demi menunaikan ibadah sholat jum at, demi pertemuan terbaik bersama para sahabat muslim lainnya, demi sapaan dan salaman hangat, demi kebersamaan yang begitu kuat. Inilah spirit jumat yang
telah memanggil para pekerja untuk sejenak melupakan kesibukan dan prasangka, membaur mencipta ikatan spiritual yang begitu nikmat dan menenteramkan. Rasanya akan sangat bahagia jika suasana jamaah masjid yang meluber ini juga berlaku pada sholat-sholat lainnya; subuh, zuhur, ashar, magrib dan isya. Inilah semangat perubahan yang nyata, jihad yang besar, mentransformasikan individualisme menjadi kebersamaan, persahabatan dan saling menghormati dalam keragaman. Wallâhu a lam bishshawâb. Sumber: bimasislam.kemenag.gi.id-informasi-opini