HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Cekaman Panas Selama Pemeliharaan Salama 6 minggu pemeliharaan, ayam broiler diberi tambahan sumber penerangan dan panas berupa lampu bohlam berdaya 60 watt yang dipasang sepanjang hari (24 jam) pada masing-masing kandang serta pemanas (brooder) berbahan bakar batu bara sebanyak 10 buah yang dipasang sesuai dengan keadaan suhu kandang yang mendukung cekaman panas. Hai ini bertujuan untuk menghasilkan suhu panas yang lebih ekstrim dari pada suhu normal. Cekaman panas yang didapat selain berasal dari lampu yang menyala selama 24 jam dan pemanas berbahan bakar batu bara juga dikarenakan tirai penutup kandang berupa plastik warna hitam yang tetap tertutup walaupun pada siang hari. Rataan suhu dan kelembaban lingkungan kandang blok C (perlakuan cekaman panas) periode mingguan selama 6 minggu pemeliharaan dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Rataan Suhu dan Kelembaban Relatif Lingkungan Kandang Blok C (Perlakuan Cekaman Panas) Periode Mingguan Selama 6 Minggu Pemeliharaan Periode Minggu Ke- Suhu ( o C) Kelembaban (%) Starter Finisher 1 30,67 62,34 2 29,67 70,18 3 30,81 66,82 Rataan 30,38±0,62 66,45±3,93 4 29,57 77,25 5 29,18 84,29 6 30,65 74,8 Rataan 29,80±0,76 78,78±4,93 Selama tiga minggu pertama (0-3 minggu), suhu lingkungan pemeliharaan yang sesuai bagi ayam broiler untuk mempertahankan hidupnya, yaitu sekitar 28-32 o C dengan tingkat kelembaban sebesar 60%, sedangkan pada minggu berikutnya (4-6 minggu) ayam broiler memerlukan suhu lingkungan yang lebih rendah yaitu berkisar antara 25-26 o C dengan tingkat kelembaban sebesar 60% agar pertumbuhan dan produksinya dapat optimum (Charoen Pokphand, 2005). Hasil pengukuran suhu dan kelembaban lingkungan kandang blok C selama pemeliharaan (Tabel 5) pada periode starter masing-masing 30,38±0,62 o C dan
66,45±3,93%, sedangkan pada peride finisher masing-masing 29,80±0,76 o C dan 78,78±4,93%. Berdasarkan Tabel 5, perlakuan cekaman panas dirasakan ayam broiler pada umur tiga minggu keatas karena suhu dan kelembaban lingkungan kandang yang diperoleh masing-masing berkisar antara 29,18-30,81 o C dan 66,82%- 84,9%. Kisaran suhu dan kelembaban tersebut lebih tinggi dari yang direkomendasikan oleh Charoen Pokphand (2005) yaitu 25-28 o C dengan tingkat kelembaban sebesar 60%. Tingginya suhu dan kelembaban lingkungan kandang diatas thermonetral zone selama pemeliharaan mengindikasikan bahwa adanya pemberian cekaman panas pada ayam broiler. Pengaruh cekaman panas terhadap ayam broiler selama pemeliharaan ditandai dengan perilaku ayam yang tidak banyak bergerak, saling memisahkan diri dengan melebarkan sayapnya, menempelkan tubuhnya di lantai serta panting (meningkatkan frekuensi pernapasan). Panting merupakan salah satu respon ayam broiler yang nyata akibat stress panas dan merupakan mekanisme evaporasi saluran pernapasan. North dan Bell (1990) menyatakan bahwa ayam broiler mulai panting pada kondisi lingkungan 29 o C atau ketika suhu tubuh ayam mencapai 42 o C. Sebagai pembanding (kontrol) dalam penelitian ini digunakan kandang pada kondisi thermonetral zone (kandang blok A) yang suhunya dipertahankan sesuai dengan kebutuhan pertumbuhan optimum ayam broiler pada kandang tertutup (closed house) yang didukung dengan dua buah AC (air conditioner) dan dua buah exhaust fan. Penggunaan AC dimulai pada awal minggu keempat pemeliharaan dengan tujuan suhu optimum pertumbuhan ayam broiler dapat dipertahankan. Perlakuan pada kondisi suhu normal ini digunakan sebagai pembanding terhadap peubah yang diukur pada kondisi yang mendukung cekaman panas, sehingga diperoleh taraf suplementasi selenium dan vitamin E yang optimum pada ransum ayam brolier yang dipelihara pada kondisi cekaman panas. Rataan suhu dan kelembaban lingkungan di kandang blok A (Tabel 6) selama periode starter tidak berbeda jauh dengan rataan suhu dan kelembaban di kandang blok C yaitu masing-masing sebesar 30,34±1,34 o C dan 30,38±0,62 o C dengan tingkat kelembaban masing-masing 69,70±9,62% dan 66,45±3,93%. Rataan suhu dan kelembaban lingkungan di kandang blok A selama panggunaan AC (periode finisher) masing-masing sebesar 25,22±0,05 o C dan 93,05±3,02%. Hasil pengukuran 24
suhu tersebut relatif tetap dan sesuai yang direkondasikan oleh Charoen Pokphand (2005) yaitu ±25 o C dan didukung juga oleh Kuczynski (2002) bahwa zona suhu nyaman (thermonetral zone) selama pemeliharaan untuk produktivitas optimal ayam broiler berkisar antara 19-27 o C. Rataan suhu dan kelembaban relatif lingkungan kandang blok A (kontrol) periode mingguan selama 6 minggu pemeliharaan dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Rataan Suhu dan Kelembaban Lingkungan Kandang Blok A (Kontrol) Periode Mingguan Selama 6 Minggu Pemeliharaan Periode Minggu Ke- Suhu ( o C) Kelembaban (%) 1 31,48 60,43 Starter 2 30,67 69,04 3 28,86 79,64 Finisher Rataan 30,34±1,34 69,70±9,62 4 25,22 89,93 5 25,17 95,96 6 25,27 93,25 Rataan 25,22±0,05 93,05±3,02 Selama penggunaan AC di kandang blok A menunjukkan terjadinya peningkatan rataan kelembaban lingkungan (Tabel 6). Sebelum penggunaan AC rataan kelembaban lingkungan kandang sebesar 69,70±9,62% meningkat menjadi 93,05±3,02% setelah penggunaan AC. Hal ini mungkin disebabkan oleh kurangnya jumlah exhaust fan, sehingga sirkulasi udara di dalam kandang kurang lancar. Meningkatnya kelembaban lingkungan kandang juga disebabkan oleh respirasi ayam broiler dan pengabutan dalam kandang sebagai upaya menurunkan suhu udara dalam kandang dan mengikat amoniak yang ada di udara dalam kandang. Berdasarkan rataan bobot badan akhir ayam broiler selama 6 minggu pemeliharaan, memperlihatkan bahwa tingginya kelembaban lingkungan kandang pada suhu lingkungan yang tetap (kandang blok A) tidak mempengaruhi penampilan ayam broiler. Terbukti bahwa rataan bobot badan akhir ayam broiler di kandang blok A lebih tinggi dibandingkan rataan bobot badan akhir ayam broiler di kandang blok C walaupun rataan kelembaban lingkungan kandang blok C lebih rendah dari kelembaban lingkungan kandang blok A. Hal ini didukung oleh Yahav et al. (1995) yang menyatakan bahwa meningkatnya kelembaban dalam kandang ayam broiler 25
pada suhu udara yang tetap dapat meningkatkan kondisi lingkungan kandang ayam broiler kepada kondisi thermonetral zone sehingga ayam broiler semakin merasa nyaman. Rataan bobot badan akhir ayam broiler selama 6 minggu pemeliharaan dapat dilihat pada Gambar 7. Bobot Badan (Kg) 2,05 1,90 1,75 1,60 1,45 1,30 1,15 1,00 1,67 1,64 Gambar 7. Rataan Bobot Badan Akhir Ayam Broiler Selama 6 Minggu Pemeliharaan Keterangan : E1S1= Ransum Basal; E2S1= Ransum Basal + Vitamin E 100 ppm; E3S1= Ransum Basal + Vitamin E 200 ppm; E1S2= Ransum Basal + Selenium 0,15 ppm; E2S2= Ransum Basal + Vitamin E 100 ppm + Selenium 0,15 ppm; E3S2= Ransum Basal + Vitamin E 200 ppm + Selenium 0,15 ppm; E1S3= Ransum Basal + Selenium 0,30 ppm; E2S3= Ransum Basal + Vitamin E 100 ppm + Selenium 0,30 ppm; E3S3= Ransum Basal + Vitamin E 200 ppm + Selenium 0,30 ppm; Kontrol= E1S1 pada kondisi thermonetral zone (rataan suhu lingkungan 25,22±0,05 o C). Bobot badan akhir ayam broiler selama 6 minggu pemeliharaan pada kondisi cekaman panas berkisar antara 1,64-1,76 kg lebih rendah dibandingkan rataan bobot badan pada kondisi thermonetral zone yang mencapai 2,04 kg. Rendahnya bobot badan akhir pada perlakuan cekaman panas berhubungan dengan konsumsi ransum dan pertambahan bobot badan yang rendah. Menurut Kusnadi (2006), cekaman panas pada ayam broiler dapat menurunkan konsumsi ransum, pertambahan bobot badan dan efisiensi penggunaan ransum. Menurunnya konsumsi ransum pada suhu lingkungan tinggi merupakan usaha ayam untuk mengurangi penimbunan panas dalam tubuh, walaupun harus diikuti dengan berkurangnya pertumbuhan. Suhu lingkungan tinggi akan menyebabkan terangsangnya pusat haus dan sekresi hormon kortikosteron, sementara pusat lapar dan sekresi Thyroid Stimulating Hormone (TSH) yang berperan dalam sekresi hormon tiroid dihambat sehingga pertumbuhannya terhambat. 1,69 1,65 1,69 1,75 1,68 1,64 1,76 2,04 E1S1 E2S1 E3S1 E1S2 E2S2 E3S2 E1S3 E2S3 E3S3 Kontrol Parlakuan 26
Pengaruh Perlakuan terhadap Kandungan Malondialdehida (MDA) Plasma Darah Malondialdehida (MDA) merupakan salah satu produk final dari lipid peroksida dan parameter yang mudah terdeteksi sebagai indikator tingkat kerusakan oksidatif sel/jaringan tubuh akibat radikal bebas. Senyawa tersebut dapat menimbulkan kerusakan pada komponen sel, seperti lipid, protein dan asam nukleat (Clarkson dan Thomson, 2000). Kandungan MDA plasma darah ayam broiler yang dipelihara pada kondisi cekaman panas dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Kandungan MDA Plasma Darah (ηg/ml) Ayam Broiler pada Kondisi Cekaman Panas Selenium (ppm) Vitamin E (ppm) 0 100 200 Kontrol 0 2,46±0,40 b 2,43±0,17 b 2,70±0,14 b 0,15 3,26±0,27 c 2,23±0,33 ab 2,15±0,23 ab 1,84±0,31 0,30 2,14±0,23 ab 1,85±0,50 a 1,76±0,23 a Keterangan : Superskrip non-kapital yang berbeda pada kolom dan faktor yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05). Kontrol= E1S1 pada kondisi thermonetral zone (rataan suhu lingkungan 25,22±0,05 o C). Hasil penelitian menunjukkan terjadinya peningkatan kandungan MDA plasma darah pada ayam broiler yang diberi cekaman panas dibandingkan pada perlakuan kontrol (Tabel 7). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Sahin et al. (2008) yang menyatakan bahwa cekaman panas dapat meningkatkan kandungan MDA plasma darah, hati, otot leher dan otot dada pada burung puyuh. Rataan kandungan MDA plasma darah pada perlakuan cekaman panas sebesar 2,33±0,46 ηg/ml, lebih tinggi bila dibandingkan kandungan MDA plasma darah pada perlakuan kontrol yaitu sebesar 1,84±0,31 ηg/ml. Kandungan MDA plasma darah pada perlakuan kontrol menunjukkan kandungan MDA dalam batas normal karena pada kelompok ini ayam broiler tidak diberi perlakuan dan ditempatkan pada kondisi yang sesuai untuk kebutuhan pertumbuhan optimal. Terjadinya peningkatan kandungan MDA plasma darah pada perlakuan cekaman panas ini mengindikasikan bahwa telah terjadinya stres oksidatif pada ayam broiler. Suplementasi selenium dan vitamin E pada ayam broiler yang diberi cekaman panas menghasilkan kandungan MDA plasma darah yang berbeda pada masing- 27
masing perlakuan yang berkisar antara 1,76-3,26 ηg/ml (Tabel 7). Tinggi rendahnya kandungan MDA dipengaruhi oleh kadar peroksidasi lipid, yang secara tidak langsung menunjukkkan adanya aktivitas radikal bebas akibat dari perlakuan cekaman panas yang diberikan. Ayam yang diberi suplementasi selenium dan vitamin E pada taraf maksimum penelitian memiliki kandungan MDA sebesar 1,76±0,23 ηg/ml, lebih rendah 4,35% dibandingkan dengan perlakuan kontrol (1,84±0,31ηg/ml). Hal ini memperlihatkan bahwa suplementasi selenium dan vitamin E memberikan pengaruh yang nyata (p<0,05) menurunkan kandungan MDA darah ayam broiler yang diberi cekaman panas. Berdasarkan uji lanjut Duncan diketahui bahwa level suplementasi selenium dan vitamin E yang efektif menurunkan kandungan MDA darah yaitu pada perlakuan E2S3 (kombinasi vitamin E 100 ppm dengan selenium 0,30 ppm) dan E3S3 (kombinasi vitamin E 200 ppm dengan selenium 0,30 ppm). Kandungan MDA plasma darah yang paling rendah terdapat pada kombinasi suplementasi selenium 0,3 ppm dan vitamin E 200 ppm (E3S3). Hal ini berarti kombinasi tersebut sangat efektif meredam stres oksidatif akibat cekaman panas. Suplementasi vitamin E 100 dan 200 ppm, saat dikombinasikan dengan selenium 0,15 dan 0,30 ppm cenderung menurunkan kadar MDA plasma darah. Kombinasi selenium 0,15 ppm dengan vitamin E 0 ppm menghasilkan kandungan MDA plasma darah paling tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa selenium dan vitamin E dalam mekanisme penurunan radikal bebas di dalam tubuh tidak dapat berdiri sendiri. Selenium dan vitamin E bekerja secara sinergi untuk melindungi membran seluler. Selenium dan vitamin E berfungsi sebagai antioksidan yang bereaksi dengan radikal bebas untuk membentuk produk yang lebih stabil. Peran antioksidan adalah untuk mengubah bentuk radikal bebas ke dalam ikatan-ikatan yang aman sehingga menghentikan proses peroksidasi lipid. Vitamin E bekerja mencegah terbentuknya peroksida bebas sedangkan selenium bekerja mengurangi peroksida yang sudah terlanjur terbentuk (Fellenberg dan Speisky, 2006). Menurut Noguchi dan Niki (1999), vitamin E termasuk antioksidan primer yang bekerja sebagai antioksidan pemutus rantai peroksidasi lipid dengan cara menjadi donor ion hidrogen bagi radikal bebas menjadi molekul yang lebih stabil yaitu hidroperoksida (H 2 O 2 ). 28
Pengaruh Perlakuan terhadap Kandungan Glutathione Peroksidase (GSH-Px) Plasma Darah Metabolisme nutrien dalam tubuh ternak yang mengalami cekaman panas, menghasilkan radikal bebas yang berpotensi merusak membran sel dan mengurangi fungsi-fungsi sel. GSH-Px adalah satu enzim antioksidan yang mengurangi pengaruh negatif dari radikal bebas di dalam sel-sel. Menurut Jenkinson et al. (1982) fungsi utama enzim GSH-Px yaitu mendetoksifikasi hidrogen peroksida dan mengubah hidroperoksida lipid menjadi komponen yang tidak beracun. GSH-Px mereduksi hidroperoksida (H 2 O 2 ) yang dibentuk oleh vitamin E menjadi H 2 O dan glutathione disulfide (GSSG) dengan bantuan glutathione tereduksi (GSH) (Fellenberg dan Speisky, 2006). Selenium berperan dalam pertahanan antioksidan dan merupakan bagian penting dari GSH-Px, serta ketersediaan selenium merupakan kunci efektif sintesis GSH-Px (Surai et al., 2006). Kandungan GSH-Px plasma darah ayam broiler pada kondisi cekaman panas dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Kandungan GSH-Px Plasma Darah (mu/mg protein) Ayam Broiler pada Kondisi Cekaman Panas Selenium (ppm) Vitamin E (ppm) 0 100 200 Kontrol 0 88,59±4,83 CD 91,21±1,13 D 86,39±2,60 CD 64,31±16,08 0,15 57,77±1,45 AB 108,15±5,09 E 62,59±6,94 AB 0,30 72,88±12,17 BC 95,28±6,75 D 42,77±29,95 A Keterangan: Superskrip kapital yang berbeda pada kolom dan faktor yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01). Kontrol= E1S1 pada kondisi thermonetral zone (rataan suhu lingkungan 25,22±0,05 o C). Hasil penelitian menunjukkan terjadinya peningkatan kandungan GSH-Px plasma darah pada ayam broiler yang diberi cekaman panas. Hal ini sejalan dengan Pamok et al. (2009) bahwa aktivitas enzim GSH-Px pada ayam broiler yang diberi cakaman panas meningkat pada awal periode, kemudian menurun seiring dengan berlangsungnya cekaman panas. Rataan kandungan GSH-Px plasma darah pada perlakuan cekaman panas sebesar 78,40±20,85 mu/mg protein, lebih tinggi bila dibandingkan kandungan GSH-Px plasma darah pada perlakuan kontrol yaitu sebesar 64,31±16,08 mu/mg protein. Peningkatan kandungan GSH-Px plasma darah ini mengindikasikan bahwa telah terjadinya stres oksidatif pada ayam broiler. 29
Suplementasi selenium dan vitamin E pada ayam broiler yang diberi cekaman panas menghasilkan kandungan GSH-Px plasma darah yang berbeda pada masingmasing perlakuan yang berkisar antara 42,77-108,15 mu/mg protein (Tabel 8). Suplementasi selenium dan vitamin E memberikan pengaruh yang sangat nyata (p<0,01) menurunkan kandungan GSH-Px plasma darah ayam broiler yang diberi cekaman panas. Ayam yang diberi suplementasi selenium dan vitamin E pada taraf maksimum penelitian memiliki kandungan GSH-Px sebesar 42,77±29,95 mu/mg protein lebih rendah 33,49% dibandingkan dengan perlakuan kontrol (64,31±16,08 mu/mg protein). Berdasarkan uji lanjut Duncan diketahui bahwa level suplementasi selenium dan vitamin E yang efektif menurunkan kandungan GSH-Px darah yaitu pada perlakuan E3S3 (kombinasi vitamin E 200 ppm dengan selenium 0,30 ppm). Kandungan GSH-Px tertinggi terdapat pada perlakuan E2S2 yaitu sebesar 108,15 mu/mg protein. Hal ini menunjukkan bahwa taraf kombinasi selenium dan vitamin E tersebut kurang efektif dalam menetralisir radikal bebas akibat cekaman panas. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi taraf suplementasi selenium (0,3 ppm) mengakibatkan semakin rendahnya kandungan GSH-Px plasma darah ayam broiler. Hal ini membuktikan bahwa selenium sebagai komponen enzim GSH-Px bekerja mengurangi peroksida yang sudah terlanjur terbentuk, sehingga menekan sekresi enzim GSH-Px di dalam tubuh dengan bantuan vitamin E sebelumnya. Menurut Piliang (2004), vitamin E dapat mencegah kehilangan selenium dari tubuh atau mempertahankannya dalam bentuk aktif, dengan mencegah oto-oksidasi lemak membran dari dalam, vitamin E juga mengurangi jumlah GSH-Px yang dibutuhkan untuk merusak peroksida yang dibentuk dalam sel. Pengaruh Perlakuan tehadap Bobot Organ Limfoid Kinerja sistem imun dapat diukur dari bobot relatif organ limfoid. Menurut Tizard (1988) beberapa organ yang berperan di dalam reaksi tanggap kebal antara lain bursa fabricius, timus, limpa dan caecal tonsil. Organ limfoid primer pada unggas terdiri dari bursa fabricius dan timus. Bursa fabricius berperan pada pematangan limfosit B dan timus berperan pada pematangan limfosit T. Penurunan bobot relatif organ limfoid bursa fabricius dan timus yang dapat dijadikan sebagai indikator imunosupresi sebagai akibat dari perlakuan cekaman panas. 30
Sistem imun pada unggas bekerja secara umum seperti sistem imun pada mamalia. Stimulasi antigenik menginduksi respons imun yang dilakukan sistem seluler secara bersama-sama diperankan oleh makrofag, limfosit B, dan limfosit T. Makrofag memproses antigen dan menyerahkannya kepada limfosit. Limfosit B berperan sebagai mediator imunitas humoral, mengalami transformasi menjadi sel plasma dan memproduksi antibodi. Limfosit T mengambil peran pada imunitas seluler dan mengalami diferensiasi fungsi yang berbeda sebagai subpopulasi (Sharma, 1991). Bursa Fabricius Suplementasi selenium dan vitamin E serta interaksi antar keduanya tidak mempengaruhi bobot bursa fabricius ayam broiler yang diberi cekaman panas (Tabel 9). Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase bobot bursa fabricius pada perlakuan kontrol lebih tinggi (0,08±0,02%) dibandingkan persentase bobot bursa fabricius pada perlakuan cekaman panas yang berkisar antara 0,04%-0,06%. Nilai persentase bobot bursa fabricius pada penelitian ini lebih rendah bila dibandingkan hasil penelitian Niu et al. (2009) yang menyatakan bahwa persentase bobot bursa fabricius ayam broiler umur 42 hari (6 minggu) pada kondisi thermoneutral zone (23,9 o C) rata-rata 0,17% dari bobot hidup. Persentase bobot bursa fabricius ayam broiler pada kondisi cekaman panas dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Persentase Bobot Bursa Fabricius Ayam Broiler pada Kondisi Cekaman Panas Selenium (ppm) Vitamin E (ppm) 0 100 200 Rata-rata 0 0,06±0,02 0,05±0,02 0,06±0,00 0,06±0,00 0,15 0,05±0,01 0,05±0,02 0,05±0,02 0,05±0,00 0,30 0,05±0,00 0,04±0,00 0,04±0,01 0,04±0,00 Rata-rata 0,05±0,00 0,05±0,01 0,05±0,001 0,05±0,01 Kontrol 0,08±0,02 Keterangan : Kontrol= E1S1 pada kondisi thermonetral zone (rataan suhu lingkungan 25,22±0,05 o C). Penurunan persentase bobot bursa fabricius pada perlakuan cekaman panas mengindikasikan bahwa telah terjadinya stres oksidatif pada ayam broiler. Keadaan ini sesuai dengan hasil penelitian Kusnadi (2009), yang menyatakan bahwa 31
meningkatnya suhu lingkungan dapat menyebabkan menurunnya bobot bursa fabricius. Bursa fabricius sebagai organ limfoid primer sangat dipengaruhi oleh hormon kortikosteron. Ternak yang menderita cekaman panas biasanya terjadi peningkatan kandungan hormon kortikosteron dan kortisol dalam darah. Hormon kortikosteron dan kortisol diklasifikasikan sebagai glukokortikoid. Pelepasan glukokortikoid menimbulkan berbagai efek terhadap metabolisme normal tubuh, seperti gangguan sekresi hormon, pertahanan (imunitas) tubuh, pertumbuhan dan aktivitas reproduksi (Sugito, 2007). Menurut Guyton (1983), peranan utama kortikosteron dan kortisol terdapat pada peristiwa glukoneogenesis yaitu perombakan (katabolisme) dari non karbohidrat sebagai usaha penyediaan glukosa darah, sehingga terjadi penurunan pertumbuhan. Selain itu menurut Siegel (1995) hormon kortikosteron juga dapat menekan pertumbuhan organ limfoid (bursa fabricius dan timus). Pengaruh suhu lingkungan tinggi terhadap aktivitas hormonal tubuh ayam, secara skematis disajikan pada Gambar 8. Gambar 8. Pengaruh Suhu Lingkungan Tinggi terhadap Aktivitas Hormonal Ayam Sumber : Guyton, 1983 32
Menurunnya bobot bursa fabricius pada penelitian ini menunjukkan bahwa suplementasi selenium dan vitamin E pada ransum ayam broiler yang dipelihara pada kondisi cekaman panas diduga tidak dapat menurunkan produksi hormon kortikosteron, sehingga bobot bursa fabricius tetap rendah. Timus Hasil penelitian menunjukkan bahwa suplementasi selenium dan vitamin E tidak mempengaruhi persentase bobot timus pada ayam broiler yang dipelihara pada kondisi cekaman panas. Sama halnya dengan persentase bobot bursa fabricius, persentase bobot timus juga cenderung mengalami penurunan selama berada pada kondisi cekaman panas. Persentase bobot timus pada perlakuan kontrol lebih tinggi (0,50±0,09%) dibandingkan persentase bobot timus pada perlakuan cekaman panas yang berkisar antara 0,28%-0,48%. Hasil penelitian Niu et al. (2009) menyatakan bahwa persentase bobot timus ayam broiler umur 42 hari (6 minggu) rata-rata 0,30% dari bobot hidup. Persentase bobot timus ayam broiler pada kondisi cekaman panas disajikan dalam Tabel 10. Tabel 10. Persentase Bobot Timus Ayam Broiler pada Kondisi Cekaman Panas Vitamin E (ppm) Selenium (ppm) Rata-rata 0 100 200 0 0,37±0,16 0,39±0,03 0,48±0,13 0,41±0,06 0,15 0,37±0,13 0,32±0,13 0,32±0,02 0,34±0,03 0,30 0,29±0,11 0,28±0,08 0,31±0,05 0,29±0,02 Rata-rata 0,34±0,05 0,33±0,06 0,37±0,10 Kontrol 0,50±0,09 Keterangan : Kontrol= E1S1 pada kondisi thermonetral zone (rataan suhu lingkungan 25,22±0,05 o C). Terjadinya penurunan bobot timus pada perlakuan cekaman panas mengindikasikan bahwa ayam broiler pada penelitian mengalami tingkat stres yang tinggi akibat cekaman panas. Tizard (1988) menyatakan bahwa timus yang mengalami atrofi cepat merupakan indikator reaksi terhadap stres, sehingga hewan yang mati sesudah menderita sakit yang lama mungkin mempunyai timus yang sangat kecil. Timus berperan pada pematangan limfosit T. Limfosit T adalah sel di dalam salah satu grup sel darah putih yang memainkan peran utama pada kekebalan selular. 33
Limfosit T mampu membedakan jenis patogen dengan kemampuan berevolusi sepanjang waktu demi peningkatan kekebalan setiap kali tubuh terpapar patogen. Hal ini dimungkinkan karena sejumlah sel T teraktivasi menjadi sel T memori dengan kemampuan untuk berkembang biak dengan cepat untuk mengingat infeksi tertentu dan sistematika perlawanannya. Oleh karena itu, pengaruh level suplementasi selenium dan vitamin E belum memberikan pengaruh terhadap persentase bobot timus ayam broiler yang diberi cekaman panas. Hal ini dapat dimengerti mengingat cekaman panas tidak secara langsung menyerang organ atau jaringan limfoglanula (pembentuk kekebalan) atau jaringan pertahanan, tetapi cekaman panas dapat menimbulkan efek imunosupresi (penekanan/penurunan kekebalan). Rao et al. (2004) melaporkan bahwa suplementasi selenium sebesar 0,25-0,50 ppm dalam ransum diperlukan untuk imunitas ayam pedaging. Taraf suplementasi ini bisa menguntungkan selama ayam terjangkit penyakit, stres, keracunan akibat pakan, dan vaksinasi. Namun pada penelitian ini suplementasi selenium tidak mempengaruhi imunitas ayam broiler yang dipelihara pada kondisi cekaman panas. Hal ini diduga karena masih rendahnya taraf suplementasi selenium yang diberikan, sehingga pemanfaatannya di dalam tubuh juga rendah. 34