I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu faktor penting agar ayam dalam suatu peternakan dapat tumbuh dan berproduksi secara maksimal adalah kelompok ayam pada peternakan tersebut harus dalam keadaan sehat. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa walaupun semua aspek manajemen peternakan, yaitu bibit, pakan, sistem pemeliharaan, program kesehatan, dan sistem pemasaran produk telah dikelola secara maksimal, kerapkali masih terjadi letupan penyakit yang dapat menimbulkan kerugian pada pemilik peternakan. Berdasarkan target primernya, penyakit pada ayam dapat dikelompokkan antara lain sebagai penyakit pernapasan, penyakit pencernaan, penyakit sistem imun dan penyakit sistem reproduksi (Tabbu, 1996). Salah satu penyakit yang sering ditemukan pada berbagai peternakan ayam di Indonesia adalah infectious coryza (snot). Infectious coryza (snot) adalah penyakit pernapasan pada ayam, yang disebabkan oleh bakteri dan berlangsung akut sampai kronis. Secara umum snot adalah penyakit yang menyebabkan morbiditas tinggi, tetapi mortalitas rendah. Penyakit ini bersifat sangat infeksius dan menyerang saluran pernapasan bagian atas (El-sawah et al., 2012; Blackall et al., 2005; Blackall, 1999; Droual et al., 1990; Yamamoto, 1984). Infectious coryza disebabkan oleh Avibacterium paragallinarum (Av. paragallinarum) yang sebelumnya dikenal dengan nama Haemophilus paragallinarum (Blackall et al., 2005). Penyakit ini mempunyai dampak 1
2 ekonomik yang merugikan pada industri perunggasan di berbagai negara di dunia meliputi Amerika, Uni Eropa, Australia, Afrika dan Asia. Dampak ekonomi yang tinggi sehubungan dengan peningkatan jumlah ayam yang diafkir, penurunan produksi telur, penurunan berat badan, hambatan pertumbuhan, peningkatan biaya pengobatan, dan sejumlah mortalitas (Droual et al., 1990; Blackall, 1999). Di Indonesia, penyakit ini dapat ditemukan di berbagai daerah pada ayam petelur, ayam bibit (parent stocks, PS), dan ayam pedaging. Penyakit ini terutama menyerang ayam dara sampai layer dewasa, walaupun ayam semua umur, sejak umur 3 minggu sampai masa produksi dapat diserang, disamping itu kasus snot juga banyak dilaporkan terjadi pada ayam pedaging dan burung puyuh (Yamamato, 1991). Snot kerapkali ditemukan bersama-sama dengan penyakit lainnya di lapangan, misalnya chronic respiratory diseases (CRD), swollen head syndrome (SHS), infectious bronchitis (IB), kolibasilosis, Infectious laryngotracheitis (ILT), dan fowl pox bentuk basah (wet pox). Mortaliltas akan lebih tinggi dan proses penyakit akan lebih lama pada kondisi ini (Yamamoto, 1972; Sandoval et al., 1994). Diagnosis sangkaan terhadap snot dapat didasarkan atas gejala klinis dan perubahan patologi yang ditimbulkan oleh penyakit ini. Diagnosis akhir dapat dilakukan dengan isolasi dan identifikasi bakteri dari kasus snot pada stadium akut yaitu antara 1-7 hari pasca infeksi (Tabbu, 2000). Diagnosis snot dapat juga dilakukan secara in vivo dengan cara inokulasi pada ayam yang sensitif
3 menggunakan eksudat dari sinus ayam sakit atau suspensi kultur kuman Av. paragallinarum. Metode lain untuk mendiagnosis penyakit ini adalah secara serologik dengan uji agar gel presipitasi (AGP), uji hemaglutinasi inhibisi (HI), uji hemaglutinasi (HA) tidak langsung dan uji fluorescent abtibody (FA) langsung (Blackall, 2011). Uji serologis dapat dilakukan untuk menentukan serotipe agen penyebab snot. Av. paragallinarum memiliki strain dengan antigenisitas yang berbeda, dan sampai saat ini terdapat tiga serotipe yang telah dikarakterisasi, yaitu serotipe A, B, dan C. Serotipe A dan serotipe C dikenal sebagai serotipe yang virulen, tetapi sekarang ditemukan bahwa Serotipe B juga memiliki peranan dalam kejadian penyakit snot namun tidak menunjukkan gejala klinis yang signifikan (Yamaguchi et al., 1990 Tabbu, 2000). Penelitian serotipe Av. paragallinarum di Indonesia belum banyak dilaporkan sehingga sebaran jenis serotipe di Indonesia belum banyak diketahui. Hasil penelitian sebelumnya oleh Wahyuni et al. (2011) telah diisolasi dan diidentifikasi Av. paragallinarum serotipe C. Infectious coryza sulit diberantas oleh karena faktor-faktor pendukung sulit dihilangkan, sehubungan dengan kondisi manajemen peternakan dan cuaca di Indonesia, misalnya sistem perkandangan (ventilasi kurang memadai, jarak antara kandang sempit, kepadatan kandang dan kadar amoniak yang tinggi), umur ayam yang bervariasi dalam satu lokasi, fluktuasi temperatur, dan kelembaban yang cenderung tinggi.
4 Penyakit ini dapat dicegah dengan pemberian vaksin in aktif pada ayam petelur atau parent stocks, pada fase grower dan menjelang produksi telur. Sehubungan dengan kenyataan bahwa vaksin snot hanya memberikan kekebalan silang yang minimal diantara berbagai serotipe Av. paragallinarum, maka vaksin yang terbaik seharusnya bersifat otogenus atau homolog dengan kuman penyebab snot yang terdapat dilapangan. Dalam hal ini menggunakan vaksin snot yang mempunyai serotipe yang sama atau serotipe yang dapat mengadakan reaksi silang dengan serotipe Av. paragallinarum yang berada di lapangan. Berbagai jenis antibiotik telah digunakan untuk mengobati snot, namun banyak diantara obat tersebut yang hanya mengurangi derajat keparahan dan lamanya proses kejadian penyakit tanpa mengatasi penyakit ini secara tuntas. Hal ini seringkali mengakibatkan adanya sejumlah ayam yang menjadi karier. Penyakit ini cenderung kambuh lagi dan jika pengobatan dilakukan secara berulang, maka kemungkinan akan timbul resistensi terhadap obat tersebut. Beberapa jenis antibiotik yang digunakan untuk mengobati snot meliputi gentamisin, ceftriakson, tobramisin, kloramfenikol, nitrofurantoin, neomisin, sulfadiasin, tetrasiklin, enrofloksasin, metronidasol, dan siprofloksasin. Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Priya et al. (2012), Av. paragallinarum masih sensitif terhadap gentamisin, ceftriakson, tobramisin, kloramfenikol, nitrofurantoin dan resisten terhadap neomisin, sulfadiasin, tetrasiklin, enrofloksasin, metronidazole, dan siprofloksasin. Hsu et al. (2007) menyatakan bahwa 7 isolat Av. paragallinarum yang diteliti resisten terhadap ampisilin, neomisin, streptomisin dan eritromisin, 15 isolat resisten terhadap neomisin,
5 streptomisin, dan 2 isolat sensitif terhadap ampisilin, neomisin, streptomisin, kanamisin, dan eritromisin. Poernomo et al. pada tahun 2000, mendapatkan hasil lebih banyak kejadian resisten terhadap eritromisin, neomisin dan streptomisin. Laporan tentang sensitivitas Av. paragallinarum terhadap antibiotik belum banyak dilaporkan di Indonesia. Sehubungan dengan berbagai kasus resitensi bakteri Av. paragallinarum terhadap antibiotik, maka perlu dilakukan uji sensitivitas untuk mendapatkan jenis antibiotik yang cocok untuk kasus snot tertentu yang dihadapi di lapangan. Sehubungan dengan kenyataan-kenyataan tersebut diatas, maka penelitian tentang isolasi dan identifikasi bakteri penyebab infectious coryza pada ayam petelur komersial serta sensitivitas bakteri terhadap beberapa antibiotik perlu dilakukan. B. Perumusan Masalah Infectious coryza adalah suatu penyakit pernapasan pada ayam, yang disebabkan oleh bakteri dan berlangsung akut sampai kronis. Penyakit ini disebabkan oleh Av. paragallinarum yang sebelumnya dikenal sebagai Haemophilus paragallinarum. Bakteri ini memiliki strain dengan antigenitas yang berbeda, dan sampai saat ini terdapat 3 serotipe yang telah dikarakterisasi dengan baik, yaitu serotipe A, B, dan C (Page, 1962; Blackall, 2011; Wu Jin-Ru et al., 2010). Program penanggulangan infectious coryza meliputi korelasi faktor pendukung timbulnya penyakit, pengobatan dengan antibiotik dan vaksinasi
6 (Blackall dan Soriano, 2008). Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya, didapatkan bahwa Av. paragallinarum telah menjadi resisten terhadap beberapa jenis antibiotik misalnya neomisin, streptomisin, eritromisin, linkomisin, dan kolistin (Kusumaningsih, 2000; Hsu et al., 2007; Chukitasiri et al., 2012). Sehubungan dengan berbagai kondisi tersebut, maka timbul permasalahanpermasalahan sebagai berikut: 1. Apakah dapat diisolasi Av. paragallinarum dari setiap ayam petelur komersial yang menunjukan gejala klinis snot? 2. Serotipe Av. paragallinarum apakah penyebab snot pada ayam petelur komersial? 3. Jenis antibiotik apakah yang sensitif terhadap Av. paragallinarum yang diisolasi dari ayam petelur komersial? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengisolasi dan mengidentifikasi bakteri penyebab gejala snot pada ayam petelur komersial. 2. Menentukan serotipe Av. paragallinarum yang diisolasi dari ayam petelur komersial. 3. Menguji sensitivitas bakteri Av. paragallinarum terhadap beberapa jenis antibiotik yang umum digunakan pada peternakan ayam petelur komersial.
7 D. Manfaat Penelitian Manfaat yang dapat disumbangkan dalam penelitian ini adalah : 1. Memberikan informasi tentang serotipe Av. paragallinarum yang terdapat di lapangan sebagai dasar program vaksinasi terhadap penyakit tersebut. 2. Memberikan informasi tentang kepekaan bakteri terhadap beberapa jenis antibiotik yang dapat digunakan sebagai salah satu acuan dalam pemilihan antibiotik untuk mengobati penyakit ini. E. Keaslian Penelitian Penelitian tentang isolasi dan identifikasi Av. paragallinarum di Indonesia masih belum banyak dilakukan. Penelitian sebelumnya yang mirip dengan penelitian ini dilakukan oleh Poernomo et al. (2000), yaitu tentang karakterisasi isolat Haemophilus paragallinarum yang berasal dari Indonesia. Penelitian ini menggunakan 18 isolat ayam kampung yang berasal dari Indonesia. Penelitian ini membuktikan bahwa di Indonesia terdapat tiga serotipe Haemophilus paragallinarum, yaitu serotipe A, B, dan C. Uji yang dilakukan adalah uji biokimia, uji polimerase chain reaction (PCR), dan uji sensitivitas antibiotik dengan hasil mayoritas isolat resisten terhadap eritromisin, neomisin, dan streptomisin. Cabrera et al., 2011 melakukan serotyping hemagglutinin terhadap isolat Av. paragallinarum dari Ecuador dengan menggunakan metode Scheme hemagglutinin dengan hasil 17 dari total 28 isolat adalah serovar A-3, 5 isolat adalah B-1, 5 isolat C-1, dan satu isolat tidak teridentifikasi.
8 Chukiatsiri et al. (2012) melakukan penelitian tentang identifikasi, sensitifitas antimikrobial dan virulensi dari isolat Avibacterium paragalinarum asal ayam di Thailand. Uji serotipe dilakukan dengan uji hemaglutinasi inhibisi (HI). Dari 18 isolat yang diuji, didapatkan hasil 10 isolat adalah serovar A, lima isolat serovar B, tiga isolat serovar C. Metode disk diffusion dilakukan untuk uji sensitivitas. Hasil uji sensitivitas adalah semua isolat rentan terhadap amoksisilinklavulanik acid. Semua isolat resisten terhadap kloksasilin dan neomisin. Dalam tahun yang sama Priya et al., melakukan penelitian isolasi dan karakterisasi Av. paragallinarum dari burung hias di Thrissur, Kerala. Berdasarkan kultur koloni, morfologi, dan uji biokimia, organisme yang diisolasi diidentifikasi sebagai Av. paragallinarum. Hasil uji sensitivitas menunjukkan bahwa Av. paragallinarum sensitif terhadap antibiotik gentamisin, ceftriakson, tobramisin, kloramfenikol, dan nitrofuransoin, sedangkan resisten terhadap neomisin, sulfadiasin, tetrasiklin, enrofloksasin, metronidasol, dan siprofloksasin. Sepanjang pengetahuan penulis, isolasi dan identifikasi Av. paragallinarum dari ayam petelur komersial dan uji sensitivitas terhadap bakteri tersebut belum pernah dilakukan di Indonesia. Penelitian sebelumnya hanya menyangkut Haemophilus paragallinarum dan uji sensitivitas menggunakan antibiotik yang berbeda.