I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dan berproduksi secara maksimal adalah kelompok ayam pada peternakan tersebut

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. gangguan produksi telur. Faktor-faktor pendukung / penyebab gangguan produksi

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. anak ayam yang baru menetas yang disebabkan oleh berbagai jenis bakteri.

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. unggas yang dibudidayakan baik secara tradisional sebagai usaha sampingan

AHMAD MAIZIR, SYAEFURROSAD, ERNES A, NENENG A, N M RIA ISRIYANTHI. Unit Uji Bakteriologi

BAB I PENDAHULUAN. daging bagi masyarakat (BSN, 2008). Daging sapi sebagai protein hewani adalah

INFEKSIUS CORYZA (SNOT) PADA AYAM DI INDONESIA

FAKTOR DAN AGEN YANG MEMPENGARUHI PENYAKIT & CARA PENULARAN PENYAKIT

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ayam ayam lokal (Marconah, 2012). Ayam ras petelur sangat diminati karena

BAB I PENDAHULUAN. Protein hewani menjadi sangat penting karena mengandung asam-asam amino

GARIS-GARIS BESAR PROGRAM PENGAJARAN (GBPP)

SALMONELLOSIS (PULLORUM)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Rumusan Masalah

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit porcine reproductive and respiratory syndrome (PRRS) adalah

I. PENDAHULUAN. penurunan sistem imun (Vahdani, et al., 2012). Infeksi nosokomial dapat terjadi

KAJIAN PENGUJIAN MUTU VAKSIN CORYZA DAN KEJADIAN PENYAKIT DI LAPANGAN ISTIYANINGSIH

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. sumber protein fungsional maupun pertumbuhan, terutama pada anak-anak usia

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Letak geografis Kecamatan Kuta Selatan berada di ketinggian sekitar 0-28 meter di

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Penyakit infeksi masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Diare,

BAB 1 PENDAHULUAN. yang penting khususnya di negara berkembang (Kemenkes, 2011). Di Indonesia,

Proses Penyakit Menular

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Broiler atau ayam pedaging merupakan ternak yang efisien dalam

DAFTAR ISI. BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian...

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Selama tiga dekade ke belakang, infeksi Canine Parvovirus muncul sebagai salah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (bakteri, jamur) yang mempunyai efek menghambat atau menghentikan suatu

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. Secara alami hewan ternak, khususnya itik memiliki kekebalan alami. yang berfungsi menjaga kesehatan tubuhnya. Kekebalan alami ini

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Indonesia serta negara-negara Asia lainnya berasal dari tumbuh-tumbuhan

UJI BANDING ANTAR LABORATORIUM TERHADAP TITER ANTIBODI AYAM PASCA VAKSINASI CORYZA DENGAN METODE HI (Haemaglutination Inhibition)

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Kebutuhan konsumsi pangan asal hewan di Indonesia semakin meningkat

I. PENDAHULUAN. banyak dipelajari sejak salah satu strain anggotanya diisolasi pertamakali oleh

BAB I PENDAHULUAN. kandungan berbagai asam amino, DHA dan unsur-unsur lainnya yang dibutuhkan

BAB I PENDAHULUAN. tawar yang cukup digemari masyarakat Indonesia. Ikan ini memiliki nilai

BAB I PENDAHULUAN. Budidaya lele dumbo tergolong mudah dan pertumbuhannya relatif cepat.

I. PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. sangat akut dan mudah sekali menular. Penyakit tersebut disebabkan oleh virus

Gambar 4 Diagram batang titer antibodi terhadap IBD pada hari ke-7 dan 28.

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang jumlah penduduknya terus

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) merupakan suatu inflamasi pada mukosa rongga hidung

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Influenza adalah suatu penyakit infeksi saluran pernafasan. akut yang disebabkan oleh virus influenza. Penyakit ini dapat

BAB I PENDAHULUAN. relatif mudah, dapat memanfaatkan berbagai jenis bahan sebagai makanannya,

1. Penyakit Tetelo (ND=Newcastle Disease) Penyebab : Virus dari golongan paramyxoviru.

RINGKASAN. Kata kunci : Titer antibodi ND, Newcastle Disease, Ayam Petelur, Fase layer I, Fase Layer II

1.1 Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ayam petelur merupakan ayam yang dipelihara dengan tujuan untuk

BAB I PENDAHULUAN. Tetelo yang merupakan salah satu penyakit penting pada unggas. Penyakit ini

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang. yang dapat menimbulkan kerugian ekonomi (Wibowo, 2014). Hal ini disebabkan

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh Salmonella typhi (S.typhi), bersifat endemis, dan masih

membunuh menghambat pertumbuhan

PENDAHULUAN. Latar Belakang. dapat disebabkan oleh kausa infeksius, non-infeksius dan nutrisional (Ali dkk.,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Batasan anak balita adalah setiap anak yang berada pada kisaran umur

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Obat yang termasuk golongan ini ialah : a. Sulfonamid, b. Trimetoprin, c. Asam p-aminosalisilat (PAS), dan

Manfaat Penelitian TINJAUAN PUSTAKA. Ayam pedaging

BAB I PENDAHULUAN. melalui program proyek desa tertinggal maupun proyek lainnya, namun sampai

TINJAUAN PUSTAKA. Tabel 1. Standar Performa Mingguan Ayam Broiler CP 707

TINJAUAN PUSTAKA Ayam kampung

BAB III KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFENISI OPERASIONAL. Isolat Pseudomonas aeruginosa

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sub sektor memiliki peran penting dalam pembangunana nasional. Atas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ayam pembibit atau parent stock (PS) adalah ayam penghasil final stock

Uji Sensitivitas Staphylococcus spp. Terhadap Beberapa Antibiotik Yang Berbeda (Sensitivity Test of Staphylococcus spp. to Different Antibiotics)

Vaksinasi adalah imunisasi aktif secara buatan, yaitu sengaja memberikan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Maternal antibodi atau yang bisa disebut maternally derived antibodies atau

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Hasil penelitian menunjukan bahwa penyakit ternak di Indonesia dapat

BAB I PENDAHULUAN. sinus yang disebabkan berbagai macam alergen. Rinitis alergi juga merupakan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. pertama kali saat terjadinya perang di Crimea, Malta pada tahun Gejala

HASIL DAN PEMBAHASAN Keberadaan Residu Antibiotik

Etiologi Gejala-gejala Cara Penularan

BAB I PENDAHULUAN. Escherichia coli yang merupakan salah satu bakteri patogen. Strain E. coli yang

METODE PENELITIAN. Kerangka Konsep. Kerangka konsep yang dibangun dalam penelitian ini digambarkan sebagai. berikut :

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan global. yang utama. Penyakit infeksi ini menyerang jutaan manusia

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit infeksi

BAB I PENDAHULUAN. I.1.Latar Belakang. Tuberkulosis (TB) masih menjadi masalah utama. kesehatan global. TB menyebabkan kesakitan pada jutaan

BAB I PENDAHULUAN. berbagai sumber infeksi, seperti: gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga

BAB III ANALISIS DAN PERANCANGAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ayam broiler pembibit merupakan ayam yang menghasilkan bibit ayam

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit paru obstruktif kronik atau yang biasa disebut PPOK merupakan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

DASAR KOMPETENSI KEJURUAN DAN KOMPETENSI KEJURUAN SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN

BAB I PENDAHULUAN. I.A. Latar Belakang. Staphylococcus aureus merupakan bakteri kokus gram. positif yang dapat menyebabkan penyakit dengan

METODOLOGI UMUM. KAJIAN ECP BAKTERI S. agalactiae MELIPUTI

BAB I PENDAHULUAN. oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Tinjauan Mengenai Flu Burung

HASIL DAN PEMBAHASAN

PENYAKIT VIRUS UNGGAS PENYAKIT VIRUS UNGGAS

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang. Staphylococcus aureus merupakan salah satu. penyebab utama infeksi di rumah sakit dan komunitas,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penghasil telur. Ayam bibit bertujuan untuk menghasilkan telur berkualitas tinggi

BAB I PENDAHULUAN. oleh infeksi saluran napas disusul oleh infeksi saluran cerna. 1. Menurut World Health Organization (WHO) 2014, demam tifoid

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Avian influenza (AI) dan Newcastle disease (ND) adalah penyakit

Deskripsi. IMUNOGLOBULIN YOLK (IgY) ANTI Canine parvovirus MURNI UNTUK TERAPI INFEKSI VIRUS PARVO PADA ANJING

BAB I PENDAHULUAN. menimbulkan berbagai spektrum penyakit dari tanpa gejala atau infeksi ringan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ayam pembibit terbagi atas 4 yaitu ayam pembibit Pure Line atau ayam

Transkripsi:

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu faktor penting agar ayam dalam suatu peternakan dapat tumbuh dan berproduksi secara maksimal adalah kelompok ayam pada peternakan tersebut harus dalam keadaan sehat. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa walaupun semua aspek manajemen peternakan, yaitu bibit, pakan, sistem pemeliharaan, program kesehatan, dan sistem pemasaran produk telah dikelola secara maksimal, kerapkali masih terjadi letupan penyakit yang dapat menimbulkan kerugian pada pemilik peternakan. Berdasarkan target primernya, penyakit pada ayam dapat dikelompokkan antara lain sebagai penyakit pernapasan, penyakit pencernaan, penyakit sistem imun dan penyakit sistem reproduksi (Tabbu, 1996). Salah satu penyakit yang sering ditemukan pada berbagai peternakan ayam di Indonesia adalah infectious coryza (snot). Infectious coryza (snot) adalah penyakit pernapasan pada ayam, yang disebabkan oleh bakteri dan berlangsung akut sampai kronis. Secara umum snot adalah penyakit yang menyebabkan morbiditas tinggi, tetapi mortalitas rendah. Penyakit ini bersifat sangat infeksius dan menyerang saluran pernapasan bagian atas (El-sawah et al., 2012; Blackall et al., 2005; Blackall, 1999; Droual et al., 1990; Yamamoto, 1984). Infectious coryza disebabkan oleh Avibacterium paragallinarum (Av. paragallinarum) yang sebelumnya dikenal dengan nama Haemophilus paragallinarum (Blackall et al., 2005). Penyakit ini mempunyai dampak 1

2 ekonomik yang merugikan pada industri perunggasan di berbagai negara di dunia meliputi Amerika, Uni Eropa, Australia, Afrika dan Asia. Dampak ekonomi yang tinggi sehubungan dengan peningkatan jumlah ayam yang diafkir, penurunan produksi telur, penurunan berat badan, hambatan pertumbuhan, peningkatan biaya pengobatan, dan sejumlah mortalitas (Droual et al., 1990; Blackall, 1999). Di Indonesia, penyakit ini dapat ditemukan di berbagai daerah pada ayam petelur, ayam bibit (parent stocks, PS), dan ayam pedaging. Penyakit ini terutama menyerang ayam dara sampai layer dewasa, walaupun ayam semua umur, sejak umur 3 minggu sampai masa produksi dapat diserang, disamping itu kasus snot juga banyak dilaporkan terjadi pada ayam pedaging dan burung puyuh (Yamamato, 1991). Snot kerapkali ditemukan bersama-sama dengan penyakit lainnya di lapangan, misalnya chronic respiratory diseases (CRD), swollen head syndrome (SHS), infectious bronchitis (IB), kolibasilosis, Infectious laryngotracheitis (ILT), dan fowl pox bentuk basah (wet pox). Mortaliltas akan lebih tinggi dan proses penyakit akan lebih lama pada kondisi ini (Yamamoto, 1972; Sandoval et al., 1994). Diagnosis sangkaan terhadap snot dapat didasarkan atas gejala klinis dan perubahan patologi yang ditimbulkan oleh penyakit ini. Diagnosis akhir dapat dilakukan dengan isolasi dan identifikasi bakteri dari kasus snot pada stadium akut yaitu antara 1-7 hari pasca infeksi (Tabbu, 2000). Diagnosis snot dapat juga dilakukan secara in vivo dengan cara inokulasi pada ayam yang sensitif

3 menggunakan eksudat dari sinus ayam sakit atau suspensi kultur kuman Av. paragallinarum. Metode lain untuk mendiagnosis penyakit ini adalah secara serologik dengan uji agar gel presipitasi (AGP), uji hemaglutinasi inhibisi (HI), uji hemaglutinasi (HA) tidak langsung dan uji fluorescent abtibody (FA) langsung (Blackall, 2011). Uji serologis dapat dilakukan untuk menentukan serotipe agen penyebab snot. Av. paragallinarum memiliki strain dengan antigenisitas yang berbeda, dan sampai saat ini terdapat tiga serotipe yang telah dikarakterisasi, yaitu serotipe A, B, dan C. Serotipe A dan serotipe C dikenal sebagai serotipe yang virulen, tetapi sekarang ditemukan bahwa Serotipe B juga memiliki peranan dalam kejadian penyakit snot namun tidak menunjukkan gejala klinis yang signifikan (Yamaguchi et al., 1990 Tabbu, 2000). Penelitian serotipe Av. paragallinarum di Indonesia belum banyak dilaporkan sehingga sebaran jenis serotipe di Indonesia belum banyak diketahui. Hasil penelitian sebelumnya oleh Wahyuni et al. (2011) telah diisolasi dan diidentifikasi Av. paragallinarum serotipe C. Infectious coryza sulit diberantas oleh karena faktor-faktor pendukung sulit dihilangkan, sehubungan dengan kondisi manajemen peternakan dan cuaca di Indonesia, misalnya sistem perkandangan (ventilasi kurang memadai, jarak antara kandang sempit, kepadatan kandang dan kadar amoniak yang tinggi), umur ayam yang bervariasi dalam satu lokasi, fluktuasi temperatur, dan kelembaban yang cenderung tinggi.

4 Penyakit ini dapat dicegah dengan pemberian vaksin in aktif pada ayam petelur atau parent stocks, pada fase grower dan menjelang produksi telur. Sehubungan dengan kenyataan bahwa vaksin snot hanya memberikan kekebalan silang yang minimal diantara berbagai serotipe Av. paragallinarum, maka vaksin yang terbaik seharusnya bersifat otogenus atau homolog dengan kuman penyebab snot yang terdapat dilapangan. Dalam hal ini menggunakan vaksin snot yang mempunyai serotipe yang sama atau serotipe yang dapat mengadakan reaksi silang dengan serotipe Av. paragallinarum yang berada di lapangan. Berbagai jenis antibiotik telah digunakan untuk mengobati snot, namun banyak diantara obat tersebut yang hanya mengurangi derajat keparahan dan lamanya proses kejadian penyakit tanpa mengatasi penyakit ini secara tuntas. Hal ini seringkali mengakibatkan adanya sejumlah ayam yang menjadi karier. Penyakit ini cenderung kambuh lagi dan jika pengobatan dilakukan secara berulang, maka kemungkinan akan timbul resistensi terhadap obat tersebut. Beberapa jenis antibiotik yang digunakan untuk mengobati snot meliputi gentamisin, ceftriakson, tobramisin, kloramfenikol, nitrofurantoin, neomisin, sulfadiasin, tetrasiklin, enrofloksasin, metronidasol, dan siprofloksasin. Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Priya et al. (2012), Av. paragallinarum masih sensitif terhadap gentamisin, ceftriakson, tobramisin, kloramfenikol, nitrofurantoin dan resisten terhadap neomisin, sulfadiasin, tetrasiklin, enrofloksasin, metronidazole, dan siprofloksasin. Hsu et al. (2007) menyatakan bahwa 7 isolat Av. paragallinarum yang diteliti resisten terhadap ampisilin, neomisin, streptomisin dan eritromisin, 15 isolat resisten terhadap neomisin,

5 streptomisin, dan 2 isolat sensitif terhadap ampisilin, neomisin, streptomisin, kanamisin, dan eritromisin. Poernomo et al. pada tahun 2000, mendapatkan hasil lebih banyak kejadian resisten terhadap eritromisin, neomisin dan streptomisin. Laporan tentang sensitivitas Av. paragallinarum terhadap antibiotik belum banyak dilaporkan di Indonesia. Sehubungan dengan berbagai kasus resitensi bakteri Av. paragallinarum terhadap antibiotik, maka perlu dilakukan uji sensitivitas untuk mendapatkan jenis antibiotik yang cocok untuk kasus snot tertentu yang dihadapi di lapangan. Sehubungan dengan kenyataan-kenyataan tersebut diatas, maka penelitian tentang isolasi dan identifikasi bakteri penyebab infectious coryza pada ayam petelur komersial serta sensitivitas bakteri terhadap beberapa antibiotik perlu dilakukan. B. Perumusan Masalah Infectious coryza adalah suatu penyakit pernapasan pada ayam, yang disebabkan oleh bakteri dan berlangsung akut sampai kronis. Penyakit ini disebabkan oleh Av. paragallinarum yang sebelumnya dikenal sebagai Haemophilus paragallinarum. Bakteri ini memiliki strain dengan antigenitas yang berbeda, dan sampai saat ini terdapat 3 serotipe yang telah dikarakterisasi dengan baik, yaitu serotipe A, B, dan C (Page, 1962; Blackall, 2011; Wu Jin-Ru et al., 2010). Program penanggulangan infectious coryza meliputi korelasi faktor pendukung timbulnya penyakit, pengobatan dengan antibiotik dan vaksinasi

6 (Blackall dan Soriano, 2008). Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya, didapatkan bahwa Av. paragallinarum telah menjadi resisten terhadap beberapa jenis antibiotik misalnya neomisin, streptomisin, eritromisin, linkomisin, dan kolistin (Kusumaningsih, 2000; Hsu et al., 2007; Chukitasiri et al., 2012). Sehubungan dengan berbagai kondisi tersebut, maka timbul permasalahanpermasalahan sebagai berikut: 1. Apakah dapat diisolasi Av. paragallinarum dari setiap ayam petelur komersial yang menunjukan gejala klinis snot? 2. Serotipe Av. paragallinarum apakah penyebab snot pada ayam petelur komersial? 3. Jenis antibiotik apakah yang sensitif terhadap Av. paragallinarum yang diisolasi dari ayam petelur komersial? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengisolasi dan mengidentifikasi bakteri penyebab gejala snot pada ayam petelur komersial. 2. Menentukan serotipe Av. paragallinarum yang diisolasi dari ayam petelur komersial. 3. Menguji sensitivitas bakteri Av. paragallinarum terhadap beberapa jenis antibiotik yang umum digunakan pada peternakan ayam petelur komersial.

7 D. Manfaat Penelitian Manfaat yang dapat disumbangkan dalam penelitian ini adalah : 1. Memberikan informasi tentang serotipe Av. paragallinarum yang terdapat di lapangan sebagai dasar program vaksinasi terhadap penyakit tersebut. 2. Memberikan informasi tentang kepekaan bakteri terhadap beberapa jenis antibiotik yang dapat digunakan sebagai salah satu acuan dalam pemilihan antibiotik untuk mengobati penyakit ini. E. Keaslian Penelitian Penelitian tentang isolasi dan identifikasi Av. paragallinarum di Indonesia masih belum banyak dilakukan. Penelitian sebelumnya yang mirip dengan penelitian ini dilakukan oleh Poernomo et al. (2000), yaitu tentang karakterisasi isolat Haemophilus paragallinarum yang berasal dari Indonesia. Penelitian ini menggunakan 18 isolat ayam kampung yang berasal dari Indonesia. Penelitian ini membuktikan bahwa di Indonesia terdapat tiga serotipe Haemophilus paragallinarum, yaitu serotipe A, B, dan C. Uji yang dilakukan adalah uji biokimia, uji polimerase chain reaction (PCR), dan uji sensitivitas antibiotik dengan hasil mayoritas isolat resisten terhadap eritromisin, neomisin, dan streptomisin. Cabrera et al., 2011 melakukan serotyping hemagglutinin terhadap isolat Av. paragallinarum dari Ecuador dengan menggunakan metode Scheme hemagglutinin dengan hasil 17 dari total 28 isolat adalah serovar A-3, 5 isolat adalah B-1, 5 isolat C-1, dan satu isolat tidak teridentifikasi.

8 Chukiatsiri et al. (2012) melakukan penelitian tentang identifikasi, sensitifitas antimikrobial dan virulensi dari isolat Avibacterium paragalinarum asal ayam di Thailand. Uji serotipe dilakukan dengan uji hemaglutinasi inhibisi (HI). Dari 18 isolat yang diuji, didapatkan hasil 10 isolat adalah serovar A, lima isolat serovar B, tiga isolat serovar C. Metode disk diffusion dilakukan untuk uji sensitivitas. Hasil uji sensitivitas adalah semua isolat rentan terhadap amoksisilinklavulanik acid. Semua isolat resisten terhadap kloksasilin dan neomisin. Dalam tahun yang sama Priya et al., melakukan penelitian isolasi dan karakterisasi Av. paragallinarum dari burung hias di Thrissur, Kerala. Berdasarkan kultur koloni, morfologi, dan uji biokimia, organisme yang diisolasi diidentifikasi sebagai Av. paragallinarum. Hasil uji sensitivitas menunjukkan bahwa Av. paragallinarum sensitif terhadap antibiotik gentamisin, ceftriakson, tobramisin, kloramfenikol, dan nitrofuransoin, sedangkan resisten terhadap neomisin, sulfadiasin, tetrasiklin, enrofloksasin, metronidasol, dan siprofloksasin. Sepanjang pengetahuan penulis, isolasi dan identifikasi Av. paragallinarum dari ayam petelur komersial dan uji sensitivitas terhadap bakteri tersebut belum pernah dilakukan di Indonesia. Penelitian sebelumnya hanya menyangkut Haemophilus paragallinarum dan uji sensitivitas menggunakan antibiotik yang berbeda.