PENDAHULUAN Latar Belakang Sebagian besar sapi potong dipelihara oleh peternak hanya sebagai sambilan. Tatalaksana pemeliharaan sapi pada umumnya belum baik, diantaranya dalam hal pemeliharaan. Masalah kesehatan kurang mendapat perhatian, antara lain disebabkan kurangnya pemahaman peternak terhadap penyakit-penyakit yang dapat menyerang sapi peternak. Salah satu penyebab kurangnya pemahaman peternak terhadap penyakit pada sapi adalah tingkat pendidikan peternak sapi yang umumnya masih rendah yaitu rata-rata tamat SD dan SLTP (Abidin, 2012). Diantara masalah penyakit yang cukup memprihatinkan adalah masalah infeksi cacing, padahal sapi yang menderita cacingan dapat menurun produktivitasnya. Penurunan produktivitas sapi dapat menyebabkan kerugian bagi beberapa pihak, bagi peternak merugikan karena nilai jual sapi menjadi menurun, bagi pemerintah dapat menghambat program swasembada daging sapi. Oleh karena itu masalah infeksi cacing perlu mendapat perhatian dari berbagai pihak. Beberapa cacing yang dapat menyerang sapi diantaranya adalah cacing Strongyle (Haemonchus sp. dan Oesophagostomum), cacing Fasciola, cacing Paramphistomum, cacing Cestoda, dan cacing Ascaris (Toxocara vitulorum) (Subronto dan Tjahajati, 2004). Dalam jumlah banyak, infeksi cacing dapat menurunkan tingkat ketahanan tubuh (Nurcahyo et al., 2008). Apabila ketahanan tubuh menurun maka ternak 1
akan lebih mudah terinfeksi menderita berbagai macam penyakit. Penyakit yang diderita ternak dapat membahayakan lingkungan apabila penyakit tersebut sifatnya sangat menular misalnya Anthrax, Brucellosis (Keluron menular), Septichaemia Epizooticae (Ngorok), Apthae Epizooticae (penyakit mulut dan kuku), dan Trypanosomiasis (Surra). Penanggulangan penyakit menular tidak mudah dan memerlukan biaya tinggi. Risiko sapi menderita infeksi cacing cukup besar karena sebagai negara tropis, cacing berkembang biak dengan baik. Berdasarkan hasil penelitian di RPH Giwangan, Padmadewa (2013) melaporkan dari 60 ekor sampel sapi yang digunakan dalam penelitiannya terdapat 35 ekor atau 58% yang terinfeksi cacing. Data ini menunjukkan bahwa jumlah sapi yang terinfeksi cacing lebih banyak daripada yang tidak terinfeksi. Abidin (2002) melaporkan hasil survey di beberapa pasar hewan di Indonesia menunjukkan bahwa 90% sapi yang berasal dari peternakan rakyat mengidap cacingan, baik cacing hati (Fasciola hepaticai), cacing gelang (Neoascaris vitulorum), dan cacing lambung (Haemonchus contortus). Penyebab cacingan antara lain konsumsi hijauan yang masih berembun dan yang tercemar siput sebagai vektor (pembawa) cacing hati. Cara pemeliharaan sapi adalah salah satu yang dapat menyebabkan sumber penularan terhadap infeksi cacing, diantaranya adalah cara mengkandangkan. Secara umum kandang digunakan untuk memudahkan tata laksana pemeliharaan yaitu memudahkan dalam 2
pemberian pakan, memudahkan dalam pengawasan, dan memudahkan dalam kebersihan ternak. Dahulu umumnya peternak memelihara sapinya dalam kandang individu di dekat rumah masing-masing. Kelebihan kandang ini adalah ternak lebih terawasi, perkelahian antara ternak dapat dihindari, dan penularan penyakit lebih rendah serta perawatan lebih intensif. Namun, kandang individu juga mempunyai kelemahan antara lain peternak kurang memperoleh kesempatan transfer informasi dari petugas penyuluh lapangan karena terbatasnya jumlah petugas, disisi lain banyaknya jumlah peternak dengan lokasi yang tersebar. Sejak tahun 80-an, digalakkan pemeliharaan sapi secara kandang kelompok. Kandang kelompok adalah kumpulan dari beberapa peternak yang memelihara sapinya secara bersama. Ada kandang kelompok yang berupa kumpulan beberapa kandang dalam satu wilayah tertentu, ada yang dalam bentuk kandang komunal diisi beberapa ekor sapi milik beberapa peternak. Kelebihan kandang kelompok antara lain peternak lebih mudah dalam transfer informasi terkait pentingnya kesehatan ternak khususnya infeksi cacing pada saluran pencernaannya. Seperti dinyatakan Andarwati et al. (2012) bahwa salah satu cara yang dapat digunakan untuk menyampaikan teknologi kepada peternak agar efektif adalah melalui pemanfaatan kelompok peternak. Dengan sistem pemeliharaan di perkampungan ternak, diharapkan efisiensi penggunaan sarana produksi akan lebih tinggi, memudahkan transfer teknologi dari 3
penyuluh kepada peternak, hubungan interaksi antar peternak lebih intensif sehingga akan terjadi kompetisi yang sehat antar petani peternak untuk meningkatkan produksinya (Srimastuti, 2001). Penyakit yang disebabkan oleh cacing merupakan masalah besar bagi peternak sapi karena dapat merugikan. Kerugian tersebut diantaranya terjadi persaingan antara cacing dan induk semang dalam pakan, terjadi penyumbatan saluran pencernaan, adanya vektor penyakit, dan terjadi penurunan ketahan tubuh ternak bahkan kematian (Subronto dan Tjahajati, 2004). Selama ini informasi terkait pengaruh pemeliharaan secara kandang kelompok dan kandang individu belum mendapat perhatian khususnya pada kelompok sapi-sapi induk. Berdasarkan uraian di atas, maka perlu dilakukan penelitian pengaruh pola pemeliharaan secara kandang kelompok dan kandang individu terhadap infeksi cacing pada induk-induk sapi PO di Kabupaten Gunung Kidul. Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh sistem pemeliharaan secara kandang kelompok dan kandang individu terhadap 1. Persentase induk sapi PO yang terinfeksi cacing. 2. Jenis cacing yang menginfeksi induk sapi PO 3. Jumlah telur cacing yang ada di dalam feses induk sapi PO. 4
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat menjadi pedoman dalam pencegahan cacing pada induk sapi Perananakan Ongole karena upaya pencegahan lebih murah dan lebih mudah dilakukan. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi pedoman dalam pemilihan jenis kandang yang lebih tahan terhadap cacing. Bagi penyuluh, penelitian ini bermanfaat untuk memberi informasi upaya-upaya pencegahan terhadap infeksi cacing. Penelitian ini dapat digunakan pihak dinas peternakan sebagai program pengobatan cacing pada saluran pencernaan sehingga obat yang digunakan, dosis, dan anggaran yang sesuai. 5