BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pendapat, aktivitas, atau gerak-gerik. Perilaku juga bisa diartikan sebagai

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 2 TINJUAN PUSTAKA. dan sebuah karakter unik yang memberikan konsistensi sekaligus individualis bagi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KEKERASAN DALAM BERPACARAN

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS

BAB I PENDAHULUAN. Berpacaran sebagai proses dua manusia lawan jenis untuk mengenal dan

BAB II LANDASAN TEORI. Harga diri merupakan evaluasi individu terhadap dirinya sendiri baik secara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pentingnya perilaku asertif bagi setiap individu adalah untuk memenuhi

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. memiliki konsep diri dan perilaku asertif agar terhindar dari perilaku. menyimpang atau kenakalan remaja (Sarwono, 2007).

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. gender. Kekerasan yang disebabkan oleh bias gender ini disebut gender related

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Asertif. jujur, terbuka, penuh percaya diri, dan teguh pendiriannya (Davis, 1981).

BAB II LANDASAN TEORI. sah (Sarwono, 2005). Mu tadin (2002) mengatakan bahwa prilaku seksual

HUBUNGAN ANTARA ASERTIFITAS DENGAN KECENDERUNGAN MENGALAMI KEKERASAN EMOSIONAL PADA PEREMPUAN YANG BERPACARAN SKRIPSI

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH ORANG TUA DENGAN KECEMASAN KOMUNIKASI PADA REMAJA DI JAKARTA BAB 1 PENDAHULUAN

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan

BAB I PENDAHULUAN. atau interaksi dengan orang lain, tentunya dibutuhkan kemampuan individu untuk

Pedologi. Penganiayaan Anak dan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Yenny, M.Psi. Psikolog. Modul ke: Fakultas Psikologi. Program Studi Psikologi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pertanyaan tersebut dapat dinyatakan tanpa berbelit-belit dan dapat

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

3. Emosi subyek ketika menjawab pertanyaan interview. 4. Bagaimana kebudayaan etnis Cina dalam keluarga subyek?

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Istilah Adolescence atau remaja berasal dari kata Latin (adolescere)

BAB I PENDAHULUAN. penting. Keputusan yang dibuat individu untuk menikah dan berada dalam

Perkembangan Sepanjang Hayat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat pada anak-anaknya (Friedman et al., 2010). yang masih bertanggung jawab terhadap perkembangan anak-anaknya.

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

BAB I PENDAHULUAN. mulai bergabung dengan teman seusianya, mempelajari budaya masa kanakkanak,

PENGANIAYAAN TERHADAP ANAK DALAM KELUARGA

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa

BAB I PENDAHULUAN. kanak-kanak dan masa dewasa (Wong dkk, 2001). Menurut Erik Erikson (Feist &

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN TEORI PERILAKU KEKERASAN. tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri,

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan di sekolah, potensi individu/siswa yang belum berkembang

Kalender Doa Agustus 2015 Berdoa Bagi Wanita Korban Kekerasan Rumah Tangga

BAB I PENDAHULUAN. dijalanan maupun ditempat-tempat umum lainnya (Huraerah, 2007).

BAB I PENDAHULUAN. Masa dewasa awal merupakan peralihan dari masa remaja. Perkembangan sosial pada

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. Dalam masa perkembangan negara Indonesia, pendidikan penting untuk

BAB I PENDAHULUAN. Manusia tidak dapat hidup seorang diri karena manusia merupakan

BAB II LANDASAN TEORI. perhatian penuh kasih sayang kepada anaknya (Soetjiningsih, 1995). Peran

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN ASERTIVITAS PADA REMAJA DI SMA ISLAM SULTAN AGUNG 1 SEMARANG. Rheza Yustar Afif ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih

BAB I PENDAHULUAN. berperilaku asertif, dalam hal ini teknik yang digunakan adalah dengan Assertif

BAB 1 PENDAHULUAN. Berikut kutipan wawancara yang dilakukan peneliti dengan seorang wanita

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Bullying. itu, menurut Olweus (Widayanti, 2009) bullying adalah perilaku tidak

Bagi sebagian orang yang baru berangkat dewasa bahkan yang sudah. melewati usia dewasa, remaja adalah waktu yang paling berkesan dalam hidup

BAB I PENDAHULUAN. jangka waktunya berbeda bagi setiap orang tergantung faktor sosial dan budaya.

BAB I PENDAHULUAN. berpacaran Kekerasan dalam Berpacaran (KDP) atau Dating Violence. Banyak

BAB 1 PENDAHULUAN. Keberadaan manusia sebagai makhluk sosial tidak lepas dari hubungan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Banyak sekali latar belakang kekerasan terhadap anak mulai dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian Masa remaja adalah masa peralihan dari anak-anak ke dewasa yang jangka

5. Pilihlah salah satu dari pilihan di bawah ini yang merupakan KELEMAHAN anda! (Jawablah dengan sejujur-jujurnya)

BAB I PENDAHULUAN. adalah kekerasan yang terjadi pada anak. Menurut data yang di dapat dari

HUBUNGAN ANTARA PERILAKU ASERTIF DENGAN PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH PADA REMAJA PUTRI. Skripsi

BAB I PENDAHULUAN. mengalami perubahan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa, biasaya. perubahan penampilan pada orang muda dan perkembangan

SIKAP ASERTIF DAN PERAN KELUARGA TERHADAP ANAK

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Stres pada Wanita Karir (Guru) yang dialami individu atau organisme agar dapat beradaptasi atau menyesuaikan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berbagai macam hal yang tidak pernah diketahui sebelumnya. Dalam proses belajar

BAB I PENDAHULUAN. suatu unit terkecil dalam masyarakat yaitu keluarga. Dalam keluarga, manusia akan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Siswa sebagai generasi muda diharapkan berani untuk mengemukakan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Beberapa teori akan dipaparkan dalam bab ini sebagai pendukung dari dasar

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Perilaku Asertif dalam Bimbingan Sosial. untuk mencapai perkembangan optimal. Jamal Ma mur (dalam Ratnawati,

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. dalam Friz Oktaliza, 2015). Menurut WHO (World Health Organization), remaja adalah penduduk dalam rentang usia tahun, menurut

BAB I PENDAHULUAN. istri adalah salah satu tugas perkembangan pada tahap dewasa madya, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. berkesinambungan dalam kehidupan manusia. Perkembangan adalah perubahanperubahan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. pendidikan yang diarahkan pada peningkatan intelektual dan emosional anak

BAB II LANDASAN TEORI. Sibling rivalry adalah suatu persaingan diantara anak-anak dalam suatu

BULLYING. I. Pendahuluan

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perubahan zaman yang semakin pesat ini membawa dampak ke berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Masa peralihan atau masa transisi di mana para remaja belum bisa sungguh-sungguh

BAB II LANDASAN TEORI. A. Kepuasan Pernikahan. 1. Pengertian Kepuasan Pernikahan

BAB I PENDAHULUAN. memiliki keinginan untuk mencintai dan dicintai oleh lawan jenis. menurut

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah mahluk sosial yang memiliki kemampuan untuk menyesuaikan tingkah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membahas mengenai kualitas komunikasi yang dijabarkan dalam bentuk pengertian kualitas

BULLYING & PERAN IBU Penyuluhan Parenting PKK Tumpang, 29 Juli 2017

BAB I PENDAHULUAN. tidak bisa menangani masalahnya dapat mengakibatkan stres. Menurut

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mempengaruhi dan dapat memberikan dampak terhadap tiap-tiap individu yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

Memahami dan Mencegah Terjadinya Kekerasan di Sekolah

BAB I PENDAHULUAN. yang ditandai dengan adanya perubahan-perubahan fisik, kognitif, dan psikososial

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Bab I Pendahuluan. Mahasiswa masuk pada tahapan perkembangan remaja akhir karena berada pada usia 17-

BAB II LANDASAN TEORI. teman sebayanya dalam suatu kelompok. Isolasi atau isolate itu sendiri

BAB I PENDAHULUAN. tentang orang lain. Begitu pula dalam membagikan masalah yang terdapat pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sempurna, ada sebagian orang yang secara fisik mengalami kecacatan. Diperkirakan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 KonteksMasalah

BAB I PENDAHULUAN. pada masa remaja, salah satunya adalah problematika seksual. Sebagian besar

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dalam kehidupan remaja, karena remaja tidak lagi hanya berinteraksi dengan keluarga

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pada hakikatnya manusia pasti mengalami proses perkembangan baik dari

BAB I PENDAHULUAN. A.Latar Belakang. Remaja adalah mereka yang berusia diantara tahun dan merupakan

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Asertifitas 2.1.1 Pengertian Asertif Manusia dalam kehidupan sehari-hari sering mendengar istilah perilaku, perilaku adalah semua respon baik itu tanggapan, jawaban, maupun batasan yang dilakukan oleh organisme dan hal ini dapat berupa pendapat, aktivitas, atau gerak-gerik. Perilaku juga bisa diartikan sebagai manifestasi dari sifat yang dimiliki oleh individu. Perilaku asertif menurut Lazarus (dalam Fensterheim & Baer, 1995) adalah perilaku yang penuh ketegasan yang timbul karena adanya kebebasan emosi dari setiap usaha untuk membela hak-haknya serta adanya keadaan efektif yang mendukung meliputi : 1) Mengetahui hak pribadi 2) Berbuat sesuatu untuk mendapatkan hak-hak tersebut dan melakukan hal itu sebagai usaha untuk mencapai kebebasan emosi (Fensterheim & Baer, 1995). Amirullah (2009) memberi batasan asertif sebagai kemampuan mengekspresikan perasaan, membela hak secara sah dan menolak permintaan yang dianggap tidak layak serta tidak menghina atau meremehkan orang lain. 9

Harsen dan Bellack (dalam Fauziyah & Fitriyana, 2009) mengatakan tingkah laku manusia berada dalam satu kontinum. Di salah satu ujungnya seseorang berperilaku non asertif. Orang ini mengalami kesulitan untuk mengungkapkan emosi kepada orang lain, berkenalan dengan orang lain, meminta orang lain untuk untuk memberi informasi atau saran, menolak permintaan yang tidak beralasan, lebih lanjut orang ini mengalami kesulitan untuk memulai atau mengakhiri suatu percakapan serta mengungkapkan kekecewaan dan penolakan dalam proporsi yang tepat. Di ujung kontinum yang lain, adalah orang yang berperilaku agresif yang memusatkan perhatiannya pada diri sendiri. Orang ini kebanyakan dikatakan sebagai orang yang tidak peduli terhadap hak dan kebebasan orang lain dan sangat egois. Di antara ujung ekstrim ini adalah orang bertingkah laku asertif. Orang ini secara langsung dan jelas mengungkapkan perasaannya yang positif maupun yang negatif tanpa mengganggu atau melanggar perasaan dan kebebasan orang lain. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa perilaku asertif adalah perilaku individu untuk mendapatkan hak-haknya dengan mengekpresikan apa yang ada dalam pikirannya dalam komunikasi yang tepat dan tegas tanpa melupakan hak-hak orang lain atau menyakiti orang lain. 2.1.2 Ciri-ciri Perilaku Asertif Fensterheim & Baer (1995) mengatakan orang yang berperilaku asertif memiliki 4 ciri yaitu : 10

1) Merasa bebas untuk mengemukakan emosi yang dirasakan melalui kata dan tindakan. Misalnya : inilah diri saya, inilah yang saya rasakan dan saya inginkan. 2) Dapat berkomunikasi dengan orang lain, baik dengan orang yang tidak dikenal, sahabat, dan keluarga. Dalam berkomunikasi relatif terbuka, jujur, dan sebagaimana mestinya. 3) Mempunyai pandangan yang aktif tentang hidup, karena orang asertif cenderung mengejar apa yang diinginkan dan berusaha agar sesuatu itu terjadi serta sadar akan dirinya bahwa ia tidak dapat selalu menang, maka ia menerima keterbatasannya, akan tetapi ia selalu berusaha untuk mencapai sesuatu dengan usaha yang sebaik-baiknya dan sebaliknya orang yang tidak asertif selalu menunggu terjadinya sesuatu. 4) Bertindak dengan cara yang dihormatinya sendiri. Maksudnya karena sadar bahwa ia tidak dapat selalu menang, ia menerima keterbatasan namun ia berusaha untuk menutupi dengan mencoba mengembangkan dan selalu belajar dari lingkungan. 2.1.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Asertif Rathus (dalam Fensterheim & Baer, 1995) faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan asertif adalah: 1) Jenis Kelamin Sejak kanak-kanak, peranan pendidikan laki-laki dan perempuan telah dibedakan di masyarakat, laki-laki harus tegas dan kompetitif. Masyarakat mengajarkan bahwa asertif kurang sesuai untuk anak 11

perempuan. Oleh karena itu tampak terlihat bahwa perempuan lebih bersikap pasif meskipun terhadap hal-hal yang kurang berkenan di hatinya. 2) Kepribadian Proses komunikasi merupakan syarat utama dalam setiap interaksi. Interaksi akan lebih efektif apabila setiap orang mau terlibat dan berperan aktif. Orang yang berperan aktif dalam proses komunikasi adalah mereka yang secara spontan mengutamakan buah pikirannya dan menanggapi pendapat setiap sikap pihak lain. Sifat spontan ini dapat dijumpai pada orang yang berkepribadian ekstrovert. Orang yang berkepribadian ini memiliki ciri-ciri mudah melakukan hubungan dengan orang lain, impulsif, cenderung agresif, sukar menahan diri, percaya diri, perhatian, mudah berubah, bersikap gampangan, mudah gembira, dan banyak teman. Sebaliknya orang yang berkepribadian introvert, mempuanyai ciriciri pendiam, gemar mawas diri, teman sedikit, cenderung membuat rencana sebelum melakukan sesuatu, serius, mampu menahan diri terhadap ledakan-ledakan perasaan dan penaruh prasangka terhadap orang lain. 3) Inteligensi Perilaku asertif juga dipengaruhi oleh kemampuan setiap orang untuk merumuskan dan mengungkapkan buah pikirannya secara jelas sehingga dapat dimengerti dan dipahami oleh orang lain serta mampu 12

memahami apa yang dikomunikasikan oleh pihak lain sehingga proses komunikasi berlangsung dengan lancar. 4) Kebudayaan (Santosa, 1999) memandang bahwa kebudayaan mempunyai peran yang besar dalam mendidik perilaku asertif. Misalnya pada budaya Jawa yang menekankan prinsip kerukunan dan keselamatan sosial seorang anak sejak kecil telah dilatih untuk berafiliasi dan konformis. Lebih-lebih pada wanita yang dituntut untuk bersikap pasif, dan menerima apa adanya atau pasrah. 5) Pola Asuh Orang Tua Ada tiga macam pola asuh orang tua dalam mendidik anak, yaitu pola asuh otoriter, demokratis, dan permisif. Anak yang diasuh secara otoriter biasanya akan menjadi remaja yang pasif dan sebaliknya bila anak diasuh secara permisif anak akan terbiasa untuk mendapatkan segalanya dengan mudah dan cepat, sehingga ada kecenderungan untuk bersikap agresif, lain dengan pola asuh demokratis, pola asuh semacam ini akan mendidik anak untuk mempunyai kepercayaan diri yang besar, dapat mengkomunikasikan segala keinginannya secara wajar dan tidak memaksakan kehendak (Festerheim & Baer, 1995). 6) Usia Santosa (1999) berpendapat bahwa usia merupakan salah satu faktor yang menentukan munculnya perilaku asertif. Pada anak kecil perilaku ini belum terbentuk. Struktur kognitif yang ada belum 13

memungkinkan mereka untuk menyatakan apa yang diinginkan dengan bahasa verbal yang baik dan jelas. Sebagian dari mereka bersifat pemalu dan pendiam sedangkan yang lain justru bersifat agresif dalam menyatakan keinginannya. Pada masa remaja dan dewasa perilaku asertif menjadi lebih berkembang sedangkan pada usia tua tidak begitu jelas perkembangan atau penurunannya. Menurut Galassi (dalam Fauziyah, 2009) terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku asertif, karena berkembangnya perilaku asertif dipengaruhi oleh faktor-faktor yang dialami individu dalam lingkungan sepanjang hidup. Tingkah laku asertif berkembang secara bertahap sebagai hasil interaksi antara anak, orang tua, dan orang dewasa lain dalam lingkungannya. 2.1.4 Komponen Perilaku Asertif Eisler (dalam Marini & Andriani, 2005) mengungkapkan komponen perilaku asertif antara lain : 1) Complain Berkaitan dengan usaha seseorang untuk menolak atau tidak sependapat dengan orang lain. Yang perlu ditekankan di sini adalah keberanian seseorang untuk mengatakan tidak pada orang lain jika memang itu tidak sesuai dengan keinginanya. 2) Duration of reply Merupakan lamanya waktu bagi seseorang untuk mengatakan apa yang dikehendakinya, dengan menerangkannya pada orang lain. 14

Orang yang asertifitasnya tinggi memberikan respon yang lebih lama (dalam arti lamanya waktu untuk berbicara) dari pada orang yang tingkat asertifnya rendah. 3) Loudness Berbicara lebih keras biasanya lebih asertif selama seorang itu tidak berteriak. Berbicara dengan suara yang jelas merupakan cara yang terbaik dalam berkomunikasi secara efektif dengan orang lain. 4) Request for new behavior Meminta munculnya perilaku yang baru pada orang lain, mengungkapkan tentang fakta ataupun perasaan dalam memberikan saran pada orang lain, dengan tujuan agar situasi berubah sesuai yang diinginkan. 5) Affect Afek berarti emosi, ketika seseorang berada dalam keadaan emosi maka intonasi suaranya akan meninggi. Pesan yang disampaikan akan lebih asertif jika seseorang berbicara dengan flukturasi yang sedang dan tidak berupa respon yang monoton ataupun respon yang emosional. 6) Latency of respon Adalah jarak waktu antara akhir ucapan seseorang sampai gilirannya untuk mulai berbicara. Kenyataannya bahwa adanya sedikit jeda sesaat sebelum menjawab secara umum lebih asertif dari pada yang tidak terdapat jeda. 15

7) Non verbal Ada beberapa komponen non verbal dari asertif yaitu: a) Kontak mata Kontak mata memandang orang yang diajak bicara maka akan membantu dalam menyampaikan pesan dan juga akan meningkatkan efektivitas pesan. Akan tetapi jangan pula sampai terlalu membelakang ataupun juga menundukkan kepala. b) Ekspresi muka Perilaku asertif yang efektif membutuhkan ekspresi wajah yang sesuai dengan pesan yang disampaikan. Misalnya, pesan kemarahan akan disampaikan secara langsung tanpa senyuman, ataupun pada saat gembira menunjukkan wajah yang senang. c) Jarak fisik Sebaiknya berdiri atau duduk yang sewajarnya, jika terlalu dekat dapat mengganggu orang lain dan terlihat seperti menantang. Sementara terlalu jauh akan membuat orang lain susah untuk menangkap apa maksud dari perkataannya. d) Sikap badan Sikap badan yang tegak ketika berhadapan dengan orang lain akan membuat pesan lebih asertif. Sementara sikap badan yang tidak tegak dan terlihat malas-malasan akan membuat orang lain menilainya mudah mundur atau melarikan diri dari masalah. 16

e) Isyarat tubuh Pemberian isyarat tubuh dengan gerakan tubuh yang sesuai dapat menambah keterbukaan, rasa percaya diri dan memberikan penekanan pada apa yang kita katakan, misalnya dengan mengarahkan tangan keluar. Sementara yang lain dapat mengurangi, seperti menggaruk leher dan menggosok-gosok mata. 2.2 Kekerasan dalam Berpacaran 2.2.1 Pengertian Kekerasan Secara bahasa, kekerasan (violence) dimaknai Mansour (Fakih, 1996) sebagai serangan atau invasi (assault) terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. Sementara menurut Galtung ( dalam Warsana, 1992) terminology kekerasan atau violence berasal dari bahasa latin vis vis yang berarti daya tahan atau kekuatan atau latus yang berarti membawa sehingga dapat diartikan secara harfiah sebagai daya atau kekuatan untuk membawa. Kata kekerasan sepadan dengan kata violence dalam bahasa Inggris diartikan sebagai suatu serangan atau invasi terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. Sedangkan kata kekerasan dalam bahasa Indonesia umumnya dipahami hanya menyangkut serangan fisik belaka. Dengan demikian, bila pengertian violence sama dengan kekerasan, maka kekerasan di sini merujuk pada kekerasan fisik maupun psikologis. 17

Kekerasan (violence) adalah ancaman atau penggunaan kekuatan fisik terhadap orang lain, dirinya sendiri, kelompok atau komunitas masyarakat dengan hasil akhir luka atau kematian, termasuk di dalamnya adalah pembunuhan, bunuh diri, penyerangan, kekerasan seksual, pemerkosaan, penganiayaan dah kekerasan dalam rumah tangga (Soetjiningsih, 2004). Berdasarkan uraian di atas dapat diperoleh kesimpulan bahwa kekerasan adalah tindakan agresi dengan menggunakan kekuatan fisik yang dapat merugikan dan menyebabkan penderitaan atau menyakiti orang lain baik secara fisik maupun psikologis. 2.2.2 Pengertian Berpacaran Menurut Cate & Llyod (dalam Dinastuti, 2008) pacaran atau courtship adalah semua hal yang meliputi hubungan berpacaran (dating relationship) baik yang mengarah ke perkawinan maupun yang putus sebelum perkawinan terjadi. Menurut Baron & Byrne (dalam Satria, 2011) ada beberapa karakteristik dari hubungan pacaran, yaitu perilaku yang saling bergantung satu dan lainnya, interaksi yang berulang, kedekatan emosional, dan kebutuhan untuk saling mengisi. Hubungan ini terdiri dari orang-orang yang kita sukai, seseorang yang kita sukai, cintai, hubungan yang romantis dan hubungan seksual. Salah satu kerakteristik dari pacaran yaitu adanya kedekatan atau keintiman secara fisik (physical intimacy). Keintiman (intimacy) tersebut meliputi berbagai tingkah laku tertentu, seperti 18

berpegangan tangan, berciuman, dan berbagai interaksi perilaku seksual lainnya. Perilaku pacaran menurut perspektif sosiologi merupakan perilaku yang menyimpang karena berpacaran merupakan sebagian dari pergaulan bebas. Pacaran berarti tahap untuk saling mengenal antara seorang pemuda dan pemudi yang saling tertarik dan berminat untuk menjalin hubungan yang eksklusif (terpisah, sendiri dan istimewa) (Basyarudin, 2010). Menurut pandangan Islam, pacaran hukumnya haram. Sebab dalam aktivitas pacaran hampir dapat dipastikan akan melanggar semua ketentuan/hukum-hukum terkait interaksi laki-laki dan perempuan. Fakta membuktikan bahwa pacaran merupakan awal dari perbuatan zina yang diharamkan. Oleh karena itu tidak ada istilah dan praktik pacaran Islami sebelum menikah. (Ramadhan, 2011). Berdasarkan uraian di atas dapat diperoleh kesimpulan bahwa pacaran adalah suatu proses hubungan antara dua orang (laki -laki dan perempuan) yang membangun komitmen untuk berinteraksi sosial dan melakukan aktivitas bersama-sama dengan maksud menuju hubungan yang lebih berkualitas (pertunangan atau pernikahan). 2.2.3 Pengertian Kekerasan dalam Berpacaran Dalam literature bahasa Indonesia kekerasan dalam rumah tangga mengacu pada penganiayaan terhadap pasangan baik menikah atau tidak menikah, wife beating, conjugal violence, intimate violence, battering, partners abuse, yang kadang digunakan untuk maksud yang lebih spesifik 19

(Chusairi, 2000). Pengertian tersebut memiliki basis rumah tangga, bila dalam konteks berpacaran, maka dapat dimaknai sebagai penganiayaan yang terjadi terhadap pasangan dalam sebuah hubungan pacaran, kekerasan verbal, pukulan, penyalahgunaan hubungan berpacaran, yang kadang digunakan untuk maksud yang lebih spesifik. Berdasarkan uraian di atas dapat diperoleh kesimpulan bahwa kekerasan dalam pacaran adalah segala bentuk tindakan yang mempunyai unsur kekerasan yang meliputi kekerasan secara fisik, seksual, atau psikologis yang terjadi dalam sebuah hubungan pacaran, baik yang dilakukan di depan umum maupun dalam kehidupan pribadi dan semua perilaku yang bermaksud menyakiti pasangan dalam sebuah hubungan secara fisik dan verbal sehingga merugikan orang lain. 2.2.4 Bentuk-bentuk Kekerasan dalam Berpacaran Menurut Shinta & Bramanti (2007), bentuk -bentuk kekerasan antara lain : 1) Kekerasan fisik, adalah penggunaan secara instensif kekuatan fisik yang berpotensi menyebabkan luka, bahaya, cacat dan kematian. 2) Kekerasan seksual, adalah upaya melakukan hubungan seksual yang melibatkan seseorang yang tidak memiliki kemampuan untuk memahami kelaziman/kebiasaan atau keadaan dari aksi tersebut, tidak mampu untuk menolak, atau tidak mampu mengkomunikasikan ketidakinginan untuk turut dalam hubungan seksual dan lain-lain. 20

3) Kekerasan psikologis/emosional dapat berupa tindakan kekerasan, ancaman kekerasan, atau taktik kekerasan/paksaan. Tidak hanya terbatas pada penghinaan pada korban, tetapi juga mencakup kontrol terhadap apa yang dapat atau tidak dapat korban lakukan, menahan informasi dari korban, mengisolasi korban dari teman-teman dan keluarga, dan menyangkal akses korban terhadap uang atau sumbersumber daya yang mendasar lainnya. 4) Kekerasan ekonomi terjadi ketika pelaku kekerasan mengontrol secara penuh uang korban dan sumber-sumber ekonomi lainnya. Berdasarkan uraian di atas dapat diperoleh kesimpulan bahwa bentuk-bentuk kekerasan dalam pacaran meliputi kekerasan fisik, kekerasan verbal atau psikis, kekerasan seksual dan kekerasan ekonomi. 2.2.5 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Kekerasan dalam Berpacaran Menurut Setyawati (2010) ada beberapa faktor yang mempengaruhi seseorang melakukan kekerasan dalam pacaran, yaitu : 1) Pola asuh dan lingkungan keluarga yang kurang menyenangkan. Keluarga merupakan lingkungan sosial yang amat berpengaruh dalam membentuk kepribadian seseorang. Masalah-masalah emosional yang kurang diperhatikan orang tua dapat memicu timbulnya permasalahan bagi individu yang bersangkutan di masa yang akan datang. Misalkan saja sikap kejam orang tua, berbagai macam penolakan dari orang tua terhadap keberadaan anak, dan sikap disiplin yang diajarkan secara 21

berlebihan. Hal-hal semacam itu akan berpengaruh pada peran (role model) yang dianut anak itu pada masa dewasanya. Bisa model peran yang dipelajari sejak kanak-kanak tidak sesuai dengan model yang normal atau model standard, maka perilaku semacam kekerasan dalam pacaran ini pun akan muncul. 2) Peer Group, Teman sebaya memiliki pengaruh yang besar dalam memberikan kontribusi semakin tingginya angka kekerasan antar pasangan. Berteman dengan teman yang sering terlibat kekerasan dapat meningkatkan resiko terlibat kekerasan dengan pasangannya. 3) Media Massa, Media Massa, TV atau film juga sedikitnya memberikan kontribusi terhadap munculnya perilaku agresif terhadap pasangan. Tayangan kekerasan yang sering muncul dalam program siaran televisi maupun adegan sensual dalam film tertentu dapat memicu tindakan kekerasan terhadap pasangan. 4) Peran Jenis Kelamin, pada banyak kasus, korban kekerasan dalam pacaran adalah perempuan. Hal ini terkait dengan aspek sosial budaya yang menanamkan peran jenis kelamin yang membedakan laki-laki dan perempuan. Laki-laki dituntut untuk memiliki citra maskulin dan macho, sedangkan perempuan feminin dan lemah gemulai. Laki-laki juga dipandang wajar jika agresif, sedangkan perempuan diharapkan untuk mengekang agresifitasnya. 22

2.2.6 Dampak Kekerasan dalam Berpacaran Menurut Setyawati (2010) Kekerasan dalam pacaran menimbulkan dampak baik fisik maupun psikis. Dampak fisik bisa berupa memar, patah tulang, dan sebagainya. Sedangkan luka psikis bisa berupa sakit hati, harga diri yang terluka, terhina, dan sebagainya. Menurut Engel (2002), dampak utama dari kekerasan emosional yang dialami oleh korban adalah depresi, berkurangnya motivasi, kebingungan, kesulitan berkonsentrasi atau membuat keputusan, rendahnya kepercayaan diri, perasaan gagal atau tidak berarti, keputusasaan, menyalahkan diri sendiri dan menghancurkan diri sendiri. Perasaan yang timbul dalam diri orang yang terlibat dalam kekerasan emosional adalah ketakutan, kemarahan, rasa bersalah, dan rasa malu. Tindakan kekerasan yang terjadi dalam kehidupan membawa dampak negatif bagi korban. Bukan hanya korban yang harus menanggung beban tersebut melainkan orang-orang terdekatnya sebagai bagian dari keluarga juga terkena dampaknya. Dampak yang terjadi pada korban pun sangat beragam, bersifat fisik dan psikis. Dampak psikis kekerasan emosional menurut Engel (2002) antara lain : rasa cemas dan takut yang berlebihan. Kecemasan tersebut akan menghambat perempuan untuk mencari bantuan dan menyelesaikan masalahnya. Selain itu rasa percaya diri yang rendah dapat timbul karena perlakuan pasangan yang membuatnya merasa bodoh, tidak berguna dan merepotkan, dampak psikis lain adalah labilnya emosi. 23

Berdasarkan uraian di atas dapat diperoleh kesimpulan bahwa dampak bagi korban yang mengalami kekerasan dalam pacaran meliputi hal-hal sebagai berikut : dampak fisik dan dampak psikis. 2.3 Masa Dewasa Awal Santrock (2003) mengemukakan bahwa dewasa awal dimulai pada akhir usia belasan atau permulaan usia 20-an dan berlangsung sampai usia 30, di masa ini merupakan waktu untuk membentuk perkembangan diri secara optimal dari segi kemandirian, kepentingan pribadi, ekonomi, memulai pasangan yang lebih intim dan rasa tanggung jawab. Erickson (dalam Monks, Knoers & Haditono, 2001) mengatakan bahwa seseorang yang digolongkan dalam usia dewasa awal berada dalam tahap hubungan hangat, dekat dan komunikatif dengan atau tidak melibatkan kontak seksual. Bila gagal dalam bentuk keintiman maka ia akan mengalami apa yang disebut isolasi (merasa tersisihkan dari orang lain, kesepian, menyalahkan diri karena berbeda dengan yang lain). 24