DAN SARAN BAB IV KESIMPULAN KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian diatas, dapat disimpulkan beberapa hal antaralain lain: 1. Kontak dengan penderita TB sebelumnya yang bersumber dari teman kerja bermakna secara statistik dan biologis sebagai faktor risiko TB Paru. Sedangkan kontak dengan penderita TB sebelumnya yang bersumber dari anggota keluarga dan tetangga yang sakit TB sebelumnya tidak bermakna secara statistik. Berdasarkan analisis multivariate hubungan kontak dengan penderita TB sebelumnya yang bersumber dari teman kerja memiliki p=0,046 (p<0,05) dan (OR=6,96; 95CI 1,039 46,591). Seseorang yang memiliki teman kerja yang sakit TB sebelumnya akan berisiko 6,96 kali untuk menderita TB Paru dikemudian hari dibandingkan mereka yang tidak memiliki teman kerja yang sakit TB sebelumnya. Kondisi ini menunjukkan adanya risiko penularan TB yang bersumber dari pekerjaan. Proporsi teman kerja yang sakit TB berdasarkan pekerjaan antaralain karyawan pabrik (4,85%), bertani (3,23%), dan masing-masing 1,61% untuk pekerjaan sebagai buruh bangunan, karyawan dealer motor, bengkel las, pemulung, karyawan percetakan, dan pembantu rumah tangga. Proporsi aktivitas sering berbicara dan kumpul bersama dengan teman kerja sakit TB sebesar 9,68%. Sedangkan lama interaksi 1-3 jam sehari (11,29%), dan interaksi 4-5 jam sehari sebesar 6,45%. Adanya kontak yang cukup sering dilakukan oleh seseorang yang sehat terhadap pasien yang sakit TB merupakan media yang sangat baik bagi penularan TB kepada orang lain. 2. Kepadatan hunian tidak bermakna secara statistik sebagai faktor risiko TB Paru. Namun, berdasarkan analisis multivariate, terdapat kepadatan hunian 149
yang bersumber dari kebiasaan tidur bersama anggota keluarga, jumlah hunian dalam kamar (hunian 3 orang perkamar dan 2 orang perkamar) yang hanya bermakna secara biologis yaitu dengan OR masing-masing sebesar 2,72, 3,89, dan 2,31. Proporsi hunian 3 orang perkamar dan hunian 2 orang perkamar yaitu masing-masing sebesar 20,97%, dan 61,29%. Risiko penularan TB akan semakin besar pada hunian yang semakin padat. Kondisi ini akan di perburuk dengan kebiasaan tidur bersama anggota keluarga yang sakit TB dengan anggota keluarga lainnya yang sehat. Proporsi kebiasaan tidur bersama anggota keluarga ditemukan sebesar 83,87%. 3. Kemiskinan tidak bermakna secara statistik dan biologis sebagai faktor risiko TB Paru. Namun pendapatan >Rp.600.000 perbulan bermakna secara statistik dan biologis sebagai faktor protektif penyakit TB Paru. Berdasarkan analisis multivariate pada uji hubungan kemiskinan yang bersumber dari indikator pendapatan menunjukkan pendapatan >Rp.600.000 memiliki p=0,002 (p<0,05) dan (OR=0,14; 95CI 0,040 0,497). Dengan memiliki pendapatan >Rp.600.000 perbulan maka seseorang akan mengurangi risiko 0,14 kali untuk tidak menderita TB Paru dibandingkan mereka yang hanya memiliki pendapatan <Rp.600.000 perbulan. Semakin baik pendapatan keluarga akan semakin baik untuk menurunkan risiko menderita sakit TB Paru. 4. Status merokok yang bersumber dari riwayat pernah merokok sebelumnya namun telah berhenti saat ini (perokok non-current) dan riwayat perokok pasif yang berasal dari kebiasaan merokok anggota keluarga berhubungan secara statistik dan biologis sebagai faktor risiko TB Paru. Berdasarkan analisis multivariate pada uji hubungan status merokok yang bersumber dari riwayat pernah merokok sebelumnya (perokok non-current) memiliki p=0,028 (p<0,05) dan (OR=12,47; 95CI 1,319 117,972). Sedangkan pada uji hubungan status merokok yang bersumber dari riwayat perokok pasif yang berasal dari kebiasaan merokok anggota keluarga memiliki p=0,001 (p<0,05) dan (OR=8,02; 95CI 2,455 26,224). Hasil ini 150
menunjukkan apabila seseorang memiliki riwayat pernah merokok sebelumnya akan berisiko 12,47 kali untuk menderita TB Paru dikemudian hari dibandingkan mereka yang tidak memiliki riwayat pernah merokok sebelumnya. Selain itu, mereka yang terpapar asap rokok (perokok pasif) yang berasal dari kebiasaan merokok anggota keluarga akan berisiko 8,02 kali untuk menderita TB Paru dikemudian hari dibandingkan mereka yang tidak memiliki anggota keluarga yang merokok. Proporsi riwayat pernah merokok sebelumnya hanya 12,90%. Berhenti merokok <1 tahun hanya 3,23% dan berhenti >1 tahun sebesar 9,68%. Konsumsi rokok (perokok non-current) 1-10 batang perhari sebesar 11,29% dan konsumsi >10 batang perhari sebesar 1,61%. Status pernah merokok sebelumnya meskipun telah berhenti pada saat ini tidaklah menghilangkan risiko paparan asap rokok terhadap gangguan penyakit pernafasan, namun hanya mengurangi risiko terhadap masalah penyakit pernafasan. Semakin lama seseorang berhenti merokok, maka akan semakin besar pula pengurangan risiko terhadap gangguan penyakit pernafasan. Merokok di yakini dapat memperburuk perjalanan klinis penyakit TB dan menjadi sumber penularan potensial bagi orang sehat di sekitarnya. Proporsi riwayat perokok pasif (kebiasaan merokok anggota keluarga) terbilang besar yaitu 80,65%, dengan merokok di dalam rumah 77,42%. Paparan asap rokok secara pasif dapat memperburuk kondisi kesehatan seseorang, menyebabkan risiko yang sama dengan perokok aktif, baik terhadap risiko reaktivasi TB Paru, memperburuk perjalanan klinis TB dan risiko infeksi TB Paru secara progresif. 5. Diabetes mellitus tidak bermakna secara statistik dan biologis sebagai faktor risiko TB Paru. Pada penderita TB Paru, proporsi yang menderita diabetes mellitus terbilang kecil yaitu 4,84%. 6. Berdasarkan analisis spasial, buffer jarak tempat tinggal kasus TB Paru terhadap Puskesmas menunjukkan terdapat sejumlah kasus, berada pada jarak lebih dari 3 km. Kondisi ini menunjukkan adanya masalah aksesibilitas sejumlah kasus TB Paru untuk mengakses sumber pelayanan 151
kesehatan, karena terkendala jarak yang cukup jauh dari pusat pelayanan kesehatan. Kondisi ini terkonfirmasi dengan adanya pengakuan dari petugas TB di wilayah Puskesmas II Kembaran, yang menyebut terdapat kendala transportasi bagi beberapa pasien TB yang ditangani di wilayah kerjanya. Pasien dengan kondisi ekonomi yang terbilang miskin, merasa kesulitan untuk melakukan kunjungan ke wilayah Puskesmas, karena mereka tidak memiliki kendaraan yang dapat digunakan. Membayar ongkos angkutan menuju pusat pelayanan puskesmas di akui oleh petugas TB menjadi masalah utama bagi beberapa pasien TB dengan kondisi ekonomi yang terbilang miskin. Selain itu, ditemukan buffer kasus TB berdasarkan jarak dari industri bata rumahan yang menunjukkan sebagian besar kasus berada pada jarak 2 km dari sumber industri bata rumahan, terutama kasus TB Paru yang ditemukan di wilayah Puskesmas II Kembaran. Industri bata rumahan yang berada di wilayah kerja Puskesmas II Kembaran, merupakan salah satu sumber mata pencaharian oleh sebagian masyarakat yang bermukim di wilayah ini. Buffer industri bata rumahan menunjukan adanya sejumlah kasus TB Paru yang cukup besar berada di sekitar lokasi Industri bata rumahan tersebut. Dalam buffer jarak 2 km dari pusat industri bata rumahan, dapat mencakup 80,65% dari total keseluruhan kasus yang ada di wilayah kerja Puskesmas I dan II Kembaran. Industri bata rumahan memproduksi asap yang cukup besar dari hasil pembakaran cetakan batu bata yang digunakan untuk memproduksi bata. Dalam jarak yang cukup dekat dengan sumber pembakaran, asap hasil pembakaran dapat mengganggu pernapasan. Terutama bagi mereka yang menjadi pekerja di industri bata rumahan. 7. Berdasarkan analisis spasial, terdapat 10 klaster kasus TB Paru yang terbentuk di beberapa area. Jumlah klaster yang terbentuk dapat dilihat disebagian besar wilayah kerja puskesmas II Kembaran dan sebagian kecil terdapat di wilayah kerja Puskesmas I Kembaran. Terdapat empat klaster terbesar yaitu klaster 1 yang terbentuk di Desa Pliken, klaster 2 yang terbentuk di tiga desa yang saling berdekatan yaitu Desa Purwodadi, Desa 152
Karang Tengah dan Desa Sambeng Kulon, klaster 3 yang terbentuk di dua desa yang juga saling berdekatan yaitu Desa Sambeng Kulon dan Desa Sambeng Wetan, dan klaster 4 yang terbentuk di wilayah Desa Bojongsari. Proporsi jumlah kasus TB Paru yang ditemukan di Desa Pliken sebesar 27,42%. Proporsi jumlah kasus di tiga desa berikut yaitu Desa Purwodadi, Desa Karang Tengah dan Desa Sambeng Kulon hanya mencapai 20,97%. Sedangkan proporsi kasus di Desa Sambeng Wetan dan Desa Bojongsari masing-masing sebesar 9,68%. Terlihat cukup jelas bahwa Desa Pliken merupakan desa dengan jumlah kasus TB Paru terbanyak yang di temukan selama periode triwulan IV, Tahun 2012 sampai Triwulan III, Tahun 2013. Selain itu jarak lokasi Desa Pliken terletak cukup jauh dari Puskesmas II Kembaran. Terbentuknya klaster yang di tandai dengan area berwarna merah menunjukkan kepadatan kasus TB yang cukup tinggi. Semakin tinggi kepadatan kasus dalam suatu area, maka akan semakin jelas area klaster yang terbentuk. Area yang berwarna merah merupakan episentrum dari klaster yang terbentuk. Klaster yang terbentuk menunjukkan adanya kasus TB Paru yang cukup besar di suatu area. Hadirnya sejumlah kasus TB Paru dengan jumlah yang cukup besar mengindikasikan adanya penularan TB Paru yang relatif besar di populasi. Faktor-faktor seperti kemiskinan, status gizi yang buruk, kondisi perumahan yang padat, lingkungan yang tidak sehat, perilaku kesehatan yang buruk, dan lain-lain dapat menjadi penyebab besarnya penyebaran kasus TB di wilayah tersebut. 8. Berdasarkan analisis spasial, terdapat difusi kasus TB Paru di beberapa lokasi di wilayah kerja Puskesmas II Kembaran dan tidak ditemukan difusi kasus TB Paru di wilayah kerja Puskesmas I Kembaran. Pola difusi yang terjadi menjelaskan terjadinya penambahan kasus baru dari waktu ke waktu, berdasarkan waktu (bulan) di beberapa area yang menunjukkan terjadinya transmisi kasus TB Paru. Pola difusi yang terjadi adalah tipe contagious diffusion (difusi menular). Difusi Menular (contagious diffusion) merupakan infeksi yang menyebar melalui kontak langsung. Hal 153
ini berarti bahwa risiko untuk terinfeksi akan bergantung dengan jarak kontak. Difusi menular (contagious diffusion) dapat terjadi sebagai penyebaran penyakit menular melalui kontak langsung dari suatu individu dengan host yang terinfeksi penyakit menular. Proses penularan penyakit infeksius sangat dipengaruhi oleh jarak, dimana seseorang memiliki kedekatan jarak dengan sumber infeksi akan memiliki kemungkinan (probabilitas) yang jauh lebih besar dibandingkan dengan individu atau wilayah yang jauh dari sumber penyakit. B. Saran Berdasarkan kesimpulan yang telah dirumuskan diatas, beberapa rekomendasi saran dapat dirumuskan untuk kepentingan pencegahan dan penatalaksanaan tuberculosis di masyarakat antara lain sebagai berikut: 1. Rekomendasi bagi penderita: segera berobat ke pusat pelayanan kesehatan terdekat apabila memiliki gejala sakit TB seperti batuk berdahak disertai darah yang berlangsung lebih dari 3 minggu, demam, sesak napas, dan berat badan menurun. Semakin cepat berobat akan semakin baik bagi penyembuhan dan pencegahan penularan terhadap orang lain. Pasien TB harus menjalani pengobatan lengkap selama 6 bulan (2 bulan tahap intensif dan 4 bulan tahap lanjutan). TB dapat disembuhkan dengan rutin meminum obat dan taat pada terapi pengobatan yang diberikan. Perbaikan gizi dapat membantu mempercepat penyembuhan. Meskipun gejala sakit TB telah hilang, pengobatan TB harus dituntaskan hingga program pengobatan selesai agar basil TB benar-benar dapat dibunuh oleh antibiotik. Penderita TB dapat memperbaiki status gizi untuk membantu upaya kuratif yang dilakukan, dengan mengkonsumsi makanan yang begizi. Pasien TB harus berhenti merokok dan menghindari paparan asap rokok secara pasif, karena asap rokok dapat menggagalkan pengobatan (memperburuk perjalanan klinis TB). Pasien TB harus menyadari sepenuhnya bahwa penularan TB dapat terjadi melalui kontak yang cukup 154
dekat, melalui tetesan air liur yang keluar saat pasien berbicara, tertawa atau bernyanyi. Untuk mencegah penularan ke orang lain, pasien TB sebaiknya menjaga personal hygiene seperti tidak meludah sembarangan, menggunakan masker, menutup mulut saat bersin atau batuk, menghindari berbicara terlalu dekat dengan orang yang sehat. Sebaiknya pasien TB tidur ditempat yang terpisah dari anggota keluarga yang sehat untuk mencegah penularan. 2. Rekomendasi bagi anggota keluarga, tetangga dan teman kerja: penularan TB dapat terjadi melalui kontak yang cukup dekat dengan penderita TB, oleh karena itu mengurangi kontak dengan penderita TB sebelumnya akan sangat baik untuk mencegah penularan. Segera rujuk anggota keluarga, tetangga, atau teman kerja yang diketahui memiliki gejala sakit TB ke pusat pelayanan kesehatan terdekat. Apabila terdapat anggota keluarga, tetangga, dan teman kerja yang sakit TB dengan interaksi yang cukup sering dengan orang yang sehat, sebaiknya orang tersebut menjaga status gizinya agar dapat membantu mempertahankan imunitas tubuh yang baik. Bagi anggota keluarga, tetangga dan teman kerja yang sehat, mendorong penderita TB untuk patuh dalam meminum obat akan sangat baik untuk penyembuhan TB dan mencegah penularan TB lebih lanjut ke orang terdekat. Memperbaiki pendapatan keluarga dapat membantu memenuhi kebutuhan gizi yang baik bagi anggota keluarga, sehingga infeksi TB secara progresif dapat di cegah dengan status gizi yang adekuat. 3. Rekomendasi bagi penatalaksanaan TB Paru di tingkat Dinas Kesehatan Banyumas: Adanya penularan TB di tempat kerja dapat menjadi acuan bagi Dinas Kesehatan untuk melakukan penyuluhan kesehatan TB Paru di tempat kerja. Penyuluhan kesehatan dapat juga diintensifkan untuk menanggulangi perilaku merokok pasien TB dan perilaku merokok anggota keluarga (perokok pasif) untuk membantu menanggulangi penularan TB paru di lingkungan keluarga. Perbaikan gizi keluarga dapat direkomendasikan dalam kegiatan penyuluhan kesehatan maupun kedalam program untuk mensukseskan upaya kuratif TB Paru. Mengintensifkan 155
program kunjungan kerumah terutama bagi pasien TB dengan jarak yang cukup jauh dari Puskesmas, dengan hambatan transportasi dan kondisi ekonomi yang terbilang miskin, agar target pengobatan lengkap dan tuntas dapat terealisasi dengan baik. Terbentuknya 10 klaster dan pola difusi yang terjadi menunjukkan adanya pengelompokan kasus TB Paru yang cukup banyak dan terdapat transmisi kasus TB Paru di komunitas. Oleh karena itu kegiatan penjaringan suspek maupun skrining TB dapat dilakukan terhadap anggota keluarga lainnya, tetangga dan teman kerja yang masih terlihat sehat namun memiliki riwayat kontak yang cukup sering dengan penderita TB, dengan harapan semakin banyak daftar suspek yang di periksa akan semakin baik untuk meningkatkan kegiatan penemuan penderita, dan dapat mencegah penularan yang lebih besar di populasi di masa-masa mendatang. Perlu adanya tindak lanjut atas temuan industri bata rumahan di sekitar tempat tinggal penderita TB, melalui penyelidikan epidemiologi untuk mengetahui hubungan kausalitas antara penyakit TB Paru dengan keberadaan industri bata rumahan di wilayah Kecamatan Kembaran. 4. Rekomendasi bagi penelitian selanjutnya: dengan ditemukannya sejumlah pusat industri bata rumahan di sekitar lokasi tempat tinggal kasus TB Paru, sebaiknya dapat dilakukan penelitian mendalam untuk mengetahui hubungan sejumlah pusat industri bata rumahan dengan penyakit TB Paru. 156