BAB VII PELAKSA AA MODEL PEMBERDAYAA PETA I SEKOLAH LAPA GA PE GELOLAA TA AMA TERPADU

dokumen-dokumen yang mirip
I PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian memiliki peran yang strategis dalam perekonomian

Bunaiyah Honorita Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu Jl. Irian Km.6,5 Bengkulu 38119

BAB V KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. rumahtangga yang mengusahakan komoditas pertanian. Pendapatan rumahtangga

BAB VII FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN TINGKAT KEINOVATIFAN PETANI DAN LAJU ADOPSI INOVASI

BAB 4 EVALUASI KEEFEKTIFAN PROGRAM DALAM MENINGKATKAN PRODUKSI PADI SAWAH

PENGARUH SISTIM TANAM MENUJU IP PADI 400 TERHADAP PERKEMBANGAN HAMA PENYAKIT

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

MODUL KAJIAN KEBUTUHAN DAN PELUANG (KKP)

PENDAHULUAN Latar Belakang

Lampiran 1. Peta wilayah Provinsi Bali

Kajian Kinerja dan Dampak Program Strategis Departemen Pertanian

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. Penelitian menyimpulkan sebagai berikut:

LAPORAN AKHIR KEGIATAN SOSIALISASI DESA PHT DAN PELAKSANAAN SL PHT TAHUN. 2009/2010

5. PEMBAHASAN 5.1. Penerimaan Kotor Varietas Ciherang, IR-64, Barito Dan Hibrida

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI PENELITIAN. penelitian, sedangkan pada bagian implikasi penelitian disajikan beberapa saran

I. PENDAHULUAN. Padi merupakan bahan makanan yang menghasilkan beras. Bahan makanan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan yang dilakukan di negara-negara dunia ketiga masih menitikberatkan

PERAN SEKOLAH LAPANG PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (SL- PTT) DALAM PENINGKATAN PRODUKTIVITAS PADI DI KABUPATEN PURBALINGGA

BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

POLICY BRIEF MENDUKUNG GERAKAN PENERAPAN PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (GP-PTT) MELALUI TINJAUAN KRITIS SL-PTT

Semakin tinggi tingkat pendidikan petani akan semakin mudah bagi petani tersebut menyerap suatu inovasi atau teknologi, yang mana para anggotanya terd

TINJAUAN PUSTAKA. komunikasi informasi secara sadar dengan tujuan membantu sasarannya

BAB VI. IDENTITAS KARAKTERISTIK UMUM RESPONDEN DAN PROSES PENGAMBILAN KEPUTUSAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Identitas Petani Petani Padi Organik Mitra Usaha Tani

VII ANALISIS PENDAPATAN

PENDAHULUAN. Petunjuk Teknis Lapang PTT Padi Sawah Irigasi...

I. PENDAHULUAN. pembangunan ekonomi daerah dan nasional. Pertanian yang berkelanjutan

MODUL PTT FILOSOFI DAN DINAMIKA PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU KEDELAI

PERANAN PENYULUH PERTANIAN PADA KELOMPOK TANI DI KOTA PEKANBARU

dari semua variabel karakteristik individu dan rumahtangga dapat dilihat pada Lampiran 4.

BAB VIII PENGAMBILAN KEPUTUSAN INOVASI PRIMA TANI OLEH PETANI DAN FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGANNYA

VI KAJIAN KEMITRAAN PETANI PADI SEHAT DESA CIBURUY DENGAN LEMBAGA PERTANIAN SEHAT DOMPET DHUAFA REPLUBIKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA PEMIKIRAN

V. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN. A. Definisi Operasional, Pengukuran, dan Klasifikasi

DENGAN HIBRIDA HASIL PRODUKSI PADI MENINGKAT

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian yang berhasil dapat diartikan jika terjadi pertumbuhan

KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS. Kerangka Pemikiran

PENDAHULUAN Latar Belakang

V. GAMBARAN UMUM 5.1. Wilayah dan Topografi 5.2. Jumlah Kepala Keluarga (KK) Tani dan Status Penguasaan Lahan di Kelurahan Situmekar

I. GAMBARAN UMUM SL PHT

PERBEDAAN PENDAPATAN USAHATANI BUNCIS DENGAN SISTEM TEBASAN DAN TANPA TEBASAN

BAB VI PEMBAHASAN. pelaksanaan, dan hasil terhadap dampak keberhasilan FMA agribisnis kakao di

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN. kehidupan para petani di pedesaan tingkat kesejahteraannya masih rendah.

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

KAJIAN POLA PENDAMPINGAN PROGRAM SL-PTT DI KABUPATEN LUWU PROPINSI SULAWESI SELATAN

5 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penyuluh Pertanian Dalam UU RI No. 16 Tahun 2006 menyatakan bahwa penyuluhan pertanian dalam melaksanakan tugasnya

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB VI PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM MENCIPTAKAN PERUBAHAN

PELAKSANAAN KEMITRAAN PT. MEDCO INTIDINAMIKA DENGAN PETANI PADI SEHAT

KARAKTERISTIK PETANI PENERIMA METODE SEKOLAH LAPANG PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (SLPTT) PADI DI KECAMATAN CIAWI BOGOR.

VII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI PADI SEHAT

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Hal ini seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk diiringi

STRATEGI PENCAPAIAN UPAYA KHUSUS PENINGKATAN PRODUKSI PADI DI SUKOHARJO (STUDI KASUS DI DALANGAN TAWANGSARI)

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gambaran Program Pembiayaan Pertanian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KERANGKA PENDEKATAN TEORI. seperti industri, jasa, pemasaran termasuk pertanian. Menurut Rogers (1983),

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

KAJIAN PENGGUNAAN VARIETAS UNGGUL PADI BERLABEL DI KECAMATAN CURUP SELATAN KABUPATEN REJANG LEBONG PROVINSI BENGKULU

BAB I. PENDAHULUAN. Tahun. Pusat Statistik 2011.htpp:// [Diakses Tanggal 9 Juli 2011]

BAB II PE DEKATA TEORITIS

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

pelaksanaan pencapaian ketahanan pangan dan kemandirian pangan nasional.

VI KARAKTERISTIK PETANI RESPONDEN

PENGARUH KEMITRAAN TERHADAP PENDAPATAN PETANI PADI SEHAT

BAB IX FAKTOR - FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEBERHASILAN PROGRAM PEMBERDAYAAN KOMUNITAS DALAM PENERAPAN PERTANIAN ORGANIK

V. HASIL DANPEMBAHASAN. A. Karakteristik Petani Penangkar Benih Padi. benih padi. Karakteristik petani penangkar benih padi untuk melihat sejauh mana

PERBEDAAN PENDAPATAN USAHATANI PADI (Oryza Sativa L) KULTIVAR PADI HITAM LOKAL CIBEUSI DENGAN PADI CIHERANG

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN: Upaya Peningkatan Produksi Komoditas Pertanian Strategis

VI. ANALISIS BIAYA USAHA TANI PADI SAWAH METODE SRI DAN PADI KONVENSIONAL

TINGKAT PENERAPAN TEKNOLOGI PADA USAHATANI PADI SAWAH SYSTEM

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB VII KESIMPULAN DAN IMPLIKASI PENELITIAN. penelitian, sedangkan pada bagian implikasi penelitian disajikan beberapa saran

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang

METODE PENELITIAN Desain Penelitian Waktu dan Tempat Penelitian

PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU

BAB VII ANALISIS PERBANDINGAN USAHATANI

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Peranan sektor pertanian memiliki kontribusi bagi pembentukan

III KERANGKA PEMIKIRAN

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI PADI SAWAH DI DESA KARANG ANYAR KECAMATAN SEMIDANG ALAS MARAS KABUPATEN SELUMA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

RENCANA KINERJA TAHUNAN DINAS PERTANIAN KABUPATEN JOMBANG TAHUN 2015 KETERANGAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

HUBUNGAN PERANAN WANITA TANI DALAM BUDIDAYA PADI SAWAH DENGAN PENERAPAN TEKNOLOGI PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (PTT)

BAB VI PEMBAHASAN. itu sendiri. Karakter-karakter tersebut yang membedakan tipe perilaku petani pada

sosial yang menentukan keberhasilan pengelolaan usahatani.

I PENDAHULUAN. Tabel 1. Produk Domestik Bruto per Triwulan Atas Dasar Harga Konstan Menurut Lapangan Usaha Tahun 2009 (Miliar Rupiah)

PENDAHULUAN Latar Belakang

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2012 KAPASITAS ADAPTASI PETANI TANAMAN PANGAN TERHADAP PERUBAHAN IKLIM UNTUK MENDUKUNG KEBERLANJUTAN KETAHANAN PANGAN

PENDAHULUAN Latar Belakang

Transkripsi:

BAB VII PELAKSA AA MODEL PEMBERDAYAA PETA I SEKOLAH LAPA GA PE GELOLAA TA AMA TERPADU Kegiatan SL-PTT di Gapoktan Sawargi telah berlangsung selama empat kali. SL-PTT yang dilaksanakan adalah SL-PTT padi. Sekolah lapangan ini telah diikuti oleh empat kelompok tani yang berbeda dari tujuh kelompok tani di Gapoktan tersebut. Dalam pelaksanaan sekolah lapangan ini, kelompok tani mendapatkan bantuan benih untuk lahan seluas 25 hektar dan mendapatkan Saprodi untuk satu hektar lahan yang dijadikan laboratorium lapangan (LL). Kegiatan sekolah lapangan ini terdiri dari delapan pertemuan dengan topik yang berbeda pada masing-masing pertemuannya. Berdasarkan kurikulum SL-PTT padi sawah yang diperoleh dari PPL setempat, pada Tabel 30 dapat dilihat materimateri dan praktek yang harus diberikan pada setiap pertemuannya. Tabel 30. Kurikulum SL-PTT Padi Sawah di Desa Kebon Pedes Tahun 2009 Pertemuan Ke- Materi dan Praktek Pemandu/ Fasilitator 1 - Perlakuan benih sebelum sebar BPP, PPL - Pembuatan persemaian 2 - Sebar benih BPP, PPL - Pemeliharaan Persemaian 3 - Pindah tanam, sistem tanam BPP, PPL - Pemupukan dasar 4 - Penyiangan dan pemupukan susulan PPL, POPT - Pengamatan pertumbuhan dan OPT/agroekosistem 5 - Pengamatan pertumbuhan OPT dan PPL, POPT agroekosistem 6 - Penyiangan dan pemupukan susulan BP3K-PPL,POPT - Pengamatan pertumbuhan dan OPT/agroekosistem 7 - Pengamatan pertumbuhan OPT dan PPL,POPT agroekosistem 8 - Perlakuan panen dan pasca panen BP3K-PPL Sumber: BP3K Tahun 2009

73 Tabel 30 menjelaskan mengenai kegiatan-kegiatan yang dilakukan selama proses sekolah lapangan berlangsung. Seluruh pertemuan pada kegiatan SL-PTT didampingi oleh PPL dan fasilitator-fasilitator yang berbeda sesuai dengan materi yang akan disampaikan. Dalam pelaksanaannya, laboratorium lapangan menjadi tempat para peserta SL-PTT untuk melakukan percobaan dan pengamatan langsung terhadap materi pelajaran yang disampaikan. 7.1 Pelaksanaan SL-PTT di Gapoktan Sawargi 7.1.1 Pelaksanaan SL-PTT Kelompok Tani Sawargi Kegiatan SL-PTT padi di Kelompok Tani Sawargi telah dilaksanakan tahun 2008. Kelompok tani ini adalah kelompok tani yang pertama kali mendapatkan kegiatan sekolah lapangan di antara enam kelompok tani lainnya di Gapoktan Sawargi. Kelompok tani ini diketuai oleh orang yang pada saat itu menjabat sebagai ketua Gapoktan Sawargi. Kelompok tani ini mengikutsertakan petani-petani yang aktif, termasuk di dalamnya petani yang menjadi ketua kelompok di kelompok tani lainnya. Berdasarkan keterangan yang diperoleh, kegiatan sekolah lapangan ini dilaksanakan sebanyak lima kali pertemuan saja, berbeda dengan ketentuan yang terdapat pada kurikulum SL-PTT padi yang dianjurkan melakukan sekolah lapangan sebanyak delapan kali pertemuan. Pelaksanaan sekolah lapangan di kelompok ini tidak melibatkatkan seluruh petani peserta sekolah lapangan dalam menentukan ketua, bendahara, dan sekretaris. Dalam proses perencanaannya, hanya pihak-pihat tertentu yang dilibatkan, sehingga tidak seluruh petani peserta berperan serta melakukan PRA untuk menentukan permasalahan, tujuan, jadwal kegiatan sekolah lapangan, dan penempatan laboratorium lapangan. Kebanyakan dari petani peserta SL-PTT ini hanya berpartisipasi pada awal pelaksanaan kegiatan sekolah lapangan, yaitu penerimaan bantuan benih tanpa ikut berpartisipasi dalam proses perencanaan. Berdasarkan informasi yang diperoleh kelompok tani Sawargi, pelaksanaan sekolah lapangan yang hanya dilaksanakan sebanyak lima kali pertemuan ini disebabkan oleh keterbatasan dana penyerapan teknologi, sehingga kegiatan sekolah lapangan dipadatkan menjadi lima kali pertemuan saja. Untuk penerapan teknologi PTT yang telah dipraktekan di LL, petani yang mengikuti

74 SL-PTT ini belum menerapkan teknologi PTT pada saat kegiatan SL-PTT berlangsung, sehingga teknologi PTT hanya diterapkan di satu hektar lahan LL, sedangkan sisanya masih menggunakan cara konvensional dalam menanan padi. Setelah ditelusuri lebih jauh, kebanyakan dari petani yang tercatat telah menjadi peserta SL-PTT ini adalah petani yang memang berada pada hamparan garapan yang berdekatan, namun kebanyakan dari mereka hanya mengambil benih gratis saja tanpa mengikuti kegiatan SL-PTT secara penuh. 7.1.2 Pelaksanaan SL-PTT di Kelompok Tani Yudistira Kegiatan SL-PTT yang dilakukan di Kelompok Tani Yudistira adalah petani-petani yang memiliki lahan garapan di kawasan Kampung Bojong Galing. Kegiatan SL-PTT ini dilaksanakan tahun 2009 serentak dengan kegiatan SL-PTT di dua kelompok tani lainnya. Berbeda halnya dengan kegiatan sekolah lapangan yang telah berlangsung di Kelompok Tani Sawargi, kegiatan sekolah lapangan di kelompok ini dilakukan sesuai dengan kurikulum yang telah ditetapkan, yaitu dilakukan dalam 8 kali pertemuan. Selain itu, sekolah lapangan ini berlangsung dengan didampingi oleh beberapa PPL, sedangkan pada kelompok tani sebelumnya hanya didampingi oleh seorang PPL yang bertugas di desa tersebut. Temuan data di lapangan menunjukkan adanya perbedaan sifat antara pengurus di Kelompok Tani Sawargi dengan pengurus di Kelompok Tani Yudistira, dimana anngota pengurus pada Kelompok Tani Yudistira lebih terbuka terhadap penyuluh pertanian sehingga kegiatan penyuluhan pun dapat berlangsung lebih baik dibandingkan dengan kegiatan penyuluhan di kelompok tani sebelumnya Pada pelaksanaannya, petani peserta SL-PTT di kelompok ini memiliki karakteristik yang sama dengan petani di Kelompok Tani Sawargi. Mereka hanya aktif hadir pada awal pertemian, yaitu pada saat bantuan benih turun, sedangkan selanjutnya kebanyakan dari petani tersebut tidak mengikuti rangkaian kegiatan di LL. Setelah diamati, diperoleh temuan bahwa kebanyakan dari petani yang aktif mengikuti pertemuan SL-PTT adalah petani yang lahan garapannya termasuk ke dalam 1 ha lahan LL. Selain itu, petani yang kebanyakan aktif di SL-PTT adalah petani yang lahan garapannya dekat dengan lahan LL, sehinga pada saat

75 pertemuan SL-PTT, petani tersebut mudah untuk menjangkau lokasi pertemuan ang biasanya diadakan di lahan LL. Berdasarkan informasi yang diperoleh, kebanyakan petani yang mengikuti SL-PTT ini belum menerapkan teknologi PTT pada saat kegiatan SL-PTT berlangsung, sehingga teknologi PTT hanya diterapkan di satu hektar lahan LL, sedangkan sisanya masih menggunakan cara penanaman konvensional. Setelah ditelusuri lebih jauh, kebanyakan dari petani yang tercatat telah menjadi peserta SL-PTT ini adalah petani yang memang berada pada hamparan garapan yang berdekatan, namun kebanyakan dari mereka hanya mengambil benih gratis saja tanpa mengikuti kegiatan SL-PTT secara penuh. 7.1.3 Pelaksanaan SL-PTT di Kelompok Tani Cimuncang Kegiatan SL-PTT di Kelompok Tani Cimuncang dilaksanakan tahun 2009. Kegiatan sekolah lapangan ini dilakukan pada hamparan lahan SL-PTT yang terletak di dekat hamparan SL-PTT yang telah dilaksanakan oleh Kelompok Tani Sawargi. Karena hamparan yang berdekatan, beberapa petani peserta SL-PTT di Kelompok Tani Cimuncang sebelumnya adalah petani peserta SL-PTT di Kelompok Tani Sawargi. Sama halnya dengan beberapa petani peserta SL-PTT tersebut, ketua Kelompok Tani Cimuncang pun sebelumnya merupakan anggota peserta SL-PTT di Kelompok Tani Sawargi. Pelaksanaan SL-PTT di Kelompok Tani Cimuncang dilaksanakan dalam tujuh kali pertemuan. Satu kali pertemuan pada materi pengamatan pertumbuhan OPT dan agrosistem sebelum pemanenan tidak dilakukan. Lahan LL yang diperuntukan sebagai lahan percobaan teknologi PTT adalah lahan yang dimiliki oleh ketua Kelompok Tani Cimuncang, sehingga pengamatan pada masa bunting hanya dilakukan oleh beberapa orang saja, termasuk petani peserta yang memiliki lahan garapan dekat dengan lahan LL. Temuan di lapang menunjukan bahwa kemampuan pemimpin dalam melakukan usahatani menentukan hasil panen pada lahan LL. Karena karakteristik petani peserta SL-PTT kebanyakan sama, dimana kebanyakan petani yang mengikuti SL-PTT ini belum menerapkan teknologi PTT pada saat kegiatan SL- PTT berlangsung, sehingga teknologi PTT hanya diterapkan di satu hektar lahan

76 LL, sedangkan sisanya masih menggunakan cara penanaman konvensional. Berbeda dengan karakteristik petani pada umumnya, ketua kelompok tani ini memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi dan pengalaman yang dapat diandalkan dalam melakukan usahatani, sehingga hasil panen pada lahan LL berhasil meningkatkan produktivitas panen, yang sebelumnya tidak terjadi pada Kelompok Tani Sawargi yang pada saat itu gagal panen karena bulir padi yang hampa. 7.1.4 Pelaksanaan SL-PTT di Kelompok Tani Pamoyanan Kegiatan SL-PTT di Kelompok Tani Pamoyanan dilakukan tahun 2009, bersamaan dengan SL-PTT yang berlangsung di Kelompok Tani Yudistira dan Kelompok Tani Cimuncang. Namun, kegiatan sekolah lapangan di kelompok tani mengalami masalah. Adanya kesalahpahaman antara pengurus kelompok tani dengan PLL setempat, menyebabkan kegiatan SL-PTT di kelompok ini tidak berjalan sesuai ketentuan yang ada. PPL yang ditugasi untuk melakukan pendampingan di kelompok tani ini tidak pernah datang dan melakukan pendampingan. Tugas untuk pendampingan kegiatan SL-PTT diserahkan kepada penyuluh swasta yang pada saat itu bertugas di kampung tersebut untuk mempromosikan pupuk organik. Oleh karena itu, penyerapan teknologi PTT di kelompok ini menjadi bias karena lebih ditekankan pada petanian organik sesuai tujuan dari perusahaan dimana penyuluh swasta itu bekerja. Pelaksanaan SL-PTT yang tidak jelas ini menyebabkan ketidakjelasan proses penyerapan teknologi PTT yang bias dengan penerapan pertanian organik. Masalah ini menjadi lebih rumit, ketika percobaan pertanian organik pada lahan enam hektar yang dilakukan oleh penyuluh swasta gagal mencapai panen yang maksimal. Hal ini sangat berpengaruh terhadap proses penyerapan teknologi PTT yang terkena imbas akibat dari gagalnya penanaman padi organik. Dalam pengambilan data menganai penerapan teknologi PTT pun menjadi sulit untuk dilakukan pengukuran karena pengetahuan petani mengenai teknologi PTT telah tercampur dengan pengetahuan tentang organik. Begitu juga dengan persepsi petani mengenai kenerja penyuluh pertanian menjadi tercampur dengan persepsi petani terhadap penyuluh swasta. Petani di kelompok ini lebih dekat dengan penyuluh swasta dibandingkan dengan PPL. Adanya penyuluh swasta yang sering

77 melakukan kunjungan ke kelompok tani ini, menjadikan petani di kampung ini lebih kompak dan lebih mudah digerakkan untuk menerapkan teknologi baru. Walaupun pada prosesnya, sekolah lapangan di kelompok ini tidak berjalan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. 7.2 Analisis Pelaksanaan Model Pemberdayaan Petani Program SL-PTT Berdasarkan Konsep Pemberdayaan Masyarakat SL-PTT adalah suatu tempat pendidikan non formal bagi petani untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam mengenali potensi, menyusun usahatani, mengatasi permasalahan, mengambil keputusan dan menerapkan teknologi yang sesuai dengan kondisi sumberdaya setempat secara sinergis dan berwawasan lingkungan sehingga usahatani menjadi efisien, berproduktivitas tinggi dan berkelanjutan. Dalam SL-PTT petani dapat belajar langsung di lapangan melalui pembelajaran dan penghayatan langsung (mengalami), mengungkapkan, menganalisis, menyimpulkan, dan menerapkan (melakukan/mengalami kembali), menghadapi dan memecahkan masalahmasalah, terutama dalam hal teknik budidaya dengan mengkaji bersama berdasarkan spesifik lokasi. 7.2.1 Proses Partisipasi dalam SL-PTT Kegiatan SL-PTT merupakan kegiatan yang dilaksanakan dengan menerapkan konsep pemberdayaan. Pemberdayaan merupakan tema sentral atau jiwa partisipasi dalam kegiatan SL-PTT yang sifatnya aktif dan kreatif. Dengan model pemberdayaan yang ditetapkan pada kegiatan SL-PTT, diharapkan dapat menjadikan petani aktif berpartisipasi dalam setiap tahap kegiatannya. Kegiatan SL-PTT yang terdapat di Gapoktan Sawargi diawali dengan kegiatan Kajian Kebutuhan dan Peluang (KKP) yang dilakukan oleh petani bersama pendamping lapangan. Kegiatan ini hanya melibatkan beberapa pengurus Gapoktan dan tidak melibatkan keseluruhan calon peserta SL-PTT. Proses KKP ini sangat menentukan jalannya kegiatan SL-PTT untuk ke depannya, hanya saja dalam prosesnya kurang melibatkan calon peserta SL-PTT, sehingga keputusan yang diambil dari kegiatan KKP ini hanya mewakili sebagian suara dari calon peserta SL-PTT. Kegiatan KKP ini dilakukan untuk menganalisis masalah yang

78 dihadapi pertanian di daerah setempat, kemudian dicari penyelesaiannya dan ditentukan tujuan dari kegiatan SL-PTT tersebut. Persiapan pelaksanaan SL-PTT, dilakukan juga dengan menentukan jadwal pertemuan yang memungkinkan seluruh peserta SL-PTT hadir dalam setiap pertemuan. Penentuan laboratorium lapangan juga menjadi hal yang perlu disepakati bersama agar muncul rasa memiliki di antara peserta SL-PTT terhadap lahan percontohan yang akan digarap bersama-sama. Selain itu, penentuan struktur organisasi juga perlu diperhatikan, agar pembagian tugas dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien. Pemilihan ketua, sekretaris, dan bendahara perlu dilakukan besama peserta SL-PTT agar muncul pengakuan dari setiap peserta terhadap kesepakatan struktur organisasi yang terbentuk. Namun dalam proses perencanaan untuk pelaksanaan kegiatan SL-PTT ini ternyata kurang melibatkan peran peserta SL-PTT. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 2. Tingkat Partisipasi 90.0 83.3 80.0 70.0 60.0 50.0 40.0 30.0 20.0 10.0.0 7.1 9.5 40.5 35.7 23.8 23.8 2.4 73.8 Partisipasi Partisipasi Partisipasi dalam 1 dalam 2 3dalam Perencanaan Pelaksanaan Pemantauan Rendah Sedang Tinggi Kegiatan Partisipasi Gambar 2. Tingkat Partisipasi Petani Peserta SL-PTT di Desa Kebon Pedes Gambar 2 menunjukkan bahwa partisipasi peserta dalam pelaksanaan dan pemantauan kebanyakan berada pada tingkat partisipasi yang tinggi dengan persentase masing-masing 40,5 persen dan 78,8 persen. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat partisipasi dalam pelaksanaan dan pemantauan lebih tinggi dibandingkan tingkat partisipasi dalam perencanaan. Hal ini terjadi karena dalam proses pelaksanaan, petani tidak diberi informasi mengenai adanya pertemuan SL-

79 PTT yang harus dihadari, sedangkan untuk kegiatan pemantauan, partisipasinya sebagian besar peserta (78,8 persen) adalah tinggi karena proses peamntauan dapat dilakukan kapan saja di laboratorium lapangan. Gambar 2 juga menunjukkan bahwa sebagian besar peserta SL-PTT (83,3 persen) memiliki tingkat partisipasi yang rendah dalam perencanaan kegiatan SL- PTT. Kegiatan KKP (Kajian Kebutuhan dan Peluang) yang hanya melibatkan pengurus kelompok tani, merupakan faktor yang menyebabkan rendahnya tingkat partisipasi peserta SL-PTT dalam proses perencanaan SL-PTT. Hanya sebagian kecil dari petani peserta sekolah lapangan yang diajak berkumpul oleh pendamping lapangan maupun pengurus kelompok tani untuk melaksanakan perencanaan kegiatan SL-PTT. Hal tersebut menyebabkan sebagian besar peserta tidak berpartisipasi dalam kegiatan perencanaan. Rendahnya tingkat partisipasi peserta dalam perencanaan kegiatan SL-PTT secara lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 3. Tingkat Partisispasi dalam Perencanaan 100.0 90.0 80.0 70.0 60.0 50.0 40.0 30.0 20.0 10.0.0 16.7 83.3 Partisipasi Penentuan masalah 9.5 90.5 Partisipasi Penentuan Jadwal 83.3 85.7 16.7 14.3 Partisipasi Penentuan LL Partisipasi Penentuan Struktur Organisasi Keikutsertaan: Ya Tidak Gambar 3. Tingkat Partisipasi Petani di Desa Kebon Pedes dalam Perencanaan SL-TT Gambar 3 menunjukkan bahwa sebagian besar dari komponen perencanaan yang dilakukan pada proses KKP (Kajian Kebutuhan dan Peluang) yang terdiri dari penentuan masalah, penentuan jadwal, penentuan laboratorium lapangan, dan penentuan perangkat struktur organisasi tidak diikuti oleh peserta

80 SL-PTT. Hal tersebut disebabkan karena petani memang tidak dilibatkan dalam prosesnya. Tidak jauh berbeda dengan tingkat partisipasi pada proses perencanaan, tingkat partisipasi dalam kegiatan evaluasi sebagian besar (63,3 persen) tidak diikuti oleh peserta SL-PTT. Hal ini terjadi karena kebanyakan dari peserta SL- PTT tidak hadir dalam proses pemanenan SL-PTT karena lahan LL bukan lahan milik mereka. Mereka yang hadir pada kegiatan pemanenan SL-PTT biasanya adalah peserta yang lahan pertaniannya termasuk ke dalam lahan LL. Oleh karena itu banyak dari peserta SL-PTT yang tidak mengikuti kegiatan evaluasi, dimana kegitan tersebut biasanya dilakukan berbarengan setelah kegiatan SL-PTT pemanenan selesai dilakukan. Adapun gambaran mengenai partisipasi petani dalam proses evaluasi dapat dilihat pada Gambar 4. Tingkat Partisipasi Evaluasi 70.0 60.0 50.0 40.0 30.0 20.0 10.0.0 64.3 Tidak 35.7 Ya Gambar 4. Tingkat Partisipasi Peserta dalam Evaluasi SL-PTT di Desa Kebon Pedes Berdasarkan keterangan pada Gambar 2, 3, dan 4, dapat dilihat bahwa proses partisipasi yang telah berlangsung pada kegiatan SL-PTT cenderung tinggi pada kegiatan pelaksanaan dan pemantauan, namun cenderung rendah pada kegiatan perencanaan dan evaluasi. Penjelasan-penjelasan di atas menunjukkan bahwa kegiatan SL-PTT yang seharusnya dilaksanakan secara partisipatif dan bersifat bottom up, pada prakteknya belum dalam dilaksanakan sepenuhnya. Hal ini dapat dilihat dari peran penyuluh yang masih mendominasi dalam setiap tahap pelaksanaan SL-PTT. Kegiatan SL-PTT yang berlangsung selama satu musim tanam masih belum

81 dilaksanakan atas inisiatif dari kelompok, dimana petani peserta SL-PTT masih harus digerakkan untuk dapat mengikuti pertemuan SL-PTT. Oleh karena itu, kegiatan SL-PTT ini belum berhasil membangkitkan jiwa partisipasi yang kuat dalam jiwa petani. Dilihat dari proses pelaksanaannya, kegiatan penyuluhan dalam SL-PTT yang berusaha untuk menyesuaikan dengan kebutuhan petani, namun pada pelaksanaannya belum bisa dilaksanakan sepenuhnya. Penyuluh memang berusaha untuk berdiskusi terlebih dahulu dengan petani sebelum melaksanakan praktek SL-PTT, tetapi diskusi yang berlangsung merupakan diskusi yang diarahkan untuk membahas materi yang telah ditentukan oleh penyuluh sebelumnya. Oleh karena itu, kegiatan sekolah lapangan pada pragram SL-PTT belum dapat dikatakan telah berhasil menjawab dan memenuhi kebutuhan petani. 7.2.2 Penerapan Pedoman Pelaksanaan SL-PTT Pelaksanaan SL-PTT pada prakteknya lebih ditekankan pada proses praktek yang dilakukan di laboratorium lapangan. Falsafah SL-PTT yang berbunyi: mendengar, saya lupa, melihat, saya ingat, melakukan saya paham, dan menemukan sendiri, saya kuasai, merupakan suatu pedoman yang diharapkan dapat memaksimalkan proses pembelajaran SL-PTT. Praktek SL-PTT yang telah berlangsung di Gapoktan Sawargi, pada umumnya dilakukan antara lima sampai delapan kali pertemuan, dimana pada setiap kelompok taninya berbeda-beda. Kegiatan SL-PTT ini biasanya diawali dengan diskusi mengenai materi yang akan disampaikan, setelah itu peserta SL- PTT mempraktekkan teknologi PTT dengan ketentuan-ketentuan yang telah disampaikan pada saat diskusi. Dengan cara seperti ini, kemampuan petani untuk menyerap informasi teknologi PTT menjadi mudah dan jelas karena petani menjadi yakin terhadap kelebihan dan kekurangan teknologi PTT yang telah mereka praktekkan di laboratorium lapangan. Namun, pemahaman mengenai SL- PTT ini bersifat kondisional. Kegiatan pertanian tidak selamanya didukung oleh cuaca, keadaan agroekosistem, serta faktor faktor lainnya yang mendukung. Hal ini menjadi tantangan bagi petani SL-PTT untuk dapat memecahkan sendiri permasalahannya terkait dengan aktivitas bercocok tanam yang mereka lakukan.

82 Oleh karena itu, petani diharapkan dapat menemukan sendiri solusi dari setiap masalah yang dihadapi dalam berusahatani, baik pada saat SL-PTT berlangsung, maupun setelah SL-PTT berakhir. Berdasarkan informasi yang diperoleh di lapangan, kegiatan SL-PTT di Gapoktan Sawargi ini relatif berjalan lancar dan mencapai angka produktivitas panen yang diharapkan. Hal ini dapat dimengerti karena proses penanaman SL- PTT dilakukan pada saat kondisi cuaca dan agroekosistem mendukung pada saat itu, sedangkan pada kondisi yang berbeda, teknologi PTT ini tidak selalu dapat menyelesaikan masalah yang ditemukan di lapangan. Setelah pelaksananaan SL- PTT selesai, petani-petani peserta SL-PTT ini dihadapkan kepada permasalahan hama tikus dan penyakit merah yang menyerang padi. Hal ini pada akhirnya menjadi faktor utama penurunan tingkat produktivitas beras di desa tersebut. Dalam menghadapinya, petani cukup kewalahan dan belum dapat menemukan solusi atas permasalahan yang dihadapi. Penerapan PHT pada saat kegiatan SL-PTT berlangsung, ternyata berbeda dengan kondisi pertanian yang dihadapi petani pada saat sekarang. Penyakit merah yang menyerang padi, belum dapat ditemukan solusinya karena pada saat SL-PTT berlangsung, hama merah ini belum pernah menyerang padi. Dilihat dari keadaan tersebut, maka kegiatan belajar SL-PTT kurang begitu membekali petani untuk siap menghadapi permasalahan yang beragam ke depannya. Hal ini menjadikan petani tidak dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi secara maandiri. Pelaksanaan SL-PTT yang hanya berlangsung pada satu musim tanam, dimana waktu pelaksanaannya mengambil masa tanam yang mendukung produktivitas maksimal (dengan keadaan iklim yang tepat sekitar Bulan April- Oktober), membuat petani peserta SL-PTT hanya memiliki keterbatasan pengetahuan dan pengalaman dalam beradaptasi pada waktu musim tanam yang berlainan. Hasil dari SL-PTT ini menjadikan petani mampu beradaptasi pada musim tanam tertentu saja, sedangkan pada musim tanam yang sulit petani masih belum dapat beradaptasi. Oleh karena itu, pelaksanaan SL-PTT yang hanya dilaksanakan pada satu kali musim tanam ini merupakan pelaksanaan yang belum

83 menjawab kebutuhan petani untuk dapat melaksanakan usahatani secara berkelanjutan. 7.2.3 Pendidikan Orang Dewasa di Dalam SL-PTT Penyuluhan pertanian sebagai kegiatan pendidikan non formal dilaksanakan dengan menggunakan prinsip prinsip pendidikan orang dewasa (Daniel dkk., 2008). Prinsip pendidikan orang dewasa merupakan metode pendidikan yang didasarkan atas kebutuhan petani, dimana petani belajar untuk memecahkan masalahnya sendiri, mempraktekkan secara langsung materi pelajaran yang diperoleh, dan diberi peranan dalam pelaksanaannya sehingga menimbulkan partisipasi dari petani peserta penyuluhan. SL-PTT sebagai kegiatan penyuluhan pertanian menetapkan prinsip pendidikan orang dewasa. Dalam pelaksanaannya, SL-PTT difasilitasi oleh penyuluh pertanian yang tidak bertindak secara top down dalam memberikan materi ajar. Penyuluh memulai kegiatan SL-PTT dalam setiap pertemuannya dengan mencoba menggali terlebih dahulu permasalahan yang berkaitan dengan materi yang akan disampaikan. Penyuluh biasanya mengawali kegiatan SL-PTT dengan mengangkat topik pembicaraan yang dapat menarik perhatian petani untuk dapat berdiskusi mengenai permasalahan berkaitan dengan materi SL-PTT yang akan disampaikan. Komunikasi dua arah yang dilakukan antara penyuluh dengan petani peserta SL-PTT sangat penting dilakukan agar mendapatkan kesamaan makna mengenai masalah yang dihadapi dan mendiskusikan pemecahan masalahnya. Teknologi PTT diperkenalkan kepada petani dengan mempraktekkannya secara langsung di laboratorim lapangan (LL). Teknologi PTT terdiri dari komponen dasar dan komponen teknologi pilihan. Komponen dasar PTT diterapkan secara langsung di lahan laboratorium lapangan, sedangkan komponen pilihan PTT disesuaikan dengan kondisi lahan setempat dan disesuaikan berdasarkan pengalaman dan pengetahuan petani sehingga didapat keputusan mengenai teknologi yang cocok diterapkan di lokasi SL-PTT.

84 Berdasarkan data di lapang, penyampaikan materi yang dilakukan oleh penyuluh kadang-kadang menggunakan istilah yang tidak dikenal oleh petani, sehingga kurang menarik minat petani untuk mendengarkan. Selain itu, materi yang disampaikan pada saat pertemuan sebelumnya jarang diingatkan kembali oleh penyuluh. Pengulangan topik pembahasan kurang ditekankan dalam pelaksanaanya, sehingga kemungkinan lupa terhadap materi yang telah diajarkan dapat terjadi pada petani. Hal ini disebabkan penyampaian materi yang dilakukan penyuluh pertanian bersifat kaku dan terlalu terpaku pada ketentuan pedoman SL- PTT. Padahal pada kenyataanya, permasalahan petani lebih beragam dan tidak selalu dapat dipecahkan melalui teknologi yang diperkenalkan. Oleh karena itu, petani kadang tidak merasa puas terhadap jawaban yang diberikan penyuluh pertanian. Pengetahuan penyuluh yang terbatas dengan pemahaman yang kurang (penyuluh dalam hal ini belum pernah melakukan percobaan terhadap teknologi PTT yang akan dan telah diperkenalkan), menyebabkan penyampaian materi SL- PTT yang kurang meyakinkan karena penyuluh belum membuktikan secara langsung keberhasilan dari teknologi yang diperkenalkan. Partisipasi petani peserta SL-PTT yang tidak stabil pada pelaksanaannya lebih disebabkan oleh kurang jelasnya pembagian tugas dan peranan setiap petani dalam kegiatan sekolah lapangan. Hal ini tidak sesuai dengan prinsip pendidikan orang dewasa yang dikemukakan oleh Daniel dkk. (2008) bahwa adanya peranan petani dapat menimbulkan kepercayaan terhadap diri sendiri sehingga muncul partisipasi masyarakat tani yang wajar, sedangkan pada pelaksanaan SL-PTT pembagian tugas dan peranan itu kurang begitu diperhatikan sehingga petani kurang memiiki rasa tanggung jawab terhadap kegiatan sekolah lapangan. Hal ini berkaitan dengan dinamika kelompok tani yang tidak berjalan dengan baik. Petani peserta SL-PTT jarang melakukan pertemuan di luar kegiatan SL-PTT, sehingga rasa kebersamaan dan kekeluargaan kurang terbentuk dalam diri setiap peserta SL-PTT. Peran aktif petani dalam kegiatan SL-PTT juga hanya didominasi oleh peserta-peserta tertentu saja, sehingga keaktifan kelompok dalam kegiatan SL- PTT tidak sesuai dengan yang diharapkan, dimana seharusnya setiap peserta tersebut dapat berperan aktif dalam SL-PTT.

85 Kegiatan SL-PTT ini seharusnya berlangsung dengan penerapan prinsipprinsip pendidikan orang dewasa dengan mengkondisikan dinamika kelompok yang kondusif yang mendukung pelaksanaan sekolah lapangan. Dengan memperhatikan hal tersebut, diharapkan pelaksanaan SL-PTT dapat berlangsung dengan lebih baik. Keberadaan penyuluh pertanian dan peserta SL-PTT yang memiliki SDM yang baik juga perlu diperhatikan agar kegiatan sekolah lapangan tersebut dapat terlaksana dengan lebih baik. Proses pembelajaran seharusnya tidak cukup hanya dengan merubah perilaku dalam arti menjadikan petani mampu meningkatkan produksi pertanian saja, tetapi juga petani harus mampu mencapai tujuan akhir yaitu meningkatkan kemandirian (pemberdayaan) petani dalam memperbaiki taraf hidup keluarga dan masyarakat petani itu sendiri. Dilihat dari pelaksanaan kegiatan SL-PTT yang telah berlangsung, usaha untuk mencapai tujuan pemberdayaan tersebut belum dapat dicapai. Metode pendidikan orang dewasa yang telah diterapkan belum dapat dilaksanakan dengan baik, sehingga tujuan akhir dari kegiatan penyuluhan tersebut belum dapat tercapai. 7.2.4 Tingkat Kemandirian Petani SL-PTT Penerapan model pemberdayaan petani SL-PTT diharapkan dapat menumbuhkan jiwa partisipasi dan kemandirian dalam diri petani. Petani yang telah mengikuti SL-PTT diharapkan dapat secara mandiri memanfaatkan sumberdaya yang ada dan memiliki kapasitas untuk mengemukakan pendapat, serta memiliki kapasitas untuk mengembangkan diri melalui proses pembelajaran tanpa harus tergantung atau menunggu sampai adanya pembinaan atau agen pembaharuan dari luar. Pelaksanaan SL-PTT yang telah berlangsung pada Gapoktan Sawargi diharapkan dapat menjadikan petani lebih modern dalam mejalankan usahataninya. Pengertian modern dalam hal ini berarti memiliki kesiapan menerima pengalaman baru dan terbuka akan inovasi dan perubahan, lebih berorientasi pada masa kini dan masa depan dibanding pada massa silam, dan

86 percaya diri bahwa dunianya dapat diperhitungkan/di dalam kontrol manusia/ tidak fatalis. Tingkat kemodernan petani ini dapat dilihat pada Gambar 5. Tingkat Kemodernan Petani 120.0 100.0 97.6 80.0 71.4 69.0 60.0 40.0 28.6 50.0 50.0 31.0 ya tidak 20.0.0 2.4 Praktek Bertani yang Baik Memperkirakan Untung Rugi Pengetahuan Agribisnis Penerapan Teknologi Bertani Gambar 5. Tingkat Kemodernan Petani Peserta SL-PTT di Desa Kebon Pedes Gambar 5 menunjukkan bahwa tingkat kemodernan diukur dengan menggunakan empat indikator, yaitu: pengetahuan dan praktek cara bertani yang baik, kemampuan memperkirakan untung rugi, pengetahuan agribisnis, dan tingkat penerapan teknologi bertani. Dari keempat indikator tersebut, pengetahuan petani akan agribisnis merupakan indikator kemandirian dengan persentase terendah, dimana hanya terdapat 2,4 persen petani yang memiliki pengetahuan agribisnis dengan baik. Sisanya, yaitu 97,6 persen menjawab tidak tahu atau salah. Hal ini lebih disebabkan kebanyakan dari petani peserta SL-PTT melakukan usahatani sebagai bagian dari kebiasaan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan bukan berorientasi untuk mengejar produksi. Petani seperti ini termasuk ke dalam istilah peasant yaitu gambaran dari petani yang subsisten (usahatani untuk konsumsi sendiri). Berbeda dengan peasant, istilah petani yang dikatakan modern adalah petani dalam istilah farmer yaitu petani modern yang berusahatani dengan menetapkan teknologi modern serta memiliki jiwa bisnis yang sesuai dengan tuntutan agribisnis. Istilah peasant ini sangat tepat dalam menggambarkan keadaan petani yang mengikuti kegiatan SL-PTT, dimana kebanyakan dari mereka termasuk

87 kedalam suatu kelas petani yang merupakan petani kecil, penyewa, penyakap, dan buruh tani. Peasant identik dengan sikap kerjasama satu sama lain, memiliki usahatani kecil, dan menggunakan tenaga keluarga sendiri. Petani ini terbatas teknologinya, memiliki keterbatasan finansial dan kemampuan manajemen karena pertanian tidak cukup menghasilkan pendapatan, maka mereka harus mencari usaha kain untuk memenuhi pendapatannya. Separuh dari petani peserta SL-PTT ini (50 persen) tidak pernah melakukan perhitungan untung rugi dalam melaksanakan usahataninya, walaupun dalam prakteknya peserta SL-PTT ini sebagian besar (69 persen) telah menerapkan teknologi berusahatani dan 71,4 persen telah mengetahui cara praktek bertani yang baik. Tingkat kemandirian petani dapat juga dilihat aspek keefisienan petani dalam berusahatani. Petani yang efisien adalah petani yang memiliki pemahaman terhadap pemilihan jenis usaha, pemahaman cara meraih informasi harga pasar, dan pemahaman dasar peramalan produksi/pemahaman atas resiko sehingga petani mampu bersikap hemat input dan mampu menerapkan teknologi yang dapat menekan kehilangan hasil. Untuk mengetahui tingkat keefisienan petani peserta SL-PTT dapat dilihat pada Gambar 6. Tingkat Keefisienan Petani 120.0 100.0 80.0 69.0 76.2 83.3 97.6 60.0 Ya 40.0 20.0.0 31.0 Analisis Usahatani 23.8 Akses terhadap Informasi Harga Pasar 16.7 Strategi menguragi kehilangan Hasil 2.4 Berani Mengambil Resiko Tidak Gambar 6. Tingkat Keefisienan Petani Peserta SL-PTT

88 Gambar 6 menunjukkan bahwa petani peserta SL-PTT sebagian besar (97,6 persen) adalah petani yang berani mengambil resiko berusahatani. Mereka melakukan kegiatan cocok tanam sebanyak tiga kali dalam semusim, tanpa memperhitungkan dan mengusahakan untuk mencapai target produktivitas yang diharapkan. Oleh karena itu, dalam pelaksanaannya petani tersebut memang memiliki keberanian dalam mengambil resiko bertani, namun cenderung memiliki sikap fatalis. Kebanyakan dari mereka berusahatani dengan menyerahkan keadaannya terhadap kondisi alam, tanpa membuat perencanaan usahatani dan penyesuaian proses bercocok tanam dengan kondisi alam yanga ada. Kegiatan usahatani merupakan kegiatan yang telah menjadi kebiasaan, dimana dalam keadaan apapun petani biasanya mengusahakan untuk bisa bercocok tanam. Masalah rendahnya tingkat pendidikan, telah menjadikan sektor pertanian menjadi tidak efisien. Hal ini dapat dlihat dari pelaksanaan usahatani yang cenderung tidak dilakukan dengan perencanaan yang matang. Hal ini terlihat dari sebagian besar petani (69 persen) yang tidak pernah melakukan analisis usahatani dalam praktek usahatani. Mereka cenderung melaksanakan usahatani tanpa memperhitungkan untung rugi dan lebih cenderung menyerahkan segala kemungkinan pada keadaan yang akan terjadi (bersikap fatalis). Hal ini terlihat dari sebagian besar petani (83,3 persen) menyerahkan proses pemanenan padi pada buruh tani tanpa mengusahakan untuk memaksimalkan pemerolehan hasil panen (gabah). Kebanyakan dari petani ini (76,2 persen) tidak berusaha untuk mencari informasi pasar dan hanya terima harga dari tengkulak, sehingga usaha petani dalam memperoleh keuntungan sebesar-besarnya adalah kurang diusahakan. Daya saing petani dalam berusahatani juga termasuk ke dalam indikator yang mendukung tingkat kemandirian petani. Aspek daya saing yang diukur yaitu: perhatian terhadap komoditas dengan tingkat permintaan yang tinggi, usahatani dengan memperluas pemasaran, penanaman komoditas unggul, dan kemampuan memperkirakan harga pasar. Data mengenai tingkat daya saing petani SL-PTT dapat dilihat pada Gambar 7.

89 Gambar 7. Tingkat Daya Saing Petani Peserta SL-PTT Gambar 7 menunjukkan bahwa sebagian besar petani peserta SL-PTT (85,7 persen) telah menanam komoditas padi dengan permintaan pasar yang tinggi. Sebagian besar dari petani ini menanam varietas Padi Ciherang karena mudah dengan alasan penjualan hasil panen yang mudah. Selain itu, terdapat juga petani yang menanamm komoditas unggul dengan varietas Sintanur, hanya saja seringkali hasil panen untuk varietas Sintanur ini sulit untuk dijual ke pasaran karena bentuk gabah yang bulat. Baik varietas Padi Ciherang maupun Padi Sintanur ini termasuk ke dalam varietas unggul yang ditanam oleh petani, sebagian besar dari petani (95,2 persen) ini menanam padi varietas unggul tersebut. Hanya saja diantara keempat parameter yang diukur tersebut, sebagian besar dari petani ini masih banyak yang tidak melakukan perluasan pemasaran hasil produksi padi, dimana sebagian besar (90,5 persen) masih menjual hasil panennya kepada tengkulak. Selain itu, kebanyakan dari petani (73,8 persen) tidak pernah memperkirakan harga pasar sebelum penanaman padi dilakukan. Hal ini disebabkan oleh sebagian besar petani (69 persen) tidak pernah melakukan analisis usahatani dan hanya melakukan usahatani berdasarkan kebiasaan yang telah dilakukan, dimana petani tersebut melakukan usahatani tanpa pehitungan untung rugi sebelum berusahatani. Rendahnya kemampuan petani dalam memperluas pemasaran hasil produksi dan memperkirakan harga pasar menyebabkan petani peserta SL-PTT memiliki tingkat daya saing yang rendah.

90 Berdasarkan penjelasan sebelumnya mengenai tingkat kemodernan, tingkat keefisienan, dan tingkat daya saing petani, menunjukkan bahwa tingkat kemandirian dari peserta SL-PTT adalah masih rendah. Hal ini dapat dilihat dari masih banyaknya petani (97,6) yang belum memahami tentang praktek agribisnis, sebagian dari petani (50 persen) tidak pernah melakukan perhitungan untung rugi, dan sekitar 69 persen dari petani peserta SL-PTT tidak pernah melakukan analisis usahatani. Selain itu petani masih bersikap fatalis, dimana sebagian besar dari mereka (83,3 persen) tidak pernah berusaha menekan kehilangan hasil dari gabah yang hilang pada saat proses pemanenan. Selain itu, sebagian besar dari petani (76,2 persen) tidak pernah mencoba untuk berinisiatif mencari harga pasar yang lebih tinggi dan menjual hasil panennya selain kepada tengkulak. Hal ini sesuai dengan rendahnya kemampuan petani dalam memperluas pemasaran hasil produksi, dimana sebagian besar dari petani (90,5 persen) hanya menjual hasil panennya kepada tengkulak. Faktor-faktor tersebut merupakan penyebab rendahnya tingkat kemandirian petani peserta SL-PTT.