Oleh Ni Putu Dwiari Suryaningsih Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar

dokumen-dokumen yang mirip
TUGAS AGAMA DEWA YADNYA

BAB I PENDAHULUAN. yang ada di Indonesia berbeda dengan yang ada di India, ini disebabkan oleh

BAB V ANALISA DATA. A. Upacara Kematian Agama Hindu Di Pura Krematorium Jala Pralaya

Oleh I Gusti Ayu Sri Utami Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar

BAB I PENDAHULUAN. dijumpai di masyarakat. Karya sastra ini mengandung banyak nilai dan persoalan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

UPACARA NGADEGANG NINI DI SUBAK PENDEM KECAMATAN JEMBRANA KABUPATEN JEMBRANA (Perspektif Nilai Pendidikan Agama Hindu)

EKSISTENSI TIRTHA PENEMBAK DALAM UPACARA NGABEN DI KELURAHAN BALER-BALE AGUNG KECAMATAN NEGARA KABUPATEN JEMBRANA (Perspektif Pendidikan Agama Hindu)

Pedoman Upacara Pitra Yadnya Ngaben dan Atma Wadana. Yayasan Pitra Yadnya Indonesia

I Ketut Sudarsana. > Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar. Menerapkan Ajaran-Ajaran Tri Kaya Parisudha Dalam Kehidupan Sehari-Hari

BHAKTI ANAK TERHADAP ORANG TUA (MENURUT AJARAN AGAMA HINDU) Oleh Heny Perbowosari Dosen Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan yang sangat luas yang masyarakatnya terdiri

HUBUNGAN TIGA PILAR AGAMA HINDU DILIHAT DARI ASPEK EKONOMI 1 I Made Sukarsa 2

OLEH : I NENGAH KADI NIM Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar. Pembimbing I

RITUAL MEKRAB DALAM PEMUJAAN BARONG LANDUNG DI PURA DESA BANJAR PACUNG KELURAHAN BITERA KECAMATAN GIANYAR

BAB I PENDAHULUAN. keragaman tradisi, karena di negeri ini dihuni oleh lebih dari 700-an suku bangsa

PATULANGAN BAWI SRENGGI DALAM PROSESI NGABEN WARGA TUTUAN DI DESA GUNAKSA, KABUPATEN KLUNGKUNG (Kajian Estetika Hindu)

Penyusunan Kompetensi Dasar Pendidikan Agama Hindu untuk Sekolah Dasar. Menunjukkan contoh-contoh ciptaan Sang Hyang Widhi (Tuhan)

Oleh Ni Putu Ayu Putri Suryantari Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar

PEMENTASAN WAYANG LEMAH PADA UPACARA CARU BALIK SUMPAH DI DESA PAKRAMAN KENGETAN KECAMATAN UBUD KABUPATEN GIANYAR (Perspektif Pendidikan Agama Hindu)

JURNAL PENELITIAN AGAMA HINDU 68

DI DESA PAKRAMAN CEKENG, KECAMATAN SUSUT, KABUPATEN BANGLI : PERSFEKTIF PENDIDIKAN AGAMA HINDU

PEMENTASAN TARI RATU BAKSAN DI PURATAMPURYANG DESA PAKRAMAN SONGAN KECAMATAN KINTAMANI KABUPATEN BANGLI (Perspektif Pendidikan Agama Hindu)

UKDW BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Permasalahan

UPACARA BAYUH OTON UDA YADNYA DI DESA PAKRAMAN SIDAKARYA KECAMATAN DENPASAR SELATAN KOTA DENPASAR

PERSEPSI UMAT HINDU TERHADAP KEBERDAAN KREMATORIUM SANTAYANA DENPASAR BALI. Oleh Putu Wiwik Rismayanti Sari Dewi Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar

PENDIDIKAN NILAI PADA TRADISI NYURUD AYU DALAM UPACARA PIODALAN DI DESA BERANGBANG KECAMATAN NEGARA KABUPATEN JEMBRANA

ESTETIKA SIMBOL UPAKARA OMKARA DALAM BENTUK KEWANGEN

TRADISI NYAKAN DI RURUNG DALAM PERAYAAN HARI RAYA NYEPI DI DESA PAKRAMAN BENGKEL KECAMATAN BUSUNGBIU KABUPATEN BULELENG (Kajian Teologi Hindu)

Desain Penjor, Keindahan Yang Mewarnai Perayaan Galungan & Kuningan

UPACARA WAYONAN DALAM NGEBEKIN DI DESA PAKRAMAN BANYUNING KECAMATAN BULELENG KABUPATEN BULELENG (Perspektif Pendidikan Agama Hindu)

KARYA ILMIAH: KARYA SENI MONUMENTAL JUDUL KARYA: MELASTI PENCIPTA: A.A Gde Bagus Udayana, S.Sn.,M.Si. Art Exhibition

SANKSI PACAMIL DI DESA BLAHBATUH GIANYAR DITINJAU DARI PENDIDIKAN KARAKTER

KOMUNIKASI SIMBOLIK DALAM UPACARA BULU GELES DI PURA PENGATURAN DESA PAKRAMAN BULIAN KECAMATAN KUBUTAMBAHAN KABUPATEN BULELENG

KARYA ILMIAH : KARYA SENI MONUMENTAL

KOMUNIKASI SIMBOLIK DALAM TRADISI CARU PALGUNA DI DESA PAKRAMAN KUBU KECAMATAN BANGLI KABUPATEN BANGLI

16. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Hindu untuk Sekolah Menengah Pertama (SMP)

Esensi Tradisi Upacara Dalam Konsep Yadnya Ni Putu Sudewi Budhawati 48

EKSISTENSI PELINGGIH GAJAH MINA DI PURA DALEM PENATARAN PED DI DUSUN NUSASAKTI DESA NUSASARI KECAMATAN MELAYA JEMBARANA

PEMBELAJARAN AGAMA HINDU

BAB I PENDAHULUAN UKDW

BAB I PENDAHULUAN. di Bali, perlu dimengerti sumbernya. Terdapat prinsip Tri Hita Karana dan Tri Rna

3. Pengertian Hukum Karmaphala dalam Ajaran Agama Hindu adalah

NILAI PENDIDIKAN AGAMA HINDU DALAM PENEMPATAN PATUNG GANESHA DI DESA MANISTUTU KECAMATAN MELAYA KABUPATEN JEMBRANA

16. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Hindu untuk Sekolah Menengah Pertama (SMP)

EKSISTENSI PURA TELEDU NGINYAH PADA ERA POSMODERN DI DESA GUMBRIH KECAMATAN PEKUTATAN KABUPATEN JEMBRANA (Perspektif Pendidikan Agama Hindu)

UPACARA NGEREBEG DI DESA PAKRAMAN MANDUANG KECAMATAN KLUNGKUNG KABUPATEN KLUNGKUNG (Perspektif Pendidikan Agama Hindu)

Oleh Pande Wayan Setiawati Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar

EKSISTENSI PURA KAWITAN DI DESAYEH SUMBUL KECAMATAN MENDOYO KABUPATEN JEMBRANA

BAB IV ANALISIS DATA. A. Deskripsi aktivitas keagamaan menurut pemikiran Joachim Wach

FUNGSI DAN MAKNA UPACARA MAPAG TOYA DI SUBAK ULUN SUWI DESA NAMBARU KECAMATAN PARIGI SELATAN KABUPATEN PARIGI MOUTONG. Ni Ketut Ratini * ABSTRAK

REALISASI TOLERANSI ANTAR UMAT HINDU DAN BUDDHA DI PURA PUSERING JAGAT PANCA TIRTA DESA PAKARAMAN

RITUAL PENGLUKATAN PADA HARI TUMPEK WAYANG DI DESA PAKRAMAN BANJARANGKAN KECAMATAN BANJARANGKAN KABUPATEN KLUNGKUNG (Kajian Teologi Hindu)

DESKRIPSI KARYA SARADPULAGEMBAL THE SYMBOL OF TRI LOKA

UPACARA NGABEN NINGKEB DI BANJAR KEBON DESA PAKRAMAN BLAHBATUH KECAMATAN BLAHBATUH KABUPATEN GIANYAR (Kajian Filosofis)

BAB V KESIMPULAN. 5.1 Alasan Kehadiran Rejang Sangat Dibutuhkan dalam Ritual. Pertunjukan rejang Kuningan di Kecamatan Abang bukanlah

INTERAKSI SOSIAL DALAM PELAKSANAAN RITUAL KEAGAMAAN MASYARAKAT HINDU-BALI (Studi Pada Ritual Ngaben di Krematorium)

Oleh: Kantor Kementerian Agama Kabupaten Gianyar. Ni Ketut Sudani. Abstract

CARU PANGALANG SASIH DI DESA ADAT MENGWI KECAMATAN MENGWI KABUPATEN BADUNG ( Kajian Filosofis Hindu )

MAKALAH : MATA KULIAH ACARA AGAMA HINDU JUDUL: ORANG SUCI AGAMA HINDU (PANDHITA DAN PINANDITA) DOSEN PEMBIMBING: DRA. AA OKA PUSPA, M. FIL.

I. PENDAHULUAN. Etnis Bali memiliki kebudayaan dan kebiasaan yang unik, yang mana kebudayaan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

LANDASAN PENDIDIKAN DALAM DUNIA PENDIDIKAN DI INDONESIA NI WAYAN RIA LESTARI NIM :

BAB I PENDAHULUAN. Agama Hindu meyakini bahwa Tuhan itu bersifat Monotheisme. Transendent, Monotheisme Imanent, dan Monisme. Monotheisme Transendent,

TRADISI NYAAGANG DI LEBUH PADA HARI RAYA KUNINGAN DI DESA GUNAKSA KECAMATAN DAWAN KABUPATEN KLUNGKUNG (Perspektif Pendidikan Agama Hindu)

RELIGIUSITAS UMAT ISLAM SETELAH KONVERSI KE AGAMA HINDU DI DESA PAKRAMAN NYITDAH KECAMATAN KEDIRI KABUPATEN TABANAN (Kajian Teologi Hindu)

UPACARA NGEREBEG DI PURA DUUR BINGIN DESA TEGALLALANG, KECAMATAN TEGALLALANG KABUPATEN GIANYAR (Perspektif Pendidikan Agama Hindu)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Agama Hindu merupakan agama tertua didunia dan masih ada hingga saat ini.

NGABEN WARGA DADYA ARYA KUBONTUBUH TIRTHA SARI DESA ULAKAN KARANGASEM

PENGGUNAAN BALE GADING DALAM UPACARA MAPENDES DI DESA DUDA TIMUR KECAMATAN

27. KOMPETENSI INTI DAN KOMPETENSI DASAR PENDIDIKAN AGAMA HINDU DAN BUDI PEKERTI SD

SOP Pelayanan Kedukaan Tradisi Veda (Vaisnava)

TUTUR WIDHI SASTRA DHARMA KAPATIAN: ANALISIS STRUKTUR DAN FUNGSI. Corresponding Author

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Budaya adalah suatu konsep yang secara formal didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman,

Jadi keenam unsur kepercayaan (keimanan) tersebut di atas merupakan kerangka isi Dharma (kerangka isi Agama Hindu). Bab 4 Dasar Kepercayaan Hindu

16. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Hindu untuk Sekolah Dasar (SD)

DESKRIPSI KARYA TARI KREASI S O M Y A. Dipentaskan pada Festival Nasional Tari Tradisional Indonesia di Jakarta Convention Centre 4-8 Juni 2008

BAB I PENDAHULUAN. secara lahir dan batin, yang oleh masyarakat disebut soroh. Soroh merupakan

SEKAPUR SIRIH. - Ciptakan kemitraan strategis dengan berbagai stakeholders untuk membangun kekuatan sebagai agent of change.

TUTUR BHUWANA KOSA: KAJIAN SEMIOTIKA. Ni Wayan Sri Santiati Sastra Jawa Kuno Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana ABSTRAK

UPACARA NGAJAGA-JAGA DI PURA DALEM DESA ADAT TIYINGAN KECAMATAN PETANG KABUPATEN BADUNG (Perspektif Pendidikan Agama Hindu)

JURNAL PENELITIAN AGAMA HINDU 89

PROFIL DESA PAKRAMAN BULIAN. Oleh: I Wayan Rai, dkk Fakultas Olahraga dan Kesehatan, Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja

PENDIDIKAN DALAM KELUARGA

BAB IV HASIL DAN ANALISIS DATA

BAB I PENDAHULUAN. Geguritan Pura Tanah Lot (yang selanjutnya disingkat GPTL)

Team project 2017 Dony Pratidana S. Hum Bima Agus Setyawan S. IIP

LANDASAN PENDIDIKAN PENDIDIKAN YANG BERLANDASKAN CATUR PURUSA ARTHA DALAM MEMBENTUK KARAKTER PESERTA DIDIK

Oleh: Desak Made Wirasundari Dewi Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar. Dr. Dra. Ida Ayu Tary Puspa, S.Ag, M.Par.

I. PENDAHULUAN. kepercayaan, keyakinan dan kebiasaan yang berbeda-beda,karena kebudayaan

Apakah 3 bulanan (Telonan), 7 bulanan (Mitoni dan Tingkepan) masa kehamilan, bagian dari Ajaran Islam?

BAB IV ANALISIS HASIL PENELITIAN

KEARIFAN EKOLOGI MASYARAKAT BAYUNG GEDE DALAM PELESTARIAN HUTAN SETRA ARI-ARI DI DESA BAYUNG GEDE, KECAMATAN KINTAMANI, KABUPATEN BANGLI

IMPLEMENTASI AJARAN TRI HITA KARANA PADA SEKAA TARUNA PAGAR WAHANA DI DESA ADAT PELAGA KECAMATAN PETANG, KABUPATEN BADUNG

BAB I PENDAHULUAN. yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun dan tidak kawin. maka mereka tidak kembali berstatus belum dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. mana masyarakat itu berada serta pergaulan masyarakatnya. 2 Kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

JURNAL PENELITIAN AGAMA HINDU 73

KODE ETIK DOSEN LEMBAGA PENJAMINAN MUTU

Transkripsi:

UPACARA NILAPATI BAGI WARGA MAHA GOTRA PASEK SANAK SAPTA RSI DI BANJAR ROBAN DESA TULIKUP KECAMATAN GIANYAR KABUPATEN GIANYAR (Perspektif Pendidikan Agama Hindu) Oleh Ni Putu Dwiari Suryaningsih Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar dwiarisuryaningsih123@gmail.com Abstrak Upacara Nilapati diartikan sebagai proses penyucian serta peningkatan roh leluhur tahapan terakhir dari rangkaian upacara Pitra Yajña. Upacara Nilapati dilaksanakan setelah melalui rangkaian upacara Ngaben, Ngerorasin, dan Mendak Nuntun serta sebelum melakukan upacara Ngelinggihang Bhatara Hyang Guru di Sanggah Kamulan. Adapun rumusan masalahnya sebagai berikut: (1) Bagimanakah prosesi pelaksanaan upacara Nilapati bagi warga Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi di Banjar Roban, Desa Tulikup, Kecamatan Gianyar, Kabupaten Gianyar?, (2) Apakah fungsi upacara Nilapati bagi warga Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi di Banjar Roban, Desa Tulikup, Kecamatan Gianyar, Kabupaten Gianyar?, (3) Nilai-nilai pendidikan agama Hindu apakah yang terkandung dalam pelaksanaan upacara Nilapati bagi warga Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi di Banjar Roban, Desa Tulikup, Kecamatan Gianyar, Kabupaten Gianyar?. Tujuan penelitian ini adalah: (1) Untuk mengetahui prosesi pelaksanaan upacara Nilapati bagi warga Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi di Banjar Roban, Desa Tulikup, Kecamatan Gianyar, Kabupaten Gianyar, (2) Untuk mengetahui fungsi dari pelaksanaan upacara Nilapati bagi warga Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi di Banjar Roban, Desa Tulikup, Kecamatan Gianyar, Kabupaten Gianyar, (3) Untuk mengetahui nilai-nilai pendidikan agama Hindu yang terkandung dalam pelaksanaan upacara Nilapati bagi warga Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi di Banjar Roban, Desa Tulikup, Kecamatan Gianyar, Kabupaten Gianyar. Teori yang digunakan untuk menganalisis rumusan masalah yaitu; Teori Religi, Teori Fungsional Struktural, dan Teori Nilai. Metode yang digunakan adalah metode observasi, wawancara, kepustakaan, serta metode dokumentasi. Data di analisis dengan teknik deskriptif kualitatif dengan langkah-langkah reduksi, penyajian data, dan menyimpulkan. Hasil penelitian ini adalah (1) Prosesi pelaksanaan upacara Nilapati di Banjar Roban merupakan tahap dalam meningkatkan kesucian roh leluhur, (2) Fungsi upacara Nilapati di Banjar Roban yakni: Fungsi rasa bhakti untuk menyucikan roh leluhur, Fungsi meningkatkan status sebutan Dewa Hyang menjadi Bhatara Hyang Guru atau Siwa Guru dan Fungsi Sosial, (3) Nilai-nilai pendidikan agama Hindu yang terkandung dalam upacara Nilapati yakni : Nilai Tattwa, Nilai Etika dan Nilai Yajña. Kata Kunci: Upacara Nilapati, Pendidikan Agama Hindu I. PENDAHULUAN Telah muncul kesadaran dan keinginan di kalangan umat Hindu untuk meningkatkan kualitas hidup beragama dengan pelaksanaan upacara atau ritual. Agama Hindu sebagai pandangan hidup memiliki tiga kerangka dasar yaitu; tattwa (filsafat), susila (etika), upacara (ritual) yang menjadi landasan keimanan bagi para pemeluknya dalam melaksanakan suatu 312

yajña. Kata tattwa berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu tat yang berarti hakikat, kebenaran, kenyataan; twa berarti yang bersifat. Dari pengertian tersebut bahwa tattwa adalah hakikat atau kebenaran suatu unsur, baik yang nyata maupun yang tidak nyata termasuk hakikat Tuhan. Secara sederhana tattwa dapat diartikan sebagai hakikat kebenaran Tuhan beserta segala manifestasi-nya (Tim Penyusun, 2003:116). Etika berasal dari bahasa Yunani yaitu ethos berarti kebiasaan atau tingkah laku, dalam bahasa Inggris yaitu ethis memiliki arti tingkah laku atau perilaku manusia yang baik, tindakan yang harus dilaksanakan manusia sesuai dengan moral pada umumnya. Hal ini berhubungan dengan prinsip-prinsip dasar dan konsep yang membimbing makhluk hidup dalam berpikir dan bertindak serta menekankan nilai-nilai mereka (Subagia, 2015:42). Surayin (2004:9) menyatakan bahwa upacara berasal dari kata upa yang artinya berhubungan dengan, dan cara berasal dari kata car yang berarti gerak kemudian mendapat akhiran a menjadi kata benda yang berarti gerakan. Jadi upacara adalah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan gerakan atau kegiatan, atau dalam kata lain upacara adalah gerakan (pelaksanaan) dari pada salah satu yajña. Yajña merupakan suatu korban suci secara tulus ikhlas yang di dalam umat Hindu meyakini bahwa pada setiap kelahirannya ke dunia dikatakan terikat hutang (Rna). Oleh sebab itu wajib hukumnya bagi setiap umat Hindu untuk membayar hutang-hutang (Rna) tersebut dengan menyelenggarakan Yajña. Hutang atau Rna yang diyakini oleh umat Hindu disebut dengan Tri Rna yang dapat dibayar melalui pelaksanaan Panca Yajña, diantaranya; Dewa Rna yaitu hutang jiwa kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang telah menciptakan dan menghidupkan manusia dengan segala yang ada di dunia ini yang dapat dibayar dengan mengadakan Dewa Yajña dan Bhuta Yajña, Rsi Rna yaitu hutang jasa kepada para Maha Rsi atau Guru yang telah berjasa dalam mengajarkan ilmu pengetahuan kerohanian, seni budaya, tuntunan hidup suci, dan sebagainya guna mencapai kesempurnaan hidup dan kesucian lahir bathin yang dapat dibayar dengan mengadakan Rsi Yajña, Pitra Rna yaitu hutang hidup kepada Leluhur terutama Ibu dan Bapak yang telah melahirkan dan membesarkan hingga dewasa yang dapat dibayar dengan mengadakan Pitra Yajña dan Manusa Yajña (Sudharta, 2001:48). Penelitian ini mengkhusus pada salah satu upacara yajña yaitu Pitra Yajña. Pitra Yajña terdiri dari dua kata yaitu Pitra berasal dari kata pitr yang artinya leluhur, sedangkan yajña berasal dari urat kata yaj yang berarti berkorban. Pitra Yajña berarti suatu korban suci yang tulus ikhlas kehadapan para leluhur yang telah meninggal maupun orang tua yang masih hidup. Persembahan suci yang ditujukan kepada para roh leluhur dengan menyelenggarakan upacara Nilapati. Upacara Nilapati merupakan tahapan meningkatkan kesucian roh yang terakhir setelah melalui upacara Ngaben, Nerorasin, dan Mendak Nuntun. Upacara Nilapati dilaksanakan sebelum upacara Ngelinggihang. Melalui proses pelaksanaan upacara Nilapati akan ditingkatkan lagi kesucian dari Dewa Hyang agar dapat menyatu dengan Siwa menjadi Bhatara Hyang Guru setelah itu akan di linggihkan di Sanggah Kamulan. Melalui proses pelaksanaan upacara Nilapati diyakini mampu membebaskan roh dari dosa-dosa terdahulu sehingga pada saat reinkarnasi terhindar dari kelahiran yang cacat dan berpenyakit. Setelah mengalami beberapa kali tahap penyucian dari bentuk jenazah, maka bentuk puspa lingga atau sekah menjadi ke bentuk daksina linggih. Dalam proses pelaksanaan upacara Nilapati, daksina linggih tersebut akan diusung oleh keluarga almarhum atau pretisentananya (Sudarsana, 2012:277). Pemimpin upacara menyelesaikan upacara Nilapati yang dilakukan di Jaba (di luar) Sanggah dihadapan banten pangubengan terlebih dahulu berupa penandan sebagai penuntun roh yang terbuat dari sebatang tebu, daksina linggih sebagai linggih dari Bhatara Kawitan serta roh leluhur terdahulu yang dihadirkan sebagai saksi dan tigasan yang berupa kain putih kuning serta sebuah daksina yang merupakan linggih dari Dewa Hyang yang akan di upacarai Nilapati, setelah itu baru dilanjutkan di Jroan (di dalam) Sanggah di hadapan Sanggah Kamulan. Kemudian sarana-sarana yang ada pada tigasan dibakar. Setelah 313

menjadi abu, langsung abunya digerus (uyeg). Abu dimasukkan ke dalam sebuah bungkak kelapa gading disertai kwangen lalu dipendem yaitu ditanam di depan Palinggih Kamulan sedangkan tigasan dan daksina linggih di linggihkan di bagian tengah dari Sanggah Kamulan sebagai simbol. Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagimanakah prosesi pelaksanaan upacara Nilapati bagi warga Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi di Banjar Roban, Desa Tulikup, Kecamatan Gianyar, Kabupaten Gianyar? 2. Apakah fungsi upacara Nilapati bagi warga Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi di Banjar Roban, Desa Tulikup, Kecamatan Gianyar, Kabupaten Gianyar? 3. Nilai-nilai pendidikan agama Hindu apakah yang terkandung dalam pelaksanaan upacara Nilapati bagi warga Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi di Banjar Roban, Desa Tulikup, Kecamatan Gianyar, Kabupaten Gianyar? Dari ketiga rumusan masalah diatas, peneliti menggunakan tiga teori yaitu; 1) Teori Religi untuk membedah rumusan masalah pertama tentang prosesi pelaksanaan upacara Nilapati bagi warga Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi di Banjar Roban, Desa Tulikup; 2) Teori Fungsional Struktural untuk membedah rumusan masalah kedua tentang fungsi upacara Nilapati bagi warga Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi di Banjar Roban, Desa Tulikup; 3) Teori Nilai untuk membedah rumusan masalah ketiga tentang nilai-nilai pendidikan agama Hindu yang terkandung dalam pelaksanaan upacara Nilapati bagi warga Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi di Banjar Roban, Desa Tulikup. Metode penelitian adalah suatu metode yang dipergunakan dalam kegiatan mengadakan penelitian dalam berbagai ilmu pengetahuan. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis data kualitatif. Cara yang digunakan dalam memperoleh data adalah dengan metode observasi, wawancara, kepustakaan, serta metode dokumentasi. II. PEMBAHASAN 2.1 Prosesi Pelaksanaan Upacara Nilapati bagi Warga Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi di Banjar Roban, Desa Tulikup, Kecamatan Gianyar, Kabupaten Gianyar Adapun prosesi pelaksanaan upacara Nilapati bagi warga Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi di Banjar Roban, Desa Tulikup, Kecamatan Gianyar, Kabupaten Gianyar adalah seperti diuraikan berikut ini : 2.1.1 Upacara Mekingsan Mekingsan dilakukan untuk memproses jenazah, sehingga dapat memberi pengaruh terhadap kesedihan, sehingga kekuatan dari tali tresna juga akan cepat hilang, hanya masih menunggu penyelesaian upacara pengabenannya saja. Mekingsan dibedakan menjadi dua yaitu; 1) Upacara Mekingsan di Gni adalah pelaksanaan upacara pembakaran jenazah yang tidak disertakan dengan upacara pengabenan, namun pelaksanaan upacara atiwa-tiwanya tetap berlangsung, 2) Upacara Mekingsan di Pertiwi adalah sama seperti pelaksanaan upacara Mekingsan di Gni, hanya bedanya jenazahnya dikuburkan (Sudarsana, 2012:214). 2.1.2 Upacara Ngaben Upacara Ngaben adalah proses pembakaran jenazah yang mempergunakan api bagi umat Hindu. Upacara Ngaben termasuk penyucian tahapan pertama seseorang yang telah meninggal. Melalui upacara Ngaben dapat mengembalikan unsur Panca Maha Bhuta yang membentuk stula sarira ke pada sumbernya yaitu Sang Hyang Prakerthi (manifestasi Sang Hyang Widhi). Setelah melaksanakan penyucian melalui upacara Ngaben sebutan Pitra akan meningkat menjadi Pitara. Upacara Ngaben juga merupakan kewajiban pretisentananya untuk membayar hutang (Pitra Rna) terhadap leluhur dengan tulus ikhlas. 314

2.1.3 Upacara Ngerorasin Upacara Ngerorasin merupakan upacara kelanjutan dari pada upacara Ngaben. Apabila dalam upacara Ngaben arwah seseorang baru sampai ke tingkat Pitara yang berada di alam Pitra atau Bhwah Loka, maka tingkat kesucian arwahnya belum mencapai sepenuhnya. Di dalam upacara Ngaben terjadi suatu pemisahan atma dengan stula sarira, sedangkan di dalam upacara Ngerorasin terjadi pemisahan atma dengan suksma sarira, sehingga atma menjadi suci yang disebut Dewa Pitara dan berada di alam dewa atau Swah Loka (swarga). Itulah sebabnya upacara Ngerorasin disebut upacara Atmawedana di dalam Puja Pitra yaitu suatu upacara yang memproses peningkatan kesucian dari pada atma itu. 2.1.4 Upacara Mendak Nuntun Upacara Mendak Nuntun adalah upacara kelanjutan dari upacara Ngerorasin yaitu dilaksanakan sehari setelah upacara Ngerorasin. Upacara Mendak Nuntun dilaksanakan untuk memohon penuntunan serta penganugerahan dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa kepada roh yang telah diabenkan agar dapat ditingkatkan lagi kesuciannya. Rangkaian upacara Mendak Nuntun terdiri dari upacara Nyegara Gunung. Tujuan penyelenggaraan upacara Nyegara Gunung untuk memohon kepada Tuhan dalam aspeknya sebagai Purusa (Dewa Gunung) dan dalam aspeknya sebagai Pradhana (Dewa Segara) untuk memberikan berbagai ajaran atau ajah kepada Sang Dewa Pitara serta menganugerahkan keseimbangan hidup Sekala dan Niskala. Setelah melalui rangkaian upacara Mendak Nuntun, status sebutan Dewa Pitara akan meningkat kesuciannya menjadi Dewa Hyang (Wiana, 2002:151). 2.1.5 Upacara Nilapati Dasar dalam melaksanakan upacara Nilapati telah tersirat dalam Lontar Aji Lebur Sangsa (dalam Dharmita, 2006:45). Prosesi Nilapati terlebih dahulu diupacarai di hadapan banten pangubengan yang berada di depan Sanggah Merajan atau Jaba Merajan. Di hadapan banten pangubengan adalah tempat kita untuk mengharapkan kehadiran roh yang akan di Nilapati. Sarana yang diupacarai di hadapan banten pangubengan yaitu: tigasan yang terdiri dari kain yang dilipat berwarna putih kuning serta daksina sebagai tempat melinggihnya sang roh atau Sang Dewa Hyang yang akan di Nilapati, daksina linggih sebagai linggih Bhatara Kawitan dan para leluhur terdahulu yang dihadirkan sebagai saksi, penandan sebagai penuntun roh yang terbuat dari sebatang tebu. Ketiga sarana tersebut harus dituntun oleh anak atau cucu almarhum. Tempat banten pangubengan terbuat dari bambu setinggi 2 meter bertiang empat dan berbalut kain putih. Setelah daksina linggih di upacarai di hadapan banten pangubengan, kemudian pretisentana yang mengusung daksina linggih, tigasan, dan penandanan berputar ke arah kanan mengelilingi banten pangubengan sebanyak tiga kali setelah itu daksina linggih, tigasan, dan penandanan diusung memasuki Sanggah Merajan dan dilanjutkan diupacarai di hadapan Sanggah Kamulan. Dalam prosesi upacara Nilapati, ada namanya upacara pengingkupan dari kata ingkup yang artinya satu yang bertujuan menyatukan leluhur yang baru dengan leluhur-leluhur yang terdahulu. Setelah melalui upacara Nilapati maka Dewa Hyang telah mampu menyatu dengan Siwa sehingga sebutan Dewa Hyang meningkat kesuciannya menjadi Bhatara Hyang Guru, kemudian dapat dilinggihkan di Ibu Dengen yang merupakan bagian tengah dari Sanggah Rong Tiga (Sanggah Kamulan). 2.1.6 Upacara Ngelinggihang Bhatara Hyang Guru di Sanggah Kamulan Upacara Ngelinggihang Bhatara Hyang bertujuan memberikan tempat kepada para leluhur agar dapat menuntun dan membimbing keturunannya (pretisentananya). Dewa Hyang yang telah melalui upacara Nilapati dikatakan sudah mampu menyatu dengan Siwa atau telah berada di alam Siwa, maka sebutan Dewa Hyang akan meningkat status sebutannya menjadi Bhatara Hyang Guru atau Siwa Guru. Kemudian dapat dilinggihkan di tengah-tengah pada 315

palinggih Rong Tiga (Sanggah Kamulan) yang disebut Ibu Dengen. Karena di alam Siwa sudah tidak ada perbedaan jenis kelamin. Apabila belum melakukan upacara Nilapati, masih disebut sebagai Dewa Hyang dan masih berjenis kelamin, maka yang perempuan dilinggihkan di kiri sedangkan yang laki-laki dilinggihkan di kanan pada bagian palinggih Rong Tiga. Setelah Ngelinggihang Bhatara Hyang Guru di Sanggah Kamulan, maka telah selesailah rangkaian upacara Nilapati. Dengan demikian sisa-sisa dari banten tersebut akan segera dihanyutkan ke segara atau sungai. 2.2 Fungsi Upacara Nilapati bagi Warga Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi di Banjar Roban, Desa Tulikup, Kecamatan Gianyar, Kabupaten Gianyar 2.2.1 Fungsi Rasa Bhakti untuk Menyucikan Roh Leluhur Rasa bhakti yang dilakukan oleh seseorang atau keluarga yang ditinggalkan kepada leluhurnya dapat ditunjukkan melalui pelaksanaan upacara Pitra Yajña. Fungsi penyucian roh menurut ajaran agama Hindu, pada hakekatnya adalah untuk dapat membebaskan roh dari segala ikatan Panca Maya Kosa sehingga dapat menyatu dengan Sang Hyang Widhi Wasa atau membantu perjalanan Sang Hyang Atma menuju ke alam Brahma atau Tuhan. Pada setiap tahap penyucian, setelah itu memiliki sebutan yang berbeda sesuai dengan kesuciannya. 2.2.2 Fungsi Meningkatkan Status Sebutan Dewa Hyang Menjadi Bhatara Hyang Guru atau Siwa Guru Fungsi dari meningkatnya kesucian Dewa Hyang menjadi Bhatara Hyang Guru mampu memperikan kewenangan yang lebih besar bagi leluhur agar dapat memberikan penganugerahan kepada pretisentananya. Selain itu, melalui penyatuan status sebutan Dewa Hyang menjadi Bhatara Hyang Guru di Sanggah Kamulan diharapkan mampu meningkatkan kesuciannya serta membebaskannya dari segala dosa yang diperbuat dikehidupan terdahulu agar dikehidupan berikutnya terhindar dari penyakit dan kelahiran yang cacat. Meskipun tidak seluruh dosa akan terhapuskan karena semua itu juga tergantung dari Karmawasananya. 2.2.3 Fungsi Sosial Fungsi sosial dapat dilihat dari tahap persiapan bahan upakara sampai pelaksanaan upacara selesai. Sistem gotong-royong dalam aktifitasnya sering diistilahkan dengan sebutan matulungan atau ngoopin. Istilah ini merupakan sistem gotong-royong yang bersifat kekeluargaan yang tidak membedakan status sosial, melainkan berdasarkan rasa tulus ikhlas, penuh rasa tenggang rasa. 2.3 Nilai-Nilai Pendidikan Agama Hindu yang Terkandung dalam Pelaksanaan Upacara Nilapati bagi Warga Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi di Banjar Roban, Desa Tulikup, Kecamatan Gianyar, Kabupaten Gianyar 2.3.1 Nilai Tattwa Nilai Tattwa yang tinggi dilihat dari keyakinan atau kepercayaan terhadap reinkarnasi yang lebih baik apabila telah melaksanakan upacara Nilapati sebelum melaksanakan upacara Ngelinggihang Bhatara Hyang. Melalui upacara Nilapati diyakini dapat mempersatukan sang leluhur ke alam Siwa sehingga pada saat reinkarnasi dapat terlahir sebagai makhluk yang utama. 2.3.2 Nilai Etika Nilai pendidikan Etika yang terkandung dalam pelaksanaan upacara Nilapati di Banjar Roban adalah adanya hubungan bertingkah laku dan kerjasama yang baik diantara masyarakat yang ditunjukkan pada saat mempersiapkan segala macam peralatan upakara serta rangkaian dalam prosesi pelaksanaan upacara untuk menciptakan situasi yang kondusif 316

guna kelancaran pelaksanaan upacara Nilapati bagi warga Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi di Banjar Roban, Desa Tulikup, Kecamatan Gianyar, Kabupaten Gianyar. Selain itu, nilai etika ditunjukkan pula oleh sikap dari pretisentana yang melaksanakan suatu upacara untuk membayar hutang kepada para leluhur. Terlaksananya suatu upacara yajña maka dapat dikatakan pretisentana memiliki etika yang baik karena telah sadar akan kewajiban serta bertanggungjawab melaksanakan upacara Nilapati untuk meningkatkan kesucian dari roh leluhur. 2.3.3 Nilai Yajña Nilai pendidikan Yajña yang terkandung dalam pelaksanaan upacara Nilapati bagi warga Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi di Banjar Roban adanya penggunaan sarana upacara dalam melaksanakan upacara Nilapati, yang mana sarana tersebut merupakan media untuk menghormati dan memuliakan Ida Sang Hyang Widhi Wasa serta para leluhur. III. SIMPULAN Berdasarkan hasil pembahasan dan perumusan masalah yang dirumuskan pada bab I, maka hal-hal yang dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Prosesi pelaksanaan upacara Nilapati diartikan sebagai proses penyucian serta peningkatan roh leluhur tahapan terakhir dari rangkaian upacara Pitra Yajña. Upacara Nilapati dilaksanakan setelah melalui rangkaian upacara Ngaben, Ngerorasin, dan Mendak Nuntun serta sebelum melakukan upacara Ngelinggihang Bhatara Hyang Guru di Sanggah Kamulan. Proses upacara Nilapati terlebih dahulu diupacarai di hadapan Banten Pengubengan yang berada di Jaba (luar) Sanggah atau Merajan, kemudian baru dilanjutkan diupacarai di hadapan Sanggah Kamulan. 2. Fungsi rasa bhakti untuk menyucikan roh leluhur pada saat baru meninggal dunia Panca Maha Bhutanya mendapat sebutan Pitra, setelah dilaksanakan penyucian melalui upacara Ngaben, maka sebutan Pitra meningkat menjadi Pitara. Kemudian melalui pelaksanaan upacara Ngeroras, maka kesucian Pitara meningkat menjadi Dewa Pitara. Setelah berstatus Dewa Pitara, pelaksanaan upacara Penyucian terus dilangsungkan melalui pelaksanaan upacara Mendak Nuntun, sehingga kesucian dari Dewa Pitara makin meningkat serta mendapatkan status sebutan Dewa Hyang. Setelah berstatus Dewa Hyang, upacara penyuciannya pun terus dilaksanakan melalui pelaksanaan upacara Nilapati. Pelaksanaan upacara Nilapati untuk kembali meningkatkan kesucian dari status sebutan Dewa Hyang agar dapat menyatu dengan alam Siwa menjadi Bhatara Hyang Guru, maka Dewa Hyang telah kembali kesumbernya yaitu kembali ke Sang Hyang Prakerthi. Fungsi dari meningkatnya kesucian Dewa Hyang menjadi Bhatara Hyang Guru mampu memberikan kewenangan yang lebih besar bagi leluhur agar dapat memberikan penganugerahan kepada pretisentananya serta membebaskannya dari segala dosa yang diperbuat dikehidupan terdahulu. Terlaksananya upacara Nilapati tidak terlepas dari fungsi sosial yaitu rasa kerjasama dari masyarakat. 3. Nilai-nilai pendidikan agama Hindu yang terkandung dalam upacara Nilapati bagi warga Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi di Banjar Roban, Desa Tulikup, Kecamatan Gianyar, Kabupaten Giayar meliputi nilai tattwa yang mengajarkan tentang kebenaran, nilai etika mengajarkan kebaikan dalam bertingkahlaku dan nilai yajña yaitu ketulus ikhlasan dalam melaksanakan suatu persembahan. DAFTAR PUSTAKA Dharmita, Ida Pandita Mpu Siwa Budha Dhaksa. 2006. Bhisama Bhatara Ajeg Hindu Bali Rajya. Denpasar: Pustaka Bali Post. 317

Subagia, I Nyoman. 2015. Konfrontasi Etika Remaja Pada Zaman Globalisasi. Denpasar: IHDN Denpasar. Sudarsana, I.B.Putu. 2012. Ajaran Agama Hindu Upacara Pitra Yadnya. Denpasar: Yayasan Dharma Acarya. Sudarsana, I. K. (2016). PEMIKIRAN TOKOH PENDIDIKAN DALAM BUKU LIFELONG LEARNING: POLICIES, PRACTICES, AND PROGRAMS (Perspektif Peningkatan Mutu Pendidikan di Indonesia). Jurnal Penjaminan Mutu, (2016), 44-53. Sudarsana, I. K. (2015). PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH DALAM UPAYA PEMBANGUNAN SUMBER DAYA MANUSIA. Jurnal Penjaminan Mutu, (Volume 1 Nomor 1 Pebruari 2015), 1-14. Sudharta, Tjok Rai. Atmaja, Ida Bagus Oka Punia. 2001. Upadesa Tentang Ajaran-Ajaran Agama Hindu. Surabaya: Paramita. Surayin, Ida Ayu Putu. 2004. Seri I Upakara Yajña Melangkah ke Arah Persiapan Upakara- Upacara Yajña. Surabaya: Paramita. Tim Penyusun. 2003. Kamus Istilah Agama Hindu. Denpasar: Pemerintah Propinsi Bali. Wiana. 2002. Makna Upacara Yajña dalam Agama Hindu. Surabaya: Paramita. 318