BAB VI PENUTUP. Dari berbagai deskripsi dan analisis yang telah penulis lakukan dari bab I

dokumen-dokumen yang mirip
BAB V KESIMPULAN DAN CATATAN KRITIS. Selain itu, telah dijelaskan pula faktor selera ( keinginan ) dan perinta orang tua

BAB V KESIMPULAN Identitas Nasional dalam Imajinasi Kurikulum kurikulum Konstruksi tersebut melakukan the making process dalam

BAB VI KESIMPULAN. masyarakat hidup bersama biasanya akan terjadi relasi yang tidak seimbang. Hal

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan

BAB VI PENUTUP. Meskipun perpustakaan oleh masyarakat secara umum disadari sebagai

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Budaya lokal menjadi media komunikasi di suatu daerah yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan aktivitas dan usaha manusia untuk meningkatkan

BAB V PENUTUP. dapat terlepas dari modal yang dimilikinya, semakin besar modal yang dimiliki oleh

BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Pada Bab Penutup ini melihat kesimpulan dari data yang diperoleh di

Bab II Tinjauan Teoritis

BAB I PENDAHULUAN. pengalaman pengarang. Karya sastra hadir bukan semata-mata sebagai sarana

BAB VI KESIMPULAN. instrumentnya meraih legitimasi-legitimasi, namun juga menelisik kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Manusia adalah mahkluk sosial yang dilahirkan dalam suatu pangkuan

BAB V P E N U T U P. bahwa dalam komunitas Kao, konsep kepercayaan lokal dibangun dalam

BAB V PENUTUP. A. Simpulan

BAB IV KESIMPULAN. Talempong goyang awalnya berasal dari Sanggar Singgalang yang. berada di daerah Koto kociak, kenagarian Limbanang, kabupaten

BAB I PENGANTAR KHAZANAH ANALISIS WACANA. Deskripsi Singkat Perkuliahan ini membelajarkan mahasiwa tentang menerapkan kajian analisis wacana.

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI

BAB V PENUTUP. Komunitas Aboge di Cikakak merupakan salah satu dari beberapa masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. Muhammadiyah sebagai ormas keagamaan menyatakan tidak berpolitik

Bab VII Pemanfaatan Modal (Capital) Oleh Pengusaha Penduduk Lokal dan Pengusaha Migran dalam Dinamika Berwirausaha

BAB 2 LANDASAN TEORI. 12 Universitas Indonesia

Bab VI: Kesimpulan. 1 Pemilih idealis mengaktualisasikan suaranya berdasarkan ideologi untuk memperjuangkan nilai-nilai

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahkluk sosial yang berbudaya mempunyai peran

BAB VII PENUTUP. dirumuskan sebelumnya. Kesimpulan yang dimunculkan dalam bab ini berisi

BAB V SIMPULAN. Dalam sastra nasional, Paranggi menempati posisi objektif sebagai penyair

BAB I PENDAHULUAN. Kasuran adalah sebuah kampung yang pada 28 Juli 1826 menjadi ladang

BAB VI KESIMPULAN. Pertama, poligami direpresentasikan oleh majalah Sabili, Syir ah dan NooR dengan

BAB VI KESIMPULAN. Pada dasarnya Keraton Yogyakarta dibangun berdasarkan. kosmologi Jawa, yang meletakkan keseimbangan dan keselarasan

Teori Perubahan Sosial Budaya.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

Embrio Sosiologi Militer di Indonesia

KAWISTARA. VOLUME 5 No. 2, 17 Agustus 2015 Halaman

EMPAT BELAS ABAD PELAKSANAAN CETAK-BIRU TUHAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengarang menciptakan karya sastra sebagai ide kreatifnya. Sebagai orang yang

BAB I PENDAHULUAN. manusia kedua setelah laki-laki. Tatanan sosial memberi kedudukan perempuan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tradisi merupakan kebiasaan yang diturunkan oleh leluhur secara turuntemurun

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V PENUTUP. mengenai program Kampung Ramah Anak, lahir melalui proses yang simultan dan

MITOS PESAREAN MBAH DAMARWULAN DALAM TRADISI SELAMETAN SURAN DI DESA SUTOGATEN KECAMATAN PITURUH KABUPATEN PURWOREJO

BAB I PENDAHULUAN. penikmatnya. Karya sastra ditulis pada kurun waktu tertentu langsung berkaitan

BAB V PENUTUP. ini. Varian fundamentalisme sudah banyak dikategorisasikan oleh para

BAB IV ANALISIS DATA

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. fenomena yang dirasakan semakin kuat mencengkram memasuki abad dua puluh

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. pemikiran si peneliti karena menentukan penetapan variabel. Berdasarkan Kamus Besar

BAB I PENDAHULUAN. Kumpulan surat Habis gelap Terbitlah Terang ditulis oleh R.A Kartini pada

BAB V PENUTUP. ekonomi, kultural, sosial, dan modal simbolik. mampu untuk mengamankan kursi Sumenep-1 kembali.

BAB III TRADISI NGALOSE DALAM PERSPEKTIF MASYARAKAT DESA KEPUH TELUK KECAMATAN TAMBAK BAWEAN KABUPATEN GRESIK

BAB I PENDAHULUAN. sastra sangat dipengaruhi oleh bahasa dan aspek-aspek lain. Oleh karena

BAB I PENDAHULUAN. tergantung dari perubahan sosial yang melatarbelakanginya (Ratna, 2007: 81). Hal

BAB I PENDAHULUAN . A. Latar Belakang Masalah Reni Yuniawati, 2015

BAB I PENDAHULUAN. perasaan, yaitu perasaan estetis. Aspek estetis inilah yang mendorong budi

BAB VII PENUTUP. Dari kajian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut; Pertama, Realitas

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan wujud dari proses imajinatif dan kreatif pengarang.

BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Makna Masyarakat 2.2 Kelompok / Masyarakat yang Masih Mempertahankan Wayang Kulit

BAB I PENDAHULUAN. berjalan lancar jika didukung oleh adanya kondisi yang aman dan tenteraman. Salah satu hal

STUDI POLA MORFOLOGI KOTA DALAM PENENTUAN KAWASAN KONSERVASI KOTA DI KABUPATEN KENDAL TUGAS AKHIR

Seperti yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, maka kesimpulan yang. 1. Untuk mempertahankan pengaruh dan kekuasaan maka elit harus jeli

BAB V PENUTUP. Kehadiran dan kepiawaian Zulkaidah Harahap dalam. memainkan instrumen musik tradisional Batak Toba, secara tidak

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Masalah

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

Saya senang sekali karena bisa bersama-sama dengan Bapak/Ibu pimpinan umat beragama se-sulawesi

BAB I PENDAHULUAN. itu sangat sulit untuk di hilangkan. Seperti halnya dalam membayar zakat

* Terdapat dua teori besar dalam ilmu social yang. 1. Teori struktural fungsionalisme, dan 2. Teori struktural konflik

Kecakapan Antar Personal. Mia Fitriawati, S. Kom, M.Kom

BAB 1 PENDAHULUAN. Era globalisasi dewasa ini dan di masa datang sedang dan akan. mempengaruhi perkembangan sosial budaya masyarakat muslim Indonesia

UKDW BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. Dalam telaah-telaah ilmu sosial, bahasa menempati posisi yang sangat

BAB I PENDAHULUAN. saat itu dalam berbagai bentuk film-film ini akhirnya memiliki bekas nyata di benak

BAB I PENDAHULUAN. Nan Tigo (wilayah yang tiga). Pertama adalah Luhak Agam yang sekarang

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Informasi yang disajikan oleh media massa dimanfaatkan oleh

RELIGIUS SEBAGAI MISTIK DAN NABI DI TENGAH MASYARAKAT Rohani, Juni 2012, hal Paul Suparno, S.J.

JURNAL SKRIPSI. MAKNA RITUAL DALAM PEMENTASAN SENI TRADISI REOG PONOROGO (Studi Kasus di Desa Wagir Lor, Kecamatan Ngebel, Kabupaten Ponorogo)

BAB I PENDAHULUAN. objeknya manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dari bahasa Inggris yaitu resist. Dalam hal ini yang dimaksud adalah semua

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB VI PENUTUP. bahwa logika media lebih dominan. SMS Tauhiid tidak hanya merupakan salah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. menarik orang mendatangi kota. Dengan demikian orang-orang yang akan mengadu nasib di

BAB I PENDAHULUAN. dalam mencari pekerjaan. Alasan pelarangan yang dikemukakanpun sangat tidak rasional,

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Patriarki adalah sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki

EKSPERIMENTASI PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN PENDEKATAN SAVI DAN RME PADA POKOK BAHASAN KUBUS DAN BALOK DITINJAU DARI KREATIVITAS BELAJAR SISWA

BAB IV ANALISIS. Mitos memang lebih dikenal untuk menceritakan kisah-kisah di masa

BAB I PENDAHULUAN. Papua seperti seekor burung raksasa, Kabupaten Teluk Wondama ini terletak di

UKDW BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latarbelakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kebudayaan tercipta karena keberadaan manusia. Manusialah yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memungkinkan terjadinya integritas sosial, merupakan hubungan-hubungan yang

BAB I PENDAHULUAN. dan refleksinya. Penyajiannya disusun secara menarik dan terstruktur dalam

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Dewasa ini penyimpangan sosial di Indonesia marak terjadi dengan

SOSIOLOGI AGAMA PRODI PENDIDIKAN SOSIOLOGI SEMESTER VI PERTEMUAN IV AGAMA DAN MASYARAKAT OLEH: AJAT SUDRAJAT

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. manusia, mitos dan ritual saling berkaitan. Penghadiran kembali pengalaman

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Sudut pandang teori materialisme historis dalam filsafat sejarah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Asep Saeful Ulum, 2013

BAB V PENUTUP Kesimpulan

BAB I PENDAHULUAN. dinamakan mampu berbuat hamemayu hayuning bawana (Suwardi Endraswara,

BAB I PENDAHULUAN. dalam tradisi mereka. Budaya dan sumber-sumber sejarah tersebut dari generasi

BAB V PENUTUP. Struktur dan Teori Kekuasaan melalui tahapan metode etnografi pada Konsep

B. Refleksi Teoritis, tindaklanjut dan saran

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sastra adalah suatu hasil tulisan kreatif yang menceritakan tentang manusia dan juga

Transkripsi:

BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Dari berbagai deskripsi dan analisis yang telah penulis lakukan dari bab I hingga V penulis menyimpulkan beberapa hal berikut. Pertama, bahwa tidur tanpa kasur di dusun Kasuran ini berawal dari setidaknya tiga jalur: a) dari Sunan Kalijaga. Persinggahan Sunan Kalijaga ke Kasuran lalu beristirahat serta meminta agar salah satu penduduk menyiapkan kasur untuk tidurnya, dari sini kemudian cerita tersebut dialihrupakan (misrecognized) menjadi jangan tidur di atas kasur kapuk. Versi Sunan Kalijaga ini dipegang oleh otoritas pedukuhan yang dimotori oleh Wartilah selaku kepala Dukuh, hal ini yang kemudian banyak diikuti para warga sehingga posisi Wartilah di Kasuran semakin dihormati dan disegani, disamping karena dia sendiri adalah seorang yang aktif dalam berbagai kegiatan, utama kegiatan-kegiatan pertanian; b) dari agama Hindu. Hindu adalah agama yang eksis sebelum Islam muncul. Perkembangan Hindu di Kasuran tidak bisa dilepaskan dari eksistensi Pura Srigading yang terletak di Kasuran Kulon. Praktik tidur tanpa kasur ini menurut kelompok Hindu, telah eksis jauh sebelum Islam itu muncul. Untuk menghindari konflik terbuka dengan versi cerita Islam, Suharso, salah satu tokoh senior agama Hindu, warga Kasuran Kulon, menyatakan bahwa ia tidak membenarkan ataupun menyalahkan awal mula praktik (mitos) dari Islam. Namun ia menegaskan bahwa hal ini sudah ada jauh sebelum Islam. Ia menegaskan bahwa praktik ini telah hadir sejak masa kerajaan Majapahit; c) dari pasukan Pangeran Diponegoro. perang Diponegoro 195

yang terkenal dengan Perang Jawa ini memang menghabiskan energi baik dari pihak Belanda maupun pasukan Diponegoro. Kekalahan yang diderita oleh pasukan Diponegoro telah membuat sebagian pasukan bersembunyi dan bergerilya. Salah satu tempat yang menjadi persembunyiannya adalah di dusun Kasuran. Penderitaan yang diderita pasukan itu bersama keluarga mereka selama masa persembunyian telah membuat mereka bersumpah untuk tidak hidup enak dan nyaman sebelum perang berakhir. Salah satu hal yang tersisa hingga saat ini adalah dengan pantang tidur di atas kasur. Kasur pada zaman dahulu adalah salah satu simbol kenyamanan dan malas-malasan, sehingga mereka menghindarinya. Agen yang aktif dalam versi ini adalah Noor Siddiq yang menjadi kepala Dukuh dusun Kasuran Wetan. Ketiga jalur ini sama-sama mengakumulasi praktik pantang tidur di dusun Kasuran yang direproduksi terus menerus oleh para leluhur dusun Kasuran hingga sampai pada generasi saat ini. Hal ini kemudian menjadi praktik dan habitus yang turun temurun direproduksi. Kedua, praktik dan habitus tidur tanpa kasur di dusun Kasuran telah membagi masyarakat Kasuran dalam beberapa kategori hirarkhis. 1) elit kultural, kelompok ini adalah kelompok yang fanatik pada praktik/mitos/tradisi itu dan memiliki posisi strategis, seperti yang diwakili oleh Wartilah, Suwardi, dan Suharso. 2) kaum elit organisasional yang memiliki posisi struktural namun menentang praktik, seperti Juremi yang menjadi wakil dari Muhammadiyah. Mirip dengan kaum elit kultural, kelompok ini juga mempertahankan posisinya melalui kerjasama saling memahami satu sama lain namun antar kelompok tak jarang terjadi konflik. 3) kelompok semi 196

periperi yang fanatik tapi tidak memiliki posisi. Seperti orang-orang NU di Kasuran. Dianggap sebagai semi periperi karena syarat utama pembentukan habitus, yakni posisi tidak dimiliki oleh kelompok ini. Mereka hanya mengikuti disposisi dari orang yang memiliki posisi institusional (elit kultural) dalam struktur masyarakat Kasuran. 4) kelompok periperi atau marginal. Karena menurut Bourdieu kelas sosialmu menentukan seleramu atau posisimu menentukan disposisimu maka begitulah Wartilah, Noor Siddiq dan lainnya menjadi bourjuis kultural, dan masyarakat awam menjadi proletar kultural. Peran kelompok ini ada dua, pertama mendukung disposisi kelompok elit organisasional, namun dukungan mereka terkendala oleh posisi mereka yang tidak punya efek pada disposisi itu sendiri; dan kedua, mereka turut bertarung dalam arena, namun potensi keberhasilannya sangat terbatas. Dalam konteks habitusnya Bourdieu, praktik tidur tanpa kasur ini adalah satu praktik yang telah berlangsung sangat lama dan menjadi satu bagian dari hidup masyarakat Kasuran, bahkan ia telah menjadi identitas masyarakat Kasuran. Praktik ini menjadi kebiasaan turun temurun dikarenakan faktor para agen yang selalu mempraktikkan hal ini secara turun temurun serta masyarakat Kasuran yang cenderung menerima hal ini, baik itu karena mereka sudah terbiasa sejak kecil, maupun karena takut akan konsekuensi-konsekuensi hukuman yang akan diterima jika melanggar. Di samping itu, peranan tokoh agama, semisal Islam (NU) dan Hindu mendukung hal ini sehingga ia terpelihara dengan baik di dusun Kasuran. Pada tataran agen pendukung, para agen menyokong hal ini sebagai salah satu strategi untuk mendapatkan social recognition. 197

Ketiga, secara teoretis teori Bourdieu sangat menarik untuk dipakai sebagai pisau analisis dalam melihat kontestasi antar agen dalam perebutan kekuasaan tertentu. Dengan menggunakan teori ini seorang peneliti dapat melihat bagaimana agen bertarung untuk memperebutkan social recognition, dengan berbagai strategi dan modal yang dimilikinya. Posisi Wartilah yang begitu dominan di Kasuran telah menunjukkan hal ini. Baik disadari atau tidak olehnya, dia telah berhasil mengakumulasi berbagai modal melalui praktik larangan tidur tanpa kasur di dusun Kasuran ini. Sosok yang awalnya bukanlah seorang asli warga Kasuran, orang yang biasa-biasa saja namun kemudian menjadi sosok yang menjadi referensi utama di dusun tersebut karena memainkan praktik larangan tidur tanpa kasur ini. Dari sini pula, masyarakat kemudian menghormatinya dan cenderung patuh terhadap apa yang dikatakannya. Bagi sosok seperti Wartilah, social recognition merupakan satu hal yang harus dia dapatkan. Seorang kepala dukuh harus memiliki sesuatu yang bisa membuat masyarakat yang dipimpinnya mendengarkan apa yang dia omongkan, dawuhkan, atau praktik yang ia lakukan. Namun demikian, penulis melihat bahwa masalah tidur tanpa kasur ini lebih merupakan persoalan yang sifatnya spiritual. Jika melihat cara masyarakat mengekspresikan keyakinannya atas tradisi tidur tanpa kasur itu berbeda-beda, penulis melihat bahwa istilah religius secara literal memang tidak bisa mencakup perbedaan keyakinan itu. Dibanding modal religius, modal spiritual tampak lebih sesuai untuk mengekspresikan keyakinan individu-individu yang berspiritual berbeda itu (hetero-spiritualists). Modal spiritual juga bisa menutupi ketidakcukupan empirik 198

modal religius yang bagi Bourdieu cenderung berpijak pada institution. Jika Bourdieu menganggap modal religius hanya dimiliki oleh mereka yang memiliki posisi kelembagaan tertentu, maka modal spiritual bisa dimiliki oleh siapapun. Nilai dari modal spiritual ditentukan bukan hanya oleh profesional dan spesialis, melainkan juga masyarakat awam, dan kondisi ini pelan-pelan akan mengusik otonomi arena religius. Modal spiritual bisa menjadi nilai tukar yang lebih kuat dibanding modal religius, dan masyarakat awam bisa memanfaatkan kekuatan spiritual melalui modal simbolik yang telah mereka akumulasikan di arena yang lain. Sehingga, memperhitungkan modal spiritual dibanding modal religius memungkinkan suatu modal bisa dirasakan bersama oleh masyarakat, tanpa memandang posisi mereka dalam pranata keagamaan tertentu. Di samping itu, tentu hal ini akan lebih membuka peranan yang lebih luas para agen yang terlibat di dalamnya, sehingga tidak hanya didominasi oleh para agen yang berbasis pada kepemilikan institusi tertentu, organisasi keagamaan, misalnya. Jika modal religius samar-samar melegitimasi keberadaan pranata kebudayaan dan keagamaan yang dominan, maka modal spiritual akan merayakan subkultur dan subreligius (baca: spiritualitas) yang marjinal itu tadi untuk diperhitungkan dalam arena. B. Penutup Penelitian ini adalah penelitian lapangan yang mencoba mempergunakan teori Bourdieu untuk menganalisis realitas praktik tidur tanpa kasur di dusun Kasuran. Gagasan-gagasan yang telah tertuang dalam disertasi ini sejatinya bukan satu gagasan 199

yang final mengenai Kasuran. Tulisan ini tidak hanya mencoba untuk mengurai berbagai bentuk perspektif yang simpang siur mengenai praktik ini, namun juga menjelaskan ketidakcukupan teori Bourdieu dalam menganalisis satu masalah. Hal ini juga menunjukkan bahwa kritik penulis itu masih perlu ditelaah dan dikaji kembali secara akademik. Namun disisi lain, terdapat satu hal yang penulis dapatkan setelah menulis disertasi ini. Yakni satu gagasan bahwa satu statemen tertentu apalagi pada masa lampau seringkali misrecognized. Kajian mengenai disertasi ini, jika dikembalikan kepada posisi penulis sebagai tenaga pengajar di perguruan tinggi Islam, mirip mengkaji sebuah hadis. Hadis memang masih bisa dilihat sumber-sumber matarantai sanadnya, namun isi pesan hadis (matan) bisa bervariasi praktiknya di masyarakat. Tentu hal ini dipengaruhi oleh modal dan ranah dimana hadis tersebut dicerap dan dipraktikkan. Dari disertasi ini pula terdapat satu contribution to knowledge yang sangat penting bagi pengembangan ilmu hadis. Habitus Muhammad, begitu nanti penulis menyebutnya, merupakan satu disposisi yang berasal dari Muhammad, baik berupa al-quran maupun hadis, yang kemudian dari sini praktik umat Islam di seluruh dunia kadang-kadang berbeda satu sama lain. Hal ini semata-mata karena modal dan ranah dari agen yang berbeda-beda. Gagasan ini rencananya menjadi satu penelitian selanjutnya yang diilhami oleh disertasi ini. Namun, kendatipun demikian, disertasi ini bukanlah satu disertasi sempurna yang nihil kritik, sehingga kritik dan saran membangunnya akan senantiasa penulis tunggu. 200