BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Friesian Holstein (FH) impor dan turunannya. Karakteristik sapi FH yaitu

dokumen-dokumen yang mirip
TINJAUAN PUSTAKA Anatomi dan Fisiologi Ambing

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (Hayati et al., 2010). Tanaman ini dapat tumbuh hingga mencapai tinggi 5-10

TINJAUAN PUSTAKA. A. Sapi perah (Peranakan Friesian Holstein)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. laktasi atau mendekati kering kandang (Ramelan, 2001). Produksi susu sapi perah

PENDAHULUAN. Latar Belakang. kelenjar susu mamalia. Susu memiliki banyak fungsi dan manfaat.

TINJAUAN PUSTAKA. Lemak (%)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Daun Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi Linn.) Daun Belimbing Wuluh mengandung flavonoid, saponin dan tanin yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memiliki ciri-ciri fisik antara lain warna hitam berbelang putih, ekor dan kaki

PEMBAHASAN Jumlah dan Komposisi Sel Somatik pada Kelompok Kontrol

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ternak perah adalah ternak yang diusahakan untuk menghasikan susu

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tercemar kapan dan dimana saja sepanjang penanganannya tidak memperhatikan

TINJAUAN PUSTAKA Sifat Umum Susu

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian tentang hubungan produksi susu dengan body condition scoredan

KAJIAN KEPUSTAKAAN. menghasilkan susu. Terdapat beberapa bangsa sapi perah yaitu Ayrshire,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Peranakan Ettawa (PE) merupakan hasil perkawinan antara kambing

BAB I PENDAHULUAN. Banyuwangi secara astronomis terletak di antara

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Menurut Blakely dan Bade (1992), bangsa sapi perah mempunyai

KAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut data BPS Kabupaten Buleleng, (2014), Kabupaten Buleleng

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan dikonsumsi oleh seluruh lapisan masyarakat. Salah satu hewan penghasil susu

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Sapi perah termasuk kedalam famili Bovidae dan ruminansia yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

EKSPRESI PRODUKSI SUSU PADA SAPI PERAH MASTITIS ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. Susu merupakan salah satu sumber protein yang baik dikonsumsi oleh

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Berasal dari Belanda dan mulai dikembangkan sejak tahun 1625 (Makin, 2011). Sapi FH memiliki karakteristik sebagai berikut :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sejarah dan Perkembangan Sapi Perah Menurut Sudono et al. (2003), sapi Fries Holland (FH) berasal dari

MENGELOLA KOMPOSISI AIR SUSU

HUBUNGAN ANTARA DIAMETER LUBANG PUTING TERHADAP TINGKAT KEJADIAN MASTITIS

Alat Pemerahan Peralatan dalam pemerahan maupun alat penampungan susu harus terbuat dari bahan yang anti karat, tahan lama, dan mudah dibersihkan. Bah

SUSU. b. Sifat Fisik Susu Sifat fisik susu meliputi warna, bau, rasa, berat jenis, titik didih, titik beku, dan kekentalannya.

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Sapi Friesian Holstein (FH) Produktivitas Sapi Perah

HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi Susu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA SapiFriesian Holsteindan Tampilan Produksi Susu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. besar dipelihara setiap negara sebagai sapi perahan (Muljana, 2010). Sapi FH

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Friesian Holstein (FH) merupakan bangsa sapi yang paling banyak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tahun 2011 sebanyak ekor yang tersebar di 35 Kabupaten/Kota.

BAB I PENDAHULUAN. Data-data cemaran mikrobia pada produk susu mentah sudah ada dari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dikenal dengan nama sapi Grati. Bentuk dan sifat sapi PFH sebagian besar

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dimanfaatkan sebagai produk utama (Sutarto dan Sutarto, 1998). Produktivitas

disusun oleh: Willyan Djaja

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Friesian Holstein Peternakan Sapi Perah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ketenangan dan akan menurunkan produksinya. Sapi Friesien Holstein pertama kali

TINJAUAN PUSTAKA Peternakan Sapi Perah Sapi Friesian Holstein (FH)

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Penampilan Kandungan Protein Dan Kadar Lemak Susu Pada Sapi Perah Mastitis Friesian Holstein

HASIL. Jumlah dan Komposisi Sel Somatik pada Kelompok Kontrol

HASIL DAN PEMBAHASAN

DEPARTEMEN PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dipelihara dengan tujuan menghasilkan susu. Ciri-ciri sapi FH yang baik antara

PENDAHULUAN. Latar Belakang. peningkatan jumlah penduduk Indonesia. Produksi susu segar dalam negeri hanya mampu

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) Sapi Perah berada di Kecamatan

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Ternak perah merupakan ternak yang mempunyai fungsi sebagai penghasil

HUBUNGAN MASTITIS, PRODUKSI DAN KUALITAS SUSU SAPI PERAH DI BALAI BESAR PEMBIBITAN TERNAK UNGGUL - HIJAUAN PAKAN TERNAK SAPI PERAH BATURRADEN SKRIPSI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pendapatan peternak (Anggraeni, 2012). Produksi susu sapi perah di Indonesia

PENDAHULUAN. pangan hewani. Sapi perah merupakan salah satu penghasil pangan hewani, yang

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Sapi perah secara umum merupakan penghasil susu yang sangat dominan

disusun oleh: Willyan Djaja

PENJABARAN RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN Minggu ke-2

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Lampiran 1 Kuisioner Peternak Pemasok Susu Segar

THE EFFECT OF USE MORINGA LEAF JUICE FOR TEAT DIPPING ON INCIDENCE OF SUBCLINICAL MASTITIS OF DAIRY CATTLE LACTATION FH

PENGARUH PENAMBAHAN SUKROSA DAN GLUKOSA PADA PEMBUATAN PERMEN KARAMEL SUSU KAMBING TERHADAP SIFAT KIMIA, MIKROBIOLOGI DAN ORGANOLEPTIK

HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. ANALISIS DAN SINTESIS

HASIL DAN PEMBAHASAN. (BBPTU-HPT) Baturraden merupakan pusat pembibitan sapi perah nasional yang

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Susu merupakan bahan makanan yang diperoleh dari hasil seleksi

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian Jumlah Bakteri Staphyloccus aureus dan Skor California Mastitis

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi perah FH berasal dari Belanda bagian utara, tepatnya di Provinsi Friesland,

PENGARUH JENIS KEMASAN DAN LAMA PENYIMPANAN TEHADAP SIFAT KIMIA, MIKROBIOLOGI, DAN ORGANOLEPTIK PERMEN KARAMEL SUSU KAMBING. (Laporan Penelitian) Oleh

PEMANFAATAN REBUSAN DAUN SIRIH MERAH (Piper crocatum) DALAM MENURUNKAN TINGKAT KEJADIAN MASTITIS BERDASARKANN UJI CMT DAN SCC

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Yani dan Purwanto (2006) dan Atabany et al. (2008), sapi Fries Holland

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tanduknya mengarah ke depan (Rahman, 2007). Sapi FH memiliki produksi susu

Gambar 1. Produksi Susu Nasional ( ) Sumber: Direktorat Jenderal Peternakan (2011)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Susu Susu adalah salah satu bahan makanan alami yang berasal dari ternak perah

KAJIAN KEPUSTAKAAN. sangat besar dalam memenuhi kebutuhan konsumsi susu bagi manusia, ternak. perah. (Siregar, dkk, dalam Djaja, dkk,. 2009).

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Peternakan Sapi Perah di Indonesia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lokal (Bos sundaicus), sapi Zebu (Bos indicus) dan sapi Eropa (Bos taurus). Sapi

TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Perah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA Usaha Peternakan Sapi Perah Iklim dan Cuaca Pengaruh Iklim terhadap Produktivitas Sapi Perah

TINJAUAN PUSTAKA. dan dikenal sebagai Holstein di Amerika dan di Eropa terkenal dengan

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian tentang pengaruh dipping puting sapi perah yang terindikasi

PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Susu merupakan salah satu bahan pangan yang penting bagi pemenuhan

HASIL DAN PEMBAHASAN

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 07/Permentan/OT.140/1/2008 TANGGAL : 30 Januari 2008

METODE PENELITIAN. Metode Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Escherichia coli yang merupakan salah satu bakteri patogen. Strain E. coli yang

PENGARUH TEAT DIPPING SARI DAUN BELUNTAS (Pluchea indica Less) TERHADAP KUALITAS SUSU BERDASARKAN CALIFORNIA MASTITIS TEST DAN UJI REDUKTASE

STRUKTUR INTERNAL KELENJER SUSU

II. TINJAUAN PUSTAKA A.

PENDAHULUAN. kebutuhan susu nasional mengalami peningkatan setiap tahunnya.

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Usaha Peternakan Sapi Perah

I. PENDAHULUAN. Pakan merupakan masalah yang mendasar dalam suatu peternakan. Pakan

Uji Organoleptik dan Tingkat Keasaman Susu Sapi Kemasan yang Dijual di Pasar Tradisional Kota Denpasar

Transkripsi:

15 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bangsa Sapi Perah Sapi-sapi perah di Indonesia pada umumnya adalah sapi perah bangsa Friesian Holstein (FH) impor dan turunannya. Karakteristik sapi FH yaitu terdapat warna putih berbentuk segitiga di dahi dengan kepala panjang, warna tubuhnya hitam belang putih dengan pembatas yang jelas, dan sebagian kecil tubuhnya berwarna putih atau hitam seluruhnya (Syarief dan Sumoprastowo, 1990). Umumnya ada 2 jenis sapi perah yang ada di Indonesia yaitu FH dan sapi PFH. Sapi PFH merupakan sapi perah hasil persilangan antara sapi lokal yang ada di Indonesia dengan sapi FH, menghasilkan sifat FH yang lebih terlihat (Siregar, 1992). Ciri-ciri fisik sapi FH yaitu berwarna hitam berbelang putih, pada dahi terdapat warna putih berbentuk segitiga, ekor dan kaki berwarna putih, kepala panjang, serta sifatnya tenang dan jinak. Sapi FH yang baik memiliki sistem dan bentuk perambingan yang baik dan memiliki efisiensi pakan yang baik pula sehingga dapat dialihkan menjadi produksi susu (Blakely dan Bade, 1998). 2.2. Produksi Susu Sapi jenis Friesian Holstein merupakan bangsa sapi yang berasal dari negara Belanda. Sapi jenis FH merupakan sapi perah yang produksi susunya tertinggi dibandingkan dengan bangsa-bangsa sapi lainnya, dengan kadar lemak yang rendah. Meskipun produktivitas susu sapi bangsa sapi FH di Indonesia masih

16 tergolong rendah yaitu rata-rata 10 liter/hari/ekor (Sudono, 1999). Produksi susu seekor sapi pada umumnya diawali dengan jumlah yang relatif rendah, kemudian sedikit demi sedikit akan meningkat hingga bulan ke-2 dan mencapai puncaknya pada bulan ke-3 (Karuniawati, 2012). Produksi susu sapi perah perlaktasi akan meningkat terus sampai dengan paritas ke-4 atau pada umur 6 tahun, apabila sapi perah itu pada umur 2 tahun sudah melahirkan (laktasi pertama) dan setelah itu terjadi penurunan produksi susu (Siregar, 1992). Dari sejak melahirkan, produksi susu akan meningkat dengan cepat sampai mencapai puncak produksi pada 35 50 hari setelah melahirkan. Setelah mencapai puncak produksi, produksi susu harian akan mengalami penurunan rata-rata 2,5% per minggu. Lama diperah atau lama laktasi yang paling ideal adalah 305 hari atau sekitar 10 bulan. Sapi perah yang laktasinya lebih singkat atau lebih panjang dari 10 bulan akan berakibat terhadap produksi susu yang menurun pada laktasi yang berikutnya (Siregar, 1993). 2.3. ph Susu Syarat kualitas atau mutu susu segar harus memenuhi standar Direktorial Jendral Peternakan tahun 1983 sebagai berikut : 1) bau, kekentalan, rasa dan warna tidak ada perubahan; 2) berat jenis (suhu 27 o C) sekurang-kurangnya 1,028; 3) kadar lemak minimal 2,8%; 4) kadar bahan kering tanpa lemak minimal 8,0%; 5) derajat asam 4,5 7 o SH; 6) uji pendidihan negatif; 7) titik beku -0,52 0 C sampai -0,56 0 C; 8) kadar protein sekurang-kurangnya 2,7% dan 9) jumlah kuman tiga juta/ml; 10) ph 6 6,7 (Soeparno, 1996). Potensial ion Hidrogen (ph) susu

17 segar terletak antara 6,5 6,7. Bila nilai ph susu lebih tinggi dari 6,7 biasanya diartikan terkena mastitis dan bila ph dibawah 6,5 menunjukkan adanya kolostrum ataupun pemburukan bakteri (Saleh, 2004). Berdasarkan 100 contoh susu kandang yang diuji, diperoleh 75% sampel memiliki nilai kisaran ph 6,3 6,75. Kisaran ini merupakan nilai ph normal susu segar. Sisanya, 25% memiliki ph di luar kisaran tersebut (20% di bawah ph 6,3 dan 5% di atas ph 6,75) (Sudarwanto et al., 2006). Potensial ion Hidrogen (ph) susu sapi segar yang normal berkisar antara 6,3 6,8 (SNI, 2011). Umumnya ph susu segar berkisar antara 6,3 6,75, sedangkan ph susu yang berasal dari ambing penderita mastitis subklinik di atas 6,75 (Sudarwanto dan Sudarnika, 2008). Meningkatnya ph disebabkan oleh tingginya konsentrasi Na dan Cl. Konsentrasi Na dan Cl yang bertambah dikarenakan menurunnya aktivitas sel sekretori pada sel mamari dan penurunan daya permabilitas dari mammary epithelium. Mammary epithelium akan mengubah komponen darah menjadi susu, termasuk sitrat, bikarbonat, ion Na dan Cl. Semakin tinggi kandungan ion dalam proses inflamasi ambing akan berakibat pada kenaikkan level ph susu (Ogola et al., 2007). Susu yang dihasilkan oleh sapi perah yang terkena mastitis mempunyai kandungan bakteri yang lebih tinggi dibandingkan dengan susu yang dihasilkan dari sapi yang sehat, hal ini disebabkan oleh masuknya bakteri patogen melalui lubang puting susu ke dalam ambing dan berkembang di dalamnya (Hidayat, 2008). Contoh mikroorganisme penyebab mastitis adalah Streptococcus agalactiae atau S. dysgalactiae, dapat menyebabkan ph susu sedikit turun (Sudarwanto dan Sudarnika, 2008).

18 2.4. Anatomi Ambing Sapi memiliki ambing yang terletak di daerah inguinal. Ambing sapi terdiri dari empat bagian. Bagian kiri dan kanan terpisah jelas, bagian ini dipisahkan oleh ligamen yang berjalan longitudinal yang disebut sulcus intermammaria. Bagian depan dan belakang jarang memperlihatkan batas yang jelas. Tiap bagian dilihat dari segi jaringan kelenjarnya, merupakan suatu kesatuan yang terpisah atau disebut juga kuartir. Antara kuartir yang satu tidak tergantung pada kuartir yang lain, khususnya dalam hal suplai darah, saraf dan apparatus suspensorius (Rahayu, 2015). Anatomi ambing seekor sapi perah dibagi menjadi empat kuartir terpisah. Dua kuartir depan biasanya berukuran 20% lebih kecil dari kuartir ambing bagian belakang dan antara kuartir itu bebas satu dengan yang lainnya. Tiap-tiap kuartir mempunyai satu putting. Bentuk puting bulat, seragam, terletak pada masing-masing kuartir seperti pada sudut bujur sangkar (Blakely dan Bade, 1998). Kuartir ambing terdapat saluran tempat susu keluar yang disebut saluran puting Pemisahan ambing menjadi dua bagian ke arah ventral ditandai dengan adanya kerutan longitudinal pada lekukan intermamae (Wiley dan Sons, 2009). Masing-masing terdiri dari 2 kuartir, kuartir depan dan belakang dipisahkan oleh lapisan tipis (fine membrane). Lapisan pemisah ini menyebabkan setiap kuartir ambing berdiri sendiri terutama pada kenampakan secara eksterior. Perbedaannya terletak pada ukuran ambing dan struktur atau anatomi bagian dalamnya, yaitu belum sempurnanya kerja sel-sel penghasil susu (Subronto, 2004).

19 Ilustrasi 1. Anatomi Ambing Sapi Perah (Yulianti, 2013) Bagian internal ambing terdiri dari rangkaian sistem berbagai struktur penunjang. Struktur penunjang ini adalah darah, limfe dan pasokan syaraf, sistem saluran untuk menyimpan dan mengangkut susu, serta unit epitel sekretori bakal alveoli. Tiap komponen ini berperan langsung atau tidak langsung terhadap sintesis susu (Wiley dan Sons, 2009). Bagian kelenjar ambing terdiri dari alveoli, tempat pembentukan susu, lobuli dan lobi. Tinggi rendahnya produksi susu tergantung pada jumlah alveoli yang aktif dan tidak pada saluran ambing. Diameter alveolus dalam keadaan penuh adalah 0,1 0,3 mm. Volume maksimum tiap lobulus adalah 1 mm. Susu yang dihasilkan oleh alveoli akan ditimbun didalam sisterna yang terdiri dari sisterna glanduler dan sisterna puting pada bagian distal terdapat lipatan mukosa, disebut roset Furstenburg, yang diduga mampu menghalangi keluarnya susu dari sisterna. Otot sphincter pada saluran puting ini mempunyai peranan dalam mencegah mengalirnya susu keluar. Pada ujung puting terdapat saluran pendek, yang disebut ujung puting, ductus

20 papillaris atau streak canal, yang permukaannya selalu mengalami keratinasi. Pada induk-induk muda saluran ujung puting merupakan penghalang yang efektif masuknya kuman ke dalam sisterna (Subronto, 2004). 2.5. Mastitis Mastitis adalah reaksi peradangan ambing yang disebabkan oleh kuman, zat kimia, luka mekanis. Peradangan ini menyebabkan bertambahnya protein di dalam darah dan sel-sel darah putih di dalam jaringan mammae. Mastitis dapat timbul karena adanya reaksi dari kelenjar susu terhadap suatu infeksi yang terjadi pada kelenjar susu tersebut. Reaksi ini ditandai dengan adanya peradangan pada ambing untuk menetralisir rangsangan yang ditimbulkan oleh luka serta untuk melawan kuman yang masuk ke dalam kelenjar susu agar dapat berfungsi normal. Mastitis dapat menyebabkan perubahan fisik, kimia, dan bakteriologi dalam susu serta perubahan patologi dalam jaringan glandula mammae. Perubahan yang terlihat dalam susu meliputi perubahan warna, terdapat gumpalan dan munculnya leukosit dalam jumlah besar (Hungerford, 1990). Mastitis dapat dibedakan menjadi klinis dan subklinis. Ciri klinis ditandai dengan gejala kemerahan pada ambing, bengkak dan hangat, sapi akan merasakan sakit apabila dipegang, susu biasanya pecah dan tercampur darah, sapi menjadi lesu serta nafsu makan berkurang. Mastitis subklinis memiliki gejala yang hampir sama namun agak ringan dan perubahan pada ambing tidak terlihat tetapi susu yang dihasilkan tetap rusak (Rompis et al., 1995). Mastitis klinis memiliki tanda-tanda yang dapat dilihat dengan mata biasa seperti puting yang terinfeksi terasa panas, bengkak dan

21 sensitif bila disentuh terutama pada saat proses pemerahan, susu yang abnormal seperti adanya lendir atau penggumpalan (Bath et al.,1985). Ilustrasi 2. Masuknya Bakteri Patogen ke dalam Ambing (Yulianti, 2013) Mastitis merupakan kasus yang sering dijumpai pada usaha peternakan sapi perah. Banyak hasil penelitian yang menunjukkan bahwa 80% sapi laktasi di Indonesia menderita mastitis subklinis (Sasono et al., 2011). Mastitis subklinis merupakan infeksi pada kelenjar susu tanpa terlihatnya perubahan kondisi fisik ambing atau dengan kata lain abnormalitas ambing seperti warna yang memerah, bengkak, muncul lendir serta lesi pada area sekitar puting tidak muncul sehingga seringkali tidak diketahui oleh peternak (Swartz, 2006). Sapi perah yang terserang mastitis akan berdampak pada penurunan produksi susu sehingga berdampak pada kerugian secara ekonomi. Kerugian ekonomi akibat dari mastitis diperkirakan 10% dari total nilai jual yang di produksi pada usaha peternakan sapi perah. Sekitar dua per tiga dari kerugian

22 disebabkan karena penurunan produksi susu pada sapi yang terinfeksi penyakit mastitis. Kerugian lainnya yang timbul akibat susu abnormal yang terbuang serta susu yang diperah dari sapi yang diobati dengan antibiotik, biaya pergantian sapi yang terinfeksi, turunnya nilai jual sapi yang diculling, biaya obat-obatan dan layanan kesehatan ternak serta tambahan biaya tenaga kerja dan terkadang mengakibatkan kematian (Effendi, 2007). 2.6. Uji Mastitis Uji California Mastitis Test (CMT) susu dari pemerahan pancaran kedua atau ketiga dari setiap puting lalu ditampung pada paddle. Setelah itu ditambahkan reagen CMT (1:1). Setelah ditambahkan reagen, paddle diputar perlahan-lahan secara sirkuler selama 10 15 detik dan dilihat perubahan pada larutan yaitu berupa pembentukan jel berwarna putih abu-abu dalam larutan berwarna ungu pada dasar paddle. Skor mastitis ditetapkan berdasarkan panduan tingkat mastitis (Taylor, 1992). Metode tersebut dianggap mempunyai kelebihan, antara lain mudah digunakan, cepat, memiliki kepekaan (sensitivity) dan kekhasan (specificity) yang tinggi. Selain itu juga dapat digunakan langsung di kandang oleh pemerah, tukang kandang, paramedis dan dokter hewan (Sudarwanto dan Sudarnika, 2008). Dengan meningkatnya rata-rata skor tingkat mastitis berdasarkan nilai California Mastitis Test maka rata-rata produksi susu juga semakin menurun, hal ini karena ambing sebagai tempat produksi susu mengalami peradangan sehingga menyebabkan ternak tersebut tidak nyaman dan mengakibatkan terjadinya gangguan pada produksi susu (Fajrin et al., 2013).

23 Lebih lanjut menurut Marshall et al. (1993) bahwa hasil test CMT dapat diinterpretasikan dan tersaji pada Tabel 1. Tabel 1. Interpretasi berdasarkan Skor CMT (Marshall et al., 1993) Skor CMT Jumlah Sel Somatik Deskripsi Skor N (Negatif) 0 200.000 Tidak terjadi pengentalan - T (Trace) 200.000 400.000 1 400.000 1.200.000 2 1.200.000 5.000.000 3 > 5.000.000 Sedikit pengentalan dan menghilang dalam 10 detik Terdapat pengendapan atau pengentalan tetapi jel belum terbentuk Mengental dan membentuk jel didasar paddle Terbentuk jel di seluruh sample dan menyebabkan permukaan menjadi cembung + ++ +++ ++++ CMT merupakan reaksi antara reagen yang mengandung arylsulfonate dengan DNA sel leukosit yang membentuk masa jel, sehingga kualitas aglutinasi atau konsistensi jel yang terjadi merupakan gambaran jumlah sel leukosit yang berada di dalam susu, akibat respon tubuh terhadap adanya infeksi bakteri. Semakin kental jel yang terbentuk maka sel leukosit yang ada dalam susupun semakin banyak (Surjowardojo et al., 2008).