2 HABITAT PEMIJAHAN IKAN T. sarasinorum DI DANAU MATANO

dokumen-dokumen yang mirip
3 SEBARAN SPASIAL-TEMPORAL IKAN T. sarasinorum DI DANAU MATANO

Deskripsi lokasi penelitian. Myrtaceae. Myrtaceae. Pohon sagu, kerikil 30%, tumbuhan rawa. batu besar 40%. Nephentes

METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Metode dan Desain Penelitian

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan

HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERUHAN PADA PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai. (Sosrodarsono et al., 1994 ; Dhahiyat, 2013).

TINJAUAN PUSTAKA. penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Selat Bali Bagian Selatan

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Kehidupan bergantung kepada air dalam berbagai bentuk. Air merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu :

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang. berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Komunitas vegetasi ini

2.2. Parameter Fisika dan Kimia Tempat Hidup Kualitas air terdiri dari keseluruhan faktor fisika, kimia, dan biologi yang mempengaruhi pemanfaatan

TINJAUAN PUSTAKA. kesatuan. Di dalam ekosistem perairan danau terdapat faktor-faktor abiotik dan

2.2. Struktur Komunitas

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhannya bertoleransi terhadap salinitas (Kusmana, 2003). Hutan mangrove

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Struktur Komunitas Makrozoobenthos

bio.unsoed.ac.id di alternatif usaha budidaya ikan air tawar. Pemeliharaan ikan di sungai memiliki BUDIDAYA IKAN DALAM KERAMBA DI PERAIRAN MENGALIR

BAB I PENDAHULUAN. sedangkan secara geografis Indonesia terletak di antara benua Asia dan Benua

bentos (Anwar, dkk., 1980).

EKOSISTEM. Yuni wibowo

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. bahasa Gorontalo yaitu Atiolo yang diartikan dalam bahasa Indonesia yakni

TINJAUAN PUSTAKA. Estuari oleh sejumlah peneliti disebut-kan sebagai area paling produktif,

I. PENDAHULUAN. Zooplankton adalah hewan berukuran mikro yang dapat bergerak lebih bebas di

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. Sungai merupakan suatu bentuk ekosistem akuatik yang mempunyai

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. yaitu mendapatkan makanan, suhu yang tepat untuk hidup, atau mendapatkan

Sungai berdasarkan keberadaan airnya dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yaitu (Reid, 1961):

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang dalam

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Air merupakan unsur penting bagi kehidupan makhluk hidup baik manusia,

I. PENDAHULUAN. penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai saluran air bagi daerah

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebabkan karena lingkungan air tawar memiliki beberapa kondisi, antara lain:

bio.unsoed.ac.id TELAAH PUSTAKA A. Morfologi dan Klasifikasi Ikan Brek

Gambar 1. Diagram TS

TINJAUAN PUSTAKA. Air merupakan zat yang paling penting dalam kehidupan setelah udara. Oleh

PENDAHULUAN. di darat maupun di laut. Kandungan bahan organik di darat mencerminkan

BAB 50. Pengantar Ekologi dan Biosfer. Suhu Suhu lingkungan. dalam pesebaran. membeku pada suhu dibawah 0 0 C,dan protein.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Sungai Tabir terletak di Kecamatan Tabir Kabupaten Merangin. Sungai Tabir

LAMPIRAN. Lampiran 1. Data Jumlah Curah Hujan (milimeter) di Stasiun Onan Runggu Periode Tahun

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

PENDUGAAN TINGKAT SEDIMEN DI DUA SUB DAS DENGAN PERSENTASE LUAS PENUTUPAN HUTAN YANG BERBEDA

V DINAMIKA ALIRAN BAWAH PERMUKAAN BERDASARKAN KERAGAMAN SPASIAL DAN TEMPORAL HIDROKIMIA

POLA DISTRIBUSI SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang khusus terdapat

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

KEANEKARAGAMAN PLANKTON PADA HUTAN MANGROVE DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH. Halidah

BAB I PENDAHULUAN. memonitor kualitas perairan (Leitão, 2012), melalui pemahaman terhadap siklus

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (2)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

MATERI KULIAH BIOLOGI FAK.PERTANIAN UPN V JATIM Dr. Ir.K.Srie Marhaeni J,M.Si

V. HASIL & PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya.

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. tahapan dalam stadia hidupnya (larva, juwana, dewasa). Estuari merupakan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Air sungai merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat vital bagi

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Pramuka I II III

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

3. METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Secara keseluruhan daerah tempat penelitian ini didominasi oleh Avicennia

PENDAHULUAN. dengan arus yang lambat atau bahkan tidak ada arus sama sekali. Waktu tinggal

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai. Secara ekologis sungai

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. ekologis yaitu untuk melakukan pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery

BAB I PENDAHULUAN. diperkirakan sekitar 25% aneka spesies di dunia berada di Indonesia. Indonesia

BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Spesies yang diperoleh pada saat penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN Habitat Ikan T. antoniae

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan yang disebut sumberdaya pesisir. Salah satu sumberdaya pesisir

LAMPIRAN. Lampiran 1. Data Jumlah Curah Hujan (milimeter) di Stasiun Onan Runggu Periode Tahun

I. PENDAHULUAN. pantai yang mempunyai arti strategis karena merupakan wilayah terjadinya

I. PENDAHULUAN. Ekosistem air tawar merupakan ekosistem dengan habitatnya yang sering digenangi

Transkripsi:

11 2 HABITAT PEMIJAHAN IKAN T. sarasinorum DI DANAU MATANO Pendahuluan Penelitian mengenai habitat pemijahan ikan air tawar endemik Sulawesi yang dikaitkan dengan preferensi arena pemijahan belum pernah dilakukan dan ini adalah penelitian pertama. Penelitian dilakukan di Danau Matano, salah satu danau tua di dunia yang terdapat di bagian tengah Pulau Sulawesi. Pulau Sulawesi merupakan pulau terbesar di kawasan Wallacea, yang merupakan habitat campuran dari fauna Asia dan Australia, serta menjadi arena evolusi berbagai fauna endemik. Keunikan flora fauna Sulawesi tidak terlepas dari sejarah geologinya; pertemuan daratan Asia dengan daratan Australia menyebabkan terjadinya perpindahan flora dan fauna dari kedua daratan tersebut. Oleh karena itu kekhasan ekosistem perairan umum dengan keanekaragaman fauna khasnya di Sulawesi tidak terlepas dari peristiwa sejarah terbentuknya Pulau Sulawesi. Whitten et al. (2002) mencatat 76% spesies ikan yang ditemukan di Sulawesi tidak ditemukan dimana pun di dunia. Danau Matano, Mahalona dan Towuti yang berada di bagian tengah Sulawesi merupakan salah satu tempat yang memiliki spesies ikan endemik. Ketiga danau ini berdekatan dan membentuk suatu sistem danau yang dikenal dengan sebutan Kompleks Danau-danau Malili. Ada dua danau lain yang termasuk dalam kompleks danau-danau ini yaitu danau Wawontoa dan Masapi. Danau Matano merupakan hulu dari rangkaian sistem kompleks danaudanau Malili. Walaupun ketiga danau ini dihubungkan oleh sistem aliran dari dua danau yang ada di hilirnya, namun danau ini terisolasi dari sistem hilir oleh rintangan fisik bagi penyebaran biota akuatik. Danau Matano diidentifikasi sebagai sumber utama kehadiran spesiesspesies endemik dalam kompleks danau-danau Malili (Hafner et al. 2001). Ikanikan endemik dari Danau Matano merupakan anggota dari famili ikan laut, dan diduga telah menguasai danau itu sejak awal kejadian danau. Saat ini tercatat ada empat famili ikan endemik yang menghuni Danau Matano yaitu: Telmatherinidae dengan sembilan anggota (T. sarasinorum, T. abendanoni, T. antoniae, T. opudi, T. obscura, T. wahjui, T. bonti dan T. albolabiosus), Gobiidae dengan empat

12 anggota (Glossogobius matanensis, G. intermedius, Mugilogobius adeia, M. latifrons), Adrianichthyidae, dan Hemirhamphidae masing-masing satu anggota yaitu Oryzias matanensis dan Dermogenys weberi (Tantu & Nilawati 2008). Menurut Soeroto (1997), mayoritas ikan air tawar Sulawesi adalah ikan sekunder, yaitu ikan yang mampu mentolerir kandungan garam; juga anggota dari famili ikan laut. Contoh ikan-ikan sekunder adalah Oriziidae dan Adrianichthyidae, sedangkan anggota dari famili ikan laut adalah Gobiidae, Eleotridae, Atherinidae dan Hemiramphidae. Kelompok Telmatherinidae merupakan kelompok yang memiliki anggota paling banyak yang menghuni Danau Matano, dan T. sarasinorum adalah salah satu jenis dominan yang menempati daerah litoral danau. Studi mengenai T. sarasinorum belum banyak dilakukan, secara spesifik misalnya Gray et al. (2006) mempelajari tingkah laku kawin dari ikan ini. Umumnya studi yang berkaitan dengan Telmatherinidae ditujukan pada aspek keragaman dan evolusi, radiasi adaptif, genetika populasi, pemeliharaan polimorfisme warna jantan, dan perbandingan tingkah laku kawin (Herder et al. 2006; Heath et al. 2006; Gray et al. 2006; Gray & McKinnon 2006; Nilawati & Tantu 2007; Tantu & Nilawati 2007; Tantu & Nilawati 2008). Belum ada penelitian yang secara khusus mempelajari habitat pemijahan ikan endemik di Danau Matano, dan penelitian ini merupakan penelitian pertama dengan obyek ikan T. sarasinorum. Penelitian ini menguraikan aspek habitat yang berkaitan dengan faktorfaktor fisik kimiawi perairan. Tujuan penelitian adalah menganalisis profil habitat pemijahan yang meliputi substrat pemijahan dan aspek fisik kimiawi perairan yang mendukung keberadaan strategi reproduksi. Diharapkan hasil penelitian ini dapat membantu upaya-upaya konservasi ikan dan habitatnya di Danau Matano. Bahan dan Metode Penelitian dilakukan di Danau Matano Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan pada batas wilayah geografis 02 25ʹ 00ʺ LS - 02 34ʹ 00ʺ LS dan 121 12ʹ 00ʺ - 121 29ʹ 00ʺ BT. Pengamatan di lapangan dilakukan pada bulan September 2008 Agustus 2009 pada 15 lokasi sampling (Gambar 1). Pengamatan di lokasi sampling dilakukan untuk menganalisis keadaan lingkungan lokasi sampling, seperti pemanfaatan lahan di sekitar danau, vegetasi yang ada di

13 pinggiran danau dan aktivitas masyarakat yang diduga bermakna bagi habitat ikan. Penilaian habitat pemijahan dilakukan melalui pengamatan bawah air dengan melakukan snorkeling untuk menentukan keadaan habitat dan substrat pemijahan. Habitat pemijahan ditentukan melalui penilaian adanya aktivitas pemijahan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok ikan dalam habitat spesifik. Gambaran utuh mengenai keadaan habitat diperoleh dengan mengukur parameter fisik kimiawi perairan secara in situ (suhu, oksigen terlarut, ph, kecerahan dan transparansi air) dan ex situ (padatan tersuspensi total dan padatan terlarut total). Penentuan lokasi pemijahan didasarkan pada hasil pengamatan bawah air oleh pengamat yang melakukan renang snorkeling dengan kecepatan lambat pada transek sepanjang 50 meter pada kedalaman antara 0,5 sampai dengan 2 meter sejajar garis pantai. Pengamat mengidentifikasi lokasi-lokasi yang secara khusus dijadikan sebagai arena pemijahan. Arena pemijahan didefinisikan sebagai area terbatas yang menjadi tempat berlangsungnya aktivitas kawin yang ditunjukkan oleh adanya pertunjukan pasangan jantan-betina, persaingan jantan-jantan untuk mendapatkan betina, aktivitas berpasangan, dan aktivitas kawin pasangan T. sarasinorum (Nilawati et al. 2010). Pengamat mencatat jumlah arena pemijahan yang terdapat dalam garis transek dan menilai persentase luas tutupan materi yang menyusun substrat pemijahan. Klasifikasi ukuran materi substrat mengikuti Wolman (1954) dalam Tabel 1. Tabel 1. Klasifikasi ukuran substrat Materi Kisaran ukuran (mm) Lumpur/lempung 0-0.06 Pasir halus 0.061-0.25 Pasir sedang 0.26-0.5 Pasir kasar 0.51-2 Kerikil 2-64 Batu bulat 65-256 Batu besar 257-4096 Batuan dasar >4096 Catatan: Komposisi substrat menurut Wolman (1954) Pengukuran kondisi fisik kimiawi perairan untuk suhu, oksigen terlarut dan ph dilakukan secara in-situ menggunakan Water Quality Checker Horiba. Pengukuran padatan tersuspensi total dan padatan terlarut total dilakukan di laboratorium. Sampel air dikoleksi di dalam botol sampel lalu diberi larutan

14 pengawet. Kecerahan diukur sebagai ukuran jarak pandang pengamat di dalam air terhadap benda berwarna putih berukuran 30 cm x 30 cm. Tinggi muka air danau dan curah hujan wilayah diperoleh berdasarkan data yang dikoleksi selama periode sampling dari stasiun pengamatan PT. INCO Sorowako. Analisis statistik Analisis keragaman satu arah dilakukan untuk menilai perbedaan antara parameter-parameter lingkungan yang diamati di dalam suatu lokasi dengan menggunakan fasilitas yang terdapat dalam perangkat lunak Minitab versi 14. Untuk mengetahui apakah terdapat korelasi di antara parameter-parameter lingkungan yang diukur dilakukan penghitungan koefisien korelasi Pearson r dengan alat bantu perangkat lunak Minitab 14. Nilai uji statistik r bisa positif atau negatif tetapi selalu terletak di antara -1 dan +1. Nilai mendekati +1 menunjukkan korelasi positif yang kuat, sedangkan nilai mendekati -1 menunjukkan korelasi negatif yang kuat. Nilai 0 menunjukkan kurangnya korelasi, walaupun hal ini juga dapat berarti bahwa terdapat suatu korelasi yang lebih kompleks (McCleery et al. 2007). Ket.: Gambar 1 Sketsa lokasi sampling di Danau Matano 1) S. Lawa, 2) Desa Matano, 3) Paku, 4) Sokoio, 5) Pantai Kupu-kupu, 6,13) Pantai Salonsa, 7) Pantai Old Camp, 8) S. Tanah Merah, 9,14) P. Otuno I, 10,15) P. Otuno II, 11) S. Petea, dan 12) S. Soluro

15 Hasil dan Pembahasan Deskripsi lokasi sampling Sebanyak 15 lokasi di daerah litoral Danau Matano dijadikan sebagai titik pengamatan. Kelima belas lokasi ini menyebar dari bagian barat danau sampai ke bagian timur danau. Secara spasial lokasi-lokasi ini dapat dikelompokkan ke dalam 3 zona yaitu: zona 1 adalah lokasi sampling yang terletak di bagian barat danau (S. Lawa, Pantai Desa Matano, Pantai Paku dan Pantai Sokoio), zona 2 di bagian tengah danau (Pantai Kupu-kupu, Pantai Salonsa I-A, Pantai Salonsa I-B, Pantai Old-Camp, dan Pantai S. Tanah Merah) dan zona 3 di bagian timur danau (P. Otuno I-A, P. Otuno I-B, P. Otuno II-A, P. Otuno II-B, Pantai Sungai Petea, dan Pantai Sungai Soluro). Masing-masing lokasi secara ringkas dideskripsikan sebagaimana ditampilkan pada Lampiran 1. Beberapa vegetasi yang ditemukan di lokasi adalah Myrtacea (Lampiran 2), pohon sagu, Nephentes, pohon mangga dan Pandanus sp. Gambar 2 Kontur dasar di kedua tipe arena pemijahan

16 Menurut kontur dasar perairan kelima belas lokasi penelitian ini memiliki dua bentuk kontur dasar yaitu, kontur dasar landai dan kontur dasar curam (Gambar 2). Kontur dasar landai umumnya memiliki substrat dasar batu-batuan dan pasir. Arena pemijahan Pengamatan bawah air berhasil mengidentifikasi adanya habitat spesifik yang digunakan oleh T. sarasinorum untuk melakukan aktivitas perkawinan. Habitat pemijahan spesifik ini dalam penelitian ini disebut sebagai arena pemijahan, yang didefinisikan sebagai tempat berlangsungnya peristiwa perkawinan atau pemijahan kelompok ikan T. sarasinorum. Terdapat dua tipe arena pemijahan T. sarasinorum di Danau Matano (Gambar 3). Pertama arena pemijahan yang terletak di dasar perairan dengan kontur dasar landai yang substrat dasarnya terdiri dari pasir dan kerikil yang berada di antara batuan, atau ruang berbentuk kolam-kolam pasir bercampur kerikil. Kedua arena perakaran, ranting atau batang pohon yang terendam di perairan. Gambar 3 Arena pemijahan T. sarasinorum: arena batu berpasir (atas) dan arena perakaran (bawah)

17 Sebuah arena dapat diidentifikasi dengan mengamati adanya peristiwa pemijahan yang ditandai oleh adanya rangkaian aktivitas kelompok ikan. Aktivitas itu berupa adanya beberapa ikan jantan yang sedang berusaha mendapatkan seekor betina yang ada di dalam arena pemijahan; adanya ikan betina yang berpasangan; serta ikan betina melakukan gerakan pelepasan telur dan dalam waktu yang hampir bersamaan ikan jantan melepaskan sperma yang ditandai oleh terlihatnya pasangan ikan jantan dan betina secara bersama-sama menekan abdomennya ke dasar substrat. Secara keseluruhan ada 15 lokasi sampling yang diamati dan di dalamnya ditemukan 24 arena pemijahan yang terdiri atas 19 arena pemijahan pada substrat dasar perairan dan 5 arena pemijahan di perakaran. Luas keseluruhan arena pemijahan yang diamati dalam lokasi sampling kurang lebih 90 m² (Tabel 2). Susunan substrat dasar perairan di arena pemijahan bervariasi mulai dari substrat halus lumpur sampai dengam substrat batuan dasar. Tidak semua lokasi sampling memiliki arena pemijahan. Pantai Sokoio dan Sungai Petea tidak memiliki arena pemijahan. Tidak adanya arena pemijahan di Pantai Sokoio diduga berkaitan dengan tutupan substrat yang didominasi oleh batu-batuan besar yang tidak memiliki jebakan pasir atau kolam-kolam pasir. Di sekitar S. Petea substrat dasar perairannya banyak mengandung lumpur. Penelitian ini juga berhasil mengidentifikasi bahwa arena pemijahan selalu berada di dekat tepian danau pada daerah bervegetasi pohon, dan berada dalam area bayang-bayang atau teduhan yang berasal dari pohon di tepi danau atau dari batu besar batuan dasar di dekatnya. Umumnya jarak arena dari tepian berkisar antara 2 10 m, dan kedalaman arena berkisar antara 0,30 3,00 m. Jumlah pasangan ikan yang berada di dalam arena berkisar antara 2 sampai 12 pasang. Umumnya arena perakaran memiliki jumlah pasangan ikan lebih banyak daripada arena batu berpasir. Menurut Vono & Barbosa (2001), kompleksitas struktur suatu habitat menentukan jumlah kehadiran ikan. Pemilihan arena dengan naungan dari bayang-bayang pohon atau batu besar di dalamnya mungkin berhubungan dengan strategi reproduksi ikan ini. Pada area yang mendapatkan bayang-bayang tersebut intensitas cahaya lebih rendah, telur-telur yang dilepaskan sulit kelihatan oleh predator telur T. sarasinorum dan atau

18 kompetitor pembuahan. Sejauh ini tidak ditemukan penelitian mengenai pengaruh bayangan pohon atau benda lain di dalam habitat pemijahan ikan terhadap preferensi habitat pemijahan di dalam sistem lain. Pemilihan tempat pelepasan telur (oviposition) dapat berdampak pada kelangsungan hidup keturunan (Smith et al. 2001). Tempat pelepasan telur dapat berbeda-beda kualitasnya. Pada spesies yang ikan jantannya melakukan pengasuhan terhadap anak, pemilihan pasangan oleh betina sering dipengaruhi oleh karakteristik posisi sarang, selain memperhatikan resiko predasi dan kondisi oksigen yang ada (Spence et al. 2007). Pemilihan tempat pelepasan telur adalah salah satu cara betina menjamin kelangsungan hidup anak. Seperti halnya ikan T. sarasinorum, ikan zebrafish betina adalah pemilih tempat pelepasan telur (Smith et al. 2001). Jadi jika ikan betina aktif memilih tempat pelepasan telur, ikan jantan bisa meningkatkan keberhasilan pemijahannya dengan mengamankan telur yang telah dibuahi. Hal ini tampak pada ikan T. sarasinorum; ikan jantan tampak berusaha menutupi telur yang telah dibuahinya dengan alga atau pasir. Dengan demikian usaha-usaha pemilihan tempat pelepasan telur dan perlindungan telur yang baru dilepaskan oleh ikan T. sarasinorum sesungguhnya adalah bentuk kepedulian induk (parental care). Ikan ini memijah pada substrat batu berpasir, dan tidak ditemukan memijah pada substrat belumpur. Hal ini merupakan strategi reproduksi ikan untuk menjamin kelangsungan keturunannya. Telur yang dilepaskan pada substrat berlumpur bisa tertutup lumpur dan tidak mendapat oksigen, sehingga telur mati. Sebaliknya, substrat kerikil memungkinkan air bersirkulasi melalui ruang-ruang antara sehingga telur-telur teroksigenasi. Selain itu telur yang dilepaskan di antara kerikil terlindung dari kanibalisme dan predasi. Ikan salmon mengubur telurtelurnya di dalam kerikil yang longgar dan banyak ikan cyprinid melepaskan telur secara bebas (egg-scattering) lebih suka memijah pada substrat kerikil (Shackle et al. 1999). Komposisi substrat dan kedalaman habitat merupakan penentu keberadaan ikan-ikan siklid di Danau Malawi (Genner et al. 2004). Habitat pemijahan ikan T sarasinorum sebagian besar tersebar di sisi selatan danau. Hal ini disebabkan bagian selatan Danau Matano mempunyai daerah litoral yang lebih

19 19 Tabel 2 Lokasi pengamatan, jumlah arena pemijahan dan deskripsi karakter substrat pemijahan No Lokasi Pengamatan Arena pemijahan Habitat 1/ Habitat 2 Jumlah arena (dalam transek) Luas arena (m 2 ) Jarak dari tepi danau (m) Kedalaman arena (m) Jumlah pasangan dalam arena Lumpur/ lempung Karakter substrat dan % tutupan pada arena Pasir Kerikil 1 S. Lawa Habitat 1 2 6 4,0-8,0 0,30-0,60 2-5 - 30 20 50 - - 2 Desa Matano Habitat 1 1 8 5,0-10,0 0,40-0,60 2-4 - 20 80 - - - 3 Paku Habitat 1 2 8 5,0-10,0 0,40-0,60 3-6 - 20 30 50 - - 4 Sokoio - - - - - - - - - 60 40-5 Pantai Kupu-kupu Habitat 1 3 8 5,0-6,0 0,30-0,65 4-6 - 20 20 60 - - 6 Pantai Salonsa-A Habitat 1 2 10 5,0-10,0 0,30-0,75 4-8 - 30 20 40 10-7 Old Camp Habitat 1 3 6 3,0-5,0 0,40-0,60 3-5 - 30 55 15 - - 8 S. Tanah Merah Habitat 1 1 10 3,0-5,0 0,40-0,60 2-5 - 40 40 20 - - 9 P. Otuno I-A Habitat 1 2 10 2,0-5,0 0,40-0,60 3-4 - 40 20 20 20-10 P. Otuno II-A Habitat 1 2 5 4,0-5,0 0,40-0,60 3-4 - 30 60 10 - - 11 S. Petea - - - - - - 50 30 20 - - - 12 S. Soluro Habitat 1 1 5 3,0-5,0 0,60-0,80 3-6 - 30 40 30 - - 13 Pantai Salonsa-B Habitat 2 1 4 2,0-3,0 0,30-0,60 2-4 - 30 40 30 - - 14 P. Otuno I-B Habitat 2 2 4 3,0-5,0 2,50-3,00 5-12 - - 30 70 - - 15 P. Otuno II-B Habitat 2 2 6 2,0-4,0 2,00-2,50 5-10 10 20 40-30 - Ket: Habitat 1 : Substrat dasar batu berpasir Habitat 2 : Substrat perakaran Batu bulat Batu besar Batuan dasar 19

20 lebar daripada bagian utara. Selain itu, pada sisi utara Danau Matano banyak terdapat batuan besar yang tidak disertai pasir. Sementara itu, vegetasi adalah gambaran umum dari habitat alami zebrafish (Spence et al. 2007). Larvae zebrafish mempunyai perlengkapan untuk melekat dan mampu menempel pada tumbuhan setelah menetas sampai pecahnya gelembung renang. Penjelasan adaptif untuk preferensi ini ditunjukkan dengan meningkatnya kelangsungan hidup telur-telur di dalam kerikil. Telur-telur yang diinkubasi di dalam kerikil menunjukkan kelangsungan hidup yang secara signifikan lebih tinggi daripada di dalam lumpur. Pengaruh ini mungkin karena telur-telur yang diinkubasi di dalam kerikil mengalami oksigenasi yang lebih baik dibandingkan dengan yang diinkubasi di dalam lumpur; di dalam lumpur telur mungkin menghadapi resiko lebih besar terhadap mati lemas/kekurangan nafas atau infeksi oleh mikroorganisme (Wootton 1990). Unsur oksigen sangat diperlukan untuk perkembangan embrio. Keuntungan lain dari kerikil sebagai substrat pemijahan adalah telur-telur jatuh di antara kerikil dan dengan demikian terlindung dari gangguan atau kanibalisme (Spence et al. 2007). Ikan T. sarasinorum yang memijah mencari daerah substrat yang lebih berpori berupa alga pada perakaran dan pasir. Pemilihan arena pemijahan di daerah yang ternaungi mungkin lebih berhubungan dengan kondisi intensitas cahaya yang lebih rendah (Goddard & Mathis 1997). Adanya preferensi tempat pemijahan demikian penting dalam menentukan manajemen habitat. Keadaan hidrologis dan parameter fisik kimiawi perairan Danau Matano Curah hujan dan fluktuasi muka air Curah hujan dan tinggi muka air danau berfluktuasi secara temporal (Gambar 4 dan Lampiran 3). Curah hujan dan fluktuasi muka air dalam satu tahun menunjukkan ketidak serasian, terutama pada periode bulan Mei sampai dengan Agustus. Data tersebut menunjukkan saat curah hujan menurun, tinggi muka air danau justru bergerak naik. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan April dan Mei masing-masing 14,78 mm dan 11,37 mm, dan terendah pada bulan Juni yaitu 2,98 mm.

21 Tinggi muka air danau jika dilihat mulai dari Februari Agustus 2009 tampak periode ini merupakan periode pengisian air danau. Hal ini karena pola yang terbentuk adalah peningkatan tinggi muka air secara terus-menerus tanpa fluktuasi mengikuti periode pola curah hujan. Puncak-puncak muka air danau tampaknya berada dalam periode bulan Agustus - Desember. Keadaan muka air terendah pada bulan Februari berada pada ketinggian 391,46 m dpl, sedangkan muka air tertinggi berada pada bulan September dengan ketinggian 392,65 m dpl. Gambar 4 memberikan informasi bahwa terdapat penurunan air yang terjadi sangat drastis pada periode bulan Desember - Januari dan titik terendahnya terjadi pada bulan Februari. Data ini menunjukkan bahwa tidak terjadi fluktuasi alami pada tinggi muka air danau. Data yang ditampilkan pada periode Desember, Januari dan Februari menunjukkan ada kegiatan pelepasan massa air Danau Matano. Pola tersebut dikhawatirkan akan mengganggu biota perairan yang memanfaatkan daerah litoral sebagai tempat bereproduksi. Hal ini disebabkan pada saat muka air terendah sebagian daerah litoral menjadi kering. Pada saat itu ikan berpindah ke daerah yang masih tergenangi air dengan kedalaman sekitar 0,50 m. Curah hujan (mm) 18,00 16,00 14,00 12,00 10,00 8,00 6,00 4,00 2,00 0,00 Curah hujan Tinggi muka air 392,80 392,60 392,40 392,20 392,00 391,80 391,60 391,40 391,20 391,00 Tinggi muka air (m dpl) Waktu Gambar 4 Curah hujan rata-rata harian wilayah dan tinggi muka air di Danau Matano selama penelitian

22 Fluktuasi muka air memengaruhi proses dan pola ekologis danau dalam beberapa hal (Wantzen et al. 2008). Pada tahun 2003 dibangun dam di S. Petea yang dimaksudkan untuk pengadaan listrik bagi keperluan industri. Dam tersebut selesai dibangun dan mulai beroperasi pada tahun 2005. Pada waktu pintu air dam ditutup, massa air Danau Matano meningkat. Daerah pinggir danau yang tergenang menjadi bertambah luas. Naiknya muka air menyebabkan daerahdaerah yang tadinya tidak tergenangi menjadi tergenang. Pada saat itu pinggiran danau mengalami abrasi yang menyebabkan tanah bagian atas turun ke perairan menutupi daerah litoral yang menjadi tempat hidup ikan. Sedimentasi ini dapat memengaruhi keberadaan ikan di daerah tersebut. Pada waktu pintu air di dam tersebut dibuka, massa air danau keluar menuju danau-danau di bagian hilir yaitu Danau Mahalona dan Towuti. Hal tersebut menyebabkan penurunan muka air secara tiba-tiba. Daerah-daerah litoral yang tadinya tergenang menjadi kering. Habitat pemijahan ikan asli danau itu yang umumnya terdapat di daerah litoral tiba-tiba menjadi kering. Telur-telur ikan yang baru dilepaskan diduga menjadi mati. Hal ini tentu berpengaruh terhadap keberadaan spesies ikan di habitatnya. Secara alami, pada waktu air surut daerah litoral yang biasanya mengering dimanfaatkan oleh organisme terestrial seperti serangga untuk menjalankan sebagian siklus hidupnya untuk bereproduksi. Daun-daun dari pinggiran danau yang jatuh ke daerah litoral mengering. Pada waktu muka air meningkat, daerah tersebut tergenang air dan daun-daun mengalami dekomposisi. Serangga di perairan dan hasil dekomposisi tumbuhan itu menjadi sumber makanan bagi ikanikan di Danau Matano. Tetapi perlu ditekankan bahwa fluktuasi muka air adalah pola alami yang dibutuhkan untuk kelangsungan hidup banyak spesies. Fluktuasi muka air alami di danau menjamin produktivitas dan biodiversitas. Hanya banjir dan kekeringan yang ekstrim dan yang bukan waktunya memberikan pengaruh berbahaya bagi biota. Pengaturan muka air danau untuk produksi listrik dan mengontrol banjir adalah sebagian dari pengaruh antropogenik utama dalam ekosistem akuatik boreal. Lebih dari 300 danau di Finlandia, yang merupakan sepertiga dari total

23 luas perairan daratan di negara itu, telah mengalami pengaturan oleh manusia (Aroviita & Hämäläinen 2008). Fluktuasi muka air yang diubah adalah sebagian dari pengaruh antropogenik besar di dalam ekosistem danau dan sungai. Konstruksi dam dan reservoir untuk produksi listrik tenaga air dan pengontrol banjir, pemindahan air untuk irigasi, bersama-sama dengan penggunaan air lainnya, telah mengubah rejim alami hidrologis perairan tawar di seluruh dunia. Bagian perairan yang terutama rentan terhadap perubahan muka air adalah zona litoral danau. Organisme di daerah litoral danau mungkin terpengaruh langsung oleh kekeringan, dan terpengaruh tidak langsung oleh berkurangnya ketersediaan habitat dan sumber-sumber makanan. Banyak faktor abiotik terutama di zona litoral danau-danau besar, yang dapat memengaruhi interaksi biotik pada berbagai kedalaman air: tekanan hidrolik pada organisme yang disebabkan oleh aksi gelombang lebih rendah di perairan yang lebih dalam (Baumgärtner et al. 2008). Stabilitas habitat, ukuran partikel substrat dan tempat berlindung makroavertebrata berubah dengan kedalaman air. Sampainya cahaya dan spektrum cahaya menjadi lebih sempit dengan kedalaman, dan komunitas alga epilitik sumber makanan bagi peramban berubah. Suhu dan kisaran suhu harian bervariasi bergantung pada kedalaman air dan musim. Fluktuasi muka air jangka panjang berhubungan dengan pergeseran garis pantai yang besar, oleh karena itu dampak utama fluktuasi muka air jangka panjang terhadap ekositem danau adalah perubahan habitat (Hofmann et al. 2008). Fluktuasi muka air jangka panjang membanjiri/menggenangi daerah pinggiran yang sebelumnya kering atau permukaan sedimen di bawah permukaan air yang terpapar pada atmosfir. Jadi, fluktuasi muka air jangka panjang berperan dalam pemilihan spesies sessil yang beradaptasi pada kondisi kering atau basah. Selain itu, fluktuasi muka air jangka panjang menghasilkan suatu perubahan sifat permukaan sedimen di zona litoral, karena ukuran butiran di wilayah pantai tidak tersebar secara homogen tetapi berubah dari besar ke kecil menuju wilayah yang lebih dalam di danau. Daerah yang terutama dipengaruhi oleh fluktuasi muka air jangka pendek adalah zona litoral danau yang dangkal, bahkan sekalipun ketinggian gelombang kecil. Zona litoral sangat penting bagi seluruh ekosistem karena daerah ini

24 ditandai oleh tingginya keragaman dan kelimpahan spesies dan penting untuk reproduksi dan siklus hidup banyak spesies ikan. Fluktuasi muka air dan curah hujan tampak tidak memengaruhi jumlah ikan T. sarasinorum di habitatnya (Bab 3). Kondisi berbeda dapat dilihat pada pemijahan ikan; puncak pemijahan ikan tampak dipengaruhi oleh fluktuasi muka air dan curah hujan (Bab 4). Dinamika karakteristik fisik kimiawi perairan Perairan Danau Matano memiliki karakteristik sifat fisik kimiawi perairan yang unik. Mengingat proses kejadiannya, serta sebagai salah satu danau tertua dan terdalam kedelapan di dunia yang dihuni oleh relatif banyak organisme akuatik endemik tentu mempunyai kualitas perairan yang menarik. Dibandingkan dengan danau-danau tua dunia, kondisi danau saat ini relatif masih lebih baik. Tetapi berdasarkan pengukuran kondisi air (Tabel 3) tampak bahwa perairan danau tidak terlepas dari pengaruh berbagai aktivitas yang ada di sekelilingnya. Tabel 3 Kisaran parameter fisik kimiawi perairan pada setiap lokasi sampling di Danau Matano Lokasi sampling Suhu (ºC) Parameter fisik Kecerahan (m) Oksigen terlarut (mg/l) Parameter kimiawi Padatan ph tersuspensi total (mg/l) Padatan terlarut total (mg/l) S. Lawa 26,70-29,20 10,20-18,30 5,88-7,43 8,48-8,77 0,50-2,40 80,00-130,00 Ds. Matano 27,80-29,50 11,30-20,30 5,42-6,94 8,45-8,75 0,40-1,60 84,00-134,00 Paku 27,30-29,30 10,00-19,20 5,02-6,93 8,54-8,75 0,30-3,90 80,00-130,00 Sokoio 27,40-30,80 12,25-18,30 5,46-7,22 8,55-8,75 0,40-1,50 80,00-132,00 Pt. Kupu-kupu 28,80-29,80 13,35-18,55 5,18-6,36 8,35-8,79 0,30-1,50 80,00-134,00 Pt. Salonsa-A 28,20-30,00 12,40-17,00 5,22-6,93 8,43-8,74 0,40-2,40 70,00-146,00 Old Camp 28,50-30,20 14,10-21,10 5,02-6,93 8,52-8,79 0,40-1,20 80,00-143,00 S. Tanah Merah 28,30-30,50 13,40-18,45 5,02-6,93 8,47-8,87 0,40-1,50 100,00-134,00 P. Otuno I-A 28,50-30,00 12,10-19,40 5,65-7,45 8,34-8,68 0,70-2,60 90,00-144,00 P. Otuno II-A 29,30-30,40 14,10-18,25 5,02-6,93 8,34-8,68 0,30-2,10 80,00-132,00 S. Petea 28,40-30,40 8,60-13,10 5,77-7,23 8,48-8,65 0,60-2,60 100,00-140,00 S. Soluro 27,30-29,50 13,10-17,20 4,93-6,93 8,34-8,82 0,40-1,40 100,00-154,00 Pt. Salonsa-B 28,00-29,40 12,40-17,00 5,67-6,53 8,22-8,68 0,40-2,40 70,00-146,00 P. Otuno I-B 28,33-30,00 14,00-19,80 5,60-7,35 8,25-8,64 0,70-2,60 90,00-145,00 P. Otuno II-B 29,10-30,08 15,25-19,55 5,22-6,88 8,22-8,66 0,20-1,80 84,00-121,00 Selama periode sampling kisaran suhu perairan adalah 26,70-30,80 0 C; kecerahan perairan 8,60 21,10 m; oksigen terlarut 4,93 7,45 mg l -1 ; ph 8,22

25 8,87; padatan tersuspensi total 0,20-3,90 mg l -1 ; dan padatan terlarut total 70 154 mg l -1. Secara spasial terdapat perbedaan nilai hasil pengukuran parameter fisik kimiawi antara lokasi sampling (Tabel 3). Berdasarkan Tabel 3 dan hasil uji rata-rata one way Anova dapat dideskripsikan dinamika parameter fisik kimiawi perairan berikut ini (Gambar 5). Gambar 5 Fluktuasi parameter fisik kimiawi perairan secara spasial di Danau Matano Suhu perairan di lokasi sampling S. Lawa selama periode sampling (26,70 29,20 0 C) merupakan suhu terendah dibandingkan dengan suhu di lokasi sampling lain kecuali pada bulan November, Februari, Maret, April, Juni dan Agustus.

26 Sungai Lawa merupakan sungai utama yang mengalirkan air masuk ke dalam danau. Lokasi sampling di S. Lawa mempunyai naungan dari pohon di pinggiran danau. Keadaan suhu perairan menurut lokasi sampling menunjukkan adanya perbedaan nyata rata-rata nilai pengukuran suhu di antara lokasi sampling. Suhu terendah berada di S. Lawa (28,08 0 C) dan tertinggi di P. Otuno II-A (29,86 0 C). Walaupun suhu air di S. Lawa merupakan suhu air terendah dibandingkan dengan suhu air di lokasi-lokasi lain di Danau Matano, hasil uji statistik one way Anova menunjukkan tidak berbeda nyata dengan suhu air di Desa Matano, Pantai Paku dan S. Soluro. Daerah S. Lawa, Desa Matano dan Pantai Paku terletak di bagian hulu danau, sedangkan lokasi sampling di S. Soluro terletak dekat dengan sumber air masuk Danau Matano. Jika dilihat menurut zona, maka tampak bahwa suhu rata-rata perairan di lokasi-lokasi penelitian dalam zona 1 memiliki nilai lebih rendah daripada dua zona yang ada di bagian hilir. Tampak bahwa semakin ke bagian timur danau suhu rata-rata relatif semakin tinggi. Penelitian yang dilakukan oleh Haffner et al. (2001) menemukan bahwa secara vertikal suhu permukaan berkisar antara 27,53 0 C 29,06 0 C, dan suhu permukaan dengan suhu pada kedalaman 40 meter hanya memiliki selisih 0,03 0 C (27,53 C di permukaan dan 27,56 0 C untuk pengukuran pukul 09.00). Pengukuran pada waktu menjelang sore hari (pukul 15.00) suhu di permukaan lebih tinggi 1,47 0 C daripada keadaan suhu pada kedalaman 20 m (29,06 0 C di permukaan dan 27,59 0 C di kedalaman 20 m). Menurut Haffner et al. (2001), perairan Danau Matano mengalami percampuran secara vertikal, dan terjadi proses penghangatan secara vertikal setiap hari. Perbandingan kandungan oksigen terlarut rata-rata di antara lokasi-lokasi menunjukkan bahwa S. Lawa memiliki oksigen terlarut tertinggi (5,88 7,43 mg l -1 ). Oksigen terlarut di S. Lawa ini paling tinggi dibandingkan dengan oksigen terlarut di lokasi-lokasi lain di Danau Matano. Hal ini mungkin disebabkan lokasi sampling di daerah ini berada di daerah aliran masuk (inlet) danau dan pengaruh kecepatan arus air yang datang; air lebih bergolak dan air yang lebih sejuk dapat menahan lebih banyak oksigen. Oksigen terlarut rata-rata terendah berada di S.

27 Soluro (5,76 mg l -1 ± 0,56), berbeda nyata dengan oksigen terlarut rata-rata di S. Lawa, P. Otuno I-A, S. Petea, dan P. Otuno I-B. Secara keseluruhan nilai ph perairan di lokasi-lokasi sampling tidak bervariasi lebar, dan tidak ada perbedaan yang nyata. Walaupun demikian, nilai ph air tertinggi ditemukan di lokasi S. Tanah Merah yaitu 8,87 pada bulan Juni. Nilai ph air terendah ditemukan di Pantai Salonsa B (8,22) pada bulan September, dan di P. Otuno II-B (8,22) pada bulan Januari. Berdasarkan pengamatan di bagian hulu S. Lawa terdapat penebangan kayu dan pengambilan rotan yang dilakukan oleh penduduk sekitar danau. Nilai ph di lokasi sampling S. Lawa masih berada dalam kisaran basa dan tidak berbeda jauh dengan kisaran ph di lokasi lain, sehingga diduga aktivitas penduduk tersebut tidak berpengaruh terhadap nilai ph perairan setempat; diamati bahwa penduduk tidak membuang sisa gergajian ke dalam perairan. Kisaran ph perairan Danau Matano berada dalam kisaran basa. Hal ini berkaitan dengan proses kejadian danau; Danau Matano merupakan perairan laut yang terperangkap saat pembentukan pulau Sulawesi. Daerah ini merupakan daerah karst. Batuan yang terdapat di dasar perairan dilapisi antara lain batuan kapur - terutama kalsium karbonat dari cangkang hewan (Whitten et al. 2002). Nilai padatan tersuspensi total rata-rata antar lokasi sampling secara statistik tidak berbeda nyata. Padatan tersuspensi total rata-rata antar lokasi berkisar antara 0,71 1,35 mg l -1. Padatan tersuspensi total rata-rata relatif tinggi di S. Petea. Padatan tersuspensi total rata-rata antar lokasi menunjukkan beda nyata antar lokasi. Padatan tersuspensi total rata-rata tertinggi ditemukan di S. Petea (126,00 mg l -1 ± 13,58). Kandungan padatan tersuspensi total rata-rata di S. Petea berbeda nyata dengan di Pantai Kupu-kupu, Pantai Salonsa-A, P. Otuno II-A, dan Pantai Salonsa-B. Padatan tersuspensi total dan padatan terlarut total di daerah S. Petea paling tinggi dibandingkan dengan yang terdapat di lokasi-lokasi pengamatan lain. Hal ini mungkin berhubungan dengan letak S. Petea di bagian timur danau, tepatnya pada out-let danau. Kecerahan perairan rata-rata di P. Salonsa-A dan P. Salonsa-B adalah 15,021 m (± 1,251). Kecerahan perairan rata-rata di kedua lokasi ini berbeda nyata dengan di S. Petea. Kecerahan tampak memengaruhi jarak visual ikan yang

28 berkaitan dengan aktivitas ikan dalam mencari makan dan pemijahan. Ikan-ikan di S. Petea tidak menggunakan daerah ini sebagai lokasi memijah karena tidak terdapat habitat untuk memijah di lokasi ini. Kecerahan paling rendah di S. Petea (8,60 13,10 m) karena sungai ini merupakan out-let danau; semua materi yang keluar danau harus melalui sungai ini. Sungai ini berarus kuat yang dapat membawa materi keluar danau. Lokasi pemijahan ikan di S. Lawa yang kandungan oksigen terlarutnya tinggi mempunyai ikan-ikan yang panjang bakunya paling tinggi dibandingkan dengan lokasi lain. Hal sebaliknya tampak di lokasi S. Petea yang mempunyai ikan-ikan dengan panjang baku yang rendah. Oksigen terlarut di S. Petea paling rendah dibandingkan dengan lokasi lain. Dalam kasus ini diduga oksigen berperan dalam proses pertumbuhan ikan. Menurut Tom (1998), oksigen penting dalam proses respirasi dan metabolisme ikan. Laju metabolisme dipengaruhi oleh konsentrasi oksigen di dalam air. Jika konsentrasi oksigen terlarut menurun, aktivitas respirasi dan makan juga berkurang. Akibatnya laju pertumbuhan menurun dan kemungkinan serangan penyakit meningkat. Tabel 4 Kisaran parameter fisik kimiawi perairan pada setiap bulan di Danau Matano Bulan Parameter fisik Suhu (ºC) Kecerahan (m) Oksigen terlarut (mg/l) Parameter kimiawi ph Padatan tersuspensi total (mg/l) Padatan terlarut total (mg/l) Sep '08 27,50-30,10 10,60-16,00 5,65-6,94 8,22-8,82 0,30-3,90 84,00-146,00 Okt '08 26,80-30,08 9,85-21,10 5,65-7,22 8,36-8,79 0,40-2,40 80,00-125,00 Nov '08 28,30-30,30 9,45-19,15 5,46-6,93 8,33-8,74 0,40-2,40 80,00-133,00 Des '08 27,60-30,20 11,75-16,50 5,18-7,22 8,29-8,67 0,40-2,40 80,00-140,00 Jan '09 26,70-30,50 10,20-18,55 5,18-7,45 8,22-8,78 0,50-1,50 90,00-138,00 Feb '09 28,00-30,20 12,40-20,30 4,93-6,75 8,35-8,58 0,40-2,60 80,00-140,00 Mar '09 27,40-30,30 10,35-17,00 5,02-7,02 8,34-8,79 0,40-2,10 80,00-134,00 Apr '09 27,30-29,60 8,60-19,80 5,02-7,03 8,25-8,72 0,40-2,10 70,00-134,00 Mei '09 28,30-30,20 12,10-19,00 5,43-7,23 8,44-8,75 0,20-1,10 80,00-154,00 Jun '09 27,30-30,30 10,50-17,10 5,22-6,93 8,54-8,87 0,40-1,50 90,00-132,00 Jul '09 27,70-30,80 11,10-18,40 5,35-7,43 8,54-8,72 0,50-1,40 90,00-143,00 Agu '09 28,40-30,30 10,15-19,35 5,02-7,35 8,49-8,75 0,40-2,10 80,00-145,00 Keadaan fisik kimiawi perairan selama periode sampling berfluktuasi dinamis menurut waktu sampling. Fluktuasi parameter fisik kimiawi perairan

29 secara temporal disajikan dalam Tabel 4 dan Gambar 6, dan dideskripsikan sebagai berikut. Gambar 6 Fluktuasi parameter fisik kimiawi perairan secara temporal di Danau Matano Suhu perairan terendah tercatat pada bulan Januari (26,70 0 C) di S. Lawa, dan tertinggi pada bulan Juli (30,80 0 C) di Sokoio. Nilai suhu yang terukur dipengaruhi oleh waktu pengukuran, kondisi naungan di lokasi dan kondisi substrat. Suhu tinggi di perairan Sokoio kemungkinan dipengaruhi oleh dindingdinding batuan yang menyusun pinggiran danau. Batuan menyerap panas yang kemudian dipantulkan yang antara lain menyebabkan perairan di sekitarnya

30 menjadi lebih hangat. Selain itu di lokasi sampling tidak terdapat naungan; daerah ini merupakan daerah perairan terbuka. Uji rata-rata dengan menggunakan one way Anova dengan fasilitas Minitab versi 14 pada tingkat kepercayaan 95% diperoleh hasil beda nyata antar waktu sampling (p < 0,05). Suhu pada bulan September 2008 berbeda nyata dengan suhu bulan November 2008, Januari 2009, Juli 2009 dan Agustus 2009. Sementara itu suhu bulan Juli 2009 berbeda nyata dengan suhu rata-rata bulan September 2008, Oktober 2008 dan Maret 2009. Kandungan oksigen terlarut rata-rata perairan dengan nilai terendah pada bulan Juni 2009 yaitu 6,29 mg l -1 (± 0,58) dan tertinggi pada bulan Mei 2009 yaitu 6,37 mg l -1 (± 0,57). Oksigen terlarut rata-rata selama waktu penelitian September 2008 Agustus 2009 tidak berbeda nyata antar waktu sampling. Nilai ph perairan danau terendah pada bulan September dan Januari yaitu 8,22 dan tertinggi pada bulan Juni 2009 yaitu 8,87. Nilai ph perairan relatif tidak bervariasi jauh antar bulan selama penelitian. Kandungan padatan tersuspensi total rata-rata perairan danau terendah pada bulan Mei 2009 yaitu 0,59 mg l -1 (± 0,24) dan tertinggi pada bulan September 2008 yaitu 1,27 mg l -1 (± 1,02). Padatan tersuspensi total rata-rata bulan Mei 2009 berbeda nyata dengan kandungan rata-rata bulan September dan Oktober 2008. Kandungan padatan terlarut total rata-rata adalah terendah pada bulan Februari 2009 yaitu 100,20 mg l -1 (± 19,50) dan tertinggi pada bulan Juni 2009 yaitu 118,13 mg l -1 (± 15,25). Padatan terlarut total rata-rata setiap bulan selama penelitian tidak berbeda nyata. Kecerahan perairan rata-rata di Danau Matano terendah pada bulan Juni 2009 yaitu 14,56 m (± 1,67) dan tertinggi pada bulan Februari 2009 yaitu 16,91 m (± 2,18). Kecerahan perairan rata-rata bulan Februari 2009 berbeda nyata dengan kecerahan perairan rata-rata bulan Agustus 2009. Penetrasi cahaya di danau dikontrol oleh sedimen-sedimen tersuspensi dari aliran-aliran sungai dan hamparan danau oleh kelimpahan fitoplankton yang mengabsorpsi cahaya untuk fotosintesis (Anderson 1996). Danau Matano diketahui sebagai danau yang perairannya jernih. Nilai pengukuran bahan tersuspensi dan terlarut total relatif rendah sehingga tidak sampai menyebabkan perairan di arena pemijahan keruh.

Tingkat kesamaan (%) 31 Puncak musim pemijahan ikan T. sarasinorum terjadi pada akhir musim kemarau dan awal musim hujan (Bab 4). Pada waktu-waktu tersebut suhu cenderung meningkat menjadi lebih hangat daripada bulan-bulan sebelumnya. Dendrogram Single Linkage; Correlation Coefficient Distance 65,54 77,03 85,00 88,51 100,00 S. Lawa Pantai Kupu-kupu Paku Pantai Salonsa-A P. Otuno I-B Desa Matano Old Camp P. Otuno II-A S. Tanah Merah Lokasi S. Soluro Pantai Salonsa-B P. Otuno I-A P. Otuno II-B Sokoio S. Petea Gambar 7 Pengelompokan habitat pemijahan ikan T. sarasinorum di Danau Matano Kondisi fisik kimiawi perairan di semua lokasi sampling tidak bervariasi jauh, sehingga pengelompokan lokasi sampling dilakukan berdasarkan tingkat kesamaan karakter substrat, luas arena pemijahan, jarak dari tepian danau dan kedalaman arena di masing-masing lokasi (Gambar 7). Hasil pengelompokan lokasi diperoleh tiga kelompok lokasi yang memiliki kesamaan karakter substrat pada selang kepercayaan 85%. Kelompok pertama (S. Lawa, Desa Matano, Paku, Pantai Kupu-kupu, Pantai Salonsa A, Pantai Salonsa B, Old Camp, S. Tanah Merah, P. Otuno I-A, P. Otuno I-B, P. Otuno II-A, P. Otuno II-B, S. Soluro), kelompok kedua (Sokoio), dan kelompok ketiga (S. Petea). Kualitas perairan di lokasi-lokasi tersebut tidak berbeda jauh. Gambar 7 menunjukkan bahwa kesamaan lokasi-lokasi di dalam suatu kelompok lebih banyak ditentukan oleh kondisi substrat habitat pemijahan. Kelompok pertama mempunyai substrat dasar yang disukai oleh ikan untuk pemijahan. Kelompok pertama ini mencakup dua tipe arena pemijahan ikan. Sementara lokasi dalam kelompok kedua mempunyai substrat yang terdiri dari

32 batu besar dengan dinding batuan dasar. Lokasi dalam kelompok kedua ini tidak mempunyai pasir; sehingga tidak ada arena pemijahan ikan. Kelompok ketiga mempunyai substrat dasar dengan kandungan lumpur tinggi, dan tidak terdapar arena pemijahan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa substrat dasar di lokasi menentukan perbedaan setiap lokasi. Efektivitas percampuran vertikal di dalam kolom air juga dikonfirmasi terjadi pada ph dalam kisaran basa (7,4) dan konduktivitas tidak berubah menurut kedalaman (Haffner et al. 2001). Jumlah fitoplankton sangat kecil (< 10 sel ml -1 ) dan kelimpahan spesies tidak berubah di dalam kolom air. Kedalaman eufotik adalah 40 m dan 32 m pada tahun 1993 dan 1995. Apabila sel-sel fitoplankton tercampur merata di dalam zona eufotik adalah mungkin bahwa percampuran vertikal membatasi produksi ototrofik. Tetapi pengamatan mikroskopis menunjukkan bahwa detritus C lebih berlimpah daripada biomassa alga, sehingga adalah mungkin bahwa jaring makanan Danau Matano disebabkan oleh masukan detritus organik yang berasal dari sekeliling danau. Profil oksigen menunjukkan profil fotosintesis lemah hingga ke bawah kirakira 40 m, dan setelah kedalaman itu oksigen berkurang hingga di bawah 1% kejenuhan. Danau Matano adalah oligotrofik dalam hal jumlah total nitrogen dan total fosfor di atas 100 m dari kolom air. Konsentrasi nitrogen dan fosfor sangat rendah dan sering tidak terdeteksi. Tingginya kecerahan perairan menunjukkan sistem dengan sangat sedikit bahan biotik dan abiotik tersuspensi. Profil oksigen menunjukkan kurva fotosintetik yang meluas ke bawah hingga 40 m, sama dengan prediksi kedalaman eufotik (Crowe et al. 2008). Setelah 40 m konsentrasi oksigen berkurang; penurunan ini merupakan respon terhadap laju respirasi mikroba yang tinggi yang berhubungan dengan metabolisme bahan organik yang mengalami sedimentasi. Di bawah 100 m terdapat gradien suhu/kimia yang tetap yang menunjukkan bahwa Danau Matano dapat didefinisikan sebagai meromiktik (Crowe et al. 2008), dengan sangat sedikit pertukaran kimiawi antara perairan bagian atas dan bawah. Struktur demikian menyumbang secara signifikan pada hilangnya nutrien secara terus-menerus dari epilimnion melalui sedimentasi bahan planktonis.

33 Selain itu, sel-sel alga yang tertinggal kecil kemungkinannya untuk kembali ke lapisan epilimnion. Faktor-faktor fisik seperti ketersediaan cahaya dan percampuran bukan merupakan faktor pembatas, walaupun sedikit pertukaran nutrien melalui lapisan termal yang dalam bisa berperan penting. Sedimentasi bahan biologis dan geologis dapat secara terus-menerus menurunkan cadangan nutrien pada permukaan air bagian atas. Hampir semua jenis aktivitas (pertanian, urbanisasi, komunikasi, pertambangan, industri) menyebabkan peningkatan materi tersuspensi di permukaan perairan, terutama disebabkan oleh deforestasi (Meybeck et al. 1989). Salah satunya adalah perubahan siklus hidrologis yang mengubah intensitas dan kemampuan percampuran badan air dan keseimbangan hidrologis. Namun demikian hasil pengukuran parameter kualitas air di lokasi-lokasi sampling menunjukkan tidak terdapat perubahan nilai yang mencolok antar bulan. Dengan demikian dapat dipandang bahwa kualitas perairan saat ini tidak menyebabkan perubahan keberadaan ikan; jumlah ikan pada setiap bulan sampling tidak banyak bervariasi (Bab 3). Kesimpulan Habitat pemijahan ikan T. sarasinorum tersebar di sepanjang daerah litoral danau. Terdapat dua tipe habitat pemijahan dalam penelitian ini yaitu habitat batu berpasir dan habitat perakaran. Dari 12 lokasi penelitian ditemukan tiga lokasi yang mempunyai dua tipe habitat pemijahan (habitat batu berpasir dan habitat perakaran) yaitu Pantai Salonsa, P. Otuno I, dan P. Otuno II. Lokasi lainnya hanya memiliki satu tipe habitat, yaitu habitat batu berpasir. Tempat pemijahan pada setiap habitat berbentuk arena. Arena ini secara spesifik berada pada daerah yang mendapat naungan bayang-bayang yang berasal dari pohon di tepian danau dan atau dari batu-batu besar yang ada di sekitarnya. Ikan-ikan yang memijah di arena batu berpasir meletakkan telur di antara pasir, sedangkan ikan yang memijah di arena perakaran meletakkan telur pada alga atau sponge air tawar yang menyelimuti perakaran atau batang pohon yang tumbang di dalam air.

34 Parameter fisik kimiawi perairan selama penelitian bervariasi sempit. Kisaran suhu perairan adalah 26,70-30,80 0 C; kecerahan perairan 8,60 21,10 m; oksigen terlarut 4,93 7,45 mg l -1 ; ph 8,22 8,87; padatan tersuspensi total 0,20-3,90 mg l -1 ; dan padatan terlarut total 70 154 mg l -1. Aktivitas manusia di sekeliling danau belum menyebabkan perubahan kualitas air hingga saat ini.