BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Praktik poligami dalam bentuk tindakan-tindakan seksual pada perempuan dan keluarga dekatnya telah lama terjadi dan menjadi tradisi masyarakat tertentu di belahan dunia. Kemudian praktik ini, dalam perjalanan historisnya, dipersoalkan oleh pemeluk agama, serta bagaimana agama menolak segala bentuk kekerasan, pemerkosaan, seks bebas yang berlangsung dalam kehidupan masyarakat. Kekerasan menimbulkan pihak-pihak teraniaya, seperti halnya praktik poligami hadir dalam berbagai kepentingan, dan situasi yang sangat pragmatis (Ali Engineer, 1999). Hal ini, dibuktikan melalui representasi solidaritas pemeluk Islam dan Koptik dalam menolong dan melindungi korban kekerasan seksual dan eksploitasi atas tubuh perempuan. Kehormatan kaum laki-laki dan perempuan dalam menjaga hubungan seksual menjadi essensial dan menjadi basis perjuangan pemeluk agama. Pertentangan ideologi kekerasan dan anti kekerasan (solidaritas) merupakan temuan kontestasi dalam wacana relasi keluarga dan sosial. Ideologi kekerasan ini merupakan representasi ideologi kapitalisme, yang mana setiap individu dianggap sebagai alat yang dapat dimanfaatkan oleh pengguna yang memiliki kekuatan modal. Penguasa modal merupakan kelas atas yang mendominasi budaya masyarakat luas (Bourdieu, 1998). Selanjutnya, ideologi 365
366 anti kekerasan direpresentasikan melalui rasa empati dan pemberian proteksi kepada korban kekerasan terhadap perempuan. Selanjutnya, strategi pengarang menggunakan dialog antar agama, yaitu Islam dan Koptik, yang akan memproduksi pola hubungan saling rasa simpati, dan sekaligus membingkai gagasan poligami. Wacana kebolehan pemukulan kepada istri tidak lepas juga dengan wacana poligami dalam Islam. Kedua wacana ini kontrovesi baik di dunia Barat maupun di dunia Islam sendiri, yaitu kelompok pemikiran konservatif dengan kelompok muslim modernis. Wacana pemukulan ini tampak sekali tetap pada kerangka kebolehan, walaupun tetap merujuk pada pembatasan dan menonjolkan perlakuaan baik kepada perempuan. Dalam konteks ini, wacana pemukulan kepada istri dan poligami menjadi benang merah ideologi patriarki dominan dalam produksi teks Ayat-Ayat Cinta. Persoalan modalitas yang dimiliki oleh perempuan akan berpengaruh kepada relasi politiknya. Oleh karenanya, perempuan aktif akan berubah atas variabel kekuasaan ekonomi dan budaya, bukan pada jenis kelamin sebagai acuan dasarnya, tetapi lebih ditonjolkan pada aspek filosofi perempuan. Gagasan pengarang tentang relasi perempuan kelas sosial atas memproduksi posisi lakilaki subordinat karena laki-laki tidak memiliki kemampuan modalitas ekonomi ketika mendapatkan tawaran untuk menikah dengan perempuan kaya raya. Situasi ini menjadikan perempuan dominan atas laki-laki. Sikap pengarang ini sangat jelas berkeinginan menempatkan gagasan kepemimpinan konservatif
367 sebagai basis produksi teks novel Ayat-Ayat Cinta dan melakukan counter gagasan kepemimpinan yang dikembangkan oleh pemikiran muslim feminis, yang mempertanyakan relasi perempuan dan laki-laki dalam Islam. Muslim feminis berpandangan, bahwa al-qur an berpihak pada pemberdayaan kaum lemah, yang termasuk di dalamnya adalah perempuan, sebagaimana diungkapkan oleh Wadud (1999), Barlas (2003), Abu Zayd (2003),dan Engineer (1999) spirit al-qur an adalah kesetaraan dan keinginan ideologisnya, berupa pemberdayaan perempuan. Persimpangan issu kelas sosial dan gender atas filosofi alon-alon asal kelakon dijadikan alasan sikap hidup yang menyebabkan kegagalan untuk menyampaikan keinginan rasa cintanya, merupakan bentuk dominasi laki-laki di satu sisi, sedangkan pada sisi yang lain ia terdominasi karena struktur keyakinan keagaman melalui mediator institusi keluarga yang paternalistik, Oleh McCall (2001) persimpangan terjadi karena proses politik dan institusi memproduksi kesadaran bagi diri perempuan. Di samping kepentingan-kepentingan kekuasaan patriarki menjadi dominan dalam proses relasi sosialnya atau yang disebut dengan kekuasaan laki-laki diproduksi melalui proses kesadaran perempuan dalam memproduksi otoritas poligami dalam bentuk kekuasaan simbolik (Bourdieu,1991). Laki-laki pada posisi dominan disebabkan oleh ideologi patriarki, namun di sisi lain pada posisi subordinat disebabkan oleh kondisi miskin, status sosialnya berasal dari negara berkembang. Sementara perempuan juga pada
368 posisi dominan disebabkan oleh kekayaan yang dimilikinya, status sosialnya sebagai pengusaha besar dan berasal dari negara maju, namun di sisi lain perempuan tetap pada posisi subordinat disebabkan ideologinya atas otoritas kepemimpinan laki-laki. Seberapa besar kekayaan perempuan, tetapi ia tetap tersubordinasi oleh ideologi keagamaan atas kepemimpinan laki-laki. Situasi perempuan tersebut berakibat pada keterbatasan opsi perempuan, sehingga poligami dijadikan solusi pemecahan atas kepentingan keluarganya, proses ini oleh Collins (1999) merupakan bentuk intersectionality. Situasi subordinat dan dominasi kedua belah pihak, antara situasi laki-laki dan perempuan ini memproduki matrik dominasi dan subordinasi. Gagasan pengarang berkaitan kontestasi baru dalam poligami, adalah kesaksian perempuan dan perbedaan agama yang memenangkan pertarungan dalam proses peradilan dalam persoalan hukum pidana menjadi perspektif baru yang berbeda dengan tradisi hukum Islam klasik, kesaksian Maria menjadi penting karena ia dianggap sebagai ahli kitab dan di pihak yang dimenangkan oleh pengarang Ayat-Ayat Cinta. Upaya-upaya pengarang melalui Aisha yang meyakini keislaman Maria menjadi acuan pengetahuan tentang kreteria kesaksian perempuan. Selanjutnya, kontestasi dua pemaknaan konsep darurat antara lain: Pertama, aspek psikologis-individual dijadikan formulasi konsep darurat atas kebolehan praktik poligami. Argumentasi ini ditolak oleh pengarang Ayat-Ayat Cinta, karena hanya didasarkan oleh kepentingan subjektif dan tidak bertujuan untuk memecahkan persoalan makro.
369 Kedua, formulasi konsep darurat direpresentasikan melalui beberapa kepentingan, yaitu kepentingan perlindungan anak yatim, janda, dan kepentingan nyawa manusia, kesaksian atas tuduhan pemerkosaan dalam proses pengadilan, kehormatan laki-laki dan perempuan, gagasan pluralisme, dan kepentingan kemanusiaan sebagai argumentasi atas kebolehan berpoligami. Argumentasi ini didukung oleh pengarang karena untuk memecahkan persoalan-persoalan sosial. Gagasan poligami dalam novel Ayat-Ayat Cinta tidak lepas dari pengaruh wacana yang berkembang, baik perubahan hukum keluarga dalam KHI-Inpres dan Counter Legal Draft (CLD)-KHI, serta pro dan kontra berbagai ormas Islam di Indonesia. Diskursus poligami yang menjadi perdebatan masyarakat terkait problematikanya, mencakup (1) perkawinan beda agama dalam tradisi hukum Islam tidak diperbolehkan, sedangkan novel Ayat-Ayat Cinta memberikan peluang. Walaupun tidak tegas, tetapi tampak terdapat batasan-batasan teologis sebagai parameternya; (2) persoalan kesaksian perempuan; kesaksian perempuan merupakan suatu kasus yang tidak lazim dalam konteks persoalan pidana/hukum Islam, khususnya persoalan tuduhan permerkosaan bagi laki-laki, sedangkan tradisi hukum Islam, pihak perempuan yang menghadirkan dua orang saksi laki atau empat saksi perempuan; (3) persoalan kepemimpinan laki-laki; perempuan tidak diperbolehkan menjadi pemimpin; sementara di ruang publik terjadi perbedaan atas kebolehannya dengan pertimbangan kompetensi dan kemampuan
370 perempuan. Problematika keagamaan melandasi produksi teks sebagai representasi keunikan gagasan novel Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman El- Shirazy pada posisi gelombang kebangkitan sastra Islam dan sekaligus merupakan bentuk counter ideologi yang berkembang di era 2000-an 6.2 Saran Berdasarkan temuan penelitian di atas, maka diperlukan beberapa saran baik secara kajian akademik maupun kepentingan praksis di masyarakat, antara lain: 1. Poligami dalam level wacana masih dominan pada kepentingan-kepentingan sepihak dan berimplikasi pada kecenderungan bentuk kekerasan yang merugikan perempuan dan anak-anaknya. Oleh karena itu, dibutuhkan kajian teks-teks keagamaan maupun novel dari perspektif perempuan, sehingga dapat diharapkan suara perempuan memberikan kekuatan terhadap tafsir-tafsir keagamaan dan karya sastra, khususnya yang berkaitan dengan relasi kuasa perempuan dan laki-laki. 2. Peran pemerintah dalam perubahan masyarakat sangat strategis, terutama dalam wilayah kebijakan yang melibatkan kaum perempuan baik dalam kategori kelas menengah atas maupun kelas bawah. Oleh karena itu, dibutuhkan pelibatan pakar keagamaan dan aktivis perempuan yang seimbang dalam merevisi Undang-Undang Perkawinan dan implementasinya.
371 3. Penelitian ini masih terbatas pada analisis tekstual dengan pendekatan intersectionality theory dan Agency & Social Structure Pierre Bourdieu, dan keislaman. Oleh karena itu, agar dapat dilakukan penelitian lanjutan dengan pendekatan lain, sehingga dapat memperkaya khasanah keilmuan intelektual yang lebih komprehensif.