BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Pertama Kedua

Transkripsi

1 BAB V PENUTUP Bagian ini adalah bab final yang merangkum hasil penelitian tentang framing majalah Tempo terhadap representasi perempuan dalam pemberitaan skandal politik Anatsari Azhar. Penelitian yang panjang ini berhasil memperoleh jawaban dari pertanyaan penelitian yang menjadi dasar penelitian ini. Pada bagian pertama, peneliti akan merangkum jawaban itu dalam bagian Kesimpulan. Selanjutnya, pada bagian kedua, peneliti akan memberikan masukan untuk kemungkinan bagi penelitian-penelitian lanjutan serta refleksi peneliti atas penelitian ini. A. Kesimpulan Berdasarkan temuan penelitian dan analisis yang telah peneliti paparkan sebelumnya, peneliti menemukan bahwa Tempo menggunakan dua frame besar dalam pemberitaan skandal politik Antasari. Berikut butir-butir dari frame besar tersebut: Pertama, Tempo konsisten memberitakan skandal politik Antasari dalam kerangka proses hukum yang berlaku. Dari konsistensi ini, peneliti tidak menemukan ada frame besar yang sengaja dan secara khusus ditekankan Tempo untuk merepresentasikan keberadaan Rhani dalam pusaran kasus. Sebaliknya, sejak awal, ada dua hal yang menjadi perhatian Tempo, yaitu (1) Pembunuhan atau penghilangan nyawa orang lain; dalam hal ini Nasrudin dan (2) Ada keterlibatan orang besar atau figur publik dalam operasi pembunuhan Nasrudin. Oleh karena itu, Tempo konsisten membahas dan fokus pada peristiwa pembunuhan Nasrudin, orang-orang yang berada di balik pembunuhan itu, dan proses hukum yang dikenakan pada setiap orang yang ikut terlibat dalam operasi pelenyapan Nasrudin. Kedua, Tempo konsisten berada pada garda depan untuk menyuarakan kepentingan publik. Skandal Antasari dilihat Tempo 1

2 bersinggungan dengan kepentingan publik karena pada saat skandal terjadi, Antasari berstatus sebagai Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi. Dalam hal ini, skandal pribadi Antasari seperti perselingkuhan dengan Rhani yang dilihat sebagai motif pembunuhan Nasrudin kalah jauh dalam pemberitaan Tempo yang lebih berorientasi pada kepentingan publik yang bersinggungan dengan skandal politik Antasari Azhar. Apalagi, selain mendukung proses hukum yang berlaku serta pengusutan kasus pembunuhan Nasrudin hingga tuntas, Tempo juga secara terang-terangan mendukung KPK dalam posisinya yang saat itu minus pemimpin dan harus diterpa ujian dari para anggota DPR. Tempo dengan ini tidak ingin kinerja dan performa KPK menjadi menurun karena musibah yang dihadapi pimpinan mereka. Oleh karena itu, Tempo secara terbuka meminta Presiden SBY untuk segera mengganti Ketua KPK agar Komisi ini bisa bekerja kembali dan fokus pada tugasnya. Adapun kedua frame besar di atas pada dasarnya menunjukkan bahwa Tempo tidak memiliki frame khusus untuk merepresentasikan keberadaan Rhani Juliani sebagai satu-satunya perempuan yang berada di pusaran skandal Antasari. Dengan kata lain, Tempo tidak membingkai skandal Antasari Azhar berdasarkan perspektif gender atau perspektif lain di luar frame kasus hukum. Kesimpulan ini peneliti tarik dari gabungan analisis pada level teks dan analisis pada level konteks secara keseluruhan terhadap lima berita yang menjadi objek penelitian. Dari analisis pada level teks, peneliti menemukan bahwa Tempo memiliki frame yang berbeda-beda pada setiap berita. Namun secara umum, Tempo menekankan skandal politik Antasari Azhar sebagai frame kasus hukum. Dari analisis level konteks, peneliti menemukan bahwa faktor individu dan profesionalisme wartawan Tempo, rutinitas yang terjadi di internal Tempo, sumber berita, serta semangat yang diusung Tempo memberi pengaruh pada munculnya frame besar yang ditekankan Tempo dalam membingkai pemberitaan skandal politik Antasari. Dengan demikian dapat dilihat bahwa pemberitaan skandal Antasari secara konsisten diulas Tempo dengan menggunakan frame kasus hukum; bukan sebagai kasus asmara 2

3 ataupun konspirasi sebagaimana desas-desus yang marak berkembang ketika itu. Meski tidak ada frame khusus yang dipakai Tempo untuk merepresentasikan keberadaan Rhani Juliani dalam pusaran skandal Antasari, Tempo tidak luput dari penggambaran atas sosok Rhani Juliani itu sendiri. Dalam hal ini, Tempo bahkan terjebak dalam penggunaan sebutan dan pelabelan yang cenderung memunculkan bias gender dan penggambaran yang tidak adil terhadap Rhani. Berkaitan dengan representasi Rhani dalam teks berita Tempo ini, ada lima hal yang dapat peneliti simpulkan. Pertama, penyebutan terhadap Rhani didominasi oleh pelekatan dirinya dengan profesinya sebagai seorang caddy. Hal ini terlihat dari penyebutan Tempo yang dominan menyebut Rhani sebagai gadis caddy dan gadis golf. Penggunaan kata gadis dalam penyebutan tersebut menurut peneliti juga problematis. Dalam KBBI Daring, gadis berarti anak perempuan yang belum kawin dan masih perawan. Oleh karena itu, penyebutan Rhani sebagai gadis tidak sesuai karena belakangan Rhani diketahui berstatus sebagai istri siri Nasrudin. Kedua, Rhani digambarkan Tempo sebagai sosok gadis biasa yang menjadi primadona di lingkungannya, baik di lingkungan tempat tinggal maupun di lingkungan tempatnya bekerja. Dalam menggambarkan sosok Rhani di lingkungan tempat tinggal, Tempo menggunakan penyebutan si kembang desa. Ketiga, Tempo melekatkan penilaian-penilaian fisik yang dimiliki Rhani. Misalnya, Tempo menyebut Rhani sebagai perempuan berkulit putih dan berhidung bangir, perempuan bertubuh semok, perempuan yang tidak genit, dan perempuan berpenampilan modis. Pelekatan penilaian fisik semacam ini justru tidak ditemukan dalam menggambarkan sosok Antasari. Hal ini justru menunjukkan bahwa media sekelas Tempo masih terjebak dalam penilaian yang berdasarkan pada kondisi fisik ketika harus menggambarkan sosok perempuan. 3

4 Keempat, Rhani digambarkan sebagai objek seksual ketika diposisikan dalam relasi hubungan dengan Antasari. Ini dilihat dari pemilihan kata Tempo dalam berita yang menurut peneliti justru menimbulkan bias gender. Rhani dalam teks berita bahkan disebut diumpankan kepada Antasari. Lalu, dalam konteks menjelaskan hubungan intim yang dilakukan Antasari dan Rhani, Rhani disebut melayani Antasari. Tentu saja pemilihan kata ini menunjukkan bahwa Tempo masih terjebak dalam pemberitaan yang cenderung menggunakan peran gender tradisional dalam menggambarkan relasi antara perempuan dan laki-laki. Dengan demikian, peneliti menilai bahwa Tempo belum bisa terlepas dari pengaruh ideologi partriaki yang dominan dalam budaya Indonesia. Kelima, dalam kerangka frame hukum yang ditekankan oleh Tempo, Rhani digambarkan sebagai orang yang berada di pusaran kasus dan merupakan saksi untuk kasus pembunuhan Nasrudin yang melibatkan Antasari Azhar. Penyebutan terhadap Rhani dalam kerangka frame hukum ini disebut Tempo dengan menggunakan bahasa hukum, yaitu sebagai saksi dan sebagai saksi kunci. Temuan-temuan tentang representasi Rhani dalam pemberitaan skandal politik Antasari di atas menurut peneliti digunakan sebagai bagian dari latar penceritaan awal dan pengembangan cerita dalam inti berita dan frame yang dibentuk Tempo. Hal ini tidak kemudian mempengaruhi frame besar Tempo yang lebih mengulas kasus ini dalam kerangka frame hukum. Peneliti melihat ini sebagai konsistensi yang sejalan dengan inti pemberitaan Tempo yang lebih menaruh perhatian pada berita-berita hukum, politik, dan ekomoni. Oleh karena itu, kasus skandal politik Antasari dalam kasus pembunuhan Nasrudin lebih dibingkai Tempo dalam kerangka frame hukum dan Rhani dalam teks berita semata-mata ditempatkan Tempo sebagai orang yang berada di pusaran kasus. Hanya saja dalam teks berita penggambaran terhadap Rhani tetap diwarnai oleh penggunaan sebutan dan pelabelan yang cenderung memunculkan bias gender. 4

5 B. Saran Penelitian tentang framing majalah Tempo terhadap representasi perempuan dalam skandal politik Antasari pada dasarnya adalah proses panjang. Dalam proses ini, peneliti tidak jarang menemukan kesulitan baik dalam kepentingan untuk melakukan analisis pada level teks dan pengumpulan data pada analisis konteks. Pada analisis teks, peneliti menyadari betul pentingnya operasionalisasi perangkat framing yang digunakan sebagai basis untuk menganalisis teks berita. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan model analisis framing Pan dan Kosicki. Oleh karena itu, operasionalisasi yang tepat dan konkret dari model framing Pan dan Kosicki akan sangat membantu untuk mengamati setiap bentuk dari macammacam struktur yang terdapat dalam berita. Untuk itu, peneliti menyarankan agar penelitian mendatang lebih dapat memuat operasionalisasi yang konkret dari model analisis framing apapun yang digunakan, baik itu model Pan dan Kosicki, model Entman, maupun model framing lain yang populer digunakan. Di lain pihak, peneliti juga menyarankan agar peneliti lain yang ingin melakukan pengumpulan data di majalah Tempo untuk mengajukan surat penelitian jauh hari sebelum hari H rencana pengumpulan data. Problem yang peneliti temukan dalam proses pengumpulan data adalah prosedur ketat yang diterapkan majalah Tempo untuk proses penelitian. Jika diikuti, prosedur ini akan cukup memakan waktu, sehingga lebih baik mempersiapkan surat penelitian jauh-jauh hari sebelumnya. Dalam penelitian ini, peneliti juga menyadari keterbatasan yang ada. Pada analisis level konteks misalnya, peneliti tidak berhasil mendapatkan informasi langsung dari beberapa penulis berita yang menjadi objek dalam penelitian ini. Namun peneliti beruntung memperoleh informasi langsung dari wartawan yang terlibat dalam proses peliputan di lapangan dan Pemimpin Redaksi majalah Tempo saat ini. Untuk itu, bagi peneliti lain yang ingin melakukan analisis pada level konteks dari produksi setiap berita yang menjadi objek penelitian, peneliti sarankan untuk dapat menggali sebanyak mungkin informasi dari penulis berita. Sebab di tangan penulis beritalah 5

6 proses saliansi terjadi. Dengan menggali informasi tentang aktivitas saliansi, peneliti dapat mengetahui berbagai pertimbangan yang dilakukan oleh penulis berita dalam memilih isu yang ditulis, fakta yang ditampilkan, serta penonjolan yang ditekankan dalam berita. Terakhir, peneliti juga menyarankan agar penelitian selanjutnya dapat memperkaya penelitian ini dengan misalnya menghadirkan riset komprehensif tentang efek framing pada level audiens yang timbul akibat pemberitaan ini. Adapun efek pada level audiens adalah bagian akhir dari kerangka proses framing Dietram A. Scheufele. Dalam penelitian ini, peneliti tidak menyentuh level tersebut karena peneliti hanya berfokus pada tiga bagian awal dari proses framing, yaitu frame building, frame setting, dan wartawan sebagai bagian dari audiens. Selain itu, penelitian mendatang juga dapat membuat komparasi dari pemberitaan media lain. Komparasi semacam ini akan memperkaya hasil penelitian karena tidak hanya fokus pada satu media, tetapi juga fokus pada pemberitaan media lain. Hasilnya diharapkan dapat menunjukkan perbedaan apa saja yang ada di satu media dan di media lainnya. Perbedaan ini misalnya akan terlihat dari rutinitas organisasi, kebijakan redaksi, dan hal-hal lain yang menyangkut prinsip media itu sendiri. Lebih jauh, penelitian framing serupa ini masih dapat dielaborasi dengan memfokuskan penelitian pada masing-masing bagian dari perangkat framing Pan dan Kosicki, mulai dari perangkat sintaksis hingga perangkat retoris. Sebagai contoh, penelitian mendatang bisa mengelaborasi penggunaan struktur retoris dalam pemberitaan majalah Tempo, terutama yang berkaitan dengan penggunaan grafis. Hal ini menarik untuk dikaji mengingat Tempo cenderung menampilkan elemen-elemen grafis seperti gambar ilustrasi dan foto yang menarik dan bermakna dalam tiap pemberitaannya. Kajian penggunaan grafis seperti ini juga dapat dikembangkan dengan menggunakan pendekatan semiotika. 6