BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suhu Permukaan Suhu permukaan dapat diartikan sebagai suhu terluar suatu obyek. Untuk suatu tanah terbuka, suhu permukaan adalah suhu pada lapisan terluar permukaan tanah. Sedangkan untuk vegetasi dapat dipandang sebagai suhu permukaan kanopi tumbuhan dan pada tubuh air merupakan suhu dari permukaan air tersebut. Ketika radiasi melewati permukaan suatu obyek, fluks energi tersebut akan meningkatkan suhu permukaan obyek. Hal ini akan meningkatkan fluks energi yang keluar dari permukaan benda tersebut. Energi panas tersebut akan dipindahkan dari permukaan yang lebih panas ke udara di atasnya yang lebih dingin. Sebaliknya, jika udara lebih panas dan permukaan lebih dingin, panas akan dipindahkan dari udara ke permukaan di bawahnya (Rosenberg 1974 diacu dalam Fajri 2011). Vogt (1996) diacu dalam Prasasti (2004) mengatakan, suhu permukaan merupakan salah satu parameter kunci bagi neraca energi di permukaan dan juga merupakan parameter klimatologis yang utama. Suhu permukaan dapat mengendalikan fluks energi gelombang panjang yang kembali ke atmosfer dan sangat tergantung pada keadaan parameter permukaan lainnya, seperti albedo, kelembaban permukaan, kondisi dan tingkat penutupan vegetasi. Respon suhu permukaan sangat ditentukan oleh radiasi matahari yang datang pada permukaan, dan oleh parameter-parameter yang berhubungan dengan kondisi permukaan serta atmosfer seperti kelembaban tanah, termal inersia dan albedo. Pada permukaan bervegetasi, suhu permukaan kanopi secara tidak langsung dikendalikan oleh ketersediaan air pada mintakat (zone) perakaran dan secara langsung oleh evapotranspirasi (Carlson 1986 diacu dalam Prasasti 2004). Konsentrasi penduduk pada wilayah tertentu ditambah dengan adanya industri dan perdagangan serta transportasi kota yang padat menyebabkan terjadinya thermal pollution yang kemudian membentuk pulau panas atau heat island. Heat island terjadi karena adanya emisi panas yang direfleksikan dari permukaan bumi ke atmosfer (Setyowati 2008). Heat island merupakan suatu
4 fenomena atau kejadian peningkatan suhu udara di wilayah perkotaan dibandingkan dengan daerah di sekitarnya hingga mencapai 3-10 o C. Fenomena ini disebabkan oleh adanya perubahan tata guna lahan dari vegetasi menjadi daerah yang beraspal, beton dan lahan terbuka (Khomarudin 2004). Heat island adalah suatu fenomena suhu udara di daerah yang padat bangunan lebih tinggi daripada suhu udara di sekitarnya, baik di desa maupun di pinggir kota. Fenomena heat island ditandai dengan adanya suatu daerah yang memiliki suhu jauh lebih tinggi dibandingkan dengan di sekitarnya (Givoni 1989 diacu dalam Adiningsih et al. 2001). Umumnya suhu udara yang tertinggi akan terdapat di pusat kota dan akan menurun secara bertahap ke arah pinggir kota (sub urban) sampai ke desa. Suhu tahunan rata-rata di kota lebih besar sekitar 3 o C dibandingkan dengan pinggir kota (Landsberg 1981 diacu dalam Adiningsih et al. 2001). Khomarudin (2004) menyebutkan bahwa heat island terbentuk jika sebagian tumbuh-tumbuhan (vegetasi) digantikan oleh aspal dan beton untuk jalan, bangunan dan struktur lain diperlukan untuk mengakomodasi pertumbuhan populasi manusia. Permukaan yang tergantikan tersebut lebih banyak menyerap panas matahari dan juga lebih banyak memantulkannya, sehingga menyebabkan suhu permukaan dan suhu lingkungan naik. 2.2 Ruang Terbuka Hijau Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 1 tahun 2007 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan, RTH Kawasan Perkotaan adalah bagian dari ruang terbuka suatu kawasan perkotaan yang diisi oleh tumbuhan dan tanaman guna mendukung manfaat ekologi, sosial, budaya, ekonomi dan estetika. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pasal 29 menyebutkan bahwa RTH terdiri dari RTH publik dan RTH privat dengan proporsi RTH pada wilayah kota paling sedikit 30 (tiga puluh) persen dari luas wilayah kota, yang terdiri dari 20% RTH publik dan 10% RTH privat.
5 Moniaga (2008) menyebutkan bahwa RTH memiliki fungsi secara ekologi dalam ameliorasi iklim. RTH dapat memodifikasi suhu, pada siang hari daundaun tanaman menyerap sinar matahari dalam proses asimilasi, yang mengubah gas CO 2 dan air menjadi karbohidrat dan O 2. Bersama vegetasi lain menguapkan uap air melalui proses evapotranspirasi, oleh karena itu suhu di bawah tegakan pohon menjadi rendah dibandingkan di luar tegakan pohon. Fracillia (2007) mengatakan, keberadaan vegetasi atau permukaan air dapat menurunkan suhu karena sebagian energi radiasi matahari yang diserap permukaan akan dimanfaatkan untuk menguapkan air dari jaringan tumbuhan (transpirasi) atau langsung dari permukaan air atau permukaan padat yang mengandung air (evaporasi). Ruang Terbuka Hijau juga dapat berfungsi dalam merekayasa lingkungan. Polutan berupa gas atau partikel debu yang berasal dari industri antara lain karbon monoksida, dari kendaraan bermotor, atau dari rumah tangga, partikelpartikel tersebut dapat dijebak oleh daun-daun, cabang dan ranting melalui proses impaction yang berfungsi sebagai filter di udara (Moniaga 2008). Keberadaan RTH pada wilayah perkotaan sangat diperlukan, untuk mengembalikan kondisi lingkungan perkotaan yang telah tercemar sehingga mampu memperbaiki keseimbangan ekosistem kota. Hilangnya RTH merupakan pemicu munculnya heat island dan hilangnya pengendali emisi (gas buang) kota. Antara lain berdampak pada menurunnya kualitas lingkungan hidup, perubahan sifat-sifat radioaktif termal, aerodinamik dan hidrologi, terjadi perubahan iklim setempat, sampai perubahan ekosistem alami (Setyowati 2008). 2.3 Penginderaan Jauh Penginderaan jauh merupakan suatu ilmu atau teknologi untuk memperoleh informasi atau fenomena alam melalui analisis suatu data yang diperoleh dari hasil rekaman obyek, daerah atau fenomena yang dikaji. Perekaman atau pengumpulan data penginderaan jauh dilakukan dengan menggunakan alat pengindera (sensor) yang dipasang pada pesawat terbang atau satelit (Lillesand & Kiefer 1990).
6 Teknologi penginderaan jauh satelit dipelopori oleh NASA Amerika Serikat dengan diluncurkannya satelit sumberdaya alam yang pertama, yang disebut ERTS-1 (Earth Resources Technology Satellites) pada tanggal 23 Juli 1972, menyusul ERTS-2 pada tahun 1975, satelit ini membawa sensor RBV (Return Beam Vidicon) dan MSS (Multi Spectral Scanner) yang mempunyai resolusi spasial 80 x 80 m. Satelit ERTS-1, ERTS-2 yang kemudian setelah diluncurkan berganti nama menjadi Landsat 1, Landsat 2, diteruskan dengan seriseri berikutnya (Lillesand & Kiefer 1990). Isdiyantoro (2007) menyebutkan, Landsat 7 merupakan kelanjutan dari Landsat 4, 5, dan 6, mempunyai karakteristik yang sama dengan Landsat 5 yang masih bergenerasi. Pada Landsat 7 mempunyai 2 sensor yaitu ETM+ (Enhanced Thematic Mapper) dan HRMSI (High Resolution Multispectral Stereo Image). Landsat 7 ETM+ mempunyai resolusi spasial 15 m untuk pankromatik dan 30 m untuk multispektral, resolusi temporal 16 hari, resolusi spektral dan radiometrik 7 kanal. Sedangkan Landsat 7 HRMSI mempunyai resolusi spasial 4,5 m untuk pankromatik dan 10 m untuk multispektral, resolusi temporal 3 hari, resolusi spektral dan radiometrik 4 kanal. Tabel 1 Aplikasi dan saluran spektral (band) thematic mapper Kisaran Saluran Gelombang Kegunaan 1 0,45-0,52 µm Peningkatan penetrasi ke dalam tubuh air, mendukung analisis sifat khas penggunaan lahan, tanah, dan vegetasi. 2 0,52-0,60 µm Pengamatan puncak pantulan vegetasi pada spektrum hijau yang terletak di antara dua saluran spektral serapan klorofil. Pengamatan ini dimaksudkan untuk membedakan jenis vegetasi dan penilaian kesuburan. 3 0,63-0,69 µm Saluran terpenting untuk memisahkan vegetasi. Saluran ini terletak pada salah satu bagian serapan klorofil dan memperkuat kontras antar kenampakan vegetasi dan non-vegetasi 4 0,76-0,90 µm Saluran yang peka terhadap biomassa vegetasi, juga untuk identifikasi jenis tanaman. Memudahkan pembedaan tanah dengan tanaman, serta lahan dan air. 5 1,55-1,75 µm Penentuan jenis tanaman, kandungan air pada tanaman, dan kondisi kelembaban tanah. 6 2,08-2,35 µm Pemisahan formasi batuan 7 10,40-12,50 µm Saluran inframerah termal, bermanfaat untuk klasifikasi vegetasi, analisis ganguan vegetasi, pemisahan kelembaban tanah, dan sejumlah gejala lain yang berhubungan dengan panas. Sumber: Lillesand & Kiefer (1990)
7 2.4 Aplikasi Penginderaan Jauh untuk Studi Suhu Permukaan Perubahan suhu udara pada dasarnya merupakan resultante dari berbagai proses yang terjadi dalam suatu kawasan. Banyak aspek yang terlihat di dalamnya, termasuk di antaranya adalah perubahan penggunaan lahan yang sering dianggap sebagai penyebab peningkatan suhu kawasan. Dampak dari perubahan penggunaan lahan itu adalah perubahan suhu yang meningkat dari waktu ke waktu (Fracillia 2007). Peningkatan suhu dipelajari untuk memahami dampak perubahan lingkungan terhadap iklim mikro. Fenomena ini akan mempengaruhi permintaan energi, kesehatan masyarakat dan kondisi lingkungan (Chen et al. 2001 diacu dalam Fracillia 2007). Vazquet et al. (1997) diacu dalam Prasasti (2004) mengatakan hasil pengukuran kanal termal pada data satelit dapat digunakan dalam pemetaan pola suhu permukaan pada skala waktu dan spasial yang lebih luas. Suhu permukaan dapat diduga dari data kanal inframerah termal, dan khusus pada data NOAA- AVHRR dengan menggunakan algoritma Split Window. Sedangkan, pada data Landsat-ETM dapat diduga dari nilai digital (Digital Number) kanal 6 (radiasi inframerah panas) yang telah terkoreksi secara radiometris (Malaret et al. 1985 diacu dalam Prasasti 2004). Baumann (2001) diacu dalam Khomarudin (2004), mengkaji heat island dengan data Landsat sensor 6 untuk mendeteksi daerah heat island di Washington DC, namun hasilnya tidak tergambar heat island yang luas tetapi kecil. Hal ini disebabkan oleh vegetasi yang masih mendominasi kota, sehingga sebaran heat island tidak mengumpul. Estes et al. (1999) diacu dalam Khomarudin (2004), mendeteksi heat island dengan data Landsat TM sensor 6 untuk dua kota sekaligus yaitu Atlanta dan Salt Lake City. Pada kedua hasil penelitiannya terlihat terjadi perubahan suhu permukaan di wilayah perkotaan dengan daerah perkampungan. Adiningsih et al. (1994) diacu dalam Adiningsih et al. (2001), mengkaji heat island dan perkembangannya di wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi berdasarkan analisis suhu udara permukaan harian dari satelit NOAA- AVHRR. Hasilnya menunjukkan, heat island berkembang cepat di musim kemarau dan sering terjadi di pusat kota.
8 Suhu udara permukaan di masing-masing penutup lahan umumnya meningkat setiap tahun karena adanya pertambahan luas penutup lahan yang banyak menghasilkan panas yaitu industri, lahan terbuka dan pemukiman. Sementara penutup lahan yang mampu meredam suhu seperti vegetasi tinggi, tanaman semusim dan badan air berkurang sehingga mengakibatkan peningkatan suhu (Adiningsih et al. 2001). Suhu permukaan DKI Jakarta tahun 1997 adalah sebesar 26,2 o C dan tahun 2004 mengalami kenaikan sebesar 0,4 o C yaitu menjadi 26,6 o C. Perubahan lahan menjadi wilayah pemukiman akan menyebabkan suhu yang tinggi (Fracillia 2007). Tursilowati (2007a) menyatakan bahwa, secara analisa kuantiatif dengan statistik terhitung adanya perluasan daerah dengan suhu tinggi (30-35 o C) yang terletak pada kawasan terbangun yang terdiri dari pemukiman dan industri di pusat Kota Bandung per tahun kira-kira 12.606 ha atau 4,47%. Tursilowati (2007a) mengatakan, daerah penyebaran urban heat island terletak di pusat Kota Bandung. Tingginya laju urbanisasi yang ditandai dengan meningkatnya lahan terbangun (pemukiman dan industri) menjadi salah satu penyebab meluasnya urban heat island yaitu bertambah luasnya area yang bersuhu tinggi (di atas 30 o C). Pada tahun 1994, Kota Surabaya masih memiliki suhu 25-28 o C di wilayah bagian selatan dan timur, namun pada tahun 2002 suhu ini terganti oleh suhu yang lebih tinggi (lebih dari 29 o C) hampir di semua wilayah. Hal ini menunjukkan bahwa di Kota Surabaya, urban heat island telah menyebar di seluruh area (Tursilowati 2007b). Tursilowati (2007b) menyebutkan bahwa dampak perubahan penggunaan lahan dan penutupan lahan pada skala yang lebih besar di Surabaya yakni bergantinya variabel iklim. Perubahan variabel iklim yaitu suhu udara (urban heat island), kelembaban relatif (RH) dan Temperature Humidity Index (THI).