BAB V ANALISIS. V.1 Analisis Data

dokumen-dokumen yang mirip
BAB IV STUDI KASUS GUNUNG API BATUR - BALI

1. BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

BAB 3 PENGOLAHAN DATA

BAB IV ANALISIS 4.1 Vektor Pergeseran Titik Pengamatan Gunungapi Papandayan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II RADAR APERTUR SINTETIK INTERFEROMETRI. (Interferometric Synthetic Aperture Radar INSAR)

BAB IV ANALISIS IV.1 Analisis Data

Kata Kunci : Deformasi; Gunung Merapi; InSAR

STUDI PENGAMATAN PENURUNAN DAN KENAIKAN MUKA TANAH MENGGUNAKAN METODE DIFFERENTIAL INTERFEROMETRI SYNTHETIC APERTURE RADAR

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB III APLIKASI PEMANFAATAN BAND YANG BERBEDA PADA INSAR

BAB II TEORI DASAR. 2.1 Synthetic Aperture Radar (SAR)

Jupi Nurul Azkiya Retnadi Heru Jatmiko

BAB II DASAR TEORI. II.1 Penginderaan Jauh (Remote Sensing)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 2 DASAR TEORI. Gambar 2.1 Gunung Merapi [

BAB IV ANALISIS. 4.1 Data

PENGGUNAAN METODE INSAR DIFERENSIAL UNTUK PEMANTAUAN DEFORMASI ERUPSI GUNUNG MERAPI PADA TAHUN 2010

BAB III PENGOLAHAN DATA SAR DENGAN ROI PAC

PEMANFAATAN INTERFEROMETRIC SYNTHETIC APERTURE RADAR (InSAR) UNTUK PEMODELAN 3D (DSM, DEM, DAN DTM)

1.2 Tujuan. 1.3 Metodologi

Eko Yudha ( )

BAB IV PENGOLAHAN DATA

HASIL DAN ANALISIS. Tabel 4-1 Hasil kalibrasi kamera Canon PowerShot S90

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Gunungapi

MODIFIKASI ALGORITMA AVHRR UNTUK ESTIMASI SUHU PERMUKAAN LAUT (SPL) CITRA AQUA MODIS

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA BADAN GEOLOGI

B A B IV HASIL DAN ANALISIS

Gambar IV-1. Perbandingan Nilai Korelasi Antar Induk Wavelet Pada Daerah Homogen Untuk Level Dekomposisi Pertama

Pemanfaatan Metode Differential Intermerometry Synthetic Aperture Radar (DInSAR) untuk Pemantauan Deformasi Akibat Aktivitas Eksploitasi Panasbumi

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 5 PEMBAHASAN. 39 Universitas Indonesia

V. INTERPRETASI DAN ANALISIS

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002)

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ix

Pengolahan Fasa untuk Mendapatkan Model Tinggi Permukaan Dijital (DEM) pada Radar Apertur Sintetik Interferometri (INSAR) Data Satelit

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik

BAB III TEKNOLOGI LIDAR DALAM PEKERJAAN EKSPLORASI TAMBANG BATUBARA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

Besarnya pergeseran pada masing masing titik pengamatan setelah dikurangi vektor pergeseran titik BAKO dapat dilihat pada Tabel 4.

DETEKSI PENURUNAN MUKA TANAH KOTA SEMARANG DENGAN TEKNIK DIFFERENTIAL INTERFEROMETRIC SYNTHETIC APERTURE RADAR

BAB I PENDAHULUAN. and R.W. Kiefer., 1979). Penggunaan penginderaan jauh dalam mendeteksi luas

Jurusan Fisika FMIPA Universitas Brawijaya 2) Pertamina Asset 3

HASIL DAN PEMBAHASAN

KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA BADAN GEOLOGI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

Gambar 3.1 Lintasan Pengukuran

BAB III PENGOLAHAN DATA

BAB I BAB I PENDAHULUAN

BAB V ANALISIS. 5.1 Analisis Pra-Pengolahan Citra Radarsat

PENGUKURAN GROUND CONTROL POINT UNTUK CITRA SATELIT CITRA SATELIT RESOLUSI TINGGI DENGAN METODE GPS PPP

Identifikasi Lokasi Potensial Budidaya Tiram Mutiara Dengan Mengunakan Citra Satelit Landsat 7 ETM+

HASIL DAN ANALISA. 3.1 Penentuan Batas Penetrasi Maksimum

LAMPIRAN 1 HASIL KEGIATAN PKPP 2012

Analisis Deformasi Gunung Merapi Berdasarkan Data Pengamatan GPS Februari- Juli 2015

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Untuk menghasilkan variasi medan magnet bumi yang berhubungan dengan

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

PENERAPAN METODE DINSAR UNTUK ANALISA DEFORMASI AKIBAT GEMPA BUMI DENGAN VALIDASI DATA GPS SUGAR (STUDI KASUS: KEPULAUAN MENTAWAI, SUMATERA BARAT)

BAB II DAERAH PENELITIAN & BAHAN

BAB I PENDAHULUAN. menyertai kehidupan manusia. Dalam kaitannya dengan vulkanisme, Kashara

Jurusan Teknik Geomatika Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember

Pencocokan Citra Digital

DAFTAR ISI. BAB III. DASAR TEORI 3.1. Seismisitas Gelombang Seismik Gelombang Badan... 16

PENGINDERAAN JAUH. --- anna s file

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. ketika pemberian pakan. Berikut adalah ilustrasi posisi ikan sebelum dan saat

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II Studi Potensi Gempa Bumi dengan GPS

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada Gambar 7 tertera citra MODIS level 1b hasil composite RGB: 13, 12

BAB III GLOBAL POSITIONING SYSTEM (GPS)

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

DAFTAR TABEL. No. Tabel Judul Tabel No. Hal.

ANALISIS DEFORMASI PERMUKAAN GUNUNG RAUNG MENGGUNAKAN TEKNOLOGI

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. pegunungan dengan lintasan 1 (Line 1) terdiri dari 8 titik MT yang pengukurannya

BAB III PENGOLAHAN DATA

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB II SISTEM SATELIT NAVIGASI GPS

BAB IV ANALISIS. Gambar 4.1 Suhu, tekanan, dan nilai ZWD saat pengamatan

menentukan sudut optimum dibawah sudut kritis yang masih relevan digunakan

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN

EVALUSI DAN ANALISIS ISU AKTUAL DINAMIKA POSTUR DAN PERILAKU SEMBURAN LUSI MENUJU WHAT NEXT? LUSI 9 TAHUN (29 Mei )

Analisis dan Pembahasan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

SEMINAR TUGAS AKHIR. Oleh: Aninda Nurry M.F ( ) Dosen Pembimbing : Ira Mutiara Anjasmara ST., M.Phil-Ph.D

BAB I PENDAHULUAN. laut Indonesia, maka ini akan mendorong teknologi untuk dapat membantu dalam

PENGOLAHAN DATA SATELIT NOAA-AVHRR UNTUK PENGUKURAN SUHU PERMUKAAN LAUT RATA-RATA HARIAN

BAB 4 ANALISIS. 4.1 Analisis Kemampuan Deteksi Objek

01. Panjang gelombang dari gambar di atas adalah. (A) 0,5 m (B) 1,0 m (C) 2,0 m (D) 4,0 m (E) 6,0 m 02.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil klasifikasi citra ALOS PALSAR filterisasi Kuan. dengan ukuran kernel size 9x dengan ukuran kernel size 3x

Gosong Semak Daun. P. Karya. P. Panggang. Gambar 2.1 Daerah penelitian.

Gambar 3.1 Peta lintasan akuisisi data seismik Perairan Alor

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Transkripsi:

BAB V ANALISIS Dalam penelitian tugas akhir yang saya lakukan ini, yaitu tentang Studi Deformasi dari Gunung Api Batur dengan menggunakan Teknologi SAR Interferometri (InSAR), studi yang saya lakukan ini tujuan utamanya adalah melihat besar deformasi yang terjadi terutama pergerakan ke arah vertikalnya dalam kurun waktu pengamatan InSAR selama 1996 2001, dengan jumlah data sebanyak 15 citra SAR. Dari tahapan pengolahan SAR yang saya lakukan, hasilnya hanya dua pasangan citra dari 15 pasangan citra yang berhasil sempurna dilakukan prosesnya, yaitu pasangan 19960423-19960424 dan 19980114-20000114, sisanya sebanyak 13 pasangan citra (dipilih berdasarkan pertimbangan diatas) tidak berhasil dilakukan proses SAR-nya. V.1 Analisis Data Kegagalan dalam pembuatan interferogram (Intereferogram Generation) Pembuatan interferogram atau biasa disebut dengan interferogram generation merupakan proses mendapatkan informasi fasa dan amplitudo dari kedua SLC yang saling bertampalan dan berkorelasi dengan jelas. Artinya disini setelah proses interferogram generation ini interferogram yang dihasilkan itu terdapat 3 diantaranya interferogram fasa, amplitudo, dan koherensinya. Dengan demikian jika kedua SLC data itu tidak memiliki korelasi yang jelas, maka ketiga informasi tersebut tidak dapat diperoleh. Contohnya pada gambar 5.1 merupakan pasangan citra 19961225-19971001 dibawah ini : 72

Gambar 5.1 Citra SLC amplitudo 19961225 (sebelah kiri) dan 19971001 (sebelah kanan) terlihat sekali kecilnya korelasi antara kedua citra tersebut Hal ini disebabkan oleh dekorelasi geometrik, artinya kedua data tersebut memiliki korelasi yang kecil yang disebabkan oleh pengaruh geometrik pengamatan. Terbukti dengan nilai squint yang berbeda signifikan yaitu untuk citra 19961225 nilai squintnya adalah 0.5616, sementara untuk citra 19961001 memiliki nilai squint sebesar - 0.576. karena nilai squint ini merupakan suatu besaran dari sudut yang dibentuk untuk arah pandang sorot sensor dalam melakukan pengambilan atau perekaman data SAR dari suatu area tertentu dipermukaan bumi. Untuk lebih jelasnya tentang squint ini, dapat dilihat pada ilustrasi gambar 5.2 dibawah ini : Satelit (T1) Satelit (T2) θ o2 θ o2 θ S2 θ S2 Gambar 5.2 Ilustrasi perekaman data SAR dengan nilai squint berbeda signifikan, dimana θ o1-2 ialah observation angle θ S1-2 merupakan Squint angle 73

Dengan perbedaan squint yang signifikan ini, menyebabkan dekorelasi geometrik antara kedua pasangan tersebut, sehingga pada saat dilakukan proses offset yang merupakan proses penentuan parameter transformasi dari area yang sama pada kedua citra SAR sulit dilakukan karena proses pencarian area yang sama dari kedua pasangan tesebut melalui korelasi amplitudo membutuhkan korelasi geometrik tadi. Selain pengaruh squint yang dapat mengakibatkan kecilnya korelasi antar kedua data pasangan tersebut, pada dekorelasi geometrik juga dipengaruhi oleh panjang baseline, contohnya pada gambar 5.3 dibawah ini interferogram fasa dan amplitudo hasil pasangan data antara 19961225-19971210 memiliki panjang baseline 440 meter. Gambar 5.3 Interferogram fasa dan amplitudo pasangan 19961225-19971210, memperlihatkan korelasinya keduanya kecil Kegagalan dalam proses phase unwrapped Sementara untuk proses unwrapped ini merupakan proses untuk memecahkan atau menentukan jumlah fasa (nilai integer fasa) lalu merubah fasa relatif menjadi fasa absolut dikarenakan pengaruh noise yang ada (atmosfer, tutupan lahan dsb) mengakibatkan fasa yang ada tidak kontinyu sehingga tahapan konversi fasa menjadi ketinggian tidak dapat dilakukan. Hal yang menyebabkan proses ini gagal ialah rendahnya koherensi (low coherence) pada kedua pasangan citra karena area studi (gunung batur-bali) tersebut kualitas datanya banyak dipengaruhi alam diantaranya perairan (danau batur), pepohonan dsb, serta penggunaan band c yang tidak terlalu baik dalam penetrasi menembus kanopi. 74

Formula umum penentuan residu pada suatu nilai fasa tertentu [Buckley, 2000]: [ ( )] (5.1.1) residue( i, j)= 1 2π ΔΦ i( i, j) ΔΦ j i, j Dengan demikian jika mayoritas residu tiap pikselnya memiliki nilai yang besar akibat dari koheren rendah dari kedua citra tersebut sehingga koreksi yang diberikan akan besar pula, akibatnya mengalami perubahan fasa melebihi batas ½ siklus atau 1π, oleh karena itu terjadi failed phase unwrapped. Dapat dilihat pada gambar 5.4 ini salah satu pasangan citra dibawah ini yang mengalami kegagalan unwrapped, Gambar 5.4 flattening interferogram dari pasangan citra 19960423-19991215 Selain itu pasangan 19960423-19991215, juga beberapa pasangan citra SAR diantaranya 19961225-19970827,19960423-19971001,1997-19980114, yang mengalami kegagalan phase unwrapped. 75

V.2 Analisis Hasil Dikaitkan dengan Aktifitas Gunung Api Dari 15 pasangan data yang dilakukan proses pengolahan SAR-nya, hanya ada 2 pasangan data dengan berhasil sempurna yaitu pasangan data 19960423-19960424 dan 19980114-20000114, dibawah ini adalah masing masing final interferogram yang telah ditumpang tindihkan dengan citra teregistrasi, sehingga kita bisa melihat area mana saja yang terjadi penurunan (deflasi) atau penaikan permukaan tanah (inflasi) dan penyebab deformasinya tersebut. Final interferogram pasangan 19960423-19960424 m Gambar 5.5 Final Interferogram pasangan citra 19960423-19960424 Dapat kita lihat pada Gambar 5.5 merupakan final interferogram diatas, warna merah merupakan level kenaikan permukaan tanah (inflasi) yang tertinggi, posisinya tersebut terletak pada sekitar area yang sekarang telah menjadi kawah dan meletus pada tahun 1998, dengan kenaikan permukaan sekitar 0.04-0.1 m ini pada tahun 1996 merupakan indikasi dari akan terjadinya letusan pada kawah 1998 tersebut. 76

Final interferogram pasangan 19980114-20000119 m Gambar 5.6 Final Interferogram pasangan citra 19980114-20000119 Sementara untuk interferogram Gambar 5.6 diatas untuk pasangan 19980114-20000119, pada warna biru tua yang mengindikasikan penurunan muka tanah tersebut yang berkisar pada 0.01 0.02m, posisinya terletak pada kawah yang meletus tahun 1998, disini artinya setelah terjadi letusan disekitar kawah tersebut permukaannya tanahnya turun (sekitar 0.01 0.02), akibat penurunan aktifitas magma dari gunung api setelah letusan 1998. tetapi penurunan (deflasi) dari permukaan tanah gunung api ini hanya 1/10 dari kenaikan yang mengindikasikan letusannya. 77

m Gambar 5.7 Grafik Deformasi vertikal pada tahun 1996 dan 1998-2000 dari sebelah barat ke timur laut gunung api batur Dapat dilihat fenomena perubahan bentuk atau deformasi dilihat dari salah satu penampang (dapat dilihat pada Gambar 5.7) area pada saat 2 tahun sebelum terjadinya letusan tahun 1998 dan 2 setelah letusannya, sangat signifikannya deformasi yang terjadi sebelum terjadinya letusan (garis warna merah) yaitu sekitar 0.1 meter inflasi atau kenaikannya. Sementara setelah terjadi letusan (garis warna biru) deformasi menjadi sebaliknya yaitu subsidence atau penurunan muka tanah akibat penurunan aktifitas vulkanisnya. 78

m Gambar 5.8 Grafik Deformasi vertikal pada tahun 1996 dan 1998-2000 dari sebelah barat ke tenggara gunung api batur Sama halnya dengan penampang yang pertama, untuk fenomena deformasi untuk kenaikan dan penurunannya terlihat secara umum tidak berbeda jauh namun, sedikit perbedaan pada penampang 2 (dapat dilihat pada Gambar 5.7) ini kenaikannya deformasinya hanya terjadi pada beberapa piksel pertama, ini dapat diartikan bahwa area yang lebih terdeformasi uplift pada penampang pertama dan juga lebih dekat dengan aktifitas magmanya. 79

V.3 Analisis Perbandingan Deformasi Vertikal antara GPS dengan InSAR Setelah kita mengetahui (pembahasan analisis hasil) nilai deformasi vertikal dari pengamatan 1996 2000 dan 1998 2000, untuk lebih meyakinkan bahwa teknologi ini sudah mampu melihat sinyal deformasi, disini saya akan bandingkan dengan pengamatan titik deformasi dengan teknologi GPS, memang yang saya akan membandingkan nilai deformasi 1999 2000 pada satu Gambar 5.9 Visualisasi titik pengamatan GPS titik hasil pengamatan GPS dengan satu nilai pada piksel (model deformasi dengan ukuran pikselnya adalah 90 x 90m) yang ditempati oleh titik GPS tersebut, yang saya akan bandingkan adalah perbandingan deformasi vertikal pada kedua titik (DB09 dan DB11) baik antara pengamatan GPS dengan pengamatan InSAR. Hasilnya adalah nilai perbandingan penurunan disekitar area DB09 dengan DB11 (dapat dilihat pada gambar 5.9) dengan metode InSAR yaitu 1.75 : 1 (-5.25 : -3.057 mm), sementara dengan metode GPS perbandingan penurunannya pada titik tersebut yaitu 1.76 : 1 (-0.316 : -0.179 m), artinya bisa dikatakan sama perbandingan deformasi kedua titik tersebut, dengan demikian dapat disimpulkan benar terdapat sinyal deformasi pada sekitar area tersebut yang nilainya tertentu. 80