I. PENDAHULUAN. tahun keuangan mikro (international microfinance year 2005), dimana lembaga

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. Modal tanah, tenaga kerja dan manajemen adalah faktor-faktor produksi,

BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN. Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Peran strategis UMKM dalam

BAB I PENDAHULUAN. yang terjadi disemua negara berkembang. Menurut Thee Kian Wie, kemiskinan

BAB II TINJAUAN UMUM USAHA MIKRO KECIL DAN MENENGAH

I. PENDAHULUAN. Keberhasilan perekonomian suatu negara dapat diukur melalui berbagai indikator

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tabel 1

BAB I PENDAHULUAN. mampu bertahan dan terus berkembang di tengah krisis, karena pada umumnya

I. PENDAHULUAN. Jumlah (Unit) Perkembangan Skala Usaha. Tahun 2009*) 5 Usaha Besar (UB) ,43

I. PENDAHULUAN. (NSB) termasuk Indonesia sering berorientasi kepada peningkatan pertumbuhan

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Negara yang kuat sering di artikan sebagai negara dengan kondisi ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. makmur yang merata secara material dan spiritual seperti yang tertuang pada

wbab I PENDAHULUAN No Indikator Satuan Tahun 2011 *) TAHUN 2012 **) PERKEMBANGAN TAHUN Jumlah % Jumlah % Jumlah %

I. PENDAHULUAN. Dalam konteks ekonomi pembangunan, perluasan terhadap ekspor. merupakan faktor penentu kunci pertumbuhan ekonomi di negara berkembang.

I. PENDAHULUAN. bentuk investasi kredit kepada masyarakat yang membutuhkan dana. Dengan

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Perkembangan Data Usaha Mikro, Kecil, Menengah, dan Usaha Besar Tahun

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan ekonomi adalah sektor UKM (Usaha Kecil Menengah). saat ini para pelaku UKM masih kesulitan dalam mengakses modal.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pelaku bisnis di Indonesia sebagian besar adalah pelaku usaha mikro, kecil

Tabel 1. Perkembangan Nilai Produk Domestik Bruto (PDB) Menurut Skala Usaha Tahun Atas Dasar Harga Konstan 2000

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Ketua Komisi VI DPR RI. Anggota Komisi VI DPR RI

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia mengambil langkah meningkatkan BI-rate dengan tujuan menarik minat

Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. oleh negara-negara sedang berkembang tetapi juga di negara-negara maju.

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Bank Perkreditan Rakyat (BPR) merupakan lembaga keuangan yang

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi pada dasarnya dicerminkan oleh terjadinya

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ekonomi yang berubah cepat dan kompetitif dengan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara yang berkembang saat ini menghadapi banyak

PERANAN KREDIT MIKRO DAN KECIL TERHADAP KINERJA USAHA KECIL DAN EKONOMI WILAYAH DI PROVINSI JAWA TENGAH BAYU NUSWANTARA

PENDAHULUAN Latar Belakang

VII. ANALISIS KEBIJAKAN

Dampak Positif UMKM Perempuan Kurangi Angka Kemiskinan

BAB I PENDAHULUAN hingga tahun 2012 terlihat cukup mengesankan. Di tengah krisis keuangan

BAB I PENDAHULUAN. kerja yang baru, jumlah unit usaha bordir yang tercatat selama tahun 2015 adalah

BAB I PENDAHULUAN. integral dan menyeluruh. Pendekatan dan kebijaksanaan sistem ini telah

BAB I PENDAHULUAN. Sektor Pertanian memegang peran stretegis dalam pembangunan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

INTERVENSI PROGRAM UNTUK MENINGKATKAN PRODUKTIVITAS UKM

I. PENDAHULUAN. Pengembangan sumberdaya manusia merupakan proses untuk. ini juga merupakan proses investasi sumberdaya manusia secara efektif dalam

BAB IV GAMBARAN UMUM OBYEK PENELITIAN. setelah Provinsi DKI Jakarta. Luas wilayah administrasi DIY mencapai 3.185,80

V. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

Bab I. Pendahuluan. memberikan bantuan permodalan dengan menyalurkan kredit pertanian. Studi ini

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan lingkungan yang tercermin dalam globalisasi pasar,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Pengertian Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM)

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Bank merupakan lembaga keuangan terpenting dan sangat. bank bagi perkembangan dunia usaha juga dinilai cukup signifikan, dimana bank

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi suatu bangsa. Industrialisasi dapat diartikan sebagai suatu proses

I. PENDAHULUAN. Distribusi Persentase PDRB Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. pada masa Orde Baru terjadi kegoncangan ekonomi dan politik. Perusahaan

I. PENDAHULUAN. Ketika krisis melanda Indonesia sejak tahun 1997 usaha kecil berperan

BAB III ASUMSI-ASUMSI DASAR DALAM PENYUSUNAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (RAPBD)

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Dalam perekonomian Indonesia, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Perbankan berperan dalam mendorong tingkat pertumbuhan ekonomi dan

Perkembangan Indikator Makro Usaha Kecil Menengah di Indonesia

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. negaranya, yaitu sebagai pemicu pertumbuhan ekonomi, inovasi, dan progres

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan ekonomi, tidak hanya di negara-negara sedang berkembang, tetapi

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK INDUSTRI KECIL KERUPUK

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. perekonomian Indonesia berdasarkan data statistik tahun 2004, dapat dilihat dari

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan adalah permasalahan semua bangsa. Berkaitan dengan. masalah kemiskinan bangsa Indonesia merasa perlu mencantumkan dalam

I. PENDAHULUAN. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Tahun

BAB I PENDAHULUAN. nasional telah menunjukkan bahwa kegiatan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah

I. PENDAHULUAN. Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan UKM, pada tahun jumlah pengusaha di Indonesia sebanyak dimana 99,7% atau

alah satu dinamika pembangunan suatu wilayah diindikasikan dengan laju pertumbuhan ekonomi wilayah tersebut. Oleh karena

BAB I PENDAHULUAN. ternyata tidak mampu bertahan dengan baik ketika krisis ekonomi yang mengarah pada krisis

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Kontribusi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) terhadap. 1. Peran UMKM terhadap Perekonomian di Indonesia

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA BAB 19 PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH

I. PENDAHULUAN. Usaha Mikro dan Kecil (UMK), yang merupakan bagian integral. dunia usaha nasional mempunyai kedudukan, potensi dan peranan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB IV LANDASAN PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN UMKM

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan ekonomi bertujuan untuk mewujudkan ekonomi yang handal. Pembangunan ekonomi diharapkan dapat meningkatkan

BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2007

BAB 1 PENDAHULUAN. tukar tereskalasi menjadi krisis multi dimensi yang dimulai akhir tahun 1997.

BAB I PENDAHULUAN. menengah (UMKM) mempunyai peran yang strategis dalam pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. Usaha Menengah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. (KSP), UMKM mampu menyerap 99,9 persen tenaga kerja di Indonesia.

ANALISIS PENILAIAN TINGKAT KESEHATAN BANK PADA BMT UMS DENGAN METODE CAMEL TAHUN

I. PENDAHULUAN Industri Pengolahan

PENDAHULUAN. Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) adalah suatu usaha yang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. domestik bruto (PBD) serta banyak menyerap tenaga kerja. Peran usaha

BAB I PENDAHULUAN. dibandingkan usaha yang tergolong besar (Wahyu Tri Nugroho,2009:4).

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Saat ini peningkatan kinerja Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM)

Usaha Kecil dan Menengah (UKM) mempunyai peran yang strategis dalam

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Pertama, Kedua, Ketiga, Keempat, Kelima, Keenam, Pertama, Kedua, Ketiga, Keempat, Kelima,

BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH. 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya;

IV. GAMBARAN UMUM Letak Geogafis dan Wilayah Administratif DKI Jakarta. Bujur Timur. Luas wilayah Provinsi DKI Jakarta, berdasarkan SK Gubernur

BAB I PENDAHULUAN. Meskipun pertumbuhan ekonomi setelah krisis ekonomi yang melanda

PNM Permodalan Nasional Madani

APBNP 2015 belum ProRakyat. Fadel Muhammad Ketua Komisi XI DPR RI

Transkripsi:

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada tahun 2005 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah mencanangkan tahun keuangan mikro (international microfinance year 2005), dimana lembaga keuangan mikro juga telah berkembang sebagai alat pembangunan ekonomi, antara lain bertujuan menciptakan kesempatan kerja dan pendapatan dengan cara menciptakan dan mengembangkan usaha mikro dan kecil, meningkatkan produktivitas dan pendapatan kelompok yang rentan, mengurangi ketergantungan masyarakat perdesaan terhadap risiko gagal panen karena musim, dan diversifikasi kegiatan usaha yang dapat menghasilkan pendapatan (Arsyad, 2008). Dalam kaitan ini maka peranan kredit terhadap perekonomian menjadi penting, baik dari aspek makro pada pertumbuhan ekonomi maupun aspek mikro pada usaha mikro dan kecil. Perkembangan ini pula sejalan dengan perekonomian Indonesia yang tidak dapat dilepaskan dari adanya peran sektor usaha mikro dan kecil. Keberadaan usaha mikro dan kecil di setiap sektor ekonomi tersebut mencerminkan wujud nyata kehidupan sosial dan ekonomi yang menjadi bagian terbesar dari rakyat. Adapun peranan strategis usaha mikro dan kecil dapat dilihat dari berbagai aspek (Bank Indonesia, 2005), yaitu: 1. Jumlah unit usahanya banyak dan terdapat hampir di setiap sektor ekonomi. 2. Potensinya yang besar dalam penyerapan tenaga kerja. 3. Kontribusi usaha mikro dan kecil dalam Produk Domestik Bruto (PDB) nasional yang cukup besar, serta potensinya dalam perkembangan nilai ekspor non migas.

2 Berdasarkan data Kemenkop dan UKM tahun 2009, tercatat 52 723 470 unit Usaha Mikro dan Kecil (UMK) atau 99 persen lebih dari total pelaku usaha yaitu UMK dan Usaha Besar (UB) di Indonesia, yang tersebar di sembilan sektor ekonomi, dengan urutan terbesar adalah sektor: (1) pertanian 50.49 persen, (2) perdagangan 28.98 persen, (3) industri pengolahan 6.15 persen, (4) pengangkutan dan komunikasi 6.49 persen, dan (5) jasa-jasa 4.32 persen. Ini mengindikasikan usaha mikro dan kecil banyak terkonsentrasi di perdesaan. Tabel 1. Perkembangan Data Usaha Mikro, Kecil, Menengah dan Besar di Indonesia Tahun 2007-2009 No Indikator Satuan Tahun 2007 2008 2009 I Total Unit Usaha Unit 50 150 263 51 414 262 52 769 280 1 Usaha Mikro Unit 49 608 953 50 847 771 52 176 795 2 Usaha Kecil Unit 498 565 522 124 546 675 3 Usaha Menengah Unit 38 282 39 717 41 133 4 Usaha Besar Unit 4 463 4 650 4 677 II Total Tenaga Kerja Orang 93 027 341 96 780 483 98 886 003 1 Usaha Mikro Orang 84 452 002 87 810 366 90 012 694 2 Usaha Kecil Orang 3 278 793 3 519 843 3 521 073 3 Usaha Menengah Orang 2 761 135 2 694 069 2 677 565 4 Usaha Besar Orang 2 535 411 2 756 205 2 674 671 III Total PDB.1) Rp.Miliar 1 883 549.0 1 997 937.9 2 088 292.3 1 Usaha Mikro Rp.Miliar 620 864.0 655 703.8 682 462.4 2 Usaha Kecil Rp.Miliar 204 395.4 217 130.2 225 478.3 3 Usaha Menengah Rp.Miliar 275 411.4 292 919.1 306 784.6 4 Usaha Besar Rp.Miliar 782 878.2 832 184.8 873 567.0 IV Total Ekspor Non Migas Rp.Miliar 794 872.1 983 540.4 953 089.9 1 Usaha Mikro Rp.Miliar 12 917.5 16 464.8 14 375.3 2 Usaha Kecil Rp.Miliar 31 619.5 40 062.5 36 839.7 3 Usaha Menengah Rp.Miliar 95 826.8 121 481.0 111 039.6 4 Usaha Besar Rp.Miliar 654 508.3 805 532.1 790 835.3 Keterangan: 1) Total PDB Harga Konstan 2000 Sumber: Kemenkop dan UKM, 2009 (diolah) Besarnya potensi usaha mikro dan kecil, ditunjukkan oleh terus meningkatnya jumlah unit usaha mikro selama kurun waktu tahun 2007 2009 rata-rata sebesar 2.59 persen per tahun, sedangkan jumlah unit usaha kecil meningkat rata-rata 4.82 persen per tahun. Pada tahun 2009 tercatat jumlah usaha

3 mikro sebanyak 52 176 795 unit atau mencapai 98.88 persen dari total jumlah usaha mikro, kecil, menengah dan besar, sedangkan jumlah usaha kecil tercatat sebanyak 546.675 unit atau sekitar 1.04 persen. Perkembangan penyerapan tenaga kerja periode tahun 2007 2009 oleh usaha mikro dan kecil terus menunjukkan peningkatan, penyerapan tenaga kerja usaha mikro meningkat rata-rata 3.29 persen per tahun, sedangkan penyerapan tenaga kerja usaha kecil meningkat rata-rata 3.69 persen per tahun. Dalam hal penyerapan tenaga kerja, peran UMK pada tahun 2009 sebesar 96 211 332 orang atau 94.59 persen dari total penyerapan tenaga kerja UMKM dan UB, tercatat usaha mikro menyerap tenaga kerja 91.03 persen dan usaha kecil menyerap tenaga kerja 3.56 persen, dengan rata-rata penggunaan tenaga kerja per unit usaha untuk usaha mikro, usaha kecil, usaha menengah, dan usaha besar masing-masing sebesar 1.7 orang, 6.4 orang, 65 orang, dan 669 orang. Untuk usaha mikro, sektor pertanian tercatat memiliki peran terbesar dalam penyerapan tenaga kerja, yaitu 42 041 979 orang atau 46.71 persen dari total tenaga kerja di usaha mikro. Sedangkan untuk usaha kecil penyerapan tenaga kerja terbesar, tercatat di industri pengolahan, yaitu 966 708 orang atau 27.45 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa penyerapan tenaga kerja sektor primer dan sekunder masih di dominasi usaha mikro dan kecil (Kemenkop dan UKM, 2009). Pada tahun 2009, nilai PDB nasional menurut harga konstan tahun 2000 sebesar Rp 2 088 292.3 miliar, dengan kontribusi usaha mikro sebesar 32.68 persen dari total PDB nasional, kontribusi usaha kecil sebesar 10.80 persen, dan sementara kontribusi usaha menengah sebesar 14.69 persen, sedangkan usaha besar berkontribusi 41.83 persen (Kemenkop dan UKM, 2009). Fenomena ini

4 bisa menggambarkan bahwa kapitalisasi usaha per unit masih rendah di usaha mikro dan kecil. Perkembangan lain di sisi ekspor non migas juga mencatat peningkatan selama periode tahun 2007 2009. Namun demikian pada ekspor non migas sampai tahun 2009 kontribusi paling besar masih dipegang oleh usaha besar yang mencatat sebesar 82.98 persen, sedangkan usaha mikro, usaha kecil, dan usaha menengah berturut-turut mencatat 1.51 persen, 3.87 persen, dan 11.65 persen. Masih rendahnya kontribusi usaha mikro dan kecil terhadap total ekspor non migas ini di sisi yang lain memberikan peluang untuk terus menggarap pasar ekspor bagi produk-produk yang dihasilkan oleh usaha mikro dan kecil. Besarnya penyerapan tenaga kerja oleh usaha mikro dan kecil ini juga diikuti dengan intensifnya dalam penggunaan sumberdaya lokal di perdesaan, sehinggga pertumbuhan usaha mikro dan kecil ini akan menimbulkan dampak positif terhadap peningkatan jumlah tenaga kerja, pemerataan dalam distribusi pendapatan dan pembangunan ekonomi di perdesaan (Kuncoro, 2003). Namun demikian potensi besar yang dimiliki oleh usaha mikro dan kecil terutama dalam upaya penyediaan lapangan kerja, pembentukan unit usaha dan pemerataan pendapatan ternyata belum banyak dimanfaatkan oleh pemerintah. Oleh karena itu perlu diagendakan upaya untuk meningkatkan peran usaha mikro, kecil, dan menengah, terutama dalam mendorong akselerasi pertumbuhan ekonomi dan memperbaiki pola pertumbuhan ekonomi (Bank Indonesia, 2005). Seperti di negara sedang berkembang di Asia, Afrika, dan Amerika Latin, usaha mikro dan kecil di Indonesia juga berperan sangat penting khususnya dari perspektif kesempatan kerja dan sumber pendapatan bagi kelompok miskin,

5 distribusi pendapatan dan pengurangan kemiskinan, dan pembangunan ekonomi perdesaan. Karena itu menurut Priyarsono (2011), pengembangan industri kecil akan memberikan dampak positif yang besar terhadap pertumbuhan ekonomi, serta akan mendorong terwujudnya distribusi pendapatan yang lebih merata antara kelompok masyarakat. Secara sektoral sub-sektor industri pengolahan yang berbasis pertanian (agroindustri), menunjukkan kinerja yang lebih baik dari subsektor industri pengolahan lainnya karena mampu mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi sekaligus distribusi secara merata. Jika dilihat dari sumbangannya terhadap pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) Nasional dan ekspor non migas, khususnya produk manufaktur serta inovasi dan pengembangan teknologi, peran usaha mikro dan kecil di negaranegara sedang berkembang masih relatif rendah, dan ini juga yang sebenarnya menjadi perbedaan yang utama dengan usaha mikro, kecil dan menengah di negara-negara maju. Usaha mikro, kecil dan menengah di Indonesia seperti juga negara-negara sedang berkembang lainnya, secara spesifik memiliki ciri-ciri sebagai berikut (Tambunan, 2009): 1. Jumlah perusahaan, terutama dari kelompok usaha mikro dan kecil sangat besar dan tersebar di seluruh pelosok perdesaan. 2. Umumnya bersifat padat karya, sehingga berpotensi menumbuhkan kesempatan kerja yang sangat besar. 3. Usaha mikro dan kecil menggunakan teknologi yang lebih sesuai terhadap proporsi faktor produksi dan kondisi lokal setempat, yaitu sumberdaya alam dan tenaga kerja berpendidikan rendah yang jumlahnya berlebih.

6 4. Karena banyak tersebar di perdesaan, usaha mikro dan kecil mempunyai kegiatan produksi yang umumnya berbasis pertanian. 5. Pemilik usaha mikro dan kecil pada umumnya membiayai sebagian besar kegiatan produksinya dengan tabungan pribadi, ditambah pinjaman atau bantuan dari kerabat, atau dari pemberi kredit informal, pedagang pengumpul, pemasok bahan baku, dan pembayaran di muka dari konsumen. Secara spesifik pula sektor usaha mikro dan kecil di Indonesia memiliki karakteristik yang berbeda dengan usaha besar, antara lain terlihat pada kebanyakan usaha mikro dan kecil yang belum berbadan hukum dan merupakan usaha perorangan yang tidak memiliki laporan keuangan yang terpisah antara usaha dan pemiliknya. Manajemen usaha mikro dan kecil umumnya merupakan usaha keluarga yang dikelola secara turun temurun (Bank Indonesia, 2005). Dari sisi modal, kebanyakan usaha mikro dan kecil memulai usahanya dengan modal sendiri dan sebagian kecil yang telah melakukan pendekatan terhadap lembaga keuangan dalam rangka memperoleh pinjaman usahanya. Masih rendahnya tingkat pinjaman usaha mikro dan kecil kepada lembaga keuangan formal disebabkan beberapa permasalahan antara lain: (1) kurangnya aksesibilitas usaha mikro dan kecil kepada lembaga keuangan formal terutama informasi dan persyaratan kredit, (2) tidak adanya agunan kredit, (3) kurangnya kemampuan manajemen keuangan, (4) rendahnya kualitas sumberdaya manusia, dan (5) terbatasnya kompetensi kewirausahaan dan permodalan (Bank Indonesia, 2005). Kredit mikro dan kecil yang diperuntukkan khusus untuk usaha mikro, usaha kecil dan usaha menengah yang difasilitasi atau disubsidi oleh pemerintah sebenarnya telah lama ada sejak awal pemerintahan orde baru di akhir tahun

7 1960-an. Pemberian kredit bersubsidi oleh pemerintah diawali dengan pola kredit bimas (bimbingan massal) dan pada awal tahun 1970-an Bank Indonesia (BI) meluncurkan antara lain dua skema kredit program yang sangat populer yaitu: Kredit Investasi Kecil (KIK) dan Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP). Namun kredit program ini setelah diberlakukannya UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, kemudian dialihkan ke lembaga khusus yaitu PT. Permodalan Nasional Mandiri (PNM) (Tambunan, 2009). Namun demikian masih banyak usaha mikro dan kecil yang belum terjangkau lembaga keuangan formal termasuk lembaga keuangan mikro, seperti tercermin oleh hasil survei dari Badan Pusat Statistik terhadap usaha mikro dan kecil di industri pengolahan yang menunjukkan bahwa sumber modal usaha mikro dan kecil, terbesar bukan dari lembaga kredit, tetapi dari modal sendiri (BPS, 2006). Karena itu sudah mendesak saatnya bagi perbankan nasional untuk menggarap usaha mikro dan kecil secara lebih serius, untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional. Selain karena terbukti dapat menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar, usaha mikro dan kecil juga mampu menghasilkan produk dalam jumlah besar sekaligus bersaing di dunia internasional, mengingat jumlah unit usahanya yang sangat besar di Indonesia. Data pada tahun 2002 dari sekitar 42 juta unit usaha mikro, kecil dan menengah di Indonesia, ternyata hanya sekitar 22.14 persen yang menikmati akses permodalan dari perbankan maupun lembaga keuangan mikro. Kondisi ini menggambarkan masih besarnya permasalahan yang dihadapi usaha mikro dan kecil dalam akses permodalan. Namun di sisi yang lain hal ini memberikan potensi yang sangat besar dalam penyaluran kredit karena masih terbuka pasar

8 yang luas untuk skim-skim kredit skala mikro dan kecil (Wijono, 2005). Kondisi lainnya juga digambarkan bahwa pasar usaha mikro dan kecil yang digarap oleh perbankan baru sekitar 30 persen saja secara nasional, dan 70 persen sisanya, belum tergarap oleh perbankan nasional (Abdullah, 2006). Hal ini merupakan peluang bagi lembaga keuangan mikro, baik bank maupun non bank untuk terus menggarap usaha mikro dan kecil, terutama usaha yang belum bankable. 1.2. Rumusan Masalah Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu provinsi di Indonesia dengan jumlah penduduk yang besar. Pada tahun 2009 tercatat 32 864 563 jiwa dengan kepadatan sekitar 1 010 jiwa per km2. Wilayahnya terletak diantara dua provinsi besar, yaitu Jawa Barat dan Jawa Timur, sebelah utara berbatasan dengan laut Jawa dan di sebelah selatan berbatasan dengan Daerah Istimewa Yogyakarta dan Samudra Hindia. Secara administratif provinsi Jawa Tengah mempunyai luas wilayah 3 254 412 hektar atau sekitar 25.04 persen dari luas pulau Jawa atau 1.7 persen dari luas Indonesia (BPS Semarang, 2009). Angkatan kerja di Jawa Tengah berjumlah sekitar 17 087 649 jiwa atau 51.99 persen jumlah penduduk. Dari total angkatan kerja ini terdapat 15 835 383 jiwa atau 92.67 persen adalah angkatan kerja yang bekerja. Sementara itu dari total angkatan kerja yang bekerja ini, tercatat 2 942 281 jiwa bekerja berusaha sendiri, 3 650 147 jiwa bekerja berusaha dibantu buruh tidak tetap, dan 405 682 jiwa bekerja berusaha dibantu buruh tetap. Kelompok inilah yang akan menjadi basis dari unit usaha dan tenaga kerja pada kegiatan usaha mikro dan kecil di Jawa Tengah (BPS Semarang, 2009).

9 Jumlah 29 kabupaten yang ditetapkan melalui Undang-undang pada tahun 1950 hingga sekarang tidak mengalami pemekaran wilayah, dan dengan jumlah penduduk yang besar mencapai 32 juta jiwa lebih serta kondisi sosial politik yang stabil dalam kurun waktu sekitar tiga dekade terakhir ini maka provinsi Jawa Tengah merupakan wilayah yang sangat potensial bagi upaya pengembangan usaha mikro dan kecil, serta diharapkan bisa memberikan kontribusi yang besar terhadap ekonomi wilayah. Bank Indonesia (BI) Semarang (2008) menyatakan besarnya jumlah dan keberadaan usaha mikro, kecil dan menengah, serta tingginya penyaluran kredit yang diberikan oleh perbankan, membuat Jawa Tengah mendapat sebutan heart of small medium enterprises. Berdasarkan data Sensus Ekonomi BPS (2006), di Jawa Tengah tercatat 3 673 009 unit Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM), terdiri dari 3 605 499 unit usaha mikro atau 98.16 persen, 63 346 unit usaha kecil atau 1.73 persen, dan 4 164 unit usaha menengah atau 0.11 persen. Sedangkan jumlah tenaga kerja yang terserap oleh UMK ini sebanyak 7 461 797 orang, masingmasing 6 570 731 orang di usaha mikro atau 88.06 persen, 550 222 orang di usaha kecil atau 7.37 persen, dan 340 844 orang di usaha menengah atau 4.57 persen. Rata-rata penggunaan tenaga kerja per unit usaha untuk usha mikro, usaha kecil, dan usaha menengah masing-masing 1.8 orang, 8.7 orang, dan 81 orang. Angka ini diatas rata-rata nasional. Data Bank Indonesia (2006), mencatat jumlah kantor BRI unit sebanyak 688 kantor dengan 640 255 peminjam dan total pinjaman (outstanding Kupedes) sebesar Rp 3 208.23 miliar. Jumlah bank BPR sejumlah 542 kantor dengan tingkat kinerja, Ratio Pinjaman terhadap Simpanan (LDR) sebesar 90.20 persen dan rata-

10 rata Ratio Kecukupan Modal (CAR) sebesar 18.59 persen. Data jumlah Koperasi Simpan Pinjam (KSP/USP) tercatat 5 920 unit koperasi dengan jumlah anggota koperasi sebanyak 2 553 086 orang (Kemenkop dan UKM, 2006). Posisi kredit mikro, kecil dan menengah yang diberikan bank umum (bank pemerintah, swasta nasional, dan swasta asing) dan BPR, menurut plafond kredit di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009, tercatat Rp 69 148 miliar dengan rincian untuk kredit mikro (sampai dengan Rp.50 juta) sebesar Rp 27 165 miliar atau 39.28 persen, untuk kredit kecil (diatas Rp 50 juta sampai dengan Rp 500 juta) sebesar Rp 24 451 miliar atau 35.36 persen, dan untuk kredit menengah (diatas Rp 500 juta sampai dengan Rp 5 miliar) sebesar Rp 17 532 miliar atau 25.35 persen (Bank Indonesia Semarang, 2009). Dari total posisi kredit mikro, kecil dan menengah sebesar Rp 69 148 miliar, sebanyak 92.53 persen disalurkan oleh bank umum (pemerintah maupun swasta) sedangkan sisanya 7.47 persen disalurkan melalui Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Di Jawa Tengah keberadaan unit usaha mikro, kecil dan menengah banyak terkonsentrasi di sektor perdagangan, industri pengolahan, dan pertanian (BPS Semarang, 2006). Sementara kontribusi sektoral terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) tercatat sektor industri pengolahan mencapai 30.82 persen, sektor perdagangan 21.50 persen, sektor pertanian 19.89 persen, dan sektor jasa mencapai 10.90 persen (BPS Semarang, 2009). Kondisi ini bisa menggambarkan kontribusi usaha mikro dan kecil terhadap PDRB sektoral sebagai proksi ekonomi wilayah. Apabila kredit mikro dan kecil yang disalurkan oleh bank umum dan BPR dapat terus ditingkatkan, maka akan mampu

11 mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah. Namun demikian masih ada beberapa kendala bagi usaha mikro dan kecil dalam mengakses kredit dari perbankan. Menggunakan data hasil survei (BPS, 2006), terlihat bahwa kebutuhan modal bagi usaha mikro sebanyak 82.41 persen diperoleh dari modal sendiri, 2.86 persen berasal dari pinjaman, dan 14.73 persen berasal dari gabungan modal sendiri dan pinjaman. Sedangkan untuk usaha kecil kebutuhan sumber modal 68.85 persen berasal dari modal sendiri, 1.75 persen berasal dari pinjaman, dan 29.40 persen diperoleh dari gabungan modal sendiri dan pinjaman. Sedangkan untuk asal pinjaman dari usaha mikro 54.54 persen berasal bank, dan sisanya 45.46 persen berasal dari koperasi, modal ventura, lembaga non bank, keluarga, perorangan, dan lainnya. Untuk usaha kecil pinjaman diperoleh 15.62 persen dari bank, sisanya 84.38 persen berasal dari koperasi, modal ventura, lembaga non bank, keluarga, perorangan, dan sumber lainnya. Sementara itu hasil survei database terhadap pelaku UMKM (Bank Indonesia Semarang, 2008), menunjukkan: (1) aspek keuangan, sekitar 61 persen sumber dana UMKM berasal dari modal sendiri, dan hanya sekitar 39 persen yang berasal dari modal pinjaman. Suku bunga pinjaman paling murah 0.12 persen per bulan dan paling mahal 3 persen per bulan. Sebagian besar sekitar 44 persen agunan berupa tanah dan bangunan, (2) aspek hukum dan manajemen, sekitar 45.71 persen pelaku usaha hanya memiliki satu macam perijinan, dalam arti belum semuanya perijinan dimiliki. Berkaitan dengan pengalaman berwirausaha, sekitar 61.90 persen pelaku usaha telah memiliki pengalaman bekerja sebelumnya sebagai wirausaha dalam jenis usaha yang lain maupun sebagai karyawan. Sebagian besar atau sekitar 48.6 persen pemilik usaha berpendidikan SMA/SMK

12 atau yang setara, dan (3) aspek produksi dan pasar, terdapat 56.52 persen usaha beroperasi sebanding atau lebih besar dari kapasitas produksi. Sistem pembayaran bahan baku yang dilakukan 76.81 persen adalah tunai. Wilayah pemasaran produk sekitar 70.84 persen di wilayah Jawa Tengah, sekitar 27 persen di luar wilayah Jawa Tengah, dan untuk pemasaran ke luar negeri hanya 2.52 persen yang mampu mengaksesnya. Sistem pembayaran penjualan 63.81 persen adalah tunai. Usaha kecil umumnya lebih efisien dibandingkan usaha besar atau usaha menengah, dimana usaha kecil berada pada mekanisme pasar yang kompetitif. Besarnya kontribusi terhadap pendapatan nasional menunjukkan bahwa usaha kecil dapat diandalkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi (Tambunan, 2004). Namun demikian dinamika usaha pada kelompok usaha mikro dan kecil cukup tinggi, karena iklim usaha yang sangat kompetitif, hambatan masuk yang rendah, margin keuntungan yang tidak terlalu tinggi, dan perputaran usaha yang cepat, serta tingkat drop-out usaha yang tinggi (Kuncoro, 2003). Hal ini memerlukan perhatian yang lebih serius dalam upaya mengembangkan usaha mikro, kecil dan menengah. Kebutuhan kredit mikro dan kecil bagi usaha kecil selama juga ini dilayani oleh lembaga keuangan mikro. Selain menyediakan beragam jenis pelayanan keuangan, seperti kredit mikro dan kecil, tabungan, pembayaran, maupun deposito, lembaga keuangan mikro dalam berbagai pendekatannya juga mencakup, (1) pelayanan terhadap kelompok rakyat miskin, seperti kelompok yang terpinggirkan oleh sistem keuangan formal, dan (2) menggunakan prosedur dan mekanisme yang kontekstual dan fleksibel (Ismawan, 2003).

13 Jenis lembaga keuangan mikro sangat bervariasi, baik ditinjau dari sisi kelembagaan, tujuan pendirian, budaya masyarakat, maupun sasaran lainnya. Lembaga Keuangan Mikro (LKM) di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu bank dan non bank. LKM bank terdiri dari Bank Perkreditan Rakyat (BPR), dan BRI Unit, sementara LKM non bank yang formal mencakup Koperasi (Koperasi Simpan Pinjam dan Koperasi Unit Desa) dan Pegadaian. Adapun LKM non bank yang informal terdiri dari berbagai Kelompok dan Lembaga Swadaya Masyarakat (KSM dan LSM), Baitul Maal wat Tamwil (BMT), Lembaga Ekonomi Produktif Masyarakat Mandiri (LEPMM), serta berbagai bentuk kelompok lainnya (Ibrahim, 2003). Lembaga-lembaga keuangan mikro ini masih berperan besar bagi masyarakat, terutama yang berada di perdesaan. Dari uraian tersebut diatas terdapat beberapa fakta yang patut dicatat dalam merumuskan permasalahan secara umum: (1) kontribusi perbankan dalam menggarap pasar usaha mikro dan kecil secara nasional, baru mencapai angka sekitar 30 persen ini mengindikasikan adanya kesulitan usaha mikro dan kecil untuk memperoleh kredit atau adanya kesenjangan antara pengetahuan UMKM dengan produk dan prosedur perkreditan perbankan, (2) kontribusi usaha mikro dan kecil dalam penciptaan dan penyerapan tenaga kerja di Jawa Tengah sangatlah besar, hingga mencapai sekitar 95 persen pasar tenaga kerja dan menyerap sekitar 6.9 juta tenaga kerja, dan (3) kemampuan daya tahan usaha mikro dan kecil selama pasca krisis ekonomi menunjukkan bahwa usaha mikro khususnya, sangatlah feasible secara bisnis tetapi belum bankable dalam mengakses kredit.

14 Berdasarkan uraian diatas maka secara spesifik dapat dirumuskan permasalahan dari penelitian ini yaitu: 1. Bagaimana peranan kredit mikro dan kecil terhadap kinerja usaha kecil? 2. Sejauhmana peranan kredit dari lembaga keuangan mikro terhadap ekonomi wilayah? 1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya, maka tujuan penelitian ini adalah : 1. Menganalisis pengaruh kredit mikro dan kecil terhadap kinerja usaha kecil. 2. Menganalisis pengaruh kredit mikro dan kecil dari lembaga keuangan mikro terhadap ekonomi wilayah. 3. Merumuskan kebijakan pengembangan kredit mikro dan kecil yang mampu meningkatkan kinerja usaha kecil. Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Sebagai bahan masukan dalam pengelolaan kebijakan pengembangan kredit mikro dan kecil untuk meningkatkan kinerja usaha kecil serta kaitannya dengan pengembangan ekonomi wilayah. 2. Sebagai sumbangan akademis dalam penelitian mengenai pengembangan kredit mikro dan kecil dari lembaga keuangan mikro dimasa mendatang, khususnya di Jawa Tengah.

1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian 15 Penelitian ini dilakukan di wilayah Provinsi Jawa Tengah dengan dua fokus utama, yaitu: (1) peranan kredit mikro dan kecil terhadap kinerja usaha kecil, dan (2) peranan kredit mikro dan kecil dari lembaga keuangan mikro yang dikaitkan dengan upaya peningkatan ekonomi wilayah. Adapun lingkup penelitian ini meliputi: 1. Contoh (sampel) adalah pelaku usaha kecil yang bergerak dalam kegiatan usaha produk makanan olahan, yang memperoleh kredit mikro atau kredit kecil, baik yang berasal dari bank maupun dari non bank. 2. Pelaku usaha kecil yang menjadi contoh diambil dari wilayah Kabupaten Semarang, Magelang, dan Klaten. Wilayah ini merupakan sentra kegiatan usaha kecil yang potensial di Jawa Tengah. 3. Kinerja usaha kecil yang diamati adalah dengan melihat indikator utama pada penerimaan usaha kecil, sedangkan indikator kinerja usaha yang juga dilihat adalah pendapatan usaha, penggunaan bahan baku, bahan bakar dan tenaga kerja, serta pengambilan kredit. 4. Usaha kecil yang bergerak dalam makanan olahan ini, masing-masing menghasilkan produk yang tidak selalu sama, baik jenis maupun satuannya. Karena itu digunakan satuan rupiah per tahun, untuk menghitung nilai penggunaan sarana produksi, pengambilan kredit, serta hasil produksi. 5. Untuk melihat peranan kredit mikro dan kecil dari lembaga keuangan mikro terhadap ekonomi wilayah, akan diamati data kredit mikro dan yang disalurkan melalui bank umum, bank perkreditan rakyat, kupedes dari BRI Unit, dan

16 pinjaman dari koperasi simpan pinjam, serta indikator ekonomi wilayah yang mengacu pada PDRB sektor : pertanian, industri, perdagangan, dan jasa-jasa. 6. Untuk keperluan analisis digunakan model ekonometrika menggunakan persamaan simultan, dengan metode Two Stage Least Squares (2SLS), menggunakan data primer (cross section) dari hasil recall data melalui kegiatan survei dan data primer berupa data pool (cross section dan time series), dari model ekonomi usaha kecil, dan model keterkaitan kredit dan ekonomi wilayah. Sedangkan keterbatasan penelitian ini meliputi: 1. Model ekonomi usaha kecil, hanya melibatkan usaha kecil yang bergerak pada kegiatan produksi makanan olahan yang berbasis bahan baku lokal, seperti: ketela pohon, tepung tapioka, tepung aren, pisang, kedelai, dan kulit rambak. 2. Penelitian ekonomi usaha kecil penerima kredit mikro dan kecil yang dilakukan hanya di wilayah Kabupaten Semarang, Magelang, dan Klaten. 3. Model keterkaitan kredit dan ekonomi wilayah merupakan model ekonomi tertutup yang tidak memasukkan data ekspor-impor kabupaten. 4. Penelitian ini menggunakan data kabupaten di wilayah Provinsi Jawa Tengah yang berjumlah 29 kabupaten, tetapi tidak termasuk 6 (enam) kota yang ada di Jawa Tengah.