BAB I PENDAHULUAN. memperbaiki struktur pemerintahan dan kualitas pembangunan nasional guna

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. rakyat. Untuk mencapai cita-cita tersebut pemerintah mengupayakan. perekonomian adalah komponen utama demi berlangsungnya sistem

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan ke arah desentralisasi. Salinas dan Sole-Olle (2009)

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN. Provinsi Jawa Tengah sebagai salah satu Provinsi di Jawa, letaknya diapit

BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH

BAB I PENDAHULUAN. (Khusaini 2006; Hadi 2009). Perubahan sistem ini juga dikenal dengan nama

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi mengikuti pola yang tidak selalu mudah dipahami. Apabila

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional. Pembangunan di Indonesia secara keseluruhan

BAB I PENDAHULUAN. terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan yang didasarkan kekhasan daerah

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumber-sumber yang ada

BAB I PENDAHULUAN. meningkat. Kemampuan yang meningkat ini disebabkan karena faktor-faktor. pembangunan suatu negara (Maharani dan Sri, 2014).

BAB I PENDAHULUAN. menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan

I. PENDAHULUAN. cepat, sementara beberapa daerah lain mengalami pertumbuhan yang lambat.

BAB I PENDAHULUAN. sampai ada kesenjangan antar daerah yang disebabkan tidak meratanya

BAB I PENDAHULUAN. kebijakan tersendiri dalam pembangunan manusia,hal ini karena. sistem pemerintahan menjadi desentralisasi.

BAB I PENDAHULUAN. World Bank dalam Whisnu, 2004), salah satu sebab terjadinya kemiskinan

PROVINSI JAWA TENGAH. Data Agregat per K b t /K t

I. PENDAHULUAN. bertujuan untuk mencapai social welfare (kemakmuran bersama) serta

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan pembangunan ekonomi tradisional. Indikator pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. untuk meningkatan pertumbuhan PDB (Produk Domestik Bruto) di tingkat

BAB 1 PENDAHULUAN. dan Jusuf Kalla, Indonesia mempunyai strategi pembangunan yang

BAB I PENDAHULUAN. yang melibatkan seluruh kegiatan dengan dukungan masyarakat yang. berperan di berbagai sektor yang bertujuan untuk meratakan serta

BAB I PENDAHULUAN. perubahan mendasarkan status sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusiinstitusi

PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2018 TAHUN 2012 TENTANG

GUBERNUR JAWA TENGAH

BAB 5 PEMBAHASAN. Tabel 5.1 Ringkasan Hasil Regresi

GUBERNUR JAWA TENGAH

PENGARUH DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP ANGKA MELEK HURUF, DAN ANGKA PARTISIPASI SEKOLAH DI KABUPATEN/KOTA PROVINSI JAWA TENGAH PERIODE 2010 DAN 2011

PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2013

GUBERNUR JAWA TENGAH

BAB I PENDAHULUAN. turun, ditambah lagi naiknya harga benih, pupuk, pestisida dan obat-obatan

PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH TAHUN 2014 PROVINSI JAWA TENGAH

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 27 TAHUN 2015 TENTANG

ASPEK : PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMAKAIAN KONTRASEPSI INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU

ASPEK : PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMAKAIAN KONTRASEPSI INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU

TIM KOORDINASI PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAERAH KABUPATEN KENDAL. 0 Laporan Pelaksanaan Penanggulangan Kemiskinan Daerah (LP2KD) Kabupaten Kendal

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sektor industri mempunyai peranan penting dalam pembangunan ekonomi

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN. Jawa Tengah terletak di antara B.T B.T dan 6 30 L.S --

TABEL 4.1. TINGKAT KONSUMSI PANGAN NASIONAL BERDASARKAN POLA PANGAN HARAPAN

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK

BAB I PENDAHULUAN. keadilan sejahtera, mandiri maju dan kokoh kekuatan moral dan etikanya.

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan dasar hidup sehari-hari. Padahal sebenarnya, kemiskinan adalah masalah yang

ASPEK : PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMAKAIAN KONTRASEPSI INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU

BPS PROVINSI JAWA TENGAH

DAFTAR ISI. RAD MDGs Jawa Tengah

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH AGUSTUS 2011: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 5,93 PERSEN

EVALUASI DAERAH PRIORITAS PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAN PENARGETAN BERBASIS WILAYAH

BAB IV GAMBARAN UMUM

BPS PROVINSI JAWA TENGAH

I. PENDAHULUAN. negara untuk mengembangkan outputnya (GNP per kapita). Kesejahteraan

BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH

PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 116 TAHUN 2016 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. sejahtera, makmur dan berkeadilan. Akan tetapi kondisi geografis dan

Gambar 4.1 Peta Provinsi Jawa Tengah

KONDISI UMUM PROVINSI JAWA TENGAH

GUBERNUR JAWA TENGAH,

BAB I BAB I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan latar belakang, rumusan masalah, batasan masalah, tujuan

BAB III METODE PENELITIAN. mengemukakan definisi metode penelitian sebagai berikut: mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu.

BAB III METODE PENELITIAN

BPS PROVINSI JAWA TENGAH

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH

PENEMPATAN TENAGA KERJA. A. Jumlah Pencari Kerja di Prov. Jateng Per Kab./Kota Tahun 2016

BAB I PENDAHULUAN. keberhasilan reformasi sosial politik di Indonesia. Reformasi tersebut

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH

KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 561.4/52/2008 TENTANG UPAH MINIMUM PADA 35 (TIGA PULUH LIMA) KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2009

PENEMPATAN TENAGA KERJA

TABEL 2.1. ESTIMASI KETERSEDIAAN PANGAN JAWA TENGAH 2013 ASEM _2012

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH

GUBERNUR JAWA TENGAH

KATA PENGANTAR. Demikian Buku KEADAAN TANAMAN PANGAN JAWA TENGAH kami susun dan semoga dapat digunakan sebagaimana mestinya.

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

KEMENTERIAN DALAM NEGERI DIREKTORAT JENDERAL BINA KEUANGAN DERAH

GUBERNURJAWATENGAH. PERATURANGUBERNUR JAWA TENGAH NOM0R '2 TAJroJii 2e15 TENTANG

KEGIATAN PADA BIDANG REHABILITASI SOSIAL TAHUN 2017 DINAS SOSIAL PROVINSI JAWA TENGAH

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN. Kabupaten yang berada di wilayah Jawa dan Bali. Proses pembentukan klaster dari

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2015

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Tembakau merupakan salah satu komoditas perdagangan penting di dunia. Menurut Rachmat dan Sri (2009) sejak tahun

BAB III METODE PENELITIAN. kepada pemerintah pusat. Penulis melakukan pengambilan data

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang. Tabel 1 Peringkat daya saing negara-negara ASEAN tahun

Lampiran 1. Data Penelitian No Kabupaten Y X1 X2 X3 1 Kab. Cilacap Kab. Banyumas Kab.

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan merangsang proses produksi barang. maupun jasa dalam kegiatan masyarakat (Arta, 2013).

LUAS TANAM, LUAS PANEN DAN PREDIKSI PANEN PADI TAHUN 2016 DINAS PERTANIAN TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA PROVINSI JAWA TENGAH

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2015

I. PENDAHULUAN. pembangunan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. 80-an telah berubah, dari paradigma government driven growth ke public

Keadaan Tanaman Pangan dan Hortikultura Jawa Tengah April 2015

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

RUANG LINGKUP KERJA DINAS TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI PROVINSI JAWA TENGAH

BAB III ANALISIS DAN PEMBAHASAN. Jawa Tengah merupakan sebuah provinsi Indonesia yang terletak di bagian

GUBERNUR JAWA TENGAH

HASIL SENSUS PERTANIAN 2013 (ANGKA TETAP)

Gambar 1 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Jawa Tengah,

KEPALA KANTOR WILAYAH KEMENTERIAN AGAMA PROVINSI JAW A TENGAH,

BAB I PENDAHULUAN. Beberapa waktu terakhir, pemerintah telah menerapkan sistem. pembangunan dengan fokus pertumbuhan ekonomi dengan menurunkan tingkat

PEDOMAN PENYUSUNAN JAWABAN TERMOHON TERHADAP PERMOHONAN PEMOHON (PERSEORANGAN CALON ANGGOTA DPD)

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang senantiasa memperbaiki struktur pemerintahan dan kualitas pembangunan nasional guna mewujudkan cita-cita bangsa yang sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Demi mencapai cita-cita tersebut pemerintah mengupayakan dengan berbagai cara, salah satunya meningkatkan perekonomian bangsa. Kesuksesan sistem perekonomian dapat dilihat dari besarnya pendapatan negara terutama pendapatan daerah. Semakin besar pendapatan daerah yang diterima pemerintah daerah semakin besar pula dana yang dapat digunakan untuk membiayai kegiatan pembangunan dan meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat. Dengan demikian perekonomian adalah komponen utama demi berlangsungnya sistem pemerintahan. Pada awal tahun 2001 Indonesia melakukan perombakkan besarbesaran terhadap sistem pengelolahan pemerintahan. Proses pelaksanaannya diawali dengan penyempurnaan tatanan politik pemerintahan terhadap UU No. 22 Tahun 1999 diganti dengan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang ditindak lanjuti melalui PP No. 38 Tahun 2007 tentang Penyerahan Urusan Pemerintahan dari Pemerintah Pusat Kepada Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Sesuai prinsip 1

2 money follow function yang menjelaskan bahwa pengalokasian anggaran harus didasarkan pada fungsi masing-masing unit/satuan kerja yang telah ditetapkan undang-undang dan diikuti dengan pemberian sumber-sumber keuangan melalui mekanisme perimbangan keuangan sebagaimana diatur dalam UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota yang menggantikan UU No. 25 Tahun 1999. Berdasarkan peraturan undang-undang tersebut, muncullah kebijakan baru pemerintah yang dikenal dengan otonomi daerah yang kemudian diberlakukanlah sistem desentralisasi fiskal. Otonomi daerah merupakan amanat konstitusi dan kebutuhan objektif dalam penyelenggaraan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kebijakan ini diharapkan mampu menunjang tujuan nasional Indonesia. Dalam pembentukkan otonomi daerah harus memperhatikan faktor-faktor kemampuan ekonomi, jumlah penduduk, luas daerah, pertahanan dan keamanaan nasional serta syarat-syarat lain yang mendukung. Selain itu diberlakukan pula prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Otonomi yang nyata dapat diartikan bahwa kewenangan, tugas, dan kewajiban pemerintah daerah dilaksanakan berdasarkan potensi dan kekhasan daerah sedangkan pengertian otonomi yang bertanggungjawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan otonomi daerah itu sendiri termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional (Darise, 2006). Keputusan pemerintah pusat memberi wewenang kepada pemerintah daerah dalam

3 mengatur rumah tangganya sendiri bertujuan untuk meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat dan melancarkan pembangunan daerah agar tidak terjadi ketimpangan pembangunan. Kebijakan otonomi daerah tidak hanya berhenti pada pembagian dana pembangunan yang relatif adil antara pemerintah pusat dan daerah yang diwujudkan dalam bentuk dana perimbangan (balancing fund), tetapi keberhasilan otonomi daerah juga diukur dari seberapa besar porsi sumbangan masyarakat lokal terhadap pertumbuhan ekonomi daerah dan produk domestik regional bruto (PDRB). Produk domestik regional bruto adalah kegiatan perekonomian masyarakat daerah atau regional yang mengahasilkan barang atau jasa dalam waktu atau periode tertentu dan biasanya satu tahun. Produk domestik regional bruto digunakan sebagai salah satu indikator ekonomi yang memuat berbagai instrumen perekonomian, agar dapat melihat keadaan makro ekonomi suatu daerah yang mengacu pada pertumbuhan ekonomi, pendapatan perkapita dan berbagai instrumen lainnya. Oleh karena itu kesuksesan otonomi daerah tidak hanya tanggung jawab penyelenggara pemerintahan daerah yakni bupati atau walikota serta perangkat daerah lainnya, tetapi juga seluruh masyarakat lokal di tiap-tiap daerah (Saragih, 2003 dalam Sianturi, 2011). Demi terwujudnya otonomi daerah di Indonesia, pemerintah pusat melakukan gebrakan di bidang keuangan yaitu dengan merubah kebijakan sentralisasi menjadi kebijakan desentralisasi. Kebijakan sentralisasi mengandung arti bahwa segala hal yang berhubungan dengan pemerintahan dan pembangunan merupakan wewenang pusat dan dilaksanakan sepenuhnya

4 oleh para birokrat pusat. Hal ini mengakibatkan ketergantungan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat dan menciptakan ketimpangan pembangunan diberbagai wilayah Indonesia. Terlebih lagi Indonesia merupakan negara kepulauan dengan perbedaan karakteristik wilayah. Untuk mengatasi masalah tersebut pemerintah pusat menciptakan kebijakan baru, dimana pemerintah daerah diberi kesempatan yang relatif luas bagi tumbuhnya partisipasi masyarakat serta mendorong daerah untuk melakukan keputusan secara mandiri tanpa harus bergantung dari kebijakan pusat (Soebagiyo, 2013). Selain itu pemerintah daerah juga diberi tanggung jawab untuk mengatur perekonomian daerah dibidang fiskal yang meliputi aspek penerimaan dan aspek pengeluaran. Kebijakan ini dikenal dengan kebijakan desentralisasi fiskal. Desentralisasi fiskal di Indonesia dilakukan dengan memberikan diskresi belanja daerah yang luas dan didukung oleh pendanaan transfer dari pusat ke daerah dalam bentuk dana perimbangan (Sipahutar, 2013). Dana transfer dari pemerintah pusat berupa bagi hasil pajak dan bagi hasil non pajak (SDA), dana alokasi umum (DAU), serta dana alokasi khusus (DAK). Transfer dana ini diharapkan dapat membantu pemerintah daerah dalam membiayai kegiatan operasionalnya sehari-hari. Perubahan sistem keuangan yang dilakukan oleh pemerintah diharapkan mampu memberikan manfaat diberbagai sektor, seperti sektor publik, kesehatan, pendidikan dan keamanan. Manfaatnya antara lain: Pertama, mendorong peningkatan partisipasi, prakarsa dan kreativitas

5 masyarakat dalam pembangunan, serta mendorong pemerataan hasil-hasil pembangunan (keadilan) di seluruh daerah dengan memanfaatkan sumber daya dan potensi yang tersedia di masing-masing daerah. Kedua, memperbaiki alokasi sumber daya produktif melalui pergeseran peran pengambilan keputusan publik ketingkat pemerintah yang paling rendah yang memiliki informasi yang paling lengkap (Shah, 1997 dalam Mardiasmo, 2002). Menurut Guritno (2001) dalam Bakti dan Kodatie (2012) pada tingkat daerah kebanyakan layanan yang disediakan adalah quasi public goods dimana barang dapat dimanfaatkan dan dikonsumsi secara bersama-sama tetapi dapat terjadi kepadatan dan dijual melalui pasar atau langsung oleh pemerintah. Dengan kondisi seperti ini pemerintah harus pintar dalam mengalokasikan sumber daya agar layanan publik pada sejumlah kelompok yang tidak beruntung (disadvantages group) termasuk perempuan dapat dimanfaatkan secara maksimal. Selain itu agar perempuan memperoleh hak yang sama dengan kaum laki-laki, salah satunya adalah hak dalam memperoleh pendidikan. Pendidikan merupakan tangga untuk meraih cita-cita. Banyak orang percaya bahwa pendidikan dapat mempengaruhi status sosial seseorang. Semakin tinggi pendidikan seseorang semakin tinggi pula status sosial orang tersebut. Begitupula sebaliknya, semakin rendah pendidikan seseorang semakin rendah pula status sosialnya. Pada paradigma pembangunan global, pendidikan merupakan salah satu tujuan dari Millenium Development Goals (MDGs). MDGs adalah

6 deklarasi millenium hasil kesepakatan kepala negara dan perwakilan dari 189 negara Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) yang mulai dijalankan pada September 2000 berisikan delapan butir tujuan untuk dicapai pada tahun 2015 dengan target tercapainya kesejahteraan rakyat dan pembangunan masyarakat. Salah satu tujuan MDGs yaitu menghapus ketidaksetaraan gender dan pemberdayaan perempuan karena kesetaraan gender penting untuk memastikan alokasi sumber daya yang adil dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan seringkali dibicarakan, semenjak dikeluarkannya Inpres No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Nasional. Permasalahan gender yang dihadapi saat ini adalah kesenjangan pendidikan antara laki-laki dan perempuan diberbagai daerah. Pada penlitian ini indikator yang digunakan untuk mengukur tingkat ketimpangan pendidikan diberbagai daerah di Provinsi Jawa Tengah akibat tidak optimalnya desentralisasi fiskal adalah angka melek huruf perempuan dan angka partisipasi sekolah perempuan SMP/MTs

7 Gambar 1.1 Persentase Angka Melek Huruf Perempuan Usia 10 Tahun Keatas Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah 2010 dan 2011 Kota Tegal Kota Pekalongan Kota Semarang Kota Salatiga Kota Surakarta Kota Magelang Kab. Brebes Kab. Tegal Kab. Pemalang Kab. Pekalongan Kab. Batang Kab. Kendal Kab. Temanggung Kab. Semarang Kab. Demak Kab. Jepara Kab. Kudus Kab. Pati Kab. Rembang Kab. Blora Kab. Grobogan Kab. Sragen Kab. Karanganyar Kab. Wonogiri Kab. Sukoharjo Kab. Klaten Kab. Boyolali Kab. Magelang Kab. Wonosobo Kab. Purworejo Kab. Kebumen Kab. Banjarnegara kab. Purbalingga Kab. Banyumas Kab. Cilacap 2011 2010 0.00 50.00 100.00 150.00 Sumber: BPS Provinsi Jawa Tengah (data diolah) Berdasarkan gambar 1.1 menunjukkan bahwa angka melek huruf perempuan usia 10 tahun keatas di 35 kabupaten/kota Provinsi Jawa Tengah mengalami fluktuasi yang tidak terlalu mencolok. Daerah yang memiliki

8 angka melek huruf perempuan tertinggi yaitu Kota Magelang, yang kedua adalah Kota Semarang, dan yang ketiga adalah Kota Surakarta. Angka melek huruf perempuan terendah berada di Kabupaten Wonogiri. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa desentralisasi fiskal belum teralokasi secara merata demi memenuhi pelayanan publik. Kebijakan pemerintah dalam mencapai target MDGs pada tahun 2015 adalah dengan mempermudah akses masyarakat dalam memperoleh pendidikan. Salah satunya dengan diadakannya program Biaya Operasional Sekolah (BOS). Program ini diharapkan mampu menumbuhkan minat masyarakat agar tidak putus sekolah. Tingginya minat masyarakat dalam melanjutkan sekolah dapat diketahui dengan besarnya angka partisipasi sekolah. Semakin tinggi angka partisipasi sekolah menandakan bahwa upaya pemerintah dalam meningkatkan pendidikan diberbagai daerah telah berhasil. Sebaliknya apabila angka partisipasi sekolah rendah maka pemerintah belum maksimal dalam meningkatkan pendidikan.

9 Gambar 1.2 Persentase Angka Partisipasi Sekolah Perempuan SMP/MTs Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah 2010 dan 2011 Kota Tegal Kota Pekalongan Kota Semarang Kota Salatiga Kota Surakarta Kota Magelang Kab. Brebes Kab. Tegal Kab. Pemalang Kab. Pekalongan Kab. Batang Kab. Kendal Kab. Temanggung Kab. Semarang Kab. Demak Kab. Jepara Kab. Kudus Kab. Pati Kab. Rembang Kab. Blora Kab. Grobogan Kab. Sragen Kab. Karanganyar Kab. Wonogiri Kab. Sukoharjo Kab. Klaten Kab. Boyolali Kab. Magelang Kab. Wonosobo Kab. Purworejo Kab. Kebumen Kab. Banjarnegara kab. Purbalingga Kab. Banyumas Kab. Cilacap 2011 2010 0.00 50.00 100.00 150.00 Sumber: BPS Provinsi Jawa Tengah (data diolah) Berdasarkan gambar 1.2 menunjukkan bahwa angka partsipasi sekolah perempuan tingkat SMP/MTs di 35 kabupaten/kota Provinsi Jawa Tengah mengalami fluktuasi positif. Daerah yang memiliki angka partisipasi sekolah

10 perempuan tingkat SMP/MTs tertinggi yaitu Kota Salatiga, yang kedua adalah Kota Surakarta, dan yang ketiga adalah Kabupaten Purworejo. Angka partisipasi sekolah perempuan tingkat SMP/MTs terendah berada di Kabupaten Pekalongan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa desentralisasi fiskal belum teralokasi secara merata demi memenuhi pelayanan publik. Seperti yang telah ditunjukkan oleh gambar 1.1 dan gambar 1.2 tentang indikator pencapaian hasil akhir (outcomes) bidang pendidikan yang diukur dengan angka melek huruf perempuan dan angka partisipasi sekolah perempuan tingkat SMP/MTs. Disimpulkan bahwa sistem desentralisasi belum mampu menyediakan pelayanan publik bagi masyarakat secara optimal. Hal ini dapat dilihat dari belum meratanya pembangungan dan kesejahteraan masyarakat diberbagai daerah khususnya di Provinsi Jawa Tengah. Berdasarkan latar belakang di atas penulis ingin mengetahui sejauh mana pengaruh desentralisasi fiskal terhadap AMH perempuan dan APS perempuan di kabupaten/kota Provinsi Jawa Tengah. Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah dipilih karena beberapa pertimbangan. Pertama, karena masih sedikitnya penelitian tentang desentralisasi yang dilakukan di Provinsi Jawa Tengah. Kedua. letak geografis Provinsi Jawa Tengah yang berada ditengah-tengah antara Jawa Barat dan Jawa Timur. Ketiga, latar belakang sosial ekonomi penduduk yang bermacam-macam di kabupaten/kota Provinsi Jawa Tengah. Keempat, kondisi kultural masyarakatnya.

11 Dalam penelitian ini penulis mengembangkan penelitian yang telah dilakukan oleh Bakti dan Kodatie (2012) dengan variabel dependen dan variabel independen yang sama. Namun, variabel kontrol sedikit berbeda yaitu dengan menambahkan jumlah guru dalam mengukur angka partisipasi sekolah perempuan tingkat SMP/MTs. Selain itu objek dan periode penelitian diubah menjadi kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah tahun 2010 dan 2011. Maka penulis tertarik melakukan peneltian dengan judul, PENGARUH DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP ANGKA MELEK HURUF PEREMPUAN DAN ANGKA PARTISIPASI SEKOLAH PEREMPUAN SMP/MTs DI KABUPATEN/KOTA PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2010 DAN 2011 B. Perumusan Masalah Dari latar belakang yang telah dijelaskan oleh Penulis di atas, permasalahan yang akan diteliti sebagai berikut: 1. Apakah desentralisasi fiskal berpengaruh terhadap angka melek huruf (AMH) perempuan di kabupaten/kota Provinsi Jawa Tengah tahun 2010 dan 2011? 2. Apakah desentralisasi fiskal berpengaruh terhadap angka partisipasi sekolah (APS) perempuan tingkat SMP/MTs di kabupaten/kota Provinsi Jawa Tengah tahun 2010 dan 2011?

12 C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk menganalisis pengaruh desentralisasi fiskal terhadap angka melek huruf (AMH) perempuan di kabupaten/kota Provinsi Jawa Tengah tahun 2010 dan 2011. 2. Untuk menganalisis pengaruh desentralisasi fiskal terhadap angka partisipasi sekolah (APS) perempuan tingkat SMP/MTs di kabupaten/kota Provinsi Jawa Tengah tahun 2010 dan 2011. D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk berbagai pihak, antara lain: 1. Manfaat Teoritis Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam menambah pengetahuan untuk akademisi dan profesi dalam rangka mengkaji dan mengembangkannya. 2. Manfaat Praktis a. Penelitian ini diharapakan dapat memberikan masukan kepada pemerintah daerah dalam merumuskan kebijakannya terkait dengan desentralisasi fiskal di bidang pendidikan secara umum dan khususnya pada kaum perempuan. b. Penelitian ini diharapakan dapat memberikan masukan dalam mencari solusi atas permasalahan gender dan ketimpangan sosial dibeberapa

13 wilayah Indonesia c. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan informasi bagi pembaca serta menjadi rujukan bagi mahasiswa dalam mengkaji dan mengembangkannya. d. Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan penulis terkait tentang sistem desentralisasi fiskal yang berpengaruh terhadap outcome pendidikan dalam mengingkatkan kualitas/pelayanan pendidikan. E. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan ini bertujuan untuk memudahkan pembaca dalam memahami isi penelitian. Secara garis besar penelitin ini dsusun dalam lima bab. BAB I PENDAHULUAN Bab ini berisi tentang latar belakang masalah yang menjelaskan mengenai pentingnya menganalisis dampak desesntralisasi fiskal terhadap angka melek huruf perempuan dan angka pertisipasi sekolah perempuan SMP/MTs di kabupaten/kota Provinsi Jawa Tengah. Pada bagian latar belakang ini akan menjadi dasar perumusan masalah untuk menganalisis dampak desentralisasi fiskal yag diukur dari sisi pendapatan dan sisi pengeluaran terhadap angka melek huruf perempuan dan angka partisipasi sekolah perempuan SMP/MTs di kabupaten/kota Provinsi Jawa Tengah. Tujuan penelitian dan manfaat penelitian memberikan masukan bagi

14 pemerintah dalam membuat kebijakan serta solusi yang terkait dengan pendidikan baik secara umum maupun khusus kepada kaum perempuan. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Bab ini berisi tentang landasan-landasan teori yang menjadi dasar dan berhubungan dengan masalah-masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini, seperti teori desentralisasi fiskal yang dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sisi pendapatan dan sisi pengeluaran. Selain itu pada bab ini terdapat juga beberapa penelitian terdahulu yang menjadi dasar replikasi pengembangan bagi penelitian ini, sehingga mampu menyusun kerangka penelitian dan hipotesis. BAB III METODE PENELITIAN Bab ini menjelaskan tentang jenis penelitian, populasi sampel dan teknik pengambilan sampel, data dan sumber data, metode pengumpulan data, uji kualitas data, definisi operasional dan pengukuran variabel, teknik analisis data. BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN Bab ini menjelaskan gambaran umum objek penelitian, seperti letak geografis, pemerintahan, kependudukan, serta pendidikan di Povinsi Jawa Tengah. Selain itu bab ini juga memuat hasil analisis data dan pembahasan tentang hasil analisis data tersebut.

15 BAB V PENUTUP Dalam bab ini dibahas tentang kesimpulan mengenai hasil penelitian, keterbatasan penelitian, dan saran-saran yang perlu dikemukakan kepada pihak-pihak yang berkaitan dengan penelitian ini.