6 KEMISKINAN DAN TINGKAT KESEJAHTERAAN MASYARAKAT

dokumen-dokumen yang mirip
ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL

BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU. Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi

4 GAMBARAN UMUM KOTA BOGOR

BAB V GAMBARAN UMUM PROPINSI JAWA BARAT. Lintang Selatan dan 104 o 48 '- 108 o 48 ' Bujur Timur, dengan luas wilayah

BAB II. GAMBARAN UMUM WILAYAH DAN PEMBANGUNAN PENDIDIKAN DI KABUPATEN SUMBA BARAT

I. PENDAHULUAN. jangka panjang (Sukirno, 2006). Pembangunan ekonomi juga didefinisikan

BAB I PENDAHULUAN A. DASAR HUKUM A. Gambaran Umum Daerah 1. Kondisi Geografis Daerah 2. Kondisi Demografi

IV. KONDISI UMUM KABUPATEN SIMEULUE

IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Dasar Hukum

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

2.2 EVALUASI PELAKSANAAN PROGRAM DAN KEGIATAN RKPD SAMPAI DENGAN TAHUN 2013 DAN REALISASI RPJMD

BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI NTT. 4.1 Keadaan Geografis dan Administratif Provinsi NTT

I. PENDAHULUAN. Sejak tahun 2001 Indonesia telah memberlakukan desentralisasi yang lebih

GEOGRAFI DAN IKLIM Curah hujan yang cukup, potensial untuk pertanian

DAFTAR ISI. Halaman. X-ii. RPJMD Kabupaten Ciamis Tahun

KINERJA DAN PERSPEKTIF KEGIATAN NON-PERTANIAN DALAM EKONOMI PEDESAAN *

BAB IV GAMBARAN UMUM

IV. GAMBARAN UMUM Letak Geogafis dan Wilayah Administratif DKI Jakarta. Bujur Timur. Luas wilayah Provinsi DKI Jakarta, berdasarkan SK Gubernur

Katalog BPS :

I. PENDAHULUAN. Pengembangan sumberdaya manusia merupakan proses untuk. ini juga merupakan proses investasi sumberdaya manusia secara efektif dalam

RINGKASAN EKSEKUTIF BUKU INDIKATOR MAKRO PEMBANGUNAN EKONOMI KABUPATEN BEKASI 2012

BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2006

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan

BAB IV GAMBARAN UMUM DAN OBJEK PENELITIAN. Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara Lintang

BAB I PENDAHULUAN. bukan lagi terbatas pada aspek perdagangan dan keuangan, tetapi meluas keaspek

KONDISI EKONOMI KOTA TASIKMALAYA

BAB I PENDAHULUAN. produktivitas (Irawan dan Suparmoko 2002: 5). pusat. Pemanfaatan sumber daya sendiri perlu dioptimalkan agar dapat

IV. GAMBARAN UMUM KOTA DUMAI. Riau. Ditinjau dari letak geografis, Kota Dumai terletak antara 101 o 23'37 -

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

PERTUMBUHAN EKONOMI JAKARTA UTARA TAHUN 2013

DISTRIBUSI PENDAPATAN KOTA PALANGKA RAYA 2014

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki potensi sumber daya alam

BAB I PENDAHULUAN. suatu sistem negara kesatuan. Tuntutan desentralisasi atau otonomi yang lebih

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

IV. KONDISI UMUM WILAYAH

BAB I PENDAHULUAN. dan masyarakatnya mengelola sumberdaya-sumberdaya yang ada dan. swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang

VISI PAPUA TAHUN

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR...

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur

BAB I PENDAHULUAN. berkembang adalah adanya kegiatan ekonomi subsistence, yakni sebagian besar

DISTRIBUSI PENDAPATAN PENDUDUK KOTA PALANGKA RAYA TAHUN 2013

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi, dan (4) keberlanjutan pembangunan dari masyarakat agraris menjadi

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan teknologi dan serta iklim perekonomian dunia.

GEOGRAFI DAN IKLIM Curah hujan yang cukup, potensial untuk pertanian

BAB I KONDISI MAKRO PEMBANGUNAN JAWA BARAT

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

8.1. Keuangan Daerah APBD

RANCANGAN RENCANA PELAKSANAAN RPJMD TAHUN KE-4

BAB I PENDAHULUAN. suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola

KATA PENGANTAR. Lubuklinggau, September 2014 WALIKOTA LUBUKLINGGAU H. SN. PRANA PUTRA SOHE

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. masyarakat, dan institusi-institusi nasional, di samping tetap mengejar akselerasi

Kalimantan Tengah. Jembatan Kahayan

V GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

Penilaian Tingkat Keberlanjutan Pembangunan di Kabupaten Bangkalan sebagai Daerah Tertinggal

I.PENDAHULUAN. Pembangunan di negara-negara berkembang lebih ditekankan pada pembangunan

BAB IV GAMBARAN UMUM. Provinsi Lampung dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 14

BAB I PENDAHULUAN LKPJ GUBERNUR JAWA BARAT TAHUN 2015 I - 1

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan nasional di Indonesia adalah pembangunan yang dilaksanakan

No.11/02/63/Th XVII. 5 Februari 2014

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Faktor-faktor yang..., Yagi Sofiagy, FE UI, 2010.

BAB I PENDAHULUAN. oleh suatu bangsa dalam upaya meningkatkan kesejahteraan maupun taraf hidup

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Daftar Tabel. Halaman

BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA

PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN IV TAHUN 2008

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan suatu daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

DINAMIKA PEREKONOMIAN LAMPUNG

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

Analisis Pertumbuhan Ekonomi Kab. Lamandau Tahun 2013 /

A. Keadaan Geografis Dan Topografi

BAB VI KARAKTERISTIK INDIVIDU DAN RUMAHTANGGA PETANI PESERTA PROGRAM PEMBERDAYAAN PETANI MELALUI TEKNOLOGI DAN INFORMASI PERTANIAN (P3TIP)

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB. IV KONDISI PEREKONOMIAN KAB. SUBANG TAHUN 2012

V. GAMBARAN UMUM PENELITIAN. Kelurahan Penjaringan terletak di Kecamatan Penjaringan, Kotamadya

I. PENDAHULUAN. Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang sangat penting dalam

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah suatu negara yang mempunyai latar belakang perbedaan antar

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan Pancasila. Salah satu cara mencapai keadaan tersebut diprioritaskan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan nasional di Indonesia adalah pembangunan yang dilaksanakan

IV. POLA KONSUMSI RUMAH TANGGA MISKIN DI PULAU JAWA

I. PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi merupakan proses kenaikan pendapatan perkapita

BAB. IV KONDISI PEREKONOMIAN KAB.SUBANG TAHUN 2013

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO

4. GAMBARAN UMUM 4.1 Pertumbuhan Ekonomi

GAMBARAN UMUM PROVINSI DKI JAKARTA Keadaan Geografis dan Kependudukan

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya setiap negara di dunia memiliki tujuan utama yaitu

BAB IV. DINAMIKA KABUPATEN/KOTA PESISIR DALAM UPAYA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT MELALUI PROGRAM PEMP

PENDAHULUAN Latar Belakang

BUPATI BANYUWANGI SALINAN PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 28 TAHUN 2013 TENTANG INDIKATOR KELUARGA MISKIN DI KABUPATEN BANYUWANGI

PENDAHULUAN. sektor perikanan dan kelautan (Nontji, 2005, diacu oleh Fauzia, 2011:1).

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013

PROFIL PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA di DKI JAKARTA TAHUN 2011

Transkripsi:

125 6 KEMISKINAN DAN TINGKAT KESEJAHTERAAN MASYARAKAT 6.1 Analisis Tingkat Kemiskinan Masyarakat 6.1.1 Perkembangan Ekonomi Regional PDRB Kawasan Gambaran secara menyeluruh tentang kondisi perekonomian suatu daerah dapat diperoleh dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). PDRB (dengan Migas) Kepulauan Seribu sejak tahun 2001 menunjukkan penurunan sampai tahun 2003 dan mengalami kenaikan sejak tahun 2004 sampai 2005. Trend perkembangan PDRB lebih bervariasi saat tidak memasukkan unsur Migas di dalamnya. PDRB (tanpa migas) Kepulauan Seribu mengalami peningkatan selama tahun 2001-2002, kemudian turun di tahun 2003 dan terus mengalami kenaikan sampai tahun 2005. Begitu juga dengan semua sektor lapangan usaha mengalami trend perkembangan yang bervariatif. Sektor penyumbang terbesar PDRB (dengan migas) adalah pertambangan. Sedangkan sektor pertanian (perikanan) memberikan sumbangan terbesar pada PDRB (tanpa migas). Sumbangan lainnya berasal dari perdagangan, hotel dan restoran, jasa-jasa, bangunan, keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, pengangkutan dan komunikasi, industri pengolahan dan listrik gas dan air bersih. Karekteristik fisik daerah berupa pulau-pulau kecil dan perairan laut yang luas menjadikan sektor perikanan sebagai sumbangsih terbesar dan menjadi andalan bagi pembangunan Kepulauan Seribu. Pertanian, termasuk sektor perikanan didalamnya memberikan sumbangsih yang cukup besar dengan ratarata sumbangan selama 2001-2005 sebesar 28,4 % (PDRB tanpa Migas) dan 3,16 % (PDRB dengan Migas). Perikanan sendiri memberikan sumbangsih terbesar dengan nilai kontribusi rata-rata selama 2001-2005 sebesar 98 % (dari bidang pertanian). Tabel 23 menggambarkan perkembangan PDRB Kepulauan Seribu.

126 Tabel 23 PDRB Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha (Juta Rupiah) No Lapangan Usaha 2001 2002 2003 2004*) 2005**) 1 Pertanian 757 897 983 894 885 - Tanaman bahan makanan 648 797 873 790 773 - Peternakan 109 100 110 104 112 2 Perikanan 67,719 64,545 29,146 38,167 41,841 3 Pertambangan 1,365,080 1,160,812 1,070,523 1,361,205 1,959,329 4 Industri pengolahan 4,517 5,054 5,470 5,697 6,412 5 Listrik, Gas dan Air bersih 551 656 735 785 1,028 6 Bangunan 12,210 14,127 15,721 17,917 21,186 7 Perdagangan, Hotel dan Restoran 51,112 58,618 65,572 71,592 79,703 8 Pengangkutan dan Komunikasi 5,955 4,595 4,493 4,533 3,815 Keuangan, Persewaan dan Jasa 9 Perusahaan 7,375 8,177 8,665 9,214 9,562 10 Jasa-jasa 18,556 20,591 22,522 24,286 27,606 PDRB dengan Migas 1,533,832 1,338,072 1,223,830 1,534,290 2,151,368 PDRB tanpa Migas 168,752 177,260 153,307 173,085 Sumber : BPS Kota Jakarta Utara, 2006 192,039 Fakta tak terbantahkan bahwa Kepulauan Seribu secara geografis berupa pulau-pulau kecil dan perairan laut. Sumberdaya pesisir dan laut merupakan andalan bagi masyarakat Kepulauan Seribu dengan mata pencaharian masyarakatnya berupa penangkapan, budidaya laut, pengolahan hasil perikanan, perdagangan dan transportasi laut. Namun, BPS masih menjadikan perikanan sebagai sub ordinat dari pertanian. Padahal, karakter sumberdaya wilayah Kepulauan Seribu sangat jelas memperlihatkan hal itu. Penamaan lapangan usaha harusnya disesuaikan dengan karekteristik wilayah. PDRB Perkapita PDRB per kapita merupakan gambaran nilai tambah yang dapat diciptakan oleh masing-masing penduduk akibat dari adanya aktivitas produksi. Angka PDRB per kapita dapat dijadikan sebagai satu indikator kesejahteraan rakyat walaupun tidak dapat langsung menggambarkan kesejahteraan atau kemakmuran masyarakat atau penduduk. Tabel 24 menunjukkan bahwa PDRB per kapita tanpa migas meningkat dari Rp 8.864.340 tahun 2004 menjadi Rp 9.756.071 tahun 2005 atau mengalami

127 peningkatan sebesar 10,06 %. Namun, secara ril PDRB per kapita tersebut hanya sebesar Rp 6.695.287 tahun 2004 kemudian meningkat menjadi Rp 6.811.994 tahun 2005. Tabel 24 PDRB Per Kapita Kepulauan Seribu Tanpa Migas (2001-2005) Tahun Harga Berlaku Harga Konstan PDRB Perkapita Perubahan PDRB Perkapita Perubahan 2001 9,055,638 6,78 8,216,183-3,12 2002 9,316,220 2,88 7,829,892 4,70 2003 7,961,922-14,54 6,624,193-15,40 2004* 8,864,340 11,33 6,695,287 1,07 2005** 9,756,071 10,06 6,811,994 1,74 Sumber : BPS Kota Jakarta Utara, 2006 Jika mempertimbangkan faktor migas, maka PDRB per kapita Kepulauan Seribu meningkat dari Rp 78.576.755 tahun 2004 menjadi Rp 109.295.245 tahun 2005 atau mengalami kenaikan sebesar 39,09%. Sedangkan secara ril PDRB per kapita tersebut justru mengalami penurunan dari Rp 57.268.456 tahun 2004 menjadi Rp 53.346.083 tahun 2005, atau menurun sebesar 6,85%. Tabel 22 menyajikan PDRB per kapita dengan migas di Kepulauan Seribu. Tabel 25 PDRB Per Kapita Kepulauan Seribu Dengan Migas (2001-2005) Tahun Harga Berlaku Harga Konstan PDRB Perkapita Perubahan PDRB Perkapita Perubahan 2001 82,309,193 5,64 76,621,399-1,66 2002 70,324,891-14,56 72,645,775-5,19 2003 63,559,065-9,62 61,654,361-15,13 2004* 78,576,755 23,63 57,268,456-7,11 2005** 109,295,245 39,09 53,346,083-6,85 Sumber : BPS Kota Jakarta Utara, 2006 6.1.2 Perkembangan Kemiskinan Regional Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Perkembangan kemiskinan ditandai dengan jumah penduduk miskin dan peresentase masyarakat miskin yang dalam penelitian ini dilakukan pada tingkat Propinsi. Hal ini disebabkan karena keterbatasan data yang detail tentang Kepulauan seribu.

128 Hasil pendataan responden miskin Tahap I dan II tahun 2005 oleh BPS, menunjukkan bahwa terdapat 150.492 responden miskin di DKI Jakarta. Hasil ini lebih banyak dibandingkan temuan pada tahun 2004 sebanyak 91.468 responden. Apabila diamati jumlah anggota respondennya, maka terjadi peningkatan jumlah penduduk miskin dari tahun 2004 ke tahun 2005, yakni dari 370.898 penduduk miskin menjadi 633.212 (4,25 % dari penduduk DKI Jakarta). Tabel 26 Perkembangan Jumlah Responden dan Penduduk Miskin Menurut Kabupaten/Kota, 2004-2005 2004 2005 2006 Kabupaten/Kota Rumah Rumah Rumah Penduduk Penduduk Tangga Tangga Tangga Penduduk Kepulauan Seribu 452 1,860 1,042 3,835 1,043 3,882 Jakarta Selatan 6,053 25,504 11,162 48,169 11,377 49,818 Jakarta Timur 26,420 102,957 28,738 163,021 39,768 167,367 Jakarta Pusat 16,625 68,599 21,968 89,514 22,723 92,906 Jakarta Barat 14,787 55,915 29,915 122,714 30,320 127,048 Jakarta Utara 27,131 116,063 48,254 205,959 55,249 234,697 DKI Jakarta 91,468 370,898 141,079 633,212 160,480 675,718 Catatan : Data tahun 2005 tidak bisa dibandingkan thd tahun sebelumnya dikarenakan Metode penghitungannya berbeda Sumber: Tahun 2004 merupakan hasil pemutakhiran survei responden miskin Tahun 2004 Tahun 2005 merupakan hasil pendataan sosial ekonomi penduduk (PSE) 2005 Tahun 2006 merupakan hasil pendataan sosial ekonomi penduduk (PSE) 2006 Tabel 26 menunjukkan terjadinya peningkatan responden miskin di Kepulauan Seribu dari 452 responden di tahun 2004 menjadi 1.042 responden di tahun 2005. Jumlah penduduk miskin juga makin bertambah yaitu dari 1.860 jiwa tahun 2004 menjadi 3.835 jiwa tahun 2005. Meningkatnya angka kemiskinan ini disebabkan karena adanya kenaikan BBM pada tahun 2005 yang terjadi dua kali telah menghantam sendi-sendi kehidupan masyarakat Kepulauan Seribu yang mayoritas nelayan. Kenaikan BBM menyebabkan terjadinya inflasi yang berdampak pada peningkatan berbagai kebutuhan pokok. Sedangkan bagi nelayan, biaya BBM memakan sekitar 40% dari total biaya produksinya. Kenaikan harga BBM di awal tahun 2005 menyebabkan banyaknya nelayan yang tidak melaut/menghentikan aktivitas penangkapannya karena biaya operasional yang dikeluarkan tidak sebanding dengan hasil yang didapatkan. Kenaikan harga BBM parahnya tidak diimbangi dengan kenaikan harga ikan. Sehingga kebijakan

129 penaikkan BBM sangat merugikan nelayan dan meningkatkan angka kemiskinan di kalangan masyarakat pesisir. Jumlah penduduk miskin di Kepulauan Seribu mengalami penurunan pada tahun 2006 (3.400 jiwa) jika dibandingkan dengan tahun 2005 (3.835 jiwa). Angka kemiskinan ini tergolong tinggi karena sebelumnya (2004), jumlah penduduk miskin Kepulauan Seribu hanya 1.860 jiwa. Tabel 27 menunjukkan perkembangan jumlah penduduk miskin di Kepulauan Seribu tahun 2006. Tabel 27 Jumlah Penduduk Miskin, Persentase, P1, P2 dan Garis Kemiskinan Menurut Kabupaten/Kota, 2005-2006 Jumlah penduduk miskin (000) Persentase penduduk miskin P1 P2 Garis Kemiskinan (Rp/Kap/bln) Kabupaten/Kota Kepulauan Seribu 3,4 14,64 2,69 0,80 270071 Jakarta Selatan 64,0 3,36 0,73 0,17 263740 Jakarta Timur 71,2 2,85 0,66 0,17 220855 Jakarta Pusat 28,5 3,17 0,67 0,19 209929 Jakarta Barat 57,4 2,84 0,51 0,112 211074 Jakarta Utara 91,7 6,48 1,54 0,45 212490 DKI Jakarta 316,2 3,61 0,78 0,20 237735 Sumber : Data dan Informasi Kemiskinan 2005-2006, BPS Jakarta. Penyebaran penduduk miskin menurut wilayah kabupaten/kota di DKI Jakarta tahun 2006 sebanyak 14,64% berada di Kepulauan Seribu. Jumlah persentase penduduk miskin Kepulauan Seribu di atas rata-rata penduduk miskin DKI Jakarta yang mencapai 3,61%. Ketimpangan yang sangat tinggi ini menunjukkan bahwa belum terjadi pemerataan pembangunan di pusat ibu kota. Selain itu, keberadaan Kepulauan Seribu sebagai Kabupaten Baru di DKI Jakarta, belum bisa menunjukkan prestasi pembangunan yang menggembirakan. Kondisi geografis Kepulauan Seribu berupa daerah kepulauan dengan jarak pulau yang berjauhan, menjadikan akses terhadap distribusi pembangunan tidak berjalan optimal. Tingginya persentase penduduk miskin di Kepulauan Seribu yang dekat DKI Jakarta ini dapat disebabkan karena tatanan kelembagaan belum berjalan dengan baik, disamping peraturan dan kebijakan pembangunan belum sepenuhnya berpihak kepada wilayah pesisir/pedesaan dan bias perkotaan. Kesenjangan dari sisi kepemilikan faktor produksi, dan kesenjangan sumberdaya manusia semakin memperjelas tingginya kemiskinan di Kepulauan Seribu.

130 Kedalaman dan Keparahan Kemiskinan Tingkat kedalaman kemiskinan (Poverty Gap Index/PI) menunjukkan ukuran rata- rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap batas miskin. Semakin tinggi nilai indekss semakin besar rata-rata kesenjangan pengeluaran penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Sedangkan tingkat keparahan kemiskinan (Poverty Severity Index/P2) menunjukkan penyebaran pengeluaran di antara penduduk miskin, dan juga intensitas kemiskinan Tabel 27 menunjukkan bahwa nilai P1 Kabupaten Kepulauan Seribu tertinggi yaitu 2,69 lebih tinggi dari rata-rata P1 di DKI Jakarta yaitu 0,78. Nilai P1 Jakarta Utara sedikit lebih rendah yaitu 1,54. Terjadi kesenjangan pengeluaran rata-rata penduduk miskin terhadap garis kemiskinan di DKI Jakarta. Kesenjangan ini sangat kentara antara Kabupaten/Kota yang berada di wilayah pesisir atau berupa kepulauan dengan perkotaan. Jika diperhatikan karakteristik masyarakatnya, baik Jakarta Utara maupun Kepulauan Seribu rata-rata merupakan masyarakat pesisir. Fakta ini menggambarkan bahwa pengelolaan kawasan pesisir, laut dan pulau-pulau kecil belum berjalan dengan baik di DKI Jakarta. Fakta ini juga menunjukkan adanya bias kebijakan antara pembangunan kawasan pesisir dan PPK dengan kawasan teresterial dan perkotaan. Kepulauan Seribu mempunyai intensitas kemiskinan yang tinggi jika dibandingkan dengan Kota lain dengan nilai P2 sebesar 0,80 di atas rata-rata nilai P2 DKI Jakarta yaitu 0,20. Data ini menunjukkan bahwa penyebaran pengeluaran penduduk miskin dan intensitas kemiskinan antara Kabupaten Kepulauan Seribu dengan Kabupaten/Kota lainnya di DKI Jakarta terjadi kesenjangan. Kehidupan penduduk miskin di Kepulauan Seribu belum mengalami perbaikan dibandingkan dengan Kabupaten/Kota lainnya di DKI Jakarta. Angka Harapan Hidup Angka harapan hidup (AHH) secara konsepsi diartikan sebagai rata-rata jumlah tahun hidup yang dapat dijalani oleh seorang hingga akhir hayatnya. Dan merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan di bidang kesehatan.

131 Berdasarkan data BPS tahun 2006, angka harapan hidup (AHH) Kepulauan Seribu mencapai usia 72,2 tahun (2002) dan semakin menurun menjadi 69,7 tahun pada tahun 2005. Tahun 1993 AHH Kepulauan Seribu cukup baik yaitu 70,2 tahun dan terus meningkat menjadi 70,3 tahun (1996), 71,2 tahun (1999) dan 72,2 tahun (2002), kemudian turun menjadi 69,7 tahun pada tahun 2005. AHH tahun 2005 Kepulauan Seribu ini lebih rendah dari AHH rata-rata DKI pada tahun yang sama yaitu 74 tahun. Penurunan AHH mengindikasikan kemampuan untuk dapat bertahan hidup bagi penduduk Kepulauan Seribu semakin memburuk. Semakin memburuknya kondisi sosial ekonomi, kesehatan dan lingkungan di wilayah Kepulauan Seribu dan DKI Jakarta umumnya serta tingkat kematian bayi yang makin tinggi, menyebabkan menurunnya AHH. Data ini juga menggambarkan bahwa kuantitas dan kualitas pelayanan kesehatan masyarakat mengalami kemunduran disebabkan menurunnya tingkat kesejahteraan sehingga akses terhadap kesehatan semakin berkurang. Kenaikan BBM tahun 2005 yang terjadi sampai dua kali, diduga kuat menjadi penyebab rendahnya daya beli dan tingkat pendapatan masyarakat. Kenaikan BBM menyebabkan naiknya biaya operasional melaut yang diikuti dengan kenaikan bahan-bahan pokok. Tabel 28 memberikan gambaran AHH Kepulauan Seribu dan DKI Jakarta. Tabel 28 Angka Harapan Hidup DKI Jakarta (Tahun) Kabupaten 1993 1996 1999 2002 2005 Kepulauan Seribu 70.2 70.3 71.2 72.2 69.7 Jakarta Selatan 70.0 70.1 71.1 71.7 72.4 Jakarta Timur 70.4 70.6 71.5 72.5 72.5 Jakarta Pusat 69.1 69.3 70.2 70.7 71.3 Jakarta Barat 70.3 70.5 71.4 72.3 72.6 Jakarta Utara 70.2 70.3 71.2 72.2 72.2 Sumber : BPS Propinsi DKI Jakarta, 2006 Tabel 28 menggambarkan bahwa AHH Kepulauan Seribu lebih rendah dibandingkan AHH Kabupaten/Kota lainnya di DKI Jakarta. Data ini menunjukkan adanya ketidakmerataan dalam akses kesehatan. Pemerintah DKI Jakarta belum memprioritaskan masyarakat Kepulauan Seribu yang sudah terisolasi karena letak geografis berupa pulau-pulau kecil yang saling berjauhan

132 dan akses kesehatan, informasi dan pendidikan yang terbatas. Ketidakpekaan pemerintah DKI Jakarta ini, menunjukkan adanya bias pembangunan yang condong mendorong kemajuan di perkotaan dan mengabaikan wilayah pedesaan dan kepulauan. Angka Melek Huruf Angka melek huruf (AMH) merupakan salah satu indikator kesejahteraan masyarakat dan menjadi indikator keberhasilan pembangunan di bidang pendidikan. AMH merupakan persentase penduduk usia 15 tahun ke atas yang dapat membaca dan menulis huruf latin atau huruf lainnya. Angka melek huruf (AMH) masyarakat Kepulauan Seribu sebelum berubah status menjadi Kabupaten mencapai 96,1% (1993), kemudian turun menjadi 95,1% (1996) dan naik lagi menjadi 97,1% (1999). Sejak terbentuknya Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu tahun 2002, AMH semakin membaik mencapai 98,2% tahun 2002. Namun kembali turun cukup tajam pada tahun 2005 dengan nilai 96,6%. Penurunan AMH ini disebabkan karena menurunnya kesempatan belajar masyarakat dan tingginya angka putus sekolah sebagai akibat kenaikan BBM tahun 2005 yang terjadi sampai dua kali kenaikan dan menurunkan pendapatan masyarakat (Tabel 29). Tabel 29 Persentase Angka Melek Huruf DKI Jakarta (%) Kabupaten 1993 1996 1999 2002 2005 Kepulauan Seribu 96.1 95.1 97.1 98.2 96.6 Jakarta Selatan 96.9 97.7 97.7 98.3 98.0 Jakarta Timur 96.9 96.8 98.4 98.5 99.0 Jakarta Pusat 97.8 96.6 97.7 98.1 98.8 Jakarta Barat 96.1 97.3 97.8 97.9 98.2 Jakarta Utara 96.1 95.1 97.1 98.2 98.4 Sumber : BPS Propinsi DKI Jakarta, 2006 Pada tahun 2006, perkembangan AMH Kepulauan Seribu dengan kotakota lain di DKI Jakarta tidak terlampau timpang. Nilai AMH Kepulauan Seribu yang mencapai 98,2% sama dengan rata-rata AMH di DKI Jakarta yaitu 98,2%. Namun pada tahun 2005, ketimpangan tersebut terlihat dengan angka 96,6% AMH Kepulauan Seribu yang berada di bawah rata-rata AMH DKI Jakarta

133 sebesar 98,2%. Krisis ekonomi yang dipicu oleh kenaikan BBM di tahun 2005 tidak bisa diantisipasi dengan baik oleh pemerintah propinsi DKI Jakarta. Tingginya angka kemiskinan di Kepulauan Seribu sebagai akibat pukulan keras kenaikan BBM mengakibatkan semakin tingginya angka putus sekolah. Fasilitas Pendidikan Keberhasilan pembangunan bidang pendidikan tidak terlepas dari ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan. Fasilitas pendidikan ditunjukkan dengan ketersediaan bangunan pendidikan baik formal maupun non formal. Tabel 30 menyajikan fasilitas pendidikan yang ada di DKI Jakarta termasuk Kepulauan Seribu di dalamnya menurut jenjang pendidikan dan status pengelolanya. Tabel 30 Jumlah Gedung Sekolah Menurut Tingkat Pendidikan (2006-2007) (Unit) Kabupaten/Kota TK SD SLTP SMU SMK Jakarta Selatan 402 662 192 99 131 Jakarta Timur 536 854 248 131 184 Jakarta Pusat 222 412 130 67 73 Jakarta Barat 383 663 224 118 115 Jakarta Utara 237 428 156 82 74 Kepulauan Seribu 10 14 5 1 1 Sumber : BPS Propinsi DKI Jakarta, 2006, 2007 Jumlah gedung TK di Kepulauan Seribu hanya 10 buah dari 1.790 yang berada di DKI Jakarta. Gedung sekolah SD berjumlah 14 buah dari total 3.033 seluruh DKI Jakarta, SMP sebanyak 5 buah dari total 955 buah di DKI Jakarta. Sedangkan ketersediaan gedung SMU jumlahnya sangat minim. Jumlah gedung SMU dan SMK masing-masing hanya 1 buah terdapat di Kelurahan P. Panggang, yaitu di P. Panggang dari total 498 buah SMU dan 578 SMK di DKI Jakarta. Tingginya sumberdaya manusia sangat ditentukan oleh ketersediaan sarana pendidikan di wilayah tersebut. Data ini menggambarkan kondisi masyarakat Kepulauan Seribu dan masyarakat Kepulauan lainnya di Indonesia yang senantiasa tertinggal dan terbelit dalam kemiskinan. Ketimpangan ini karena tidak adanya keberpihakan negara terhadap wilayah pedesaan dan kepulauan, khususnya dalam penyediaan sarana pendidikan. Fakta ketimpangan dan bias

134 pembangunan tersebut jelas terlihat nyata dengan minimnya sarana pendidikan yang tersedia di Kepulauan Seribu. Letak geografis yang berjauhan satu pulau dengan pulau lainnya dan budaya masyarakat yang cenderung tidak mau bersekolah dan memilih bekerja di laut dituding sebagai alasan dasar kenapa sarana pendidikan jarang terlihat di Kepulauan Seribu. Pemerintah seyogyanya mencari strategi kebijakan yang tepat dan khusus bagi daerah Kabupaten yang berbentuk kepulauan secara geografis seperti Kepulauan Seribu. Tata kelola pemerintahan dan kebijakan yang bias seperti inilah yang banyak mengakibatkan terjadinya kemiskinan yang lebih bersifat struktural. Kemiskinan struktural adalah contoh dominan kemiskinan yang banyak terjadi di Indonesia. Selain fasilitas gedung pendidikan, rasio murid-guru juga menentukan keberhasilan pendidikan. Semakin rendah rasio guru murid, maka diharapkan semakin baik tingkat keberhasilan proses belajar pada anak didik di sekolah. Hal ini karena beban guru dalam mendidik siswa relatif lebih ringan dibandingkan dengan rasio murid-guru yang relatif tinggi. Tabel 31 Persentase Rasio Murid-Guru Menurut Kab/Kota dan Tingkat Pendidikan di DKI Jakarta (2006-2007) Kabupaten/Kota TK SD SLTP SMU SMK Jakarta Selatan 10.24 24.29 20.93 11.53 11.64 Jakarta Timur 11.08 25.87 17.61 12.01 12.74 Jakarta Pusat 12.02 21.34 18.36 10.45 11.09 Jakarta Barat 10.26 24.40 17.10 10.28 12.39 Jakarta Utara 10.63 24.46 15.14 10.25 10.41 Kepulauan Seribu 12.26 16.65 22.54 20.48 10.69 DKI Jakarta 10.74 24.4 17.89 11.13 11.9 Sumber : BPS Propinsi DKI Jakarta, 2006, 2007 Tabel 31 menunjukkan bahwa rasio murid-guru di Kepulauan Seribu pada tingkat SLTP paling tinggi dibandingkan tingkat pendidikan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa beban guru SLTP lebih berat dibandingkan beban guru pada tingkat SMU maupun SD. Pada tingkat SLTP beban seorang guru SLTP rata-rata mengajar untuk 23 murid, beban guru SMU rata-rata mengajar 21 murid dan beban guru SMK rata-rata mengajar 11 murid. Dari sisi rasio murid dan guru di

135 Kepulauan Seribu masih terlihat cukup seimbang jika dibandingkan dengan ratarata rasio murid-guru Jakarta. Kondisi Tempat Tinggal (Luas Lantai, Fasilitas air bersih, WC) Kualitas rumah tinggal ditentukan oleh kualitas bahan bangunan serta fasilitas yang digunakan untuk aktivitas kehidupan sehari-hari. Kualitas dan fasilitas lingkungan perumahan memberikan sumbangan pada kenyamanan hidup sehari-hari. Fasilitas rumah berupa luas lantai rumah, sumber dan penggunaan air dan tempat buang air besar. Luas lantai adalah jumlah luas lantai yang ditempati dan digunakan untuk keperluan sehari-hari oleh anggota responden, termasuk di dalamnya teras, garasi, WC dan gudang dalam satu bangunan. Tabel 32 Persentase Rumah Tangga Menurut Luas Lantai Rumah di Kepulauan Seribu Tahun 2004-2006 (%) Luas Lantai (m2) 2004 2005 2006 < 20 0.33 2.19 0.63 20-49 19.31 49.69 20.63 50-99 68.15 41.25 71.25 100-149 9.24 6.56 6.88 150 + 2.97 0.31 Sumber : BPS Propinsi DKI Jakarta, 2007 0.63 Tabel 32 memperlihatkan bahwa pada tahun 2006, sebagian besar responden di Kepulauan Seribu menempati luas lantai antara 50-99 m 2 (sekitar 71.25%). Dibandingkan tahun 2005, terjadi peningkatan kesejahteraan pada responden yang menempati luas lantai antara 50-99 m 2 sebesar 41.25%. Peningkatan tersebut wajar, mengingat pertambahan penduduk Kepulauan Seribu setiap tahun semakin besar, sementara biaya pemilikan dan pembangunan rumah tinggal semakin mahal. Konsekuensinya adalah kepadatan hunian per rumah tinggal semakin tinggi jauh lebih kecil. Kelengkapan fasilitas pokok suatu rumah menentukan tingkat kenyamanan rumah tinggal dan kualitas hidup penghuninya. Fasilitas pokok yang penting agar rumah menjadi sehat dan nyaman adalah ketersediaan air bersih, listrik dan jamban (WC).

136 Tabel 33 Persentase Rumah Tangga Menurut Fasilitas Air Minum di Kepulauan Seribu Tahun 2004-2006 (%) Sumber air Minum 2004 2005 2006 Ledeng 1.65 34.06 13.75 Pompa air 0 0 0 Sumur 14.85 0 0 Air kemasan 1.32 5 4.06 Lainnya 82.18 60.94 82.19 Jumlah rumah tangga 6,060 6,720 Sumber : BPS Propinsi DKI Jakarta, 2007 4,480 Tabel 33 menggambarkan bahwa terjadi penurunan pada persentase penggunaan air minum dari sumber ledeng pada tahun 2005 sebesar 34.06 % menjadi 13.75% pada tahun 2006. Penggunaan air sumur bahkan sejak tahun 2005 sudah tidak ada lagi. Tingginya penggunaan air ledeng sangat beralasan karena lokasi geografis Kepulauan Seribu yang berupa pulau-pulau kecil dan daerah tangkapan air tawarnya rendah. Proses interusi air laut yang dengan cepat masuk dan menyerap ke dalam pori-pori tanah menjadikan air di kawasan tersebut payau. Disamping itu pesatnya kawasan industri di Pesisir Jakarta menjadikan perairan Teluk Jakarta dipenuhi oleh limbah dan tentunya dapat mempengaruhi kualitas air tanah. Konsekuensinya responden di Kepulauan Seribu seperti juga responden di Jakarta Utara memenuhi kebutuhan air minumnya dari air ledeng atau air kemasan unutk kebutuhan air minumnya. Tabel 34 Persentase Rumah Tangga Menurut Tempat Buang Air Besar di Kepulauan Seribu, Tahun 2004-2007 (%) Tempat Buang Air Besar 2004 2005 2006 2007 Kakus sendiri 26.24 56.25 27.19 35.63 Kakus bersama 0.33 2.5 0 3.44 Kakus umum 1.98 0.63 0 2.81 Lainnya 71.45 40.63 71.81 58.13 Jumlah rumah tangga 6,060 6,720 4,480 Sumber : BPS Propinsi DKI Jakarta, 2007 4480 Tabel 34 menjelaskan penggunaan fasilitas tempat buang air besar di dalam responden. Responden yang mempunyai kakus sendiri dapat dikatakan

137 lebih sejahtera dibandingkan jika respondennya tersebut membuang air besarnya ke kakus umum atau lainnya. Tahun 2004, sebanyak 26.24% rumah tangga di Kepulauan Seribu menggunakan kakus sendiri, naik tahun 2005 sebesar 56.25% dan kembali turun pada tahun 2006 sebesar 27.19%. Data ini menunjukkan bahwa kesadaran dan kemampuan masyarakat untuk memiliki kakus sendiri makin meningkat. Bahkan pada tahun 2006 responden yang menggunakan kakus bersama atau kakus umum sudah tidak ada lagi. Namun ada peralihan ke fasilitas lainnya yang makin membesar pada tahun 2006 yaitu mencapai 71.81%. Ketiadaan penggunaan kakus bersama/umum di tahun 2006 ini disebabkan karena rata-rata masyarakat sudah mempunyai kakus sendiri. Tahun 2007 responden yang mempunyai kakus sendiri makin meningkat yaitu sebesar 35.63% dan 3.44% masih ada rumah tangga yang menggunakan kakus bersama. Penggunaan kakus umum sebesar 2.81% serta rumah tangga yang tidak mempunyai kakus sebesar 58.13%. Fakta ini menjelaskan adanya peningkataan kesadaran penduduk dan pola hidup bersih. Pengeluaran Per Kapita Pengeluaran per kapita responden Kepulauan Seribu pada tahun 2007 sebesar Rp 411.303. Angka ini masih lebih rendah dari rata-rata pengeluaran rumah tangga DKI Jakarta sebesar Rp 669.643. Pengeluaran per kapita sebulan untuk konsumsi makanan tahun 2007 sebesar Rp 243.462. Angka ini sedikit lebih rendah dengan rata-rata pengeluaran per kapita sebulan untuk konsumsi makanan responden DKI Jakarta tahun 2006 tercatat Rp 248.270. Pengeluaran untuk konsumsi non makanan dirinci menurut pengeluaran perumahan, aneka barang dan jasa, pakaian, barang tahan lama, pajak dan keperluan pesta. Pengeluaran jenis non makanan rumah tangga Kepulauan Seribu tahun 2007 sebesar Rp 167.841 sedangkan di tahun yang sama rata-rata responden di DKI Jakarta pengeluaran rumah tangganya mencapai Rp 403.454,-. Artinya pengeluaran per kapita rumah tangga Kepulauan Seribu lebih banyak digunakan untuk belanja makanan dibandingkan non makanan. Sebaliknya rumah tangga DKI Jakarta secara umum alokasi pengeluarannya lebih banyak digunakan untuk

138 belanja non makanan dibandingkan makanan. Hal itu sesuai dengan kondisi warga Kepulauan Seribu yang masih disibukkan oleh pemenuhan kebutuhan basic need, maka alokasi pengeluaran lebih banyak digunakan untuk makanan. Sedangkan masyarakat Jakarta kebanyakan, rata-rata kemampuan ekonominya sudah maju, didukung oleh fasilitas perbelanjaan dan ketersediaan barang dan jasa serta kompleksitas kebutuhan masyarakat, membuat pengeluaran perkapita lebih banyak dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan non makanan. Tabel 35 menjelaskan tentang rata-rata pengeluaran rumah tangga per kapita sebulan dan jenis pengeluaran di Kepulauan Seribu dan DKI Jakarta. Tabel 35 Rata-rata Pengeluaran Rumah Tangga Per Kapita Sebulan dan Jenis Pengeluaran di Kepulauan Seribu Tahun 2007 Jenis Pengeluaran Kep. Seribu DKI Jakarta Makanan 243.462 266.189 Non Makanan 167.841 403.454 Jumlah 411.303 Sumber : BPS Propinsi DKI Jakarta, 2007 669.643 Distribusi Pendapatan dan Gini Ratio Indikator yang digunakan untuk menilai sejauhmana tingkat ketidakmerataan (ketimpangan) pendapatan penduduk, antara lain dengan Gini ratio dan kriteria Bank Dunia. Gini ratio merupakan ukuran distribusi pendapatan yang mempunyai nilai 0 sampai dengan 1. Apabila gini ratio mendekati 0, kesenjangan distribusi pendapatan dianggap rendah. Sebaliknya, apabila gini ratio mendekati angka 1, maka kesenjangan distribusi pendapatan dianggap makin tinggi. Jika gini ratio > 0,50 menggambarkan distribusi pendapatan dengan tingkat ketidakmerataan tinggi. Gini ratio 0,4-0,5 menggambarkan distribusi pendapatan dengan tingkat ketidakmerataan sedang dan gini ratio < 0,4 menggambarkan distribusi pendapatan dengan tingkat ketidakmerataan rendah. Kriteria Bank Dunia menggolongkan penduduk menjadi tiga kelas yaitu, 40% penduduk berpendapatan rendah, 40% berpendapatan sedang dan 20% penduduk berpendapatan tinggi. Tingkat ketimpangan penduduk menurut kriteria

139 Bank Dunia terpusat pada 40% penduduk berpendapatan rendah, kemudian diidentifikasi intensitas kemiskinannya dengan kriteria : Bila menerima kurang dari 12% dari jumlah pendapatan, menggambarkan distribusi pendapatan mempunyai ketimpangan tinggi Bila menerima antara 12-17%, menggambarkan distribusi pendapatan mempunyai ketimpangan sedang Bila menerima lebih besar dari 17%, menggambarkan distribusi pendapatan mempunyai ketimpangan rendah Pengukuran distribusi pendapatan dan ketimpangan ini masih menggunakan data skala Propinsi karena keterbatasan data yang ada. Namun setidaknya, memberikan gambaran tentang Kepulauan Seribu yang berada dalam wilayah propinsi DKI Jakarta. Tabel 36 Persentase Distribusi Pendapatan dan Gini Ratio DKI Jakarta Tahun 1990, 2000-2006 (%) Tahun 40% yang berpendapatan rendah Kelompok Penduduk 40% yang berpendapatan sedang 20% yang berpendapatan tinggi Gini Ratio 1990 22.56 36.82 40.62 0.305 2000 20.17 35.6 44.23 0.351 2001 21.89 37.03 41.08 0.311 2002 19.37 32.63 48.00 0.389 2003 21.98 34.94 43.08 0.310 2004 20.18 34.81 45.81 0.363 2005 18.42 32.25 49.33 0.406 2006 20.11 30.89 49.00 0.360 Sumber : BPS Propinsi DKI Jakarta, 2007 Tabel 36 menggambarkan bahwa selama selang waktu 1990-2006 telah terjadi penurunan kualitas terhadap distribusi pendapatan masyarakat DKI Jakarta. Pada tahun 1990, sekitar 23% bagian pendapatan masyarakat DKI Jakarta masih dinikmati oleh 40% penduduk berpendapatan rendah. Namun sejalan dengan berbagai kendala ekonomi, seperti krisis yang terjadi tahun 1997 telah berdampak pada tingkat kesenjangan yang semakin lebar dengan semakin kecilnya bagian pendapatan yang dinikmati oleh 40% penduduk berpendapatan rendah. Tahun 2006, walaupun telah terjadi sedikit perbaikan kondisi ekonomi namun bagian pendapatan masyarakat yang dimiliki oleh 40% penduduk berpendapatan rendah

140 mencapai 20,11%. Kendati telah terjadi penurunan kualitas terhadap distribusi pendapatan masyarakat, secara umum masih termasuk dalam kategori ketimpangan rendah. Sejalan dengan kriteria Bank Dunia, selama periode 1990-2006 ketimpangan penduduk yang diukur melalui indikator gini ratio memperlihatkan gejala kesenjangan pembagian pendapatan yanga membesar, meskipun dengan besaran kuantitatif yang masih lebih kecil dari 0,41. Pada tahun 1990, angka gini ratio DKI Jakarta sebesar 0,305 selanjutnya pada tahun 2000, 2002, 2003 dan 2006 berturut-turut 0,351; 0,389; 0,310 dan 0,360. Penurunan nilai gini ratio ini memperlihatkan bahwa ketimpangan pendapatan mulai menurun lagi dibanding tahun sebelumnya. 6.1.3 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indeks Pembangunan Manusia secara khusus mengukur capaian pembangunan manusia berbasis sejumlah komponen kualitas hidup. IPM dibangun melalui pendekatan tiga dimensi dasar meliputi umur panjang dan sehat, pengetahuan dan kehidupan yang layak. Untuk mengukur dimensi kesehatan, digunakan angka umur harapan hidup (AHH). Dimensi pengetahuan digunakan gabungan indikator melek huruf dan rata-rata lama sekolah. Adapun untuk mengukur standar hidup layak digunakan indikator kemampuan daya beli yang dilihat dari rata-rata pengeluaran per kapita sebagai pendekatan pendapatan. IPM menjadi sangat penting dan bernilai strategis dan dibutuhkan oleh berbagai pihak dan pemerintah khususnya untuk menentukan berbagai kebijakan. IPM juga digunakan untuk menilai keberhasilan kinerja pembangunan manusia. Tabel 37 menunjukkan bahwa selama periode 2004-2006 pembangunan manusia di Kepulauan Seribu mengalami peningkatan. Tahun 2004 IPM Kepulauan Seribu adalah 67.2 meningkat menjadi 67.6 pada tahun 2005 dan terus meningkat menjadi 69.3 pada tahun 2006. Peningkatan IPM menunjukkan bahwa kinerja pemerintah terus menunjukkan peningkatan dari waktu ke waktu yang tercermin dari adanya peningkatan komponen IPM. Peningkatan tersebut terlihat pada indikator harapan hidup, melek huruf, rata-rata lama sekolah dan

141 pengeluaran ril per kapita sebagai komponen dasar IPM, semuanya mengalami peningkatan. Tabel 37 IPM Kabupaten Kepulauan Seribu, DKI Jakarta, Indonesia dan Komponennya Tahun 2004-2006 Komponen Tahun 2004 2005 2006 Angka Harapan Hidup (AHH) (Tahun) 69.3 69.7 70.1 Angka Melek Huruf (AMH) (%) 96.4 96.6 97.2 Rata-rata lama sekolah (Tahun) 6.8 6.9 7.8 Pengeluaran ril/kapita disesuaikan (Rp.000) 569.2 570.4 578.8 IPM Kepulauan Seribu 67.2 67.6 69.3 Ranking IPM 261 267 233 IPM DKI Jakarta 75.8 76.1 76.3 IPM Indonesia 68.7 69.6 70.1 Sumber : BPS, 2006 Nilai IPM Kepulauan Seribu masih jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan IPM DKI Jakarta dan sedikit di bawah IPM nasional (Indonesia). Dari sisi peringkat tahun 2005 sempat mengalami penurunan dari 261 ke 267 dan kemudian naik kembali menjadi peringkat 233 dari 456 Kabupaten/Kota yang ada. Penurunan peringkat pada tahun 2005 disebabkan karena krisis ekonomi yang ditandai oleh kenaikan BBM yang berlangsung hampir 2 kali selama tahun 2005. Perbedaan nilai IPM Kepulauan Seribu, DKI Jakarta dan Nasional dapat dilihat pada Gambar 10. Keberhasilan pembangunan manusia, tidak mutlak diukur dari urutan posisi (ranking), akan tetapi dapat dilihat juga reduksi shortfall nya. Berdasarkan ukuran itu terlihat seberapa besar akselerasi capaian pembangunan manusia. Reduksi shortfall Kepulauan Seribu selama periode 2004-2005 adalah 1,21, kemudian dengan cepat naik nilainya pada periode 2005-2006 menjadi 5,17. Hal itu memberi indikasi bahwa peningkatan kualitas hidup penduduk menunjukkan percepatan dari tahun ke tahun. Percepatan tersebut terasa setelah Kepulauan Seribu resmi menjadi Kabupaten baru di wilayah Propinsi DKI Jakarta sejak tahun 2002 yang diikuti dengan berbagai program pembangunan. Jika dibandingkan dengan Kab/Kota lainnya di DKI Jakarta, masih sangat jelas terjadi ketimpangan/ketidakmerataan dalam pembangunan manusia.

142 78 76 75.8 76.1 76.3 74 Nilai IPM 72 70 68 67.2 68.7 67.6 69.6 69.3 70.1 Kep. Seribu DKI Jakarta Indonesia 66 64 62 2004 2005 2006 Gambar 10 Nilai IPM Kabupaten Kepulauan Seribu, DKI Jakarta dan Indonesia Tahun 2004-2006 Disparitas pembangunan manusia di Kepulauan Seribu terlihat jika dibandingkan dengan DKI Jakarta. DKI Jakarta selama tahun 2004-2006 selalu tercatat sebagai sebagai propinsi dengan IPM tertinggi yang mencapai 76,3 pada tahun 2006. Pada tahun yang sama (2006) tiga kota di DKI Jakarta yaitu Jakarta Selatan, Jakarta Timur dan Jakarta Barat termasuk kategori urutan lima besar IPM tertinggi Kabupaten/Kota. Meskipun masih dalam satu wilayah Propinsi DKI Jakarta, namun IPM Kepulauan Seribu masih jauh tertinggal jika dibandingkan dengan Kota lainnya di DKI Jakarta. Kemajuan IPM tergantung dari komitmen penyelenggara pemerintah daerah dalam meningkatkan kapasitas dasar penduduk yang berdampak pada peningkatan kualitas hidup. Disparitas pembangunan manusia yang terjadi antara Kepulauan Seribu dengan Kota lainnya di DKI Jakarta menunjukkan bahwa pola pembangunan yang dijalankan selama ini mengalami bias perkotaan dan daratan. Lokasi yang berkarakter pedesaan dan kepulauan seperti Kabupaten Kepulauan Seribu belum mendapatkan perhatian yang serius, khususnya dalam pemenuhan kebutuhan dasarnya. Pola desentralistik yang menggeser pola sentralistik pada masa lalu, belum berjalan dengan baik. Sentralisasi masih terlihat dalam pelaksanaan berbagai program pembangunan. Hal itu terlihat dari penempatan kantor-kantor administratif yang

143 masih berada di wilayah Jakarta, kepala-kepala pemerintahan di Kepulauan Seribu juga lebih banyak menghabiskan waktunya di Jakarta dibandingkan berada di Kepulauan Seribu. Aturan dan skenario pembangunan, faktanya dijalankan dari Jakarta. Di tingkat Kabupaten/Kota di wilayah DKI Jakarta, capaian IPM tertinggi pada tahun 2006 adalah Jakarta Selatan yaitu sebesar 78,3. Sedangkan pada tahun yang sama Kepulauan Seribu yang tercatat sebagai Kabupaten dengan nilai IPM terendah di DKI Jakarta nilainya mencapai 69,3. Sehingga disparitas pembangunan manusia antara Kota Jakarta Selatan dan Kepulauan Seribu sekitar 9 point. Meskipun perbedaanya tidak terlalu besar, namun hal itu menunjukkan bahwa pembangunan manusia di DKI Jakarta masih timpang. Gambar 11 menunjukkan disparitas IPM antara Kepulauan Seribu dengan Kab/Kota lainnya di DKI Jakarta. 80 78 76 77.9 78.3 77.4 77.377.1 77.4 77.4 76.2 76.4 76.7 75.775.8 75.8 76.1 76.1 76.3 74.975.1 Kepulauan Seribu 74 Jakarta Selatan Nilai IPM 72 70 68 67.2 68.7 67.6 69.6 69.3 70.1 Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara 66 DKI Jakarta 64 Indonesia 62 60 2004 2005 2006 Gambar 11 Nilai IPM Kab/Kota di DKI Jakarta dan Nasional Tabel 37 menunjukkan adanya peningkatan pada setiap komponen penyusun IPM. Nilai AHH dan AMH sudah mendekati kondisi ideal yaitu 85, sedangkan nilai AHH dan AMH Kepulauan Seribu pada tahun 2006 mencapai 70,1 dan 97,2. Kondisi yang jauh dari nilai ideal terlihat pada rata-rata lama

144 sekolah yang baru mencapai nilai 7,8 pada tahun 2006. Nilai ideal rata-rata lama sekolah adalah 15. Daya beli masyarakat dari tahun 2004-2006 juga menunjukkan peningkatan meskipun masih jauh di bawah standar ideal yaitu Rp 732.720,-. Sedangkan Kepulauan Seribu daya beli masyarakatnya pada tahun 2006 baru mencapai Rp 578.800,-. Adanya peningkatan pada semua komponen IPM di Kepulauan Seribu ini menunjukkan kualitas hidup masyarakat semakin membaik. Nilai IPM DKI Jakarta yang tertinggi tidak serta merta merubah status pembangunannya. Secara total, seluruh Kabupaten/Kota di Indonesia status pembangunannya belum ada yang masuk dalam kategori tinggi. Status pembangunan Kepulauan Seribu dan DKI Jakarta beserta semua Kota-kota lainnya di DKI Jakarta status pembangunannya masuk dalam kategori menengah atas. 6.1.4 Tingkat Kesejahteraan Berdasarkan Model BKKBN BKKBN lebih melihat pada sisi kesejahteraan dibandingkan dengan sisi kemiskinan. Pendataan keluarga sejahtera dilakukan dalam lima tahap, mulai dari pra sejahtera, keluarga sejahtera (KS) I KS III plus. Dalam analisis ini digunakan data Podes tahun 2006 dan data hasil survey lapangan. Tabel 38 Kependudukan Kelurahan P. Panggang Nama Kelurahan Jumlah Penduduk Laki-laki (orang) Jumlah Penduduk Perempuan (orang) Jumlah Keluarga Persentase Keluarga Pertanian (%) Jumlah Pra Keluarga Sejahtera dan Keluarga Sejahtera (KS) 1 Jumlah Keluarga yang menggunakan Listrik Non-PLN (keluarga) PULAU PANGGANG 2273 2152 1240 85 573 1240 Sumber : Podes, 2006 BPS Jakarta Berdasarkan Tabel 38 menunjukkan bahwa jumlah penduduk Kelurahan P. Panggang pada tahun 2006 mencapai 4.425 jiwa dengan keluarga mencapai 1.240

145 keluarga. Dari total penduduk, 2.273 diantaranya adalah laki-laki dan 2.152 adalah perempuan. Persentase jumlah keluarga pertanian (perikanan) mencapai 85%. Artinya mayoritas penduduk Kelurahan P. Panggang berprofesi di bidang perikanan atau yang terkait dengan usaha perikanan lainnya. Data ini menjadi gambaran betapa tingginya ketergantungan penduduk terhadap sumber daya pesisir dan laut. Jumlah keluarga pra sejahtera dan keluarga sejahtera 1 (KS 1) sekitar 573 keluarga atau sekitar 46.21% dari total jumlah keluarga yang ada. Jumlah keluarga miskin di Kelurahan P. Panggang hanya terdapat di P. Panggang dan P. Pramuka. Karena di antara 12 pulau yang termasuk dalam wilayah administrasi Kelurahan P. Panggang, hanya P. Panggang dan P. Pramuka yang peruntukannya untuk pemukiman penduduk. Angka tersebut dapat juga menunjukkan bahwa hampir separuh dari jumlah keluarga yang rata-rata berprofesi sebagai nelayan tersebut merupakan keluarga miskin. Data ini juga semakin memperkuat analisis bahwa kemiskinan selalu diidentikkan dengan nelayan dan masyarakat pesisir. Masyarakat Kepulauan Seribu dan P. Panggang serta P. Pramuka khususnya mayoritas penduduknya bermata pencaharian sebagai nelayan atau usaha perikanan lainnya seperti budidaya laut, pengolahan hasil perikanan dan perdagangan. Setidaknya tercatat beberapa potensi yang seharusnya dapat dimanfaatkan oleh masyarakat pesisir Kelurahan P. Panggang agar kesejahteraannya meningkat. Beberapa potensi tersebut antara lain ekosistem terumbu karang, lamun, ekosistem pantai, pulau-pulau yang difungsikan sebagai pariwisata dan cagar alam serta status P. Pramuka sebagai pusat ibu kota Kabupaten Kepualaun Seribu. Potensi SDPL tersebut belum dan atau tidak dapat dimanfaatkan dengan baik oleh masyarakat guna meningkatkan kesejahteraannya. Inilah yang menjadi pertanyaan besar kenapa masyarakat yang dikelilingi oleh sumber daya melimpah namun angka kemiskinannnya masih tinggi. Keluarga pra sejahtera (sangat miskin) ditandai oleh adanya beberapa indikator ekonomi dan non ekonomi yang belum dapat dipenuhi oleh keluarga tersebut. Indikator ekonomi yang dimaksud adalah : makan dua kali atau lebih sehari, memiliki pakaian yang berbeda untuk aktivitas (misalnya di rumah,

146 bekerja/ sekolah dan bepergian), dan bagian terluas lantai rumah bukan dari tanah. Sedangkan indikator non-ekonomi ditandai oleh indikator antara lain pelaksanaan ibadah, bila anak sakit dibawa ke sarana kesehatan. Tabel 39 merupakan hasil survey yang dapat digunakan untuk mempertegas kategorisasi keluarga miskin yang terdata dalam Podes 2006. Hasil wawancara dengan 30 KK di P. Panggang dan 27 KK di P. Pramuka menunjukkan masih adanya keluarga sangat miskin meskipun jumlahnya sudah berkurang. Sebagai contoh, masih ada 5 responden (8,77%) di P. Panggang dan P. Pramuka yang bahan lantainya masih berupa tanah. Untuk pola berpakaian, sekitar 36 keluarga (65,45%) mengatakan bahwa setahun sekali ganti pakaian dan sebanyak 12 keluarga (21,82%) mengaku tidak mempunyai pakaian khusus untuk acara/kegiatan tertentu. Demikian jika anggota keluarga ada yang sakit, sekitar 19 keluarga (26%) mengobatinya dengan membawa ke dukun atau mengkonsumsi obat-obatan yang dijual bebas di warung. Hasil survey mempertegas adanya masyarakat yang berada dalam status sangat miskin, namun jumlahnya sedikit. Tabel 39 Kategori Keluarga Pra Sejahtera dan Sejahtera I Menurut Hasil Survey Lapang Kategori Jumlah KK % Luas lantai : < 8 m2 7 12.28 Bahan lantai : tanah 5 8.77 Pola pakaian : setahun membeli satu kali 36 65.45 Tidak punya pakaian khusus 12 21.82 Bila sakit berobat ke dukun 1 1.75 Bila sakit menggunakan obat warung 18 31.58 Pendapatan tidak tetap, musiman 28 50.00 Pendapatan harian 26 46.43 KK yang tidak sekolah 6 10.71 Dari yg tidak sekolah, yg tdk bs baca tulis 1 16.67 KK yang mengikuti program KB 42 73.68 Sumber : Data primer Keluarga sejahtera I (miskin) ditandai oleh tidak adanya kemampuan dalam memenuhi salah satu atau lebih beberapa indikator ekonomi dan non ekonomi. Indikator ekonomi yang dimaksud meliputi : paling kurang sekali seminggu keluarga makan daging atau ikan atau telor, setahun terakhir seluruh

147 anggota keluarga memperoleh paling kurang satu stel pakaian baru dan luas lantai rumah paling kurang 8 m 2 untuk tiap penghuni. Sedangkan indikator non ekonomi meliputi : Ibadah teratur, sehat tiga bulan terakhir, punya penghasilan tetap, usia 10-60 tahun dapat baca tulis huruf latin, usia 6-15 tahun bersekolah dan anak lebih dari 2 orang, ber-kb. Data ini dapat diperkuat dengan melihat hasil wawancara langsung kepada 30 keluarga di P. Panggang dan 27 keluarga di P. Pramuka. Sebagai contoh, terdapat 7 responden (12,28%) yang luas lantainya < 8 m 2. Dari sisi pendapatan sebanyak 54 kepala keluarga (96%) menyatakan bahwa pendapatan yang mereka terima bersifat tidak tetap, musiman dan harian. Jika dilihat dari jumlah anggota keluarga yang tidak sekolah, hanya tercatat sekitar 6 kepala keluarga (11%) yang tidak bersekolah. Dari 6 orang tersebut 5 orang diantaranya dapat membaca tulis huruf latin dengan cara otodidak dan hanya 1 orang yang betul-betul tidak bisa baca tulis. Dalam hal menyekolahkan anak, hampir semua keluarga mampu menyekolahkan anaknya. Hanya sekitar 9 kepala keluarga (10%) yang menyatakan tidak mampu menyekolahkan anaknya. Sedangkan dari keikutsertaan program KB, 15 kepala keluarga menyatakan tidak ikut program KB. Tabel 39 juga menggambarkan bahwa 53,79% merupakan keluarga sejahtera I-III plus. Survey lapang memperkuat data ini dengan melihat beberapa indikator keluarga sejahtera sebagian besar keluarga mampu memenuhinya. Sebanyak 57 responden mengatakan bahwa 30 kepala keluarga (52,63%) menyatakan telah mempunyai tabungan meskipun masih banyak disimpan di celengan atau dititipkan ke perorangan. Sekitar 55 orang (96%) menyatakan jarang dan atau aktif dalam kegiatan sosial keagamaan dan sebanyak 39 orang (68%) aktif dalam organisasi kemasyarakatan. Kategori keluarga sejahtera I-III tersebut lebih banyak masuk pada kategori KS I-II. Karena jika dilihat jumlah kepala keluarga yang aktif memberikan sumbangan hanya sekitar 35 orang dan yang betul-betul aktif dalam kepengurusan organisasi hanya sekitar 15 orang kepala keluarga. Tabel 40 hasil survey mempertegas kategorisasi Keluarga Sejahtera II-III plus.

148 Tabel 40 Kategori Keluarga Sejahtera I-III Plus Menurut Hasil Survey Lapang Kategori Jumlah KK % Memilik tabungan 30 52.63 Aktif dalam kegiatan sosial keagamaan 30 52.63 Jarang aktif dalam kegiatan sosial keagamaan 25 43.86 Rekreasi setahun 1 kali sampai 2 kali 7 12.28 Sesekali melakukan rekreasi keluarga 33 57.89 Bisa mendapatkan akses informasi 45 80.36 Bisa mengakses informasi lebih dari satu sumber 9 16.07 Sering memberikan sumbangan 21 37.50 Jarang memberikan sumbangan 35 62.50 Aktif dalam organisasi kemasyarakatan 15 26.32 Jarang aktif dalam organisasi kemasyarakatan 24 42.11 Sumber : Data primer 6.2 Potret Kesejahteraan Responden Hasil analisis kesejahteraan responden ini dilakukan berdasarkan contoh dan tidak mewakili seluruh wilayah Kelurahan P. Panggang. 6.2.1 Tingkat Kesejahteraan Responden P. Panggang dan P. Pramuka Perumahan Hal yang paling fundamental bagi sebuah rumah tangga adalah keberadaan rumah sebagai tempat tinggal. Sehingga status rumah dapat dijadikan sebagai indikator kesejahteraan sebuah responden. Keberadaan rumah menjamin kualitas kehidupan responden. Rumah merupakan kebutuhan primer lain selain pangan dan pakaian. Keberadaan rumah sebagai tempat tinggal dengan mempertimbangkan status rumah sebagai rumah sendiri, kontrakan atau masih numpang saudara/orang tua. Status rumah juga dilihat dari jenis rumah dalam kategori permanen, semi permanen atau rumah papan. Tabel 41 memperlihatkan bahwa Kelurahan P. Panggang, hanya P. Panggang dan P. Pramuka yang berfungsi sebagai pemukiman penduduk. Mayoritas penduduk kedua pulau itu memiliki rumah sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa 87.72 % ukuran kesejahteran penduduk kedua pulau berdasarkan status perumahan. Namun, 10.53 % penduduk menumpang pada orang tua/saudara dan 1.75 % yang mengontrak.

149 Tabel 41 Persentase Responden Menurut Status Rumah (%) Status Rumah P. Panggang P. Pramuka Total rumah sendiri 93.33 81.48 87.72 rumah kontrakan 0.00 3.70 1.75 rumah saudara/orang tua 6.67 14.81 10.53 permanen 36.67 31.82 36.00 permanen tidak mewah 30.00 9.09 18.00 semi permanen 23.33 45.45 34.00 rumah papan/bilik 10.00 13.64 12.00 Jumlah Persentase 100.00 100.00 100.00 Jumlah Rumah tangga 30.00 27.00 57.00 Sumber : Data Primer Dari total jumlah tersebut, masyarakat P. Panggang 93.33% rumah yang ditempati merupakan rumah sendiri dan hanya 6.67% yang tinggal bersama orang tua atau saudara. Sedangkan di P. Pramuka lebih terdistribusi normal, 81.48% masyarakat tinggal di rumahnya sendiri, 14.81% bersama orang tua/saudara dan hanya 3.70% menempati rumah kontrakan. Status rumah penduduk Kelurahan P. Panggang rata-rata menempati rumah sendiri meskipun luas rumahnya sangat sempit. Namun hal itu belum bisa dikatakan sejahtera karena masih ada prasyarat lainnya yang dihurus dicukupi untuk dikatakan sejahtera. Kondisi rumah memperlihatkan tingkat kesejahteraan responden. Kategori perumahan di Kelurahan P. Panggang (P. Panggang dan P. Pramuka) adalah 36% permanen, 18% permanen tapi tidak mewah, 34% semi permanen dan hanya 12% papan/bilik. Data ini menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan rata-rata masyarakat Kelurahan P. Panggang tergolong cukup karena 46% responden menempati rumah semi permanen dan papan/bilik. Jika dibandingkan dengan kondisi rumah yang ada di P. Panggang maka 36.67% responden menghuni rumah permanen, 30% permanen tapi tidak mewah, 23.3% semi permanen dan sekitar 10% masih menempati rumah papan/bilik. Sedangkan di P. Pramuka responden didominasi oleh rumah semi permanen 45%, rumah permanen sebesar 32%, rumah papan sekitar 14% dan 9% menempati rumah semi permanen. Kualitas rumah tinggal selain ditentukan oleh kualitas bahan, juga ditentukan oleh fasilitas yang digunakan untuk aktivitas sehari-hari. Semakin

150 tinggi kualitas bahan bangunan dan semakin baik fasilitas yang dimiki, mencerminkan semakin tinggi tingkat kesejahteraan penghuninya. Karena kualitas dan fasilitas memberikan sumbangan bagi kenyamanan hidup sehari-hari. Tabel 42 menunjukkan bahwa rata-rata rumah penduduk di P. Panggang dan P. Pramuka menggunakan atap dari bahan seng/asbes (92.86%), bahan bangunan rumah berupa tembok (78.95%), bahan lantai dasar berupa keramik (57.89%). Tabel 42 juga menunjukkan bahwa responden di P. Panggang rata-rata menempati luas lantai 80 m 2 sebanyak 46.67% dan 33.33% berada di P. Pramuka. Responden P. Pramuka yang menempati luas lantai di atas 100 m 2 lebih besar dibandingkan P. Panggang masing-masing 14.81% dan 13.33%. Angka ini lebih tinggi dari rata-rata luas lantai rumah tangga di Kepulauan Seribu. Sebanyak 6,88% (2006) dan 6.25% (2007) rumah tangga menempati luas lantai di atas 100 m 2 dan paling banyak menempati luas lantai antara 50-99 m 2 sebesar 71,25% (2006) dan 52.2% (2007). Dilihat dari luas lantai, tingkat kesejahteraan responden P. Panggang dan Pramuka masih di atas rata-rata rumah tangga di Kepulauan Seribu. Selain luas lantai, fasilitas rumah lainnya yang menjamin kesejahteraan anggota keluarga yang berada di dalamnya adalah ketersediaan ruang seperti tempat buang air besar, kamar mandi, kamar tidur sendiri, ruang tamu dan dapur. Hasil survey menunjukkan bahwa 51,72% responden P. Panggang menggunakan WC sendiri/umum dan responden P. Pramuka hanya sekitar 38,46%. Data ini menunjukkan bahwa kesadaran dan kemampuan masyarakat untuk memiliki kakus sendiri terus meningkat karena data tahun 2006 menunjukkan bahwa pemakaian WC sendiri di Kepulauan Seribu hanya 27,19% dan 35,63% tahun 2007. Hasil ini menggambarkan tingkat kesadaran masyarakat P. Panggang untuk menggunakan WC sendiri lebih baik dibandingkan masyarakat P. Pramuka. Namun bisa juga disebabkan karena jumlah responden di P. Panggang lebih banyak dibandingkan dengan responden di P. Pramuka, sehingga angka pemakaian WC sendiri di P. Panggang lebih tinggi.

151 Tabel 42 Persentase Responden Menurut Kondisi Rumah (%) Kondisi rumah P. Panggang P. Pramuka Total Atap seng/asbes 86.67 96.30 92.86 daun/bambu 3.33 3.70 1.79 tanpa atap 10.00 0.00 5.36 Total 100.00 100.00 100.00 Bahan Bangunan Rumah rumah kayu 10.00 33.33 21.05 rumah tembok 90.00 66.67 78.95 Total 100 100.00 100.00 Bahan Lantai keramik 63.33 51.85 57.89 semen 30.00 37.04 33.33 tanah 6.67 11.11 8.77 Total 100.00 100.00 100.00 Luas Lantai >100 m2 13.33 14.81 14.04 8 x 10 m2 46.67 33.33 40.35 < 8 m2 10.00 14.81 12.28 lainnya 30.00 37.04 33.33 Total 100.00 100.00 100.00 Sumber : Data Primer Hasil survey menunjukkan bahwa kecenderungan responden di P. Panggang dan Pramuka dalam menjaga kesehatan anggota respondennya cukup tinggi. Hal itu tercermin dari ketersediaan kamar mandi di masing-masing responden. Penggunaan kamar mandi sendiri masing-masing di P. Panggang dan P. Pramuka adalah 75,86% dan 84,62%. Begitu juga dengan fasilitas pokok responden lainnya seperti kamar tidur, ruang tamu dan dapur menunjukkan angka yang cukup tinggi. Pemakaian kamar tidur sendiri dalam responden P. Panggang mencapai 96,55% dan bahkan 100% responden P. Pramuka mempunyai kamar tidur sendiri. Artinya masyarakat di kedua pulau itu sudah memperhatikan tingkat privasi/menjaga kepentingan pribadi khususnya yang terkait dengan tempat tidur. Sedangkan ketersediaan ruang tamu dalam responden P. Panggang dan P. Pramuka masing-masing 89,66% dan 80,77%. Masyarakat P. Panggang dan Pramuka rata-rata juga telah menggunakan dapur sendiri dalam melakukan aktivitas masak-memasak. Survey menunjukkan bahwa 93,10% responden P. Panggang mempunyai dapur sendiri dan bahkan 100% responden di P. Pramuka telah memanfaatkan dapur sendiri untuk kegiatan masak-memasak. Fakta di atas