IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
III. METODE PENELITIAN

atsiri dengan nilai indeks bias yang kecil. Selain itu, semakin tinggi kadar patchouli alcohol maka semakin tinggi pula indeks bias yang dihasilkan.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Kacang tanah merupakan komoditas pertanian yang penting karena banyak

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan Ca-Bentonit. Na-bentonit memiliki kandungan Na +

II. TINJAUAN PUSTAKA Pengasapan Ikan. Pengasapan adalah salah satu teknik dehidrasi (pengeringan) yang dilakukan

BAB I PENDAHULUAN. Kopi merupakan komoditas sektor perkebunan yang cukup strategis di. Indonesia. Komoditas kopi memberikan kontribusi untuk menopang

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL PENANGANAN PASCA PANEN KUNYIT. Feri Manoi

II. TINJAUAN PUSTAKA. Jagung (Zea mays) adalah tanaman semusim yang berasal dari Amerika

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai negara yang dilalui garis khatulistiwa, negara kita Indonesia

Bab IV Hasil dan Pembahasan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODE. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Minyak Atsiri dan Bahan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENANGANAN PASCA PANEN YANG BAIK (GOOD HANDLING PRACTICES/GHP) RIMPANG

BAB III METODOLOGI. Penetapan kadar minyak atsiri kayu manis dan pemeriksaan mutu minyak

II. PENGAWETAN IKAN DENGAN PENGGARAMAN & PENGERINGAN DINI SURILAYANI

Dalam proses ekstraksi tepung karaginan, proses yang dilakukan yaitu : tali rafia. Hal ini sangat penting dilakukan untuk memperoleh mutu yang lebih

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Hasil Uji Pembedaan Segitiga Ikan Teri (Stolephorus sp.) Kering

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

EKSTRAKSI MINYAK SEREH DAPUR SEBAGAI BAHAN FLAVOR PANGAN I N T I S A R I

PEMISAHAN CAMPURAN proses pemisahan

Pengeringan Untuk Pengawetan

TEKNIK PASCAPANEN UNTUK MENEKAN KEHILANGAN HASIL DAN MEMPERTAHANKAN MUTU KEDELAI DITINGKAT PETANI. Oleh : Ir. Nur Asni, MS

PENDAHULUAN PENGOLAHAN NILAM 1

Buletin Peternakan Edisi IV 2017 Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Prov. Sulawesi Selatan

MANISAN KERING JAHE 1. PENDAHULUAN 2. BAHAN

PENDAHULUAN. segar mudah busuk atau rusak karena perubahan komiawi dan kontaminasi

Minyak terpentin SNI 7633:2011

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Karakterisasi Bahan Baku Karet Crepe

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. kaca, dan air. Suhu merupakan faktor eksternal yang akan mempengaruhi

Teknologi Pengolahan Kopi Cara Basah Untuk Meningkatkan Mutu Kopi Ditingkat Petani

BAB I PENDAHULUAN. Bergesernya selera masyarakat pada jajanan yang enak dan tahan lama

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2011 sampai bulan Mei 2011 bertempat

Meningkatkan Nilai Tambah Bawang Merah Oleh: Farid R. Abadi

MODUL PRAKTIKUM SATUAN OPERASI II

BAB 2 HUBUNGAN AIR DAN KAYU: AIR DI DALAM KAYU

HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada waktu panen peralatan dan tempat yang digunakan harus bersih dan bebas dari cemaran dan dalam keadaan kering. Alat yang digunakan dipilih dengan

PRISMA FISIKA, Vol. I, No. 2 (2013), Hal ISSN :

PANEN DAN PASCAPANEN JAGUNG

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG

Gambar 8. Profil suhu lingkungan, ruang pengering, dan outlet pada percobaan I.

PENANGANAN PANEN DAN PASCA PANEN

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dibandingkan sesaat setelah panen. Salah satu tahapan proses pascapanen

ion dari dua zat atau lebih. Pelarut etanol akan melarutkan senyawa polar yang

PENYIMPANAN DAN PENGGUDANGAN PENDAHULUAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Bagian buah dan biji jarak pagar.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

PETUNJUK LAPANGAN 3. PANEN DAN PASCAPANEN JAGUNG

FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA BAHAN AJAR KIMIA DASAR

BAB IV HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Sayur-sayuran dan buah-buahan adalah jenis komoditi pertanian yang mempunyai

PEMBUATAN TEPUNG JAGUNG

Memiliki bau amis (fish flavor) akibat terbentuknya trimetil amin dari lesitin.

I. PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

Ir. Khalid. ToT Budidaya Kopi Arabika Gayo Secara Berkelanjutan, Pondok Gajah, 06 s/d 08 Maret Page 1 PENDAHULUAN

KAJIAN RUMAH PLASTIK PENGERING KOPRA KASUS DESA SIAW TANJUNG JABUNG TIMUR. Kiki Suheiti, Nur Asni, Endrizal

BAB III METODE PENELITIAN

ANALISIS TEKNIS DAN BIAYA OPERASIONAL ALAT PENYULING NILAM DENGAN SUMBER BAHAN BAKAR KAYU DI ACEH BARAT DAYA

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Beras adalah buah padi, berasal dari tumbuh-tumbuhan golongan rumputrumputan

REAKSI SAPONIFIKASI PADA LEMAK

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 9. Pola penyusunan acak

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. metode freeze drying kemudian dilakukan variasi waktu perendaman SBF yaitu 0

TINJAUAN PUSTAKA. pada masa yang akan datang akan mampu memberikan peran yang nyata dalam

PENGARUH LAMA PENYULINGAN DAN KOMPOSISI BAHAN BAKU TERHADAP RENDEMEN DAN MUTU MINYAK ATSIRI DARI DAUN DAN BATANG NILAM (Pogostemon cablin Benth)

Prinsip proses pengawetan dengan penurunan kadar air pada bahan pangan hasil ternak. Firman Jaya

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pembuatan Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Asap. Pengolahan ikan tongkol (Euthynnus affinis) asap diawali dengan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Pembuatan Tablet Effervescent Tepung Lidah Buaya. Tablet dibuat dalam lima formula, seperti terlihat pada Tabel 1,

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. industri. Pemanis yang umumnya digunakan dalam industri di Indonesia yaitu

TEKNOLOGI PRODUKSI BENIH PASCA

Lampiran 1. Analisis Sifat-sifat Fisik dan Mekanik Edible film. Analisis terhadap sifat-sifat fisik, mekanik dan biologis edible filmini meliputi:

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

HASIL DAN PEMBAHASAN

SMP kelas 7 - KIMIA BAB 2. UNSUR, SENYAWA, DAN CAMPURAN Latihan Soal 2.6

JURNAL PRAKTIKUM SENYAWA ORGANIK DAN ANORGANIK 12 Mei 2014

III. METODE PENELITIAN. Tanah yang akan diuji adalah jenis tanah lempung/tanah liat dari YosoMulyo,

I PENDAHULUAN. banyak ditemukan dan dikonsumsi yaitu ikan tongkol. Secara ilmu pengetahuaan,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang potensial sebagai sumber bahan baku

OPTIMASI TEKANAN DAN RASIO REFLUKS PADA DISTILASI FRAKSINASI VAKUM TERHADAP MUTU EUGENOL DARI MINYAK DAUN CENGKEH (Eugenia caryophyllata)

PENGOLAHAN BUAH-BUAHAN

PEMBUATAN SAOS CABE MERAH Nurbaiti A. Pendahuluan Cabe merah merupakan salah satu komoditas hortikultura yang mempunyai nilai ekonomis cukup tinggi

I PENDAHULUAN. Bab ini menjelaskan mengenai: (1) Latar Belakang Masalah, (2) Identifikasi

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

TEKNIK PENGOLAHAN HASIL PERTANIAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan Adonan Kerupuk

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Evaluasi kestabilan formula krim antifungi ekstrak etanol rimpang

HASIL DA PEMBAHASA. Tabel 5. Analisis komposisi bahan baku kompos Bahan Baku Analisis

Transkripsi:

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pengaruh Perlakuan Terhadap Sifat Fisik Buah Pala Di Indonesia buah pala pada umumnya diolah menjadi manisan dan minyak pala. Dalam perkembangannya, penanganan pascapanen diarahkan untuk diversifikasi produk sesuai permintaan pasar. Proses penanganan segar buah pala secara umum, yaitu pemisahan daging dengan biji pala, pemisahan salut dari biji pala, dan pengeringan. Proses penanganan buah pala untuk industri manisan pala biasanya diawali dengan proses perendaman buah pala dalam air garam 0.25 % (bobot/volume), dimana dalam 100 kg buah pala dibutuhkan air sebanyak 100 liter dan garam 250 gram. Perendaman dalam air garam berfungsi untuk mencegah terjadinya proses pencoklatan sehingga buah pala yang dihasilkan berwarna putih. Setelah itu, buah pala dipisahkan antara daging dan bijinya. Bagian yang dibutuhkan hanya daging buahnya sehingga dihasilkan limbah berupa biji dan salut. Namun demikian, limbah biji pala ini masih dapat diolah menjadi minyak pala sebagai penghasilan tambahan bagi produsen manisan pala. Dalam industri minyak atsiri dan rempah-rempah, biasanya buah pala langsung dipisahkan antara daging buah dan bijinya. Setelah itu, bijinya dikumpulkan dan direndam dalam air tawar, sebelum diproses menjadi minyak pala. Perendaman tersebut bertujuan untuk memudahkan dalam proses penanganan pascapanen selanjutnya, serta memperlambat pembusukan dan dapat membersihkan biji dari getah yang dihasilkan dari proses pemisahan dari daging buahnya. Hal tersebut dapat terlihat dari perubahan warna keputihan pada air sisa hasil perendaman biji pala setelah 24 jam perendaman (Gambar 10(b)). (a) (b) Gambar 10. Air perendaman biji pala: (a) awal perendaman, (b) setelah perendaman setelah 24 jam perendaman 24

(a) (b) (c) Gambar 11. Biji pala setelah diberi perlakuan: (a) tanpa perendaman, (b) perendaman dalam air tawar, dan (c) perendaman dalam air garam Gambar 11 menunjukkan perubahan warna biji pala hasil perendaman dan tanpa perendaman. Terlihat adanya perbedaan warna yang dihasilkan dari ketiga pelakuan tersebut, dimana biji pala yang dihasilkan dari perendaman dalam air garam memiliki warna lebih pucat dibandingkan tanpa perendaman. Biji pala yang direndam dengan air tawar (Gambar 11 (b)) memiliki warna lebih coklat dari pada hasil perendaman dengan air garam. Hal ini mengindikasikan bahwa perendaman dengan air garam dapat mencegah terjadinya proses pencoklatan. Proses pemisahan salut dari biji dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu secara manual dan semi mekanis. Pemisahan secara manual hanya membutuhkan pisau sebagai alat bantunya, sedangkan secara semi mekanis dapat menggunakan alat penyosoh. Pemisahan secara manual dapat dilakukan untuk semua jenis perlakuan, namun untuk pemisahan secara semi mekanis, hanya dapat dilakukan pada perlakuan 2 yaitu setelah biji pala direndam air tawar. Perbedaan kondisi salut dari setiap perlakuan menjadi faktor penting dalam menentukan cara pemisahan karena prisnsip kerja pada alat penyosoh dipengaruhi gaya gesek dan tekan yang bergerak secara translasi. Pada perlakuan 1 dan 3 kondisi salut masih menempel erat pada biji pala sehingga pada saat disosoh hasilnya kurang baik. Proses pemisahan membutuhkan gaya gesek dan tekan yang lebih besar yang menggambarkan biji pala rusak atau cacat. Sedangkan pada perlakuan 2, salut pada biji pala tidak menempel erat atau sudah terlepas dari bijinya akibat proses perendaman (Gambar 12), namun karena salut menyatu dengan biji sehingga masih diperlukan proses untuk memisahkannya. Jika sebagian besar salut sudah tidak menempel lagi pada biji pala, proses pelepasannya lebih mudah dan ringan. 25

Setelah direndam Sebelum direndam Gambar 12. Kondisi salut pada biji pala yang direndam dalam air tawar Sebelum proses pengeringan, biji pala untuk setiap perlakuan diukur kadar airnya terlebih dahulu. Hal tersebut bertujuan untuk mengetahui kadar air awal masing-masing perlakuan, serta untuk memprediksikan bobot kering yang harus dicapai saat kadar air 8-10 % basis basah. Berdasarkan hasil pengukuran dan analisis ragam (lihat Lampiran 6), jenis perlakuan memberikan hasil yang berbeda nyata (Lampiran 2), di mana pada perlakuan 2 memiliki kadar air paling tinggi, kemudian diikuti oleh perlakuan 1 dan perlakuan 3. Perbedaan nyata terlihat jelas pada perlakuan 3 apabila dibandingkan dengan perlakuan 1 dan 2. Tanpa direndam dalam direndam dalam perendaman air tawar air garam Gambar 13. Kadar air rata-rata biji pala dengan tingkat kematangan muda dan medium setelah diberi perlakuan perendaman 26

Faktor-faktor yang mempengaruhi kadar air bahan pangan diantaranya adalah air bebas dan air terikat, kadar air basis basah dan kering, aktivitas air, kelembaban mutlak dan kelembaban relatif, serta sifat fisik dari bahan (Safrizal 2010). Pada saat perendaman, pada biji pala terjadi proses difusi-osmosis, yaitu perpindahan zat atau molekul yang memiliki konsentrasi tinggi yaitu air tawar dan air garam ke konsentrasi rendah yaitu buah dan biji pala sehingga biji pala pada perlakuan 2 dan 3 mengandung air bebas yang lebih tinggi dibandingkan dengan biji pala pada perlakuan 1. Semakin tinggi air bebasnya maka akan semakin tinggi pula kadar airnya pada berat padatan bahan yang sama. Tingginya kadar air pada perlakuan 2 disebabkan oleh kandungan air bebasnya yang lebih cepat menguap dibandingkan pada perlakuan 3. Hal tersebut dikarenakan air bebas pada perlakuan 3 mengikat garam sehingga dibutuhkan energi lebih besar dan waktu yang lebih lama untuk menguapkan jumlah air yang sama dengan kandungan air bebas pada perlakuan 2. Adanya perbedaan kadar air tersebut tentunya mempengaruhi proses pengeringan. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses pengeringan pada suatu bahan, antara lain ukuran bahan, kadar air awal, dan tekanan parsial dari bahan (Neni 2007). Semakin tinggi kadar air awal suatu bahan maka akan semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk proses pengeringan. Waktu yang dibutuhkan untuk pengeringan pada perlakuan perendaman 1 dan 2 relatif sama, yaitu 7-8 hari, sedangkan untuk perlakuan 3 cenderung lebih lama, yaitu 8-9 hari. Gambar 14 memperlihatkan kondisi biji pala kering untuk tiap perlakuan. Adanya perbedaan tingkat keseragaman biji pala menjadi salah satu penyebab lama pengeringan dan perbedaan kadar air setelah pengeringan/sebelum penyimpanan. Hal tersebut mempengaruhi luas permukaan ketika proses penjemuran. Semakin besar luas permukaannya maka semakin cepat proses pengeringan. Hal tersebut dikarenakan belum adanya teknologi sortasi dalam proses penanganan pascapanen yang ada dilapangan. Terdapat beberapa sample pada perlakuan perendaman 1 yang memiliki kadar air lebih tinggi daripada sample perlakuan perendaman 1 lainnya padahal waktu pengeringan yang diberikan sama (lihat Lampiran 3). Hal tersebut diakibatkan adanya pengaruh dari getah yang menempel pada biji serta akibat panas yang tidak stabil karena proses dengan panas sinar matahari (penjemuran). Waktu tunggu pada proses pemisahan daging buah dengan bijinya dapat mempengaruhi jumlah getah yang dihasilkan. Semakin lama waktu tunggu pemisahan buah pala, jumlah getah semakin sedikit. Hal tersebut disebabkan selama proses pemisahan, buah pala mengalami proses penguapan (pengeringan). Semakin lama proses pemisahan berlangsung maka semakin banyak air yang diuapkan dari buah pala, sehingga buah pala tersebut dapat kering dalam waktu yang lama. Oleh karena itu jumlah getah yang menempel pada bijinya dapat dianggap sebagai salah satu penyebab lambatnya proses pengeringan. 27

(a) (b) (c) Gambar 14. Biji pala kering untuk setiap perlakuan yang diberikan, (a) tanpa perendaman, (b) perendaman dalam air tawar, dan (c) perendaman dalam air garam Berdasarkan hasil analisis ragam, perlakuan perendaman memberikan pengaruh nyata terhadap kadar air biji pala sebelum penyimpanan. Rata-rata kadar air sebelum penyimpanan yang paling tinggi terdapat pada perlakuan perendaman 1, yaitu 9.9 % dan paling kecil pada perlakuan 3, yaitu sebesar 7.9 % seperti ditunjukkan dalam Lampiran 7. Setelah tercapai kadar air biji pala kering sebesar 8-10 % basis basah, tahap selanjutnya dilakukan penyimpanan dalam kantong plastik pada ruangan berventilasi dengan lama penyimpanan: a) 1 minggu; b) 2 minggu; dan c) 3 minggu. Proses penyimpanan mempengaruhi kadar air serta bobot biji pala kering karena selama proses penyimpanan berlangsung, terjadi proses penguapan dalam jumlah kecil sehingga terjadi penurunan kadar air secara perlahan. Namun ketika suatu bahan mendekati batas minimal kadar airnya maka akan muncul sifat higroskopis, yaitu kemampuan suatu bahan untuk menyerap molekul air dari lingkungannya baik melalui absorbsi atau adsorpsi. Adanya fluktuasi dari kadar air ketika penyimpanan seperti ditunjukkan pada Gambar 15 dan 16, dipengaruhi oleh keadaan lingkungannya, seperti suhu dan RH. Karena ketika proses penyimpanan berlangsung, kondisi lingkungan per harinya tidak sama karena cuaca yang berubah-ubah/tidak menentu. Selain itu juga dikarenakan kandungan air bebas dan terikat dari tiap perlakuan berbeda, dimana hal tersebut dapat mempengaruhi sifat higroskopis pada suhu dan RH yang berbeda pula. Berdasarkan hasil analisis ragam perlakuan perendaman mempengaruhi kadar air setelah penyimpanan, sedangkan pada perlakuan lama penyimpanan tidak berpangaruh terhadap kadar air setelah penyimpanan, namun antara perlakuan perendaman dan lama penyimpanan menunjukkan adanya interaksi yang signifikan (lihat Lampiran 10). Selama penyimpanan rata- 28

rata kadar air paling tinggi terdapat pada perlakuan perendaman 1 dan paling kecil pada perlakuan 3. Namun untuk hasil analisis ragam untuk susut bobot hasilnya berlawanan dengan hasil analisis ragam kadar air setelah penyimpanan, dimana perlakuan perendaman tidak berpengaruh terhadap kadar air setelah penyimpanan, artinya semua perlakuan yang diberikan memberikan respon yang sama (tidak berbeda nyata), sedangkan pada perlakuan lama penyimpanan memberikan hasil yang berbeda nyata, dan tidak ada interaksi antara kedua perlakuan tersebut. Hal tersebut dapat dilihap pada Lampiran 11. Perubahan susut bobot pada perlakuan perendaman 1, 2, dan 3 relatif sama, dimana pada minggu pertama penyusutan 0 % untuk semua perlakuan, minggu kedua sekitar 2.5 %, dan minggu ketiga sekitar 4 %. Waktu penyimpanan optimal, yaitu 1 minggu karena biji pala belum mengalami susut bobot. Gambar 15. Perubahan kadar air biji pala kering sebelum dan sesudah penyimpanan Gambar 16. Susut bobot rata-rata biji pala kering dari perlakuan yang diberikan 29

B. Pengaruh Perlakuan Terhadap Rendemen Penyulingan Penyulingan dilakukan setelah proses penyimpanan selama 1-3 minggu untuk masingmasing perlakuan. Penyulingan yang digunakan untuk penelitian ini menggunakan sistem kukus atau uap-air dengan lama penyulingan selama 10 jam. Sebelum disuling biji pala kering digiling terlebih dahulu hingga berukuran 10 mm dengan bentuk menyerupai bujur sangkar, untuk mempercepat proses penguapan. Hasil penyulingan dapat dilihat pada Gambar 17 berikut ini. (a) (b) (c) Gambar 17. Hasil penyulingan minyak dari perlakuan yang diberikan, (a) tanpa perendaman, (b) biji direndam dalam air tawar, dan (c) buah direndam dalam air garam, dengan urutan perlakuan lama penyimpanan 1, 2, dan 3 minggu (dari kiri ke kanan). Hasil penelitian Sitorus (2004), ukuran rajangan 6 mm tidak berbeda nyata dengan ukuran rajangan 8 mm tetapi berbeda nyata dengan ukuran 10 mm. Ukuran rajangan 10 mm menghasilkan rendemen yang lebih tinggi dibandingkan rajangan yang berukuran 6 dan 8 mm untuk biji pala bejo (muda) dan polong. Belum adanya teknologi sortasi biji pala pada proses penanganan pascapanen menjadi salah satu penghambat dalam proses penyeragaman biji pala. Hal tesebut dapat terlihat dari hasil rendemen yang dihasilkan pada tiap sample pada Lampiran 4. Adanya penurunan pada perlakuan 2 dengan lama penyimpanan 2 minggu, dikarenakan komposisi biji pala medium (4-5 bulan) lebih banyak jika dibandingkan dengan komposisi biji pala pada perlakuan yang sama dengan lama penyimpanan 1 dan 3 minggu. Sedangkan pada perlakuan 3 dengan lama penyimpanan 2 minggu, nilai rendemen yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan yang sama dengan lama penyimpanan 1 dan 3 minggu disebabkan oleh jumlah garam yang terserap oleh buah pala untuk perlakuan tersebut lebih sedikit dibandingkan kedua perlakuan lama penyimpanan lainnya. Hal tersebut dikarenakan adanya kemungkinan garam yang diberikan tidak tercampur rata dalam larutan yang digunakan sebagai media perendam sehingga menyebabkan kandungan garam yang terserap oleh tiap perlakuan pun menjadi berbeda. Berdasarkan hasil pengukuran dan analisis ragam (lihat Lampiran 4 dan 10), rendemen yang dihasilkan tidak berbeda nyata terhadap perlakuan perendaman dan lama penyimpanan yang diberikan. Selain itu juga tidak ada interaksi yang signifikan antara perlakuan perendaman dengan lama penyimpanan. Hal tersebut dapat dilihat pada grafik yang disajikan pada Gambar 18. Namun apabila dilihat pada perlakuan perendaman 1 (kontrol), terlihat adanya penurunan rendemen minyak dengan semakin lamanya waktu penyimpanan. Ini berarti ada faktor lain yang mempengaruhi penurunan rendemen tersebut, seperti komposisi biji pala berdasarkan umur panen yang berbeda. Hasil analisis menunjukkan antar parameter secara korelasi tidak ada hubungan dari seluruh parameter yang dapat mempengaruhi hasil rendemen minyak (lihat Lampiran 13) 30

Gambar 18. Rata-rata rendemen yang dihasilkan dari setiap perlakuan. Minyak pala di Indonesia biasanya disuling dari biji pala yang berumur 3-4 bulan dengan rendemen minyak 8-17 %. Biji pala yang tua, rendemennya lebih rendah, yaitu 8-13 % (Sumangat et al. 1990). Dikarenakan umur pala yang digunakan berkisar antara 3-6 bulan (muda-medium) yang tentunya kandungan minyaknya tidak sama sehingga dampaknya berpengaruh terhadap rendemennya, berkisar antara 10-14 %. Dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa perlakuan perendaman dan lama penyimpanan tidak mempengaruhi rendemen minyak pala yang dihasilkan. C. Pengaruh Perlakuan Terhadap Mutu Minyak Biji Pala 1. Bobot jenis Bobot jenis suatu minyak dipengaruhi oleh perbandingan komponen-komponen penyusun minyak, seperti jenis dan komposisi kimia dari minyak tersebut. Apabila komponen yang menyusun minyak tersebut memiliki bobot molekul yang tinggi dan terdapat dalam jumlah yang lebih besar maka nilai bobot jenis dari minyak tersebut akan semakin tinggi. Fraksi berat komponen minyak dipengaruhi oleh panjang rantai molekul yang menyusun. Semakin panjang rantai yang tersusun maka bobot molekul komponen tersebut semakin besar pula. Berdasarkan hasil penelitian Sitorus (2004), pada biji pala bejo (muda) senyawa aromatik seperti eugenol, miristisin, dan isoeugenol sebesar 22.08 %, sedangkan pada biji pala polong sebesar 27.65 % dan biji pala tua sebesar 35.32 %. Komponen penyusun minyak pala pada biji pala muda didominasi oleh komponen yang memiliki bobot molekul rendah, sedangkan pada biji pala tua komponen yang memiliki bobot molekul tinggi terdapat dalam jumlah besar sehingga minyak pala yang dihasilkan pada biji pala tua lebih tinggi bobot jenisnya dibandingkan biji pala muda dan polong. Hal tersebut disebabkan oleh kandungan lemak yang dikandung biji pala tua lebih tinggi dibandingkan biji pala muda dan polong. Kandungan senyawa aromatik yang memiliki bobot molekul tinggi adalah miristisin, eugenol, dan isoeugenol. Berdasarkan hasil analisis ragam perlakuan perendaman dan lama penyimpanan tidak menghasilkan nilai yang berbeda nyata, serta tidak ada interaksi yang significant antara perlakuan perendaman dan lama penyimpanan. Meskipun begitu nilai rata-rata bobot jenis 31

yang dihasilkan dari seluruh sample minyak yang diuji sesuai dengan standar nasional, yaitu sekitar 0.89-0.92, kecuali rata-rata sample minyak pada perlakuan perendaman 3 dengan lama penyimpanan 3 minggu (lihat Gambar 19). Hal tersebut mungkin diakibatkan komposisi biji pala medium pada sample lebih banyak dibanding komposisi biji pala muda. Batas SNI (minggu) Gambar 19. Rata-rata bobot jenis dari hasil pengujian dari setiap perlakuan yang diberikan Dari hasil penelitian Suprihati et al. (2007), penambahan garam (NaCl) ke dalam sistem ketika proses distilasi dapat meningkatkan titik didih air karena garam hanya akan larut dalam air sedangkan minyak tidak dapat larut. Dengan peningkatan tersebut, maka ada kesempatan bagi senyawa ringan minyak untuk menguap lebih lama lagi. Hasilnya akan semakin meningkatkan kadar dan konsentrasi miristisin dalam kandungan fraksi yang diperoleh. Hal ini berarti, kandungan garam pada perlakuan 3 dengan lama penyimpanan 3 minggu lebih tinggi dibandingkan pada perlakuan yang sama dengan lama penyimpanan 1 dan 2 minggu (lihat pada Gambar 19). 2. Indeks bias Indeks bias suatu cairan merupakan perbandingan kecepatan cahaya dalam cairan tersebut dengan kecepatan cahaya di udara pada suhu tertentu. Indeks bias dipengaruhi oleh komposisi penyusun minyak atsiri. Semakin muda umur biji pala maka kadar minyak atsiri semakin tinggi dan kandungan lemaknya rendah sehingga indeks biasnya semakin tinggi. Indeks bias juga dipengaruhi oleh jumlah komponen per satuan volume, semakin banyak jumlah komponen dalam minyak pala, kerapatan minyak akan semakin tinggi sehingga lebih sulit membiaskan cahaya yang datang, dan menyebabkan nilai indeks bias akan semakin besar. Indeks bias suatu minyak cenderung terkait dengan nilai bobot jenis minyak tersebur karena kedua parameter tersebut dipengaruhi oleh komponen yang terdapat dalam minyak (Wibowo et al. 2011). Oleh karena itu, peningkatan bobot jenis akan meningkatkan indeks bias minyak pala. Minyak pala dengan nilai indeks bias yang besar lebih bagus 32

dibandingkan dengan nilai indeks bias yang kecil. Nilai indeks bias yang kecil dipengaruhi oleh banyaknya kandungan air dalam minyak. Berdasarkan hasil analisis ragam semua perlakuan baik perlakuan perendaman maupun lama penyimpanan yang diberikan memberikan respon yang sama (tidak berbeda nyata) dan tidak ada interaksi antara perlakuan perendaman dan lama penyimpanan tidak menghasilkan nilai yang signifikan. Oleh karena itu, nilai indeks bias yang dihasilkan dari setiap perlakuan tidak berbeda jauh, yaitu bernilai antara 1.47-1.48 dan nilai tersebut sesuai dengan standar nasional. Hasil rata-rata indeks bias yang dihasilkan dari setiap perlakuan dapat dilihat pada Gambar 20. Batas SNI (minggu) Gambar 20. Indeks bias rata-rata yang dihasilkan dari setiap perlakuan 3. Putaran optik Minyak atsiri merupakan media optik aktif sehingga jika ditempatkan pada sinar atau cahaya terpolarisasi akan memutar arah sinar. Putaran optik minyak atsiri dipengaruhi oleh jenis dan konsentrasi komposisi kimia minyak, panjang tabung yang dilalui sinar, suhu pengukuran, dan gelombang cahaya yang digunakan. Besar putaran optik minyak merupakan gabungan nilai optik senyawa kimia penyusunnya (Sitorus 2004). Komponen-komponen dalam minyak ada yang memutar bidang polarisasi ke kanan, kiri, dan ada yang tidak memutar. Komponen minyak pala yang memutar bidang polarisasi ke kanan, seperti kamfen (+ 36 o ), sedangkan polarisasi ke kiri, seperti linalool (- 12 o ), α- pinen (- 8 o ), dan α-terpineol (- 2 o ). Komponen minyak pala yang tidak memutar bidang, seperti fernsol (Sitorus 2004). Berdasarkan hasil analisis ragam, perlakuan perendaman menghasilkan nilai yang berbeda nyata yang berarti perlakuan perendaman tidak mempengaruhi putaran optik. Sedangkan untuk perlakuan lama penyimpanan tidak menghasilkan nilai yang beda nyata. Namun ada interaksi yang signifikan antara perlakuan perendaman dengan lama penyimpanan. Interaksi yang signifikan terjadi pada perlakuan perendaman 1 dengan perlakuan perendaman 3 pada lama penyimpanan 2 minggu (lihat Lampiran 15). 33

Selain itu juga ada korelasi yang signifikan antara putaran optik dengan kadar air biji pala sebelum penyimpanan sebesar 0.99 o dan kadar air biji pala setelah penyimpanan dengan nilai korelasi sebesar 0.68 o. Hal ini menunjukkan hubungan kedua variabel sangat kuat dan searah (positif) seperti dapat dilihat pada Lampiran 15. Putaran optik yang dihasilkan dari sample minyak dari seluruh perlakuan berkisar antara (+) 6.18 o hingga (+) 25.62 o, dimana nilai tersebut masih sesuai dengan standar nasional. Meskipun ada beberapa nilai yang berada dibawah dan melebihi batas maksimal standar yang telah ditentukan (lihat Gambar 21). Hal tersebut disebabkan adanya pengaruh kadar air dari bahan tersebut, dengan semakin rendah kadar air biji pala yang disuling maka putaran optik semakin rendah dan begitu pula sebaliknya. Rata-rata kadar air setelah penyimpanan pada perlakuan perendaman 1 dengan lama penyimpanan 2 minggu, yaitu sebesar 10.30 % dan menghasilkan rata-rata putaran optik sebesar (+) 25.62 o. Sedangkan rata-rata kadar air yang dihasilkan pada perlakuan perendaman 3 dengan lama penyimpanan 2 minggu, yaitu sebesar 7.34 % dan menghasilkan rata-rata putaran optik sebesar (+) 6.18 o. Batas SNI (minggu) Gambar 21. Rata-rata putaran optik yang dihasilkan dari setiap perlakuan Putaran optik yang tinggi disebabkan karena minyak mengandung bahan lain seperti mineral dan lemak, sedangkan putaran optik yang rendah dapat disebabkan karena kandungan eugenol pada minyak rendah. Rendahnya kandungan eugenol dipengaruhi oleh lama pengeringan (Maryami 1994). Lama pengeringan pada perlakuan 3 lebih lama 2 hari jika dibandingkan dengan perlakuan 1 dan 2, yaitu 8-9 hari. Oleh karena itu, putaran optik pada perlakuan 3 lebih rendah jika dibandingkan dengan perlakuan 1 dan 2. 4. Kelarutan dalam alkohol 90 % Penentuan kelarutan minyak dalam alkohol dilakukan untuk mengetahui jumlah dan konsentrasi alkohol yang dibutuhkan untuk melarutkan secara sempurna minyak tersebut. Kelarutan minyak tersebut dipengaruhi pada kecepatan daya larut dan kualitas minyak (Wibowo et al. 2011). Selain itu juga kelarutan dipengaruhi oleh jenis dan komposisi 34

komponen kimia minyak tersebut. Golongan hidrokarbon yang teroksigenasi mempunyai kemampuan lebih larut dalam etanol dibandingkan dengan golongan hidrokarbon. Hal ini disebabkan hidrogen teroksigenasi merupakan senyawa polar. Oleh karena itu kelarutan dalam alkohol dan menunjukkan kepolaran minyak tersebut (Sitorus 2004). Berdasarkan hasil analisa ragam diperoleh hasil yang tidak berbeda nyata untuk perlakuan perendaman dan lama penyimpanan, serta tidak ada interaksi antara perlakuan perendaman dan lama penyimpanan dengan nilai yang dihasilkan tidak signifikan (lihat Lampiran 14). Kelarutan dalam alkohol rata-rata yang diperoleh berkisar antara 1.00 hingga 1.34. Data hasil analisa kelarutan dalam alkohol 90 % dapat dilihat pada Lampiran 5. Dari perlakuan yang diberikan, rata-rata kelarutan dalam alkohol 90 % sesuai dengan standar nasional (lihat Gambar 22) dengan warna hasil kelarutan jernih hingga jernih agak kekuningan. Batas SNI (minggu) Gambar 22. Rata-rata kelarutan dalam alkohol 90 % terhadap perlakuan yang diberikan Menurut Feryanto (2007), telah diketahui bahwa alkohol merupakan gugus OH. Karena alkohol dapat larut dengan minyak atsiri maka pada komposisi minyak atsiri yang dihasilkan tersebut terdapat komponen-komponen terpen teroksigenasi. Oleh karena itu kelarutan minyak dalam alkohol ditentukan oleh jenis komponen kimia yang terkandung dalam minyak. Pada umumnya minyak atsiri yang mengandung persenyawaan terpen teroksigenasi lebih mudah larut daripada yang mengandung terpen. Makin tinggi kandungan terpen makin rendah daya larutnya atau makin sukar larut, karena senyawa terpen tak teroksigenasi merupakan senyawa nonpolar yang tidak mempunyai gugus fungsional. Hal ini dapat disimpulkan bahwa semakin kecil kelarutan dalam alkohol 90 % maka kualitas minyak atsiri semakin baik. Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa kelarutan minyak pala dalam alkohol 90 % untuk semua jenis perlakuan perendaman dan lama penyimpanan memiliki kualitas yang sangat baik karena nilai kelarutannya rata-rata pada batas minimum SNI. 35