BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. Untuk memenuhi salah satu asumsi dalam uji data time series dan uji

dokumen-dokumen yang mirip
HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian Akar Unit (Unit Root Test) bahwa setiap data time series yang akan dianalisis akan menimbulkan spurious

HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengujian kestasioneran data diperlukan pada tahap awal data time series

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. maupun variabel dependent. Persamaan regresi dengan variabel-variabel yang

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. atas, data stasioner dibutuhkan untuk mempengaruhi hasil pengujian

HASIL DAN PEMBAHASAN. metode Vector Auto Regression (VAR) dan dilanjutkan dengan metode Vector

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. stasioner dari setiap masing-masing variabel, baik itu variabel independent

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. time series. Data time series umumnya tidak stasioner karena mengandung unit

BAB III METODE PENELITIAN

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Tabel 5.1 Uji Stasioneritas Data

BAB III METODE PENELITIAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Penjualan Pasokan Penjualan Pasokan Penjualan Pasokan

III. METODE PENELITIAN. Bentuk data berupa data time series dengan frekuensi bulanan dari Januari 2000

III METODE PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

METODE PENELITIAN. waktu (time series) dari tahun 1986 sampai Data tersebut diperoleh dari

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Padi

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB III METODE PENELITIAN

BAB 4 PEMBAHASAN. 51 Universitas Indonesia. Keterangan : Semua signifikan dalam level 1%

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. langkah yang penting sebelum mengolah data lebih lanjut. Data time series yang

BAB III METODE PENELITIAN. Data yang digunakan dalam analisis ini adalah data sekunder berupa data

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

METODE PENELITIAN. terdiri dari data pinjaman luar negeri, pengeluaran pemerintah, penerimaan pajak,

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Uji Pra Estimasi Uji Akar Unit (Unit Root Test) Pada penerapan analisis regresi linier, asumsi-asumsi dasar yang

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Tabel 5.1 Unit Root Test Augmented Dickey Fuller (ADF-Test)

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB III METODE PENELITIAN

BAB IV. Hasil dan Pembahasan. 1. Analisis Deskriptif Saham Sektor Pertanian. dipisahkan dari sektor pertanian dan perkebunan, karena sektor-sektor ini

III. METODE PENELITIAN. tahun 1980 hingga kuartal keempat tahun Tabel 3.1 Variabel, Notasi, dan Sumber Data

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. Jawa Tengah diproxykan melalui penyaluran pembiayaan, BI Rate, inflasi

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Laju Inflasi di Indonesia. masih menunjukkan fluktuasi seperti pada Gambar 4.1. Rata-rata inflasi tahun

BAB III METODE PENELITIAN. dikumpulkan dari berbagai sumber yaitu Badan Pusat Statistik (BPS), Food and

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. sekunder yang akan digunakan ialah data deret waktu bulanan (time series) dari bulan

III. METODE PENELITIAN. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data time series

HASIL DAN PEMBAHASAN. mengalami fluktuasi antar waktu. Data tersebut mengindikasikan adanya

III. METODOLOGI PENELITIAN. Untuk membatasi ruang lingkup permasalahan maka yang dijadikan objek

METODE PENELITIAN. merupakan data time series dari bulan Januari 2002 sampai Desember Data

BAB III METODE PENELITIAN. Exchange Rate Rp/US$ ER WDI Tax Revenue Milyar Rupiah TR WDI Net Export US Dollar NE WDI

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Dinamika Perbankan Syariah di Jawa Tengah

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. mengandung akar-akar unit atau tidak. Data yang tidak mengandung akar unit

V. SPESIFIKASI MODEL DAN HUBUNGAN CONTEMPORANEOUS

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

APLIKASI MODEL VAR DAN VECM DALAM EKONOMI

BAB III METODE PENELITIAN. analisis yang berupa angka-angka sehingga dapat diukur dan dihitung dengan

METODE PENELITIAN. Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian Respon PDB terhadap shock

BAB III DATA DAN METODOLOGI PENELITIAN

BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN. perubahan sehingga harus diolah terlebih dahulu. Pengolahan data dilakukan dengan

III. METODE PENELITIAN

BAB V ANALISIS HASIL PENELITIAN

BAB IV HASIL PENELITIAN

BAB IV PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

1 analisis regresi dengan pendekatan VECM

III. METODE PENELITIAN. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder berupa time series

III. METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIN. yaitu ilmu yang valid, ilmu yang dibangun dari empiris, teramati terukur,

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Indonesia dan variabel independen, yaitu defisit transaksi berjalan dan inflasi.

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. menguji data yang bersifat time series agar terhindar dari spurious regression. Jika nilai t-

BAB 3 METODE PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN. diperoleh dari data Bank Indonesia (BI) dan laporan perekonomian indononesia

III. METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. kegunaan tertentu. Cara ilmiah berarti kegiatan penelitian itu didasarkan pada

IV. METODE PENELITIAN

INTEGRASI SPASIAL PADA PASAR MINYAK GORENG DI INDONESIA

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Langkah awal yang perlu dilakukan dalam data time series adalah uji stasioner,

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Metode yang digunakan untuk menganalisis data dalam penelitian ini

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

METODE PENELITIAN. Pada penelitian ini jenis data yang digunakan adalah data sekunder.data ini

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dan kuantitatif. Penelitian kualitatif adalah

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

INTERKORELASI ANTARA BI RATE DENGAN BAGI HASIL TABUNGAN BANK SYARIAH DI INDONESIA

BAB V HASIL ESTIMASI DAN ANALISA

Analisis Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter Jalur Kredit dan Jalur Harga Aset di Indonesia Pendekatan VECM (Periode 2005: :12)

INTEGRASI PASAR CPO DUNIA DAN DOMESTIK

ANALISIS VECTOR AUTOREGRESION (VAR) TERHADAP INTERRELATIONSHIP ANTARA IPM DAN PERTUMBUHAN EKONOMI DI SUMATERA UTARA

BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Perkembangan M1 dan M2

BAB III METODE PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada semester genap tahun akademik 2014/2015

III. METODE PENELITIAN. series. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah BI rate, suku bunga

BAB III METODELOGI PENELITIAN. variabel- variabel sebagai berikut : tingkat gross domestic product(gdp), total

IV.HASIL DAN PEMBAHASAN

METODOLOGI PENELITIAN. Untuk membatasi ruang lingkup permasalahan yang dijadikan objek

IV. METODE PENELITIAN

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

KAUSALITAS KURS, IHSG DAN HARGA EMAS DI INDONESIA Muhammad Iqbal 1*, Chenny Seftarita 2. Abstract

Transkripsi:

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Uji Stasioneritas Untuk memenuhi salah satu asumsi dalam uji data time series dan uji VECM, maka perlu terlebih dahulu dilakukan uji stasioneritas. Uji stationaritas yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan uji akar-akar unit (Unit Root Test) dengan merode Augmented Dickey Fuller Test (ADF Test). Tabel 5.1 Hasil Uji Root Test Tingkat Level Variabel t-hitung Critical value 1 % 5 % 10 % Hasil Kesimpulan INF -7.384991-3.472813-2.880088-2.576739 Tolak H 0 Stasioner EXP_INF -5.202116-3.473096-2.880211-2.576805 Tolak H 0 Stasioner LN_PFW -3.035290-4.019151-3.439461-3.144113 TerimaH 0 Tidak Stasioner LN_KURS -4.008789-3.472813-2.880088-2.576739 Tolak H 0 Stasioner LN_P_OIL -2.974839-4.018748-3.439267-3.143999 TerimaH 0 Tidak Stasioner LN_W_RIIL -1.473930-3.472813-2.880088-2.576739 TerimaH 0 Tidak Stasioner Sumber: Lampiran 1 Cetak Tebal menunjukkan bahwa data tersebut stasioner pada taraf nyata 1%, 5% dan 10% Tabel 5.1 di atas menyajikan hasil Uji Root Test dengan metode ADF pada tahap level. Metode ADF yang digunakan ada yang memasukkan intercept dan ada yang memasukkan intercept and trend tergantung perilaku dari masingmasing variabel. Selanjutnya, dengan membandingkan nilai dari t-hitung dengan nilai Critical Value untuk masing-masing α yaitu 1 persen, 5 persen dan 10 persen

61 maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pada tingkat level variabel yang stasioner adalah INF, EXP_INF dan LN_KURS sedangkan variabel lainnya yaitu LN_PFW, LN_P_OIL dan LN_W_RIIL masih belum stasioner. Semua variabel stasioner belum stasioner pada level sehingga akan dilakukan kembali uji Root Test pada First Differencing. Hasilnya dapat dilihat pada Tabel 5.2 di bawah ini: Tabel 5.2 Hasil Uji Root Test Tingkat First Differencing Variabel t-hitung Critical value 1 % 5 % 10 % Hasil Kesimpulan INF -11.11788-3.473967-2.880591-2.577008 Tolak H 0 Stasioner EXP_INF -10.18206-3.473967-2.880591-2.577008 Tolak H 0 Stasioner LN_PFW -6.587912-4.018748-3.439267-3.143999 Tolak H 0 Stasioner LN_KURS -10.89417-3.473096-2.880211-2.576805 Tolak H 0 Stasioner LN_P_OIL -9.598814-4.018748-3.439267-3.143999 Tolak H 0 Stasioner LN_W_RIIL -12.56887-4.018748-3.439267-3.143999 Tolak H 0 Stasioner Sumber : Lampiran 2 Cetak Tebal menunjukkan bahwa data tersebut stasioner pada taraf nyata 1%, 5% dan 10%. Berdasarkan Tabel 5.2 dapat dilihat bahwa pada tingkat first differencing semua variabel sudah stasioner. Artinya, data yang digunakan pada penelitian ini terintegrasi pada ordo satu atau dapat disingkat menjadi I(1). Sims dalam Hasanah (2007), penggunaan data perbedaan pertama tidak direkomendasikan karena akan menghilangkan informasi jangka panjang. Oleh karena itu, untuk menganalisis informasi jangka panjang akan digunakan data level sehingga model VAR akan dikombinasikan dengan model koreksi kesalahan menjadi VECM.

62 5.2 Uji Lag Optimal Penentuan uji lag optimal sangat penting dalam pendekatan VAR karena lag dari variabel endogen dalam sistem persamaan akan digunakan sebagai variabel eksogen. Pengujian panjang lag optimal ini sangat berguna untuk menghilangkan masalah autokorelasi dalam sistem VAR. Sehingga dengan digunakannya lag optimal diharapkan tidak muncul lagi masalah autokorelasi. Penentuan panjang lag optimal didasarkan pada nilai dari kriteria Likelihood Ratio (LR), Final Prediction Error (FPE), Akaike Information Criterion (AIC), Schwarz Information Criterion (SC), dan Hannan-Quinn Criterion (HQ). Besarnya lag optimal yang dipilih dilihat dari nilai adjusted R 2 yang terbesar. Dari pengujian lag optimal di penelitian ini dapat dilihat bahwa lag yang mungkin adalah 1, 2 dan 8. Dari nilai lag tersebut masing-masing akan dimasukkan ke uji VAR dan akan dilihat nilai adjusted R 2. Nilai adjusted R 2 untuk lag optimal 1 yaitu sebesar 0,34, lag optimal 2 adalah sebesar 0,38 dan lag optimal 8 sebesar 0,21. Nilai adjusted R 2 terbesar didapatkan dengan memasukkan nilai lag optimal 2 yaitu sebesar 0,38. Sehingga dalam penelitian ini nilai lag optimal yang akan digunakan untuk penelitian selanjutnya adalah 2. 5.3 Pengujian Stabilitas VAR Stabilitas VAR perlu diuji sebelum melakukan analisis lebih jauh, karena jika hasil estimasi VAR yang dikombinasikan dengan model koreksi kesalahan tidak stabil, maka impulse response function (IRF) dan forecasting error variance decomposition (FEVD) menjadi tidak valid. Untuk pengujian stabil atau tidaknya

63 estimasi VAR yang telah terbentuk, maka dilakukan VAR stability condition check berupa roots of characteristic polynomial. Suatu sistem VAR dikatakan stabil jika seluruh roots-nya memiliki modulus lebih kecil dari 1. Hasil pengujian stabilitas model VAR dapat dilihat pada Tabel 5.3. Dari tabel dapat dilihat bahwa nilai modulusnya semuanya kurang dari 1 sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa model VAR tersebut sudah stabil. Tabel 5.3 Hasil Uji Stabilitas VAR Root Modulus 0.986120-0.017026i 0.986267 0.986120 + 0.017026i 0.986267 0.830870 0.830870 0.803402 0.803402 0.559217-0.142070i 0.576981 0.559217 + 0.142070i 0.576981 0.386278-0.203393i 0.436555 0.386278 + 0.203393i 0.436555-0.219882-0.147202i 0.264606-0.219882 + 0.147202i 0.264606-0.030227-0.106995i 0.111183-0.030227 + 0.106995i 0.111183 Sumber : Lampiran 3 5.4 Analisis Kointegrasi Konsep kointegrasi ini dikemukakan oleh Engle Granger pada tahun 1987 sebagai fenomena kombinasi linier dari dua atau lebih variabel yang tidak stasioner akan menjadi stasioner. Kombinasi linier ini dikenal dengan istilah persamaan kointegrasi dan dapat diinterpretasikan sebagai hubungan keseimbangan jangka panjang diantara variabel. Metode pengujian kointegrasi didasarkan pada metode Johansen dengan membandingkan antara trace statistics

64 dengan critical value yang digunakan yaitu taraf nyata 5 persen. Jika trace statistics lebih besar dari critical value, terdapat kointegrasi dalam sistem persamaan tersebut. Terdapat lima asumsi deterministic trend dalam uji kointegrasi dan untuk menetukan pilihan trend yang akan dipakai bisa dilihat dari hasil summary, serta pilihan lag yang digunakan adalah lag optimal. Berdasarkan hasil summary dapat dilihat bahwa deterministic trend yang tersedia untuk penelitian ini adalah no intercept or trend (1) dan intercept no trend (2) yang didasarkan pada adanya tanda bintang pada uji kointegrasi tersebut. Untuk penelitian ini akan digunakan pilihan trend yang model 2 yaitu intercept no trend. Setelah mengetahui pilihan trend yang akan digunakan dan lag optimal yang akan dipakai, selanjutnya akan dlakukan uji kointegrasi. Hasil uji tersebut disajikan dalam Tabel 5.4. Tabel 5.4 Hasil Uji Kointegrasi No Hipotesis Trace Statistics Max-Eigen Statistics 1 Rank = 0 179.0905 74.04955 2 Rank = 1 105.0410 57.49217 3 Rank = 2 42.44013 18.14161 4 Rank = 3 24.29852 13.70013 5 Rank = 4 10.59839 7.115182 6 Rank = 5 3.483210 3.483210 Sumber : Lampiran 5 Cetak tebal menunjukkan Trace Statistics dan Max-Eigen Statistics > 5% critical value dan terjadi kointegrasi. Tabel 5.4 menunjukkan bahwa dalam pengujian ini dengan model intercept no trend dan lag optimal sebesar 2 terdapat dua (2) rank kointegrasi pada taraf nyata 5

65 persen. Artinya secara multivariate terdapat dua persamaan linear jangka panjang yang dikandung di dalam model. Dengan adanya kointegrasi, hasil estimasi selanjutnya menggunakan model VECM. 5.5 Analisis Kausalitas dengan Granger Causality Analisis ini digunakan untuk mengetahui hubungan kausalitas antara inflasi dan variabel-variabel lain yaitu expected inflation, harga minyak dunia, indeks komoditi pangan, nilai tukar rupiah (exchange rate) dan upah buruh. Hasil uji kausalitas dapat diketahui dengan melihat nilai probability-nya. Variabel yang menolak H 0 dicerminkan dengan nilai probabilitas kurang dari nilai taraf uji yang digunakan. Dalam uji kausalitas Granger, digunakan taraf uji sampai dengan 10 persen. Jika hasil uji menolak H 0, maka terdapat hubungan sebab akibat. Sedangkan pengaruh yang diberikan oleh tiap variabel bisa berbeda jika dilakukan pengujian pada lag berbeda. Adapun penelitian ini menguji hubungan kausalitas dengan menelusuri pengaruhnya sampai dengan lag 2 sesuai dengan panjang lag optimal yang telah dihasilkan dalam uji lag yang dilakukan sebelumnya. Pada penelitian ini, uji kausalitas lebih ditujukan untuk mengetahui variabel-variabel yang menyebabkan inflasi atau variabel-variabel yang bertindak sebagai leading indikator bagi inflasi. Tabel 5.5 menyajikan nilai F stat dan probability untuk masing-masing H 0 dalam uji kausalitas Granger. Tabel 5.5 menunjukkan bahwa yang berpengaruh secara signifikan terhadap inflasi hanya variabel kurs (KURS), sedangkan variabel inflasi mempengaruhi variabel upah buruh riil (W_RIIL) dan indeks harga komoditi pangan dunia. Hal ini sesuai teori bahwa kurs berpengaruh terhadap inflasi karena berhubungan

66 dengan harga bahan baku impor dimana jika kurs melemah maka harga bahan baku impor akan naik sehingga biaya produksi ikut naik dan akan terjadi kenaikan harga pada barang yang bisa memicu terjadinya inflasi. Yang berpengaruh terhadap variabel expected inflation adalah harga minyak dunia dan upah riil. Yang berpengaruh terhadap variabel kurs adalah variabel expected inflation (EXP_INF). Variabel harga minyak dunia dipengaruhi oleh indeks harga komoditi pangan dunia, sedangkan indeks harga pangan dunia dipengaruhi oleh upah buruh riil. Tabel 5.5 Hasil Uji Kausalitas dengan Granger Causality Test Null Hypothesis: Obs F-Statistic Prob. LN_KURS does not Granger Cause INFLASI 154 11.0698 3.E-05 INFLASI does not Granger Cause LN_KURS 0.40935 0.6648 LN_PFW does not Granger Cause INFLASI 154 0.31319 0.7316 INFLASI does not Granger Cause LN_PFW 2.49973 0.0855 LN_W_RIIL does not Granger Cause INFLASI 154 0.59511 0.5528 INFLASI does not Granger Cause LN_W_RIIL 3.30180 0.0395 LN_KURS does not Granger Cause EXP_INF 154 0.52401 0.5932 EXP_INF does not Granger Cause LN_KURS 3.39224 0.0363 LN_P_OIL does not Granger Cause EXP_INF 154 2.53537 0.0826 EXP_INF does not Granger Cause LN_P_OIL 2.05444 0.1318 LN_W_RIIL does not Granger Cause EXP_INF 154 2.70682 0.0700 EXP_INF does not Granger Cause LN_W_RIIL 2.13580 0.1218 LN_PFW does not Granger Cause LN_P_OIL 154 6.06175 0.0029 LN_P_OIL does not Granger Cause LN_PFW 1.74595 0.1780 LN_W_RIIL does not Granger Cause LN_PFW 154 3.36122 0.0373 LN_PFW does not Granger Cause LN_W_RIIL 0.71423 0.4912 Sumber : Lampiran 8 Cetak Tebal menunjukkan bahwa data tersebut signifikan pada taraf nyata 10% Tabel 5.5 juga menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang saling mempengaruhi antar variabel dan hubungan mempengaruhinya hanya berlaku satu sisi saja.

67 5.6 Analisis Impulse Response Function (IRF) Analisis IRF digunakan untuk menunjukkan bagaimana respons suatu variabel dari sebuah shock dalam variabel itu sendiri dan variabel endogen lainnya. Dalam mengidentifikasi respon inflasi pada IRF dalam model VECM ini, digunakanlah standar Cholesky Decomposition. Cholesky Decomposition bertujuan untuk membangkitkan impulse response yang tergantung secara krusial pada urutan (ordering) variabel dalam sistem. Dalam penelitian ini, jangka waktu yang digunakan dalam menganalisis respon laju inflasi terhadap variabel-variabel lainnya diproyeksikan dalam 50 bulan ke depan. 5.6.1 Analisis Respon Inflasi terhadap Guncangan Inflasi Guncangan laju inflasi sebesar satu standar deviasi pada bulan pertama akan menyebabkan peningkatan pada inflasi sebesar 1,30 persen. Hingga bulan keenam, guncangan inflasi masih direspon positif oleh inflasi itu sendiri, meskipun semakin lama respon tersebut semakin berkurang. Misalkan saja pada bulan ketujuh, peningkatan inflasi hanya sebesar 0,12 persen. Namun, mulai bulan kedelapan guncangan pada inflasi mengakibatkan inflasi berkurang sebesar 0.11 persen. Mulai periode ini hingga 50 bulan ke depan, inflasi masih tetap merespon positif terhadap guncangan inflasi dan semakin lama guncangan ini mengakibatkan inflasi naik dalam jumlah yang semakin menurun. Misalkan pada tahun pertama, guncangan tersebut mengakibatkan kenaikan inflasi sebesar 0,11 persen. Respon inflasi terhadap guncangan ini mulai mencapai kseimbangan pada

68 periode jangka panjangnya, yakni pada bulan ke 10, dimana inflasi masih merespon positif guncangan tersebut pada kisaran 0,11 persen (Gambar 5.1). 1.4 Response of INFLASI to Cholesky One S.D. INFLASI Innovation 1.2 1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 Gambar 5.1 Respon Inflasi terhadap Guncangan Inflasi 5.6.2 Analisis Respon Inflasi terhadap Guncangan Expected Inflation Guncangan expected inflation sebesar satu standar deviasi pada bulan pertama belum direspon oleh inflasi. Mulai bulan kedua, guncangan pada expected inflation direspon negatif oleh inflasi sebesar 0,17 persen. Namun pada bulan kelima respon negatifnya semakin berkurang yaitu sebesar 0,41 persen. Respon negatif ini semakin berkurang mulai bulan kelima dan pada akhirnya respon inflasi terhadap guncangan expected inflation ini mulai mencapai keseimbangan pada bulan kesembilan, dimana inflasi merespon negatif guncangan tersebut pada kisaran 0,36 persen (Gambar 5.2).

69 Response of INFLASI to Cholesky One S.D. EXP_INF Innovation.0 -.1 -.2 -.3 -.4 -.5 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 Gambar 5.2 Respon Inflasi terhadap Guncangan Expected Inflation Pada awal periode respon inflasi terhadap expected inflation memang tidak sesuai teori yaitu seharusnya responnya positif. Tetapi hal ini bisa disebabkan karena jika prediksi expected inflation itu tinggi, di awal bulan masyarakat cenderung untuk mengurangi konsumsinya sehingga menyebabkan inflasi turun di awal bulan. Tetapi setelah sekitar lima bulan penyesuaian, maka masyarakat kembali meningkatkan konsumsinya sehingga inflasi naik kembali. 5.6.3 Analisis Respon Inflasi terhadap Guncangan Kurs Guncangan nilai tukar rupiah sebesar satu standar deviasi pada bulan pertama ternyata belum direspon oleh inflasi. Mulai bulan kedua, guncangan pada kurs akan direspon positif oleh inflasi dengan kenaikan inflasi sebesar 0,47 persen. Mulai bulan ketiga sampai bulan kelima respon positif inflasi terhadap guncangan kurs semakin berkurang, dimana pada bulan kelima peningkatan inflasi hanya sebesar 0,21 persen. Di bulan keenam, respon positif inflasi tersebut

70 mulai menunjukkan peningkatan kembali yakni sebesar 0,22 persen. Peningkatan respon positif ini terus berlangsung hingga bulan kesembilan yang mencapai 0,25 persen. Respon inflasi terhadap guncangan kurs mulai mencapai keseimbangan pada bulan ke-10, dimana inflasi merespon positif guncangan tersebut pada kisaran 0,26 persen (Gambar 5.3)..5 Response of INFLASI to Cholesky One S.D. LN_KURS Innovation.4.3.2.1.0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 Gambar 5.3 Respon Inflasi terhadap Guncangan Kurs Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Permana (2004) bahwa nilai tukar rupiah berhubungan positif dengan inflasi melalui sektor usaha dan berhubungan dengan biaya impor atas bahan baku industri. Sebagian besar industri manufaktur di Indonesia masih mengandalkan bahan baku utamanya pada impor dari luar negeri. Semakin melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar membuat harga impor bahan baku menjadi mahal. Bahan baku yang semakin mahal membuat biaya produksi semakin meningkat dan pada akhirnya produsen

71 akan menaikkan harga jual. Melemahnya nilai tukar rupiah pada awal bulan langsung direspon positif dengan naiknya inflasi. 5.6.4 Analisis Respon Inflasi terhadap Guncangan Harga Minyak Dunia Guncangan harga minyak dunia sebesar satu standar deviasi pada bulan pertama ternyata belum direpon oleh inflasi. Respon inflasi terhadap guncangan ini mulai muncul pada bulan kedua yang responnya bersifat negatif yang ditunjukkan dengan adanya penurunan inflasi sebesar 0,14 persen. Respon inflasi terhadap guncangan harga minyak dunia mulai mencapai keseimbangan pada bulan ke-15, di mana inflasi akan merespon negatif guncangan tersebut pada kisaran 0,17 persen (Gambar 5.4)..00 Response of INFLASI to Cholesky One S.D. LN_P_OIL Innovation -.04 -.08 -.12 -.16 -.20 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 Gambar 5.4 Respon Inflasi terhadap Guncangan Harga Minyak Dunia Respon inflasi di awal bulan terhadap guncangan harga minyak dunia tidak sesuai dengan teori. Seharusnya sesuai teori bahwa kenaikan harga minyak

72 dunia akan direspon dengan kenaikan inflasi. Tapi penelitian ini sesuai dengan penelitian Permana (2004) dimana dalam penelitiannya disebutkan bahwa harga BBM tidak berpengaruh secara signifikan terhadap inflasi. Respon yang negatif pada awal bulan dikarenakan kenaikan harga minyak dunia tidak langsung direspon dengan kenaikan harga minyak dalam negeri. Pemerintah membutuhkan waktu yang agak lama untuk menyesuaikan harga BBM dalam negeri dengan harga minyak dunia. Di samping itu, sektor usaha kemungkinan masih memiliki persediaan BBM sehingga dampak kenaikan harga minyak dunia tidak langsung direspon dengan kenaikan harga. Seiring bertambahnya bulan, respon sektor usaha mulai terasa terhadap kenaikan harga minyak dunia. Mereka meresponnya dengan menaikkan harga jual produknya. Pada awal menaikkan harga jual, akan menyebabkan inflasi di masyarakat tapi hal ini tidak berlangsung lama karena lama kelamaan masyarakat akan mulai menyesuaikan. 5.6.5 Analisis Respon Inflasi terhadap Guncangan Indeks Harga Komoditi Pangan Dunia Inflasi tampak belum merespon guncangan indeks harga komoditi pangan dunia sebesar satu standar deviasi pada bulan pertama. Guncangan ini mulai direpon positif pada bulan kedua yakni dengan peningkatan inflasi sebesar 0,29 persen. Namun, mulai bulan ketiga sampai tahun pertama, respon positif ini cenderung semakin berkurang dimana pada tahun pertama sebesar 0,12 persen. Respon inflasi terhadap guncangan ini mulai mencapai keseimbangan pada periode jangka panjangnya, yakni pada bulan ke-19 (Gambar 5.5).

73 Response of INFLASI to Cholesky One S.D. LN_PFW Innovation.30.25.20.15.10.05.00 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 Gambar 5.5 Respon Inflasi terhadap Guncangan Indeks Harga Komoditi Pangan Hal ini sesuai dengan teori bahwa kenaikan harga komoditi pangan akan menyebabkan kenaikan inflasi terutama inflasi makanan. Kecenderungan respon yang semakin berkurang ini dikarenakan masih cukupnya persediaan komoditi pangan di dalam negeri dan mulai berkurangnya ketergantungan terhadap komoditi pangan luar negeri. 5.6.6 Analisis Respon Inflasi terhadap Guncangan Upah Buruh di Indonesia Guncangan upah buruh riil sebesar satu standar deviasi juga tampak belum direspon oleh inflasi pada bulan pertama. Di bulan kedua respon inflasi bersifat negatif terhadap guncangan upah riil yang dtunjukkan dengan penurunan inflasi sebesar 0,18 persen. Di bulan ketiga sampai kelima, respon inflasi terhadap guncangan upah riil cenderung berfluktuatif dan menunjukkan penurunan respon negatifnya yaitu berkisar pada 0,05 persen. Inflasi akan mencapai keseimbangan

74 jangka panjangnya pada bulan ke-16 dalam merespon guncangan upah riil pada kisaran 0,06 persen (Gambar 5.6)..00 Response of INFLASI to Cholesky One S.D. LN_W_RIIL Innovation -.04 -.08 -.12 -.16 -.20 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 Gambar 5.6 Respon Inflasi terhadap Guncangan Upah Buruh Respon inflasi di awal bulan terhadap kenaikan upah buruh kurang sesuai dengan teori biaya produksi bahwa jika upah naik maka biaya produksi akan naik dan terjadi kenaikan harga yang memicu inflasi. Hal ini mungkin disebabkan bahwa data yang dipakai adalah upah riil yang telah terkoreksi dengan kenaikan harga sehingga tidak benar-benar mencerminkan upah yang dibayarkan produsen. Perbedaan hasil ini bisa juga disebabkan produsen yang tidak langsung merespon kenaikan upah tersebut karena kondisi usaha yang lesu karena adanya krisis ekonomi. 5.7 Analisis Forecast Error Decomposition of Variance (FEDVs) FEVDs bermanfaat untuk menjelaskan kontribusi masing-masing variabel terhadap shock (guncangan) yang ditimbulkannya terhadap variabel endogen

75 utama yang diamati. Dengan kata lain, FEDV menjelaskan proporsi variabel lain dalam menjelaskan variabilitas variabel endogen utama penelitian. Dalam kaitannya dengan FEDVs maka pada penelitian ini akan dibahas bagaimana peranan berbagai macam variabel yang terdapat dalam ruang lingkup penelitian dalam menjelaskan fluktuasi laju inflasi. Di samping itu, FEDVs juga bertujuan untuk menjelaskan seberapa besar persentase kontribusi masing-masing guncangan (shock) variabel endogen lainnya dalam mempengaruhi tingkat inflasi. Berdasarkan hasil dekomposisi varian (Gambar 5.7), dapat disimpulkan bahwa pada awal periode yaitu di bulan pertama, variabilitas laju inflasi disebabkan oleh guncangan inflasi itu sendiri yakni sebesar 100 persen. Pada bulan kedua tampak variabel-variabel lain mulai mempengaruhi variabilitas laju inflasi. Pada tahun pertama peranan laju inflasi dalam menjelaskan fluktuasi laju inflasi itu sendiri masih dominan yaitu sebesar 40,52 persen. Variabel expected inflation berada pada urutan kedua yakni sebesar 28,58 persen. Variabel nilai tukar rupiah (kurs) juga tampak mulai memegang peranan dalam menjelaskan fluktuasi laju inflasi pada periode tersebut, yakni sebesar 16,90 persen. Variabel indeks harga komoditi pangan dunia, upah riil dan harga minyak dunia tampak tidak terlalu mempengaruhi variabilitas laju inflasi, di mana masing-masing hanya berperan sebesar 6,95 persen, 5,71 persen dan 1,34 persen.

76 PERSEN 100% 80% 60% 40% 20% 0% INFLASI 0. 00 100.00 1 EXP_INF 1.34 1.34 1.34 1..34 6.95 6.46 6.23 6.10 5.71 7.82 8.76 9.29 16.90 20..64 22. 30 23. 23 28.58 36..96 40. 67 42. 77 40.52 26..78 20. 70 17. 27 12 24 36 48 PERIODE LN_KURS LN_P_OIL LN_PFW LN_W_RIIL Gambar 5.7 Hasil Forecast Error Variance Decompositionss (FEVDs) Dalam periode dua tahun mendatang, peranan inflasi dalam menjelaskan fluktuasi inflasi itu sendiri semakin berkurang, yakni sebesar 26,78 persen. Namun disisi lain, peranan expected inflation tampak semakin meningkat yakni sebesar 36,96 persen. Peranan kurs juga menunjukkann peningkatan yakni sebesar 20,64 persen. Variabel indeks harga komoditi pangan dunia menunjukkan peranan yang agak menurun dalam menjelaskan variabilitas inflasi. Pada periodee ini, variabel harga minyak dunia menunjukkan peranan yang lebih besar dibandingkan variabel upah riil dalam menjelaskan inflasi yaitu sebesar 6,23 persen Proporsi untuk variabel hargaa minyak dunia dan upah riil masing-masing sebesar 8,76 persen dan 1,34 persen. Padaa proyeksi tiga tahun ke depan (36 bulan) ), dominansi inflasi dalam menjelaskan variabilitas inflasi itu sendiri mulai berkurang dan digantikann oleh variabel expected inflation dimana proporsinya dalam menjelaskan variabilitas inflasi menjadi sebesar 20,70 persen. Variabel expected inflation, proporsinya

77 dalam menjelaskan variabilitas inflasi sebesar 40,67 persen. Untuk variabel kurs menunjukkan peranan yang semakin meningkat dalam menjelaskan variabilitas inflasi yakni sebesar 22,30 persen, sedangkan variabel indeks harga komoditi pangan dunia menunjukkan peranan yang cenderung menurun walaupun dengan proporsi yang masih relatif besar dalam menjelaskan variabilitas inflasi yaitu sebesar 6,10 persen. Harga minyak dunia menunjukkan peranan yang semakin meningkat dalam menjelaskan variabilitas inflasi dengan proporsi sebesar 9,29 persen. Variabel upah riil mulai tahun pertama sampai tahun ketiga menunjukkan proporsi yang tetap dalam menjelaskan variabilitas inflasi yaitu sebesar 1,34 persen. Periode jangka panjang yang distimulasikan dalam analisis ini yakni proyeksi empat tahun mendatang (48-50 bulan). Dalam jangka panjang dapat dilihat bahwa variabilitas inflasi paling dominan dijelaskan oleh variabel expected inflation dengan proporsi sebesar 42,77 persen. Variabel inflasi dalam jangka panjang memberikan kontribusi sebesar 17,27 persen dalam menjelaskan variabilitas inflasi itu sendiri. Variabel kurs, indeks harga komoditi pangan, harga minyak dunia dan upah riil, dalam jangka panjang memberikan kontribusi masing-masing sebesar 23,34 persen, 6,10 persen, 9,29 persen dan 1,34 persen. Hasil dekomposisi varian tersebut sesuai dengan Kurva Philips bentuk modern dimana inflasi itu salah satunya disebabkan oleh inflasi yang diharapkan (expected inflation). Hasil tersebut juga sesuai dengan penelitian Permana (2004) yang menyebutkan bahwa variabel expected inflation dan kurs berpengaruh secara signifikan terhadap inflasi di Indonesia.