BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori Laporan keuangan perusahaan mengandung informasi yang sangat penting bagi para pengguna laporan keuangan dalam pengambilan keputusan. Keputusan yang diambil akan tepat apabila informasi yang dihasilkan laporan keuangan juga adalah informasi yang akurat. Pada prinsipnya laporan keuangan sering memiliki keterbatasan dalam menyajikan informasi yang dibutuhkan oleh para pengguna. Untuk memperoleh informasi yang akurat dari laporan keuangan dibutuhkan analisis lebih lanjut terhadap laporan keuangan. Analisis laporan keuangan dapat berupa analisis rasio, analisis tren dan lain-lain. Dengan melakukan analisis terhadap laporan keuangan maka akan dapat diprediksi apa yang akan terjadi pada masa yang akan datang. Dengan kata lain analisis laporan keuangan dapat digunakan sebagai alat untuk memprediksi kondisi dimasa yang akan datang. Menurut Indira dan Suhardjono (2006) analisis laporan keuangan perbankan bertujuan antara lain untuk mengetahui tingkat pencapaian kinerja perusahaan bank, untuk mengetahui perkembangan perbankan dari suatu periode ke periode berikutnya, sebagai bahan pertimbangan bagi manajemen dalam melaksanakan kegiatan operasional dan penyusunan rencana kerja anggaran bank, untuk memonitor pelaksanaan dari suatu kebijakan perusahaan yang telah ditetapkan, sehingga dapat diadakan perbaikan/penyempurnaan di masa yang akan datang, dan sebagainya.
2.1.1 Rasio Keuangan Menurut UU No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan yang telah diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998 bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Kegiatan operasional yang dilakukan perbankan menurut ketentuan pemerintah harus dinyatakan dalam laporan keuangan yang diterbitkan dan dilaporkan kepada masyarakat maupun pihak terkait selaku pengawas dunia perbankan. Menurut Munawir (2007) Laporan keuangan dipersiapkan atau dibuat dengan maksud memberikan gambaran atau laporan kemajuan (progress report) perusahaan secara periodik yang dilakukan pihak management yang bersangkutan. Jadi laporan keuangan adalah bersifat historis serta menyeluruh dan sebagai suatu progress report. Laporan keuangan terdiri dari data-data yang merupakan hasil dari kombinasi antara fakta yang telah dicatat, prinsip-prinsip dan kebiasaan-kebiasaan dalam akuntansi serta pendapat pribadi. Kinerja keuangan suatu bank dapat diukur dengan melakukan analisis terhadap laporan keuangan dari bank yang bersangkutan Dalam Surat Edaran Bank Indonesia No.6/23/DPNP Tanggal 31 Maret 2004 disebutkan bahwa tingkat kesehatan bank merupakan hasil penilaian kualitatif atas berbagai aspek yang berpengaruh terhadap kondisi atau kinerja suatu bank melalui penilaian faktor permodalan, kualitas aset, manajemen, rentabilitas, likuiditas, dan sensitivitas terhadap risiko pasar. Penilaian terhadap faktor faktor tersebut dilakukan melalui penilaian kuantitatif dan atau kualitatif setelah mempertimbangkan unsur
judgement yang didasarkan atas materialitas dan signifikansi dari faktor faktor penilaian serta pengaruh dari faktor lainnya seperti kondisi industri perbankan dan perekonomian nasional. Untuk menilai kesehatan perbankan umumnya digunakan enam aspek penilaian, yaitu aspek permodalan, kualitas asset, manajemen, rentabilitas, likuiditas dan aspek sensitivitas yang biasanya disebut dengan rasio CAMELS. 2.1.1.1. Aspek Permodalan Aspek permodalan dalam penelitian ini berdasarkan pada komponen Kecukupan Pemenuhan Modal Minimum (KPMM) terhadap ketentuan yang berlaku. Dalam penelitian ini aspek permodalan diwakili oleh komponen Capital Adequacy Ratio (CAR). Menurut Tarmizi & Wilyanto (2003) menerangkan CAR merupakan rasio permodalan yang menunjukan kemampuan bank dalam menyediakan dana untuk keperluan pengembangan usaha dan menampung kemungkinan resiko kerugian yang diakibatkan dalam opersional bank. Menurut Bank Indonesia (1997) penilian terhadap KPMM ditetapkan sebagai berikut :(a) pemenuhan KPMM sebesar 8% diberi peringkat Sehat dengan nilai kredit 81, dan untuk setiap kenaikan 0,1% dari pemenuhan KPMM sebesar 8% nilai kredit ditambah 1 hingga maksimum 100; (b) pemenuhan KPMM kurang dari 8% sampai dengan 7,9% diberi predikat Kurang Sehat dengan nilai kredit 65 dan untuk setiap penurunan 0,1% dari pemenuhan KPMM sebesar 7,9% nilai kredit dikurangi 1 dengan minimum 0. Ketentuan tersebut diatas mengindikasikan semakin tinggi rasio KPMM (CAR) semakin baik tingkat kesehatan bank. Maka dapat dikembangkan hipotesis CAR mempunyai
pengaruh dalam memprediksi tingkat kesehatan bank. Dari penjelasan tersebut dapat dibuat kuran tingkat kesehatan KPMM sebagai berikut : (i) Sehat apabila rasio KPMM 8 %, (ii) Kurang Sehat apabila rasio KPMM antara 6,5 % - 7,9 % dan (iii) Tidak Sehat apabila rasio KPMM < 6,5 %. 2.1.1.2. Aspek Kualitas Asset Aspek kualitas asset dalam penelitian ini diwakili oleh Kualitas Aktiva Produktif (KAP) dan Rasio Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP) terhadap Total Aktiva. Rasio KAP itu sendiri digunakan untuk mengetahui kemampuan bank dalam menjaga dan mengembalikan dana yang digunakan dan mengukur tingkat kemungkinan diterimanya kembali dana yang ditanamkan. Menurut Bank Indonesia (1997) rasio KAP sebesar 22,5% atau lebih diberi nilai kredit 0 dan untuk setiap penurunan 0,15% mulai dari 22,5% nilai kredit ditambah 1 dengan maksimum 100. Ketentuan ini mengindikasikan semakin tinggi rasio KAP memperlihatkan kondisi kesehatan bank semakin buruk. Dari penjelasan tersebut dapat dibuat kuran tingkat kesehatan KAP sebagai berikut : (i) Sehat apabila rasio KAP antara 0,00 % - 10,35 %, (ii) Cukup Sehat apabila rasio KAP antara > 10,35 % - 12,60 %, (iii) Kurang Sehat apabila rasio KAP antara > 12,6 % - 14,85 % dan (iv) Tidak Sehat apabila rasio KAP > 14,85 %. Sedangkan Rasio Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP) terhadap Total Aktiva menunjukan kemampuan management bank dalam mengelola aktiva produktif bermasalah terhadap total aktiva produktif. Semakin tinggi rasio ini maka semakin buruk kualitas aktiva produksi yang menyebabkan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP) yang tersedia semakin besar,
maka kemungkinan suatu bank dalam kondisi bermasalah atau tidak sehat semakin besar. 2.1.1.3. Aspek Rentabilitas Tingkat rentabilitas yang sehat merupakan salah satu tujuan setiap bank karena rentabilitas digunakan sebagai alat untuk mengukur seberapa besar kemampuan manajemen dalam menghasilkan laba atas aset-aset yang ditanamkan dalam perusahaan tersebut dan juga menunjukan kemampuan manajemen dalam menekan biaya operasionalnya. Dalam penelitian ini tingkat rentabilitas secara kuantitatif dapat dinilai dengan beberapa indikator antara lain dengan rasio ROA, BOPO. Return On Asset (ROA) digunakan untuk mengukur kemampuan manajemen bank dalam memperoleh keuntungan (laba sebelum pajak) yang dihasilkan dari rata-rata total asset bank yang bersangkutan. Menurut Bank Indonesia (1997) ROA sebesar 0% atau negatif diberi nilai kredit 0 dan untuk setiap kenaikan 0,015% mulai dari 0% nilai kredit ditambah 1 dengan maksimum 100. Dari penjelasan tersebut dapat dibuat kriteria penilaian ROA sebagai berikut : (i) Sehat apabila rasio ROA 1,215 %, (ii) Cukup Sehat apabila rasio ROA antara 0,999 % - 1,215 %, (iii) Kurang Sehat apabila rasio ROA antara 0,765 % - 0,999 % dan (iv) Tidak Sehat apabila rasio ROA 0,765%. Semakin besar ROA semakin besar pula tingkat keuntungan yang dicapai bank sehingga kemungkinan suatu bank dalam kondisi tidak sehat semakin kecil.
Maka dapat dikembangkan hipotesis: Return on Asset (ROA) mempunyai pengaruh dalam memprediksi tingkat kesehatan bank. Rasio Beban Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO) digunakan untuk mengukur kemampuan manajemen bank dalam mengendalikan biaya operasional terhadap pendapatan operasional. Bank yang dalam usahanya tidak efisien akan mengakibatkan ketidak mampuan bersaing dalam mengerahkan dana masyarakat maupun dalam menyalurkan dana tersebut kepada masyarakat yang membutuhkan sebagai modal usaha. Dengan adanya efisiensi pada lembaga perbankan terutama efisiensi biaya maka akan diperoleh tingkat keuntungan yang optimal, peningkatan pelayanan kepada nasabah, keamaanan dan kondisi kesehatan bank semakin meningkat. Menurut Bank Indonesia (1997) BOPO sebesar 100% atau lebih diberi nilai kredit 0 dan untuk setiap penurunan sebesar 0,08% nilai kredit ditambah 1 dengan maksimum 100. Dari penjelasan tersebut dapat dibuat kuran tingkat kesehatan BOPO sebagai berikut : (i) Sehat apabila rasio BOPO 93,52 %, (ii) Cukup Sehat apabila rasio BOPO antara 93,52 % - 94,72 %, (iii) Kurang Sehat apabila rasio BOPO antara 94,72 % - 95,92 % dan (iv) Tidak Sehat apabila rasio BOPO > 95,92 %. Semakin besar rasio BOPO mengindikasikan pendapatan operasional yang diperoleh tidak dapat mengcover beban operasional yang dikeluarkan sehingga kemungkinan bank mengalami kondisi tidak sehat s emakin besar. Maka dapat dikembangkan hipotesis, Beban Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO) mempunyai pengaruh dalam memprediksi tingkat kesehatan bank.
2.1.1.4. Aspek Likuiditas Kemampuan bank untuk dapat membayar semua kewajiban jangka pendek pada saat jatuh tempo merupakan salah satu faktor menentukan kondisi suatu bank. Apabila mampu melakukan pembayaran artinya bank dalam keadaan likuid, tetapi jika bank tidak mampu melakukan pembayaran, maka bank dikatakan tidak likuid. Dalam penelitian ini aspek likuiditas diwakili oleh komponen Loan to Deposit Ratio (LDR) dan Cash Ratio (CR). LDR merupakan indikator kemampuan bank untuk mengimbangi kewajiban untuk segera memenuhi permintaan deposan yang ingin menarik kembali uangnya yang telah digunakan oleh bank untuk memberikan kredit. Apabila dari banyak keredit yang diberikan tidak diimbangi dengan jumlah dana yang terkumpul menyebabkan likuiditas dari bank berkurang. Menurut Bank Indonesia (1997) rasio LDR sebesar 115% atau lebih diberi nilai kredit 0 dan untuk setiap penurunan 1% mulai dari 115% nilai kredit ditambah 4 dengan maksimum 100. Dari penjelasan tersebut dapat dibuat kuran tingkat kesehatan LDR sebagai berikut : (i) Sehat apabila rasio LDR 94,75 %, (ii) Cukup Sehat apabila rasio LDR antara 94,75 % - 98,50 %, (iii) Kurang Sehat apabila rasio LDR antara 98,50 % - 102,25% dan (iv) Tidak Sehat apabila rasio LDR 102,25 %. Maka rasio LDR tersebut harus berada di batas aman, apabila berada di luar batas aman akan menyebabkan likuiditas bank terganggu yang pada akhirnya akan berpengaruh pada keputusan untuk melikuidasi bank tersebut. Maka dapat dikembangkan hipotesis, LDR mempunyai pengaruh dalam memprediksi tingkat kesehatan bank.
Sedangkan CR merupakan indikator kemampuan bank dalam memenuhi seluruh kewajiban jangka pendek. Kewajiban jangka pendek pada perusahaan perbankan termasuk kewajiban bank untuk menyediakan dana untuk kebutuhan penarikan tabungan oleh nasabah. Menurut Bank Indonesia (1997) rasio CR sebesar 0% diberi nilai kredit 0 dan untuk setiap kenaikan 0,05% nilai kredit ditambah 1 dengan maksimum 100. Dari penjelasan tersebut dapat dibuat kuran tingkat kesehatan CR sebagai berikut : (i) Sehat apabila rasio CR 4,05 %, (ii) Cukup Sehat apabila rasio CR antara 3,30 % - 4,05 %, (iii) Kurang Sehat apabila rasio CR antara 2,25 % - 3,30% dan (iv) Tidak Sehat apabila rasio CR 2,25%. Ketentuan ini mengindikasikan semakin tinggi rasio CR memperlihatkan kondisi kesehatan bank semakin baik. 2.1.2 Komisaris Independen Komisaris independen adalah satu unsur dari Corporate governance. Corporate governance muncul karena terjadi pemisahan kepentingan antara kepemilikan dan pengendalian perusahaan yang sering disebut sebagai masalah keagenan. Permasalahan yang dihadapi oleh para pemegang saham adalah bagaimana mereka dapat memastikan bahwa dana yang telah mereka investasikan dalam perusahaan akan digunakan secara tepat oleh manajer dan tidak digunakan untuk proyek yang tidak menguntungkan sehingga akan menghasilkan keuntungan seperti yang mereka harapkan. Menurut Bank Indonesia (2006) prinsip-prinsip good corporate governance antara lain: Transparency, Accountability, Responsibility,
Independency dan Fairness. Penjabaran prinsip-prinsip yang terkandung dalam good corporate governance adalah sebagai berikut: 1. Transparency (Keterbukaan) Transparency yaitu keterbukaan dalam mengemukakan informasi yang material dan relevan serta keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan. Dalam mewujudkan transparansi, perusahaan harus menyediakan informasi yang cukup, akurat, dan tepat waktu kepada pihak yang berkepentingan dengan perusahaan tersebut. Selain itu, para investor harus dapat mengakses informasi penting perusahaan secara mudah pada saat diperlukan. Penyediaan informasi yang memadai, akurat, dan tepat waktu kepada stakeholders harus dilakukan oleh perusahaan agar dapat dikatakan transparan. Pengungkapan yang memadai sangat diperlukan oleh investor dalam kemampuannya untuk membuat keputusan terhadap risiko dan keuntungan dari investasinya. Kurangnya pernyataan keuangan yang menyeluruh menyulitkan pihak luar untuk menentukan apakah perusahaan tersebut memiliki dana dalam tingkat yang mengkhawatirkan. Kurangnya informasi akan membatasi kemampuan investor untuk memperkirakan nilai dan risiko serta pertambahan dari perubahan modal (volatility of capital). 2. Accountability (Akuntabilitas) Accountability (akuntabilitas) yaitu kejelasan fungsi dan pelaksanaan pertanggungjawaban organisasi perusahaan sehingga pengelolaannya berjalan secara efektif. Apabila prinsip accountability (akuntabilitas) ini diterapkan secara efektif, maka perusahaan akan terhindar dari agency problem (benturan kepentingan peran). Pengelolaan perusahaan harus didasarkan pada
pembagian kekuasaan diantara manajer perusahaan, yang bertanggung jawab pada pengoperasian setiap harinya, dan pemegang sahamnya yang diwakili oleh dewan direksi. Dewan direksi diharapkan untuk menetapkan kesalahan (oversight) dan pengawasan. 3. Responsibility (Pertanggungjawaban) Responsibility (pertanggungjawaban) adalah kesesuaian atau kepatuhan didalam pengelolaan perusahaan terhadap prinsip korporasi yang sehat serta peraturan perundangan yang berlaku. Peraturan yang berlaku termasuk yang berkaitan dengan masalah pajak, hubungan industrial, perlindungan lingkungan hidup, kesehatan/keselamatan kerja, standar penggajian, dan persaingan yang sehat. 4. Independency (Kemandirian) Independency atau kemandirian adalah suatu keadaan dimana perusahaan dikelola secara profesional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh/tekanan dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat. Independensi penting sekali dalam proses pengambilan keputusan. Hilangnya independensi dalam proses pengambilan keputusan akan menghilangkan objektivitas dalam pengambilan keputusan tersebut. 5. Fairness (Kesetaraan dan Kewajaran) Fairness yaitu keadilan dan kesetaraan dalam memenuhi hak-hak stakeholder yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Fairness diharapkan membuat seluruh aset perusahaan dikelola secara baik dan prudent (hati-hati), sehingga muncul perlindungan
kepentingan pemegang saham secara fair (jujur dan adil). Secara sederhana kesetaraan didefinisikan sebagai perlakuan yang adil dan setara dalam memenuhi hak-hak stakeholder. Dalam pengelolaan perusahaan perlu ditekankan pada kesetaraan, terutama untuk pemegang saham minoritas. Investor harus memiliki hak-hak yang jelas tentang kepemilikan dan sistem dari aturan dan hukum yang dijalankan untuk melindungi hak-haknya. Sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/4/PBI/2006 Tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance bahwa dalam rangka meningkatkan kinerja Bank, melindungi kepentingan stakeholders dan meningkatkan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku serta nilai-nilai etika yang berlaku umum pada industri perbankan, diperlukan pelaksanaan good corporate governance. Peningkatan kualitas pelaksanaan good corporate governance merupakan salah satu upaya untuk memperkuat kondisi internal perbankan nasional sesuai dengan Arsitektur Perbankan Indonesia (API). Dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/4/PBI/2006 diatur bahwa dewan komisaris terdiri dari komisaris dan komisaris independen. Tugas dan tanggung jawab dewan komisaris sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/4/PBI/2006 adalah sebagai berikut: (1) Dewan Komisaris wajib memastikan terselenggaranya pelaksanaan Good Corporate Governance dalam setiap kegiatan usaha Bank pada seluruh tingkatan atau jenjang organisasi. (2) Dewan Komisaris wajib melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direksi, serta memberikan nasihat kepada Direksi.
(3) Dalam melakukan pengawasan, Komisaris wajib mengarahkan, memantau, dan mengevaluasi pelaksanaan kebijakan strategis Bank. (4) Dalam melakukan pengawasan, dewan Komisaris dilarang terlibat dalam pengambilan keputusan kegiatan operasional Bank, kecuali: a. penyediaan dana kepada pihak terkait sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit; dan b. hal-hal lain yang ditetapkan dalam Anggaran Dasar Bank atau peraturan perundangan yang berlaku. a. Pengambilan keputusan oleh dewan Komisaris tidak meniadakan tanggung jawab Direksi atas pelaksanaan kepengurusan Bank. 2.2 Penelitian Terdahulu Luciana dan Winny (2005) meneliti rasio CAMEL terhadap kondisi bermasalah lembaga perbankan. Penelitiannya menghasilkan bahwa dari 11 rasio keuangan CAMEL yang digunakan yaitu CAR, ATTM, APB, NPL, PPAP terhadap Aktiva produktif, Pemenuhan PPAP, ROA, ROE, NIM, BOPO, LDR, rasio yang memiliki perbedaan signifikan antara bank bank kategori bermasalah dan tidak bermasalah periode 2000 2002 adalah CAR, APB, NPL, PPAP, ROA, NIM, BOPO. Rasio yang berpengaruh signifikan terhadap prediksi kondisi bermasalah bank bank swasta nasional di Indonesia adalah rasio CAR dan BOPO. Sugiyanto et al. (2002) yang menggunakan variabel permodalan, kualitas aset, manajemen, earning power dan likuiditas mengatakan bahwa kekuatan permodalan tidak memiliki hubungan terhadap prediksi kondisi bermasalah bank untuk satu tahun maupun dua tahun yang akan datang, sedangkan kualitas aset,
manajemen, earning power dan likuiditas memiliki hubungan terhadap prediksi kondisi bermasalah bank untuk satu tahun maupun dua tahun yang akan datang. Indira (2002) dalam penelitiannya menyatakan bahwa kekuatan dalam ketepatan memprediksi cenderung meningkat dari dua ke satu tahun sebelum bangkrut untuk kondisi bermasalah 1997, sedangkan untuk kondisi bermasalah 1998 dan 1999 cenderung turun berkisar antara 90,2% 80,6%. Tipe kesalahan 2 (bank diprediksi bangkrut ternyata tidak bangkrut) mempunyai rasio yang tinggi dibandingkan dengan kesalahan tipe 1 dan selalu meningkat untuk setiap tahun kondisi bermasalah. Dari hasil tersebut dapat dinyatakan bahwa kondisi ekonomi sangat mempengaruhi ketepatan model dalam memprediksi kondisi bermasalah maupun tipe kesalahan yang dilakukan. Etty dan Titik (2000) menyimpulkan bahwa dengan uji univariate terdapat dua jenis jenis rasio keuangan dalam model CAMEL yang signifikan yang membedakan bank sehat dan gagal. Berdasarkan penelitian tentang penggunaan rasio keuangan sebagai alat analisis, berikut ini disusun tabel yang memperlihatkan deskripsi hasil penelitian sebelumnya: Tabel 2.1 Deskripsi Hasil Penelitian Terdahulu Peneliti (Tahun) Judul Variabel Yang Diteliti Hasil Penelitian Luciana Spica Variabel independen : Almilia dan Winny Herdiningtyas (2005) CAR. ATTM APB. NPL Analisis Rasio CAMEL terhadap Prediksi Kondisi Bermasalah pada Lembaga Perbankan Perioda 2000 2002 PPAP terhadap Aktiva Produktif ROA. ROE. NIM BOPO LDR Variabel dependent : Prediksi Kondisi Bermasalah Bank Dari 11 rasio keuangan CAMEL yang digunakan yaitu CAR, ATTM, APB, NPL, PPAP terhadap Aktiva produktif, Pemenuhan PPAP, ROA, ROE, NIM, BOPO, LDR, rasio yang memiliki perbedaan yang signifikan antara bank bank kategori bermasalah dan tidak bermasalah perioda 2000 2002 adalah CAR, APB, NPL, PPAP, ROA, NIM, BOPO. Dan rasio yang berpengaruh signifikan terhadap prediksi kondisi bermasalah bank bank swasta nasional di Indonesia adalah rasio keuangan CAR dan BOPO.
Tabel 2.1 Lanjutan Peneliti (Tahun) Judul Variabel Yang Diteliti Hasil Penelitian FX. Sugiyanto, Manfaat Variabel independen : Prasetiono dan Indikatorindika. Permodalan Teddy Hariyanto (2002) tor Keuangan. Kualitas Asset Manajemen Indira (2002) Etty M. Nasser dan Titik Aryati (2000) dalam Pembentukan Model Prediksi Kondisi Kesehatan Perbankan. Januarti Variabel Proksi CAMEL dan Karakteristik Bank Lainnya untuk Memprediksi Kondisi bermasalah Bank Indonesia. Model Analisis CAMEL Untuk Memprediksi Financial Distress Sektor Perbankan Yang Go Public.. Earning power likuiditas Variabel dependent : Prediksi Kondisi Kesehatan Perbankan Variabel independen : Permodalan. Kualitas Asset Manajemen. Earning power likuiditas Variabel dependent : Prediksi Kondisi di bemasalah Bank Pada Variabel independen : Permodalan. Kualitas Asset Manajemen. Earning power likuiditas Variabel dependent : Prediksi Distess Perbankan Financial Sektor Kekuatan permodalan tidak memiliki hubungan terhadap prediksi kondisi bermasalah bank untuk satu tahun maupun dua tahun yang akan datang, sedangkan kualitas aset, manajemen, earning power dan likuiditas memiliki hubungan terhadap prediksi kondisi bermasalah bank untuk satu tahun dan dua tahun yang akan datang. Kekuatan dalam ketepatan memprediksi cenderung meningkat dari dua ke satu tahun sebelum bangkrut untuk kondisi bermasalah 1997, sedangkan untuk kondisi bermasalah 1998 dan 1999 cenderung turun berkisar antara 90,2% 80,6%. Tipe kesalahan II (bank diprediksi bangkrut ternyata tidak bangkrut) mempunyai rasio yang tinggi dibandingkan dengan kesalahan tipe I dan selalu meningkat untuk setiap tahun kondisi bermasalah. Dari hasil tersebut dapat dinyatakan bahwa kondisi ekonomi sangat mempengaruhi ketepatan model dalam memprediksi kondisi bermasalah maupun tipe kesalahan yang dilakukan. Melalui uji univariate terdapat dua jenis jenis rasio keuangan dalam model CAMEL yang signifikan yang membedakan bank sehat dan gagal Perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya terletak di variable pemoderasinya, dimana terdapat satu variabel pemoderasi dalam penelitian ini yaitu komisaris independen. Perbedaan lainnya yaitu dalam hal obyek penelitiannya, dimana penelitian ini mengambil Bank Perkreditan Rakyat sebagai bahan kajian penelitian.