BAB I PENDAHULUAN. pembantuan yang dilaksanakan secara bersama-sama. Dengan demikian penerapan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. perbedaan karakteristik alam, ekonomi, sosial dan budaya. Wilayah-wilayah dengan

PERKEMBANGAN KEMISKINAN KABUPATEN BENGKAYANG MARET 2014 MARET 2016

Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Sekadau 2016

BAB IV GAMBARAN UMUM DAN OBYEK PENELITIAN

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT

Angka Kemiskinan Kabupaten Sekadau 2016

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat, termasuk kewenangan untuk melakukan pengelolaan

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang

ANALISIS PERTUMBUHAN EKONOMI KOTA PONTIANAK DENGAN METODE LOCATION QUOTIENT, SHIFT SHARE DAN GRAVITASI

KONDISI KETENAGAKERJAAN SEKADAU TAHUN 2015

BAB I PENDAHULUAN. kapasitas fiskal yaitu pendapatan asli daerah (PAD) (Sidik, 2002)

II. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Dinas KUKM Provinsi Kalimantan Barat Jl. Sutan Syahrir No. 5 Pontianak

BAB I PENDAHULUAN. terkandung dalam analisis makro. Teori Pertumbuhan Ekonomi Neo Klasik

KEADAAN KETENAGAKERJAAN PROVINSI KALIMANTAN BARAT AGUSTUS 2017

BAB I PENDAHULUAN. Proses globalisasi pemerintahan pada daerah Indonesia di tahun 2001

Disampaikan Oleh : KEPALA BIDANG PERENCANAAN SOSIAL BUDAYA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH PROV. KALIMANTAN BARAT

KEADAAN KETENAGAKERJAAN SEKADAU TAHUN 2014

BAB I PENDAHULUAN. Negara dimaksudkan untuk meningkatkan efektifitas dan efesiensi. penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat.

BAB III METODE PENELITIAN. satu dari 14 Kabupaten/Kota yang berada di Provinsi Kalimantan Barat. Provinsi

BAB IV GAMBARAN UMUM WILAYAH

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

BAB I PENDAHULUAN. provinsi. Dalam provinsi itu dikembangkan kembali dalam kabupaten kota,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam mewujudkan pemerataan pembangunan di setiap daerah, maka

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem otonomi daerah, terdapat 3 (tiga) prinsip yang dijelaskan UU

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2016

BAB I PENDAHULUAN. berubah menjadi sistem desentralisasi atau yang sering dikenal sebagai era

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) SEKADAU TAHUN 2014

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2015

4. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan yang dilakukan oleh sekian banyak Negara berkembang khususnya

BAB I PENDAHULUAN. berwewenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut

BAB I PENDAHULUAN. daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam perkembangannya, kebijakan ini

Tipologi Wilayah Provinsi Kalimantan Barat Hasil Pendataan Potensi Desa (Podes) 2014

I. PENDAHULUAN. dalam mengelola potensi sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola

PENDAHULUAN. perubahan struktur sosial, sikap hidup masyarakat, dan perubahan dalam

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang sentralisasi menjadi struktur yang terdesentralisasi dengan

BAB I PENDAHULUAN. oleh krisis ekonomi yang menyebabkan kualitas pelayanan publik terganggu dan

HASIL SENSUS PERTANIAN 2013 PROVINSI KALIMANTAN BARAT (ANGKA SEMENTARA)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitan. Berdasarkan UU No 32 Tahun 2004 Pasal 1 angka 5 memberikan definisi

BAB I PENDAHULUAN. mengatur tentang otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, untuk terciptanya

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan pada hakekatnya merupakan suatu proses kemajuan dan

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan atas pertimbangan

BAB I PENDAHULUAN. terdapat juga transfer, seperti tunjangan sosial yang merupakan bantuan

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI KALIMANTAN BARAT

BAB I. Kebijakan tentang otonomi daerah di Indonesia, yang dikukuhkan dengan

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. antarsusunan pemerintahan. Otonomi daerah pada hakekatnya adalah untuk

BAB I PENDAHULUAN. mengelola sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Arsyad (1999) dalam Setiyawati (2007) menyatakan bahwa pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi luas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

GUBERNUR KALIMANTAN BARAT

PENDAHULUAN. 1 Butir 7 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dijelaskan bahwa

INUNG ISMI SETYOWATI B

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan tentang otonomi daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik

BAB 1 PENDAHULUAN. Reformasi tahun 1998 telah membuat perubahan politik dan administrasi, bentuk

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. dan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu maka pelaksanaan otonomi daerah. pendapatan dan pembiayaan kebutuhan pembangunan di daerahnya.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Isi pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 diantaranya menyatakan

BAB 1 PENDAHULUAN. Kebijakan otonomi daerah merupakan salah satu agenda reformasi, bahkan

ABSTRAK. ketimpangan distribusi pendapatan, IPM, biaya infrastruktur, investasi, pertumbuhan ekonomi.

V. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. memberikan proses pemberdayaan dan kemampuan suatu daerah dalam. perekonomian dan partisipasi masyarakat sendiri dalam pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. Yang menjadi cita-cita dari suatu suatu negara adalah untuk. meningkatkan pertumbuhan ekonominya. Salah satu tolak ukur dari ukuran

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Masalah pembangunan ekonomi bukanlah persoalan baru dalam

BAB I PENDAHULUAN. ini mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berakar pada teori ekonomi, teori keputusan, sosiologi, dan teori organisasi. Teori

BAB I PENDAHULUAN. undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan

BAB I PENDAHULUAN. Dengan dikeluarkannya undang-undang Nomor 22 Tahun kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan

BAB I PENDAHULUAN. diterapkan otonomi daerah pada tahun Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. dengan aspek sosial, ekonomi, budaya, dan aspek lainnya yang menjadi masalah

PENGARUH ALOKASI DANA PERIMBANGAN TERHADAP KETIMPANGAN EKONOMI REGIONAL DI PROVINSI JAMBI

BAB I PENDAHULUAN. pelaksanaan pembangunan secara keseluruhan dimana masing-masing daerah

BAB I PENDAHULUAN. era baru dengan dijalankannya otonomi daerah. Otonomi daerah ini ditandai

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan, pembangunan di

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk mengelola keuangannya sendiri. Adanya otonomi daerah menjadi jalan bagi

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. dalam pelaksanaan pelayanan publik. Dokumen anggaran daerah disebut juga

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN. 4.1 Kesimpulan. Berdasarkan hasil analisis, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan alat yang digunakan untuk mencapai tujuan

BAB 1 PENDAHULUAN. Sejak dikeluarkannya Undang-Undang No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan

I. PENDAHULUAN. Iklim investasi yang baik akan mendorong terjadinya pertumbuhan

BERITA RESMI STATISTIK

BAB I PENDAHULUAN. Undang-undang Rebulik Indonesia (UU RI) No. 32 Tahun 2004 tentang. Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa efisiensi dan efektivitas

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

BAB II KERANGKA EKONOMI DAERAH

I. PENDAHULUAN. dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-Undang,

BAB 1 PENDAHULUAN. pembangunan senantiasa memerlukan sumber penerimaan yang memadai dan

BAB I PENDAHULUAN. perbedaaan kondisi demografi yang terdapat pada daerah masing-masing.

BAB I PENDAHULUAN. Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Tujuan ekonomi

BAB 1 PENDAHULUAN. upaya-upaya secara maksimal untuk menciptakan rerangka kebijakan yang

BAB I PENDAHULUAN. melakukan berbagai jenis pembelanjaan. Seperti halnya pengeluaran-pengeluaran

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Otonomi daerah yang telah berjalan saat ini telah memberi hak serta wewenang kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kebijakan penerapan otonomi daerah saat ini dipandang sangat demokratis karena menerapkan asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan yang dilaksanakan secara bersama-sama. Dengan demikian penerapan konsep otonomi daerah, membuat pemerintah daerah ( Pemda) di seluruh Indonesia mendapatkan peluang untuk lebih meningkatkan kemajuan pembangunan perekonomian di daerahnya masing-masing. Pembangunan ekonomi daerah merupakan bagian dari integral pembangunan nasional, yang merupakan upaya untuk meningkatkan kapasitas Pemda sehingga tercipta suatu kemampuan yang handal dan profesional dalam menjalankan serta memberikan pelayanan prima kepada masyarakat. Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses di mana Pemda dan seluruh komponen masyarakat mengelola berbagai sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan untuk menciptakan suatu lapangan pekerjaan baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi dalam daerah tersebut (Kuncoro, 2004). 1

2 Tujuan utama dari pembangunan ekonomi daerah menurut Arsyad (1999) adalah untuk meningkatkan jumlah dan jenis peluang kerja untuk masyarakat daerah. Oleh karena itu Pemda dengan bantuan partisipasi masyarakat harus menaksir potensi sumber daya yang diperlukan untuk merancang dan membangun pembangunan ekonomi daerah. Menurut Kuncoro (2004) ada tiga masalah pokok yang harus diperhatikan dalam mengukur pembangunan ekonomi suatu negara atau daerah, yaitu 1) apa yang terjadi pada tingkat kemiskinan, 2) apa yang terjadi pada tingkat pengangguran, 3) dan apa yang terjadi terhadap ketimpangan dalam berbagai bidang. Ketiga masalah pokok tersebut saling terkait, artinya apabila salah satu masalah pokok tersebut mengalami gangguan maka akan berdampak munculnya gangguan pada masalah pokok yang lainnya. Tingkat pengangguran yang tinggi di suatu daerah akan berdampak pada peningkatan kemiskinan, sehingga akan muncul ketimpangan dalam berbagai bidang. Peran pemerintah dalam pembangunan ekonomi sangatlah penting, menurut Blakely (1989) pemerintah memiliki pera n sebagai entrepreneur, coordinator, facilitator, dan stimulator. Peran entrepreneur mengharuskan pemerintah mampu menciptakan terbentuknya lingkungan lapangan usaha. Peran coordinator mengharuskan pemerintah mampu mengkoordinasikan atau mengatur serta menata berbagai kelembagaan yang mendukung bagi pengembangan dunia bisnis dan aktivitas ekonomi lainnya. Peran facilitator mengharuskan pemerintah mampu memberikan suatu sarana dan prasarana bagi kelancaran proses aktivitas ekonomi. Sedangkan peran stimulator mengharuskan pemerintah mampu memberikan stimulus

3 atau rangsangan dalam mengupayakan bagi terciptanya aktivitas ekonomi dan lapangan kerja di masyarakat. Menurut Samuelson dan Nordhaus (2004), salah satu indikator makro keberhasilan pemerintah dalam melaksanakan pembangunan ekonomi di antaranya dilihat dari pertumbuhan ekonomi yang menunjukkan barang dan jasa yang dihasilkan suatu daerah. Pertumbuhan ekonomi adalah kemampuan dalam menyediakan kebutuhan akan barang dan jasa kepada masyarakat oleh Pemda setempat, sehingga diharapkan akan dapat mempengaruhi kenaikan atas standar hidup masyarakat (Sularso dan Restianto, 2011). Pertumbuhan ekonomi suatu daerah dapat diukur dengan melihat PDRB dan laju pertumbuhannya atas dasar harga konstan. Secara teoritis pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dapat menjadi syarat dalam pengentasan kemiskinan dan pengangguran. Menurut Tarigan (2005), adanya pertumbuhan ekonomi di suatu daerah mengindikasikan adanya peningkatan pendapatan masyarakat yang terjadi di daerah, yaitu adanya kenaikan seluruh nilai tambah yang terjadi di daerah tersebut. Peningkatan pendapatan masyarakat tersebut menggambarkan adanya kenaikan balas jasa atas faktor-faktor produksi yang beroperasi di daerah tersebut (tanah, modal, teknologi, dll), dimana pendapatan tersebut diukur dalam nilai riil (dinyatakan dalam harga konstan). Salah satu komponen yang dapat diandalkan untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi daerah yang optimal adalah belanja modal, yang terkait erat dengan investasi. Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 13 Tahun 2006, investasi adalah setiap pembelian aset yang memiliki manfaat lebih dari

4 12 (dua belas) bulan yang digunakan dalam kegiatan pemerintahan yang bermanfaat secara ekonomis, sosial, dan meningkatkan kemampuan daerah dalam melayani masyarakat. Sedangkan menurut Halim (2002), belanja modal merupakan pengeluaran Pemda yang manfaatnya melebihi satu tahun anggaran dan akan menambah aset atau kekayaan daerah, dan selanjutnya akan menambah belanja yang bersifat rutin, seperti biaya operasi dan biaya pemeliharaan. Todaro (2006) secara spesifik menyebutkan ada tiga faktor atau komponen utama pertumbuhan ekonomi, yaitu akumulasi modal, pertumbuhan penduduk, dan hal-hal yang berhubungan dengan kenaikan jumlah angkatan kerja yang dianggap secara positif merangsang pertumbuhan ekonomi. Sedangkan menurut Kusnandar dan Siswantoro (2012), peningkatan investasi yang dilakukan dengan cara meningkatkan ketersediaan infrastruktur yang banyak dan berkualitas serta menciptakan kepastian hukum merupakan faktor utama bagi daerah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Adanya pergerakkan ekonomi disuatu daerah akibat dari belanja modal pemerintah, dapat dilihat secara detail dari neraca arus dana (NAD). Data realisasi belanja modal oleh pemerintah menjadi bagian penting dari neraca arus dana (NAD) untuk sektor pemerintah. Berikut ini adalah data yang memuat realisasi total belanja daerah, realisasi belanja modal, dan persentase pertumbuhan belanja modal kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Barat dari tahun 2007-2011.

5 Tabel 1.1 Realisasi Total Belanja Daerah Kabupaten/Kota Di Provinsi Kalimantan Barat (Dalam Jutaan Rupiah) Nama Kabupaten/Kota 2007 2008 2009 2010 2011 Kabupaten Sambas 498,244.47 619,845.38 667,678.12 730,158.46 813,714.55 Kabupaten Bengkayang 309,783.91 446,803.44 460,187.19 451,141.22 511,578.33 Kabupaten Landak 425,976.67 494,694.19 564,984.50 589,446.44 588,095.07 Kabupaten Pontianak 577,118.72 751,476.73 360,121.70 439,758.75 508,519.54 Kabupaten Sanggau 526,950.99 595,783.87 620,163.41 647,053.61 729,178.50 Kabupaten Ketapang 662,844.83 795,485.32 789,815.39 794,107.54 919,070.40 Kabupaten Sintang 573,717.86 704,484.11 607,036.21 661,406.97 751,525.59 Kabupaten Kapuas Hulu 537,699.24 669,827.25 668,902.98 710,274.45 790,794.66 Kabupaten Sekadau 271,166.23 360,207.76 390,076.87 439,329.63 432,761.76 Kabupaten Melawi 351,468.83 410,373.25 410,992.73 416,125.94 476,180.68 Kabupaten Kayong Utara* 0.00 127,018.45 295,422.28 359,006.35 369,063.78 Kabupaten Kubu raya* 0.00 0.00 440,461.37 610,507.87 759,092.58 Kota Pontianak 535,823.36 633,571.28 658,842.31 752,867.06 891,949.46 Kota Singkawang 326,769.54 363,190.91 452,729.48 453,712.77 469,176.04 Total 5,597,564.67 6,972,761.93 7,387,414.54 8,054,897.09 9,010,700.94 * Kabupaten pemekaran (Sumber: Badan Pusat Statistik RI) Tabel 1.2 Realisasi Belanja Modal Kabupaten/Kota Di Provinsi Kalimantan Barat (Dalam Jutaan Rupiah) Nama Kabupaten/Kota 2007 2008 2009 2010 2011 Kabupaten Sambas 111,723.71 121,998.82 144,468.99 149,874.25 195,711.62 Kabupaten Bengkayang 118,711.38 194,488.21 141,522.39 74,471.80 119,101.97 Kabupaten Landak 191,817.17 178,256.77 180,134.45 177,192.13 133,962.44 Kabupaten Pontianak 178,260.74 193,587.16 105,932.72 104,767.96 122,886.63 Kabupaten Sanggau 151,089.27 141,248.93 99,944.44 120,750.38 127,466.68 Kabupaten Ketapang 285,046.18 329,596.35 322,161.02 228,733.68 277,364.52 Kabupaten Sintang 194,656.85 217,082.20 131,194.24 115,567.47 122,892.48 Kabupaten Kapuas Hulu 211,358.04 254,465.26 191,138.52 223,504.54 272,044.91 Kabupaten Sekadau 123,597.80 149,302.17 152,003.29 181,861.37 127,816.96 Kabupaten Melawi 167,301.53 170,714.56 174,593.16 120,681.12 123,989.51 Kabupaten Kayong Utara* 0.00 40,998.70 137,796.51 150,989.28 128,129.40 Kabupaten Kubu raya* 0.00 0.00 114,236.25 173,050.96 208,933.50 Kota Pontianak 146,305.52 175,394.01 185,974.40 197,819.76 238,089.60 Kota Singkawang 104,032.19 100,826.32 168,207.12 130,939.49 116,784.61 Total 1,983,900.38 2,267,959.45 2,249,307.51 2,150,204.20 2,315,174.84 * Kabupaten pemekaran (Sumber: Badan Pusat Statistik RI)

6 Realisasi belanja daerah APBD kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Barat dari tahun 2007 hingga tahun 2011 mengalami peningkatan setiap tahunnya, secara keseluruhan realisasi belanja daerah tahun 2007 sebesar Rp. 5,6 triliun meningkat menjadi Rp. 9,01 triliun pada tahun 2011. Sedangkan realisasi belanja modal APBD kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Barat selama kurun waktu 2007-2011 sangat fluktuatif. Kecuali Kota Pontianak dan Kabupaten Sambas, kabupaten/kota lainnya di Provinsi Kalimantan Barat memiliki pertumbuhan realisasi belanja modal APBD yang fluktuatif. Realisasi belanja modal APBD kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Barat secara keseluruhan mengalami peningkatan dari Rp.1,98 triliun (2007) menjadi Rp.2,27 triliun (2008). Setelah tahun 2008, realisasi belanja modal APBD kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Barat mengalami penurunan tahun 2009 (Rp. 2,25 triliun), kemudian mengalami kenaikan pada tahun 2010 dan kembali mengalami penurunan pada tahun 2011 (Rp. 2,32 triliun). Fluktuatifnya realisasi belanja modal APBD kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Barat, dapat dilihat lebih jelas dari data persentase pertumbuhan belanja modal berikut ini.

7 Tabel 1.3 Persentasi Pertumbuhan Belanja Modal Kabupaten/Kota Di Provinsi Kalimantan Barat (Dalam Persentase) Nama Kabupaten/Kota 2007 2008 2009 2010 2011 Kabupaten Sambas 14.89 9.20 18.42 3.74 30.58 Kabupaten Bengkayang 39.88 63.83-27.23-47.38 59.93 Kabupaten Landak 98.09-7.07 1.05-1.63-24.40 Kabupaten Pontianak 2.40 8.60-45.28-1.10 17.29 Kabupaten Sanggau 25.09-6.51-29.24 20.82 5.56 Kabupaten Ketapang 23.42 15.63-2.26-29.00 21.26 Kabupaten Sintang 65.29 11.52-39.56-11.91 6.34 Kabupaten Kapuas Hulu 31.07 20.40-24.89 16.93 21.72 Kabupaten Sekadau 77.21 20.80 1.81 19.64-29.72 Kabupaten Melawi 70.95 2.04 2.27-30.88 2.74 Kabupaten Kayong Utara* 0.00 0.00 236.10 9.57-15.14 Kabupaten Kubu raya* 0.00 0.00 0.00 51.49 20.74 Kota Pontianak 52.02 19.88 6.03 6.37 20.36 Kota Singkawang 66.61-3.08 1.67-22.16 0.89 * Kabupaten pemekaran (Sumber: Badan Pusat Statistik RI) Pertumbuhan realisasi belanja modal APBD kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Barat dari tahun 2007 hingga tahun 2011 sangat fluktuatif. Kondisi yang demikian berbanding terbalik dengan total belanja daerah yang jumlah realisasinya setiap tahun selalu naik. Kebijakan pengeluaran belanja modal APBD yang rendah akan berdampak pada tingkat ketersediaan infrastruktur yang diperlukan bagi peningkatan kegiatan ekonomi di masyarakat. Oleh karena itu harus ada peningkatan komposisi belanja modal di dalam APBD guna mendorong perekonomian daerah. Semakin tinggi realisasi belanja modal maka diharapkan semakin tinggi pula dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi di daerah. Bertolak dari uraian di atas maka penelitian ini bermaksud untuk menganalisis apakah pertumbuhan belanja modal selama 5 (l ima) tahun tersebut,

8 memiliki hubungan kausalitas satu arah terhadap pertumbuhan ekonomi yang telah dicapai oleh masing-masing kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Barat, dimana pertumbuhan ekonomi hingga saat ini masih menjadi indikator keberhasilan pemerintah dalam melaksanakan pembangunan ekonomi. 1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan uraian yang melatar belakangi penelitian ini, maka peneliti merumuskan permasalahan sebagai berikut: Dari tahun 2007 hingga tahun 2011 pertumbuhan realisasi belanja modal APBD kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Barat berfluktuatif. Hal tersebut berbeda dengan realisasi belanja daerah APBD kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Barat yang setiap tahunnya selalu mengalami peningkatan. Kondisi yang demikian belum diketahui dengan jelas hubungan kausalitasnya terhadap pertumbuhan ekonomi yang telah dicapai kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Barat. Terkait hal tersebut, yang menjadi pertanyaan penelitian adalah apakah Pertumbuhan Belanja Modal memiliki hubungan kausalitas satu arah terhadap Pertumbuhan Ekonomi?

9 1.3 Tujuan Penelitian Menguji dan menganalisis hubungan kausalitas antara pertumbuhan belanja modal dengan pertumbuhan ekonomi pada Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Barat. 1.4 Manfaat Penelitian Beberapa manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah: 1. Bagi Pemda. Sebagai alternatif cara bagi pemerintah dalam menentukan kebijakan yang akan dipilih serta memberikan solusi yang bermanfaat dalam mengatasi permasalahan tentang pertumbuhan ekonomi, pengangguran dan kemiskinan; 2. Bagi Dunia Pendidikan. Memberikan sumbangan terhadap ilmu pengetahuan untuk dijadikan bahan pembelajaran dan untuk kemajuan pendidikan, serta sebagai bahan referensi dan data tambahan bagi peneliti-peneliti selanjutnya yang tertarik pada bidang kajian ini. 3. Bagi Publik. Memberikan informasi kepada publik mengenai kemampuan atau kinerja pemerintah dalam penyelenggaraan fungsi pemerintahan bagi masyarakat sebagai fungsi kontrol dalam pemilihan kebijaksanaan

10 1.5 Sistematika Penulisan Penelitian Sistematika rancangan penulisan laporan penelitian ini dibagi menjadi V Bab yang diuraikan sebagai berikut: BAB I : PENDAHULUAN Bab ini berisi latar belakang, perumusan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan penelitian. BAB II : TINJAUAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS Bab ini menguraikan landasan teori yang berkaitan dengan penelitian serta hipotesis penelitian. BAB III : METODE PENELITIAN Bab ini menguraikan tentang populasi dan sampel penelitian, jenis dan sumber data, metode pengumpulan data, definisi operasional variabel dan teknik analisis data. BAB IV : ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN Bab ini menguraikan hasil analisis data dan pembahasannya. BAB V : KESIMPULAN, KETERBATASAN PENELITIAN DAN IMPLIKASI Bab ini merupakan bagian terakhir yang akan menyajikan kesimpulan penelitian, keterbatasan penelitian, dan implikasiimplikasi hasil penelitian.