VII ANALISIS ASPEK FINANSIAL

dokumen-dokumen yang mirip
VII. ANALISIS FINANSIAL

VII. PEMBAHASAN ASPEK FINANSIAL

IV METODE PENELITIAN. 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

VII. ANALISIS KELAYAKAN ASPEK FINANSIAL

VII ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL

IV. METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian

VII. ANALISIS KELAYAKAN ASPEK FINANSIAL

ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL

IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2. Data dan Instrumentasi 4.3. Metode Pengumpulan Data

VII. KELAYAKAN ASPEK FINANSIAL

III OBJEK DAN METODE PENELITIAN. Rakyat (KUR) di Desa Ciporeat, Kecamatan Cilengkrang, Kabupaten Bandung.

METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu 4.2. Jenis dan Sumber Data 4.3. Metode Pengumpulan Data

VII ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL

VIII. ANALISIS FINANSIAL

VII. ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL

IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2. Jenis dan Sumber Data 4.3. Metode Pengolahan dan Analisis Data

Lampiran 1. Asumsi, Koefisien teknis dan Koefisien harga

IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2 Jenis dan Sumber Data 4.3 Metode Penentuan Narasumber

ASPEK FINANSIAL Skenario I

IV. METODE PENELITIAN


III. KERANGKA PEMIKIRAN

VII. ANALISIS ASPEK FINANSIAL

III KERANGKA PEMIKIRAN

BAB VII KELAYAKAN ASPEK FINANSIAL

METODOLOGI PENELITIAN. (Purposive) dengan alasan daerah ini cukup representatif untuk penelitian yang

IV. METODE PENELITIAN

IV METODOLOGI PENELITIAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN. Menurut Kadariah (2001), tujuan dari analisis proyek adalah :

III. KERANGKA PEMIKIRAN

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN

IV METODE PENELITIAN

VII ANALISIS ASPEK FINANSIAL

VIII. ANALISIS FINANSIAL

VII. ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL

III KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN

METODE PENELITIAN. ini yang dianalisis adalah biaya, benefit, serta kelayakan usahatani lada putih yang

III KERANGKA PEMIKIRAN

II. KERANGKA PEMIKIRAN

DAFTAR ISI HALAMAN SAMPUL KATA PENGANTAR ABSTRAK DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR PUSTAKA BAB I PENDAHULUAN 1

IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2. Jenis dan Sumber Data 4.3. Metode Pengolahan dan Analisis Data

VI ANALISIS ASPEK NON FINANSIAL

III. KERANGKA PEMIKIRAN

A Modal investasi Jumlah (Rp) 1 Tanah Bangunan Peralatan Produksi Biaya Praoperasi*

VII. RENCANA KEUANGAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Usaha Pembesaran Lele Sangkuriang

I. PENDAHULUAN. 1 Sapi 0,334 0, Kerbau 0,014 0, Kambing 0,025 0, ,9 4 Babi 0,188 0, Ayam ras 3,050 3, ,7 7

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Teoritis Pengertian Usaha

III. KERANGKA PEMIKIRAN

IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2. Jenis dan Sumber Data 4.3. Metode Penentuan Responden

METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu 4.2. Jenis dan Sumber Data 4.3. Metode Pengumpulan Data

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN

Bab XIII STUDI KELAYAKAN

III. METODOLOGI PENELITIAN

KERANGKA PEMIKIRAN. 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis

III KERANGKA PEMIKIRAN

IV. METODE PENELITIAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. METODE PENELITIAN

ANALISIS FINANSIAL DAN SENSITIVITAS PETERNAKAN AYAM BROILER PT. BOGOR ECO FARMING, KABUPATEN BOGOR

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN

II. KERANGKA PENDEKATAN TEORI. Koperasi berasal dari kata ( co = bersama, operation = usaha) yang secara

III. METODE PENELITIAN. A. Konsep Dasar dan Bahan Batasan Operasional. Konsep dasar dan defenisi opresional mencakup pengertian yang

BAB XVI KEGIATAN AGRIBISNIS

METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. Rantauprapat Kabupaten Labuhanbatu Propinsi Sumatera Utara. Pemilihan lokasi

III. METODE PENELITIAN. Proses produksi kopi luwak adalah suatu proses perubahan berbagai faktor

IV. METODE PENELITIAN

II. TINJAUAN PUSTAKA

METODE PENELITIAN. yang dikeluarkan selama produksi, input-input yang digunakan, dan benefit

HASIL DAN PEMBAHASAN

III KERANGKA PEMIKIRAN

III. METODOLOGI PENELITIAN

KERANGKA PEMIKIRAN. Pada bagian ini akan dijelaskan tentang konsep dan teori yang

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. sampai dengan 30 tahun tergantung dengan letak topografi lokasi buah naga akan

Lampiran 1. Impor Ikan Asap Dunia Tahun 2008

MATERI 7 ASPEK EKONOMI FINANSIAL

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Ternak Sapi Potong

BAB VI ASPEK KEUANGAN. investasi dari perusahaan Saru Goma. Proyeksi keuangan ini akan dibuat dalam

METODE PERBANDINGAN EKONOMI. Pusat Pengembangan Pendidikan - Universitas Gadjah Mada

LAMPIRAN. Universitas Sumatera Utara

IV. METODE PENELITIAN

Imah Gede. Alun-alun

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Jumlah Tenaga Kerja Usia 15 Tahun ke Atas Menurut Lapangan Pekerjaan Tahun 2011

ANALISIS FINANSIAL UNIT PENAMPUNGAN SUSU DI KUD TANI WILIS KECAMATAN SENDANG KABUPATEN TULUNGAGUNG

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

II ASPEK PASAR DAN PEMASARAN

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. berfokus pada bidang penggemukan sapi.sapi yang digemukkan mulai dari yang

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN

5.3 Keragaan Ekonomi Usaha Penangkapan Udang Net Present Value (NPV)

Transkripsi:

VII ANALISIS ASPEK FINANSIAL Aspek finansial merupakan aspek yang dikaji melalui kondisi finansial suatu usaha dimana kelayakan aspek finansial dilihat dari pengeluaran dan pemasukan usaha tersebut selama periode usaha dan dilakukan perhitungan sesuai dengan kriteria investasi. Ada pun hal-hal yang akan dibahas pada aspek finansial antara lain : cashflow, asumsi yang digunakan, proyeksi laba rugi, analisis kriteria investasi, dan switching value. Pada penelitian ini, analisis kelayakan dilakukan untuk mengetahui kelayakan pengembangan usaha ternak yang dilakukan oleh peternakan Prima Fit. Analisis ini dilakukan dengan menggunakan dua skenario. Skenario I merupakan kondisi usaha ternak tanpa pengembangan usaha atau dengan kata lain tidak ada penambahan kambing laktasi I sebanyak 50 ekor pada awal tahun usaha. Sedangkan skenario II merupakan kondisi usaha ternak dengan pengembangan usaha atau dengan kata lain ada penambahan kambing laktasi I sebanyak 50 ekor pada awal tahun usaha. Kemudian dilakukan perbandingan pada kedua skenario tersebut. Jika kedua skenario layak untuk dilaksanakan, maka selanjutnya dilakukan analisis switching value pada skenario I kemudian switching value yang diperoleh akan digunakan untuk menganalisis sensitivitas skenario II. 7.1 Proyeksi Arus Kas (Cashflow) Proyeksi arus kas merupakan laporan aliran kas yang memperlihatkan gambaran penerimaan (inflow) dan pengeluaran kas (outflow). Dalam penelitian ini, arus kas pada skenario I dan skenario II diproyeksikan selama lima tahun sesuai dengan umur ekonomis kambing laktasi satu. Penelitian ini menggunakan proyeksi perkembangan populasi (Lampiran 6) untuk menentukan inflow dan outflow. 7.1.1 Arus Masuk (Inflow) Inflow merupakan aliran kas masuk bagi suatu usaha atau pendapatan dari suatu usaha. Inflow pada pengembangan usaha ternak kambing perah Prima Fit terdiri dari hasil penjualan susu kambing sebagai penerimaan utama serta penjualan kolostrum kambing, anak kambing, kambing dara, dan kambing afkir 94

sebagai penerimaan sampingan. Selain itu, nilai sisa juga dihitung sebagai penerimaan di akhir umur usaha. Sumber pendapatan utama dari peternakan ini adalah penjualan susu kambing. Jumlah produksi susu kambing tergantung pada jumlah kambing laktasi. Jumlah kambing laktasi dan periode pemerahan dapat dilihat pada Lampiran 6. Produksi rata-rata susu kambing setiap ekor kambing laktasi yang dihasilkan di Peternakan Prima Fit sebesar 0,66 liter per hari namun dari keseluruhan jumlah produksi susu terdapat dua liter susu yang tidak dijual per minggu untuk diberikan pada konsumen yang datang ke peternakan. Susu kambing Prima Fit dihargai sebesar Rp 100.000,00 per liter pada konsumen akhir dan Rp 50.000,00 per liter pada distributor. Selain menjual susu kambing, peternakan Prima Fit juga menjual kolostrum kambing, anak kambing, kambing dara, dan kambing afkir. Kolostrum merupakan susu pertama yang dihasilkan oleh induk sehingga memiliki kadungan gizi yang tinggi. Selain itu kolostrum yang diambil dari setiap induk hanya sebanyak 0,2 liter sehingga harga kolostrum ini cukup mahal yakni Rp 5.000.000,00 per liter. Anak kambing yang dijual terdiri jantan dan betina dengan persentase penjualan terhadap kelahiran masing-masing sebanyak 100 persen dan 20 persen. Anak kambing dijual pada umur tiga bulan dengan harga Rp 3.250.000,00 per ekor untuk anak kambing jantan dan Rp 3.000.000,00 per ekor untuk anak kambing betina. Kambing dara dijual pada umur 1 tahun 4 bulan dimana pada umur tersebut, kambing dara telah siap untuk dikawinkan. Jumlah kambing dara yang dijual sebanyak 28 persen per tahun dengan harga jual sebesar Rp 6.000.000,00 per ekor. Kambing afkir adalah kambing jantan maupun betina yang sudah tidak produktif lagi. Kambing betina yang telah afkir tidak dapat memproduksi susu kembali. Kambing afkir dijual sebagai kambing potong dengan harga Rp 17.500,00 per kilogram berat hidup. Kambing jantan afkir rata-rata memiliki bobot badan 50 Kg sedangkan kambing betina afkir rata-rata memiliki bobot badan 30 Kg. Jumlah populasi kambing perah yang dimiliki oleh peternakan Prima Fit akan semakin bertambah dari tahun ke tahun akibat adanya proses reproduksi. Dengan semakin bertambahnya jumlah populasi tentu akan bertambah pula 95

jumlah penerimaan karena penerimaan pada pengembangan usaha ternak kambing perah ditentukan terutama oleh jumlah populasi kambing perah. Adapun proyeksi arus masuk pada skenario I dan skenario II dapat dilihat masing-masing pada Lampiran 7. 7.1.2 Arus Keluar (Outflow) Outflow adalah aliran kas yang dikeluarkan oleh suatu usaha. Outflow berupa biaya-biaya yang dikeluarkan baik saat usaha tersebut sedang dibangun maupun saat usaha tersebut sedang berjalan. Outflow terdiri biaya investasi, dan biaya operasional. Biaya operasional terbagi ke dalam biaya tetap dan biaya variabel. 7.1.2.1 Biaya Investasi Biaya investasi adalah biaya-biaya yang dikeluarkan pada awal pendirian usaha dengan umur ekonomis lebih dari satu tahun. Biaya investasi dikeluarkan pada tahun pertama usaha. Barang-barang investasi yang telah habis masa pakainya sebelum periode usaha berakhir harus dibeli kembali atau direinvestasi. Beberapa biaya investasi berupa peralatan telah diuraikan pada aspek teknis. Total luas lahan yang dimiliki oleh peternakan Prima Fit sebesar 10.000 m 2 atau 1 ha namun karena lahan tersebut juga digunakan untuk bangunan-bangunan yang tidak berkaitan dengan usaha ternak kambing perah maka total luas lahan yang digunakan untuk peternakan kambing perah sebesar 8.529 m 2. Lahan tidak mengalami penyusutan sehingga nilai sisa pada akhir umur usaha merupakan nilai beli lahan tersebut pada awal umur usaha. Jumlah kambing perah saat ini sebanyak 141 ekor. Kambing perah juga merupakan investasi pada pengembangan usaha ternak ini di awal umur usaha. Kadang I, II, III, dan IV merupakan kandang yang dibangun pada tahun pertama usaha baik pada skenario I maupun skenario II. Namun pada skenario I, kandang yang dibuat hanya berkapasitas 85 ekor, sedangkan pada skenario II, kandang yang dibuat berkapasitas hingga 130 ekor. Pada skenario I, tidak dibangun kandang V karena kapasitas kandang masih mencukupi hingga akhir periode usaha. Pada skenario II, kandang V dibangun pada tahun ketiga. Bibit rumput gajah juga digolongkan ke dalam biaya investasi yang harus diganti pada tahun kelima. Jumlah bibit rumput gajah yang digunakan 96

sebanyak 40 batang per m 2 dengan harga Rp 50,00 per batang. Luas lahan yang digunakan untuk ladang rumput gajah ini sebanyak 5.400 m 2. Namun untuk skenario II ladang rumput yang digunakan pada tahun ketiga hanya seluas 5.000 m 2 karena 400 m 2 telah digunakan untuk pembangunan kandang V sehingga reinvestasi bibit rumput di tahun kelima hanya dilakukan untuk 5.000 m 2. Komponen investasi yang masih dapat digunakan pada akhir periode usaha atau umur teknisnya belum habis maka komponen tersebut masih memiliki nilai sisa. Nilai sisa juga terdapat pada komponen investasi yang telah direinvestasi namun masih memiliki umur teknis di akhir periode usaha. Nilai sisa akan dihitung sebagai inflow di akhir periode usaha. Nilai sisa dari masing-masing skenario berbeda-beda. Nilai sisa pada skenario I sebesar Rp 622.249.714,00 sedangkan nilai sisa pada skenario II sebesar Rp 669.649.714,00. Pada akhir periode usaha, jumlah kambing perah telah meningkat cukup banyak, namun karena periode usaha telah berakhir maka kambing tersebut tidak dapat digunakan lagi sebagai penghasil susu kambing pada usaha ternak ini. Meskipun demikian kambing perah ini dapat dijual sebagai kambing potong dengan harga per kilogram berat hidup sebesar Rp 17.500,00 sehingga kambing memiliki nilai sisa. Rincian jumlah kambing masing-masing status, total berat hidupnya, dan total nilai sisa kambing tersebut dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14. Nilai Sisa Kambing Perah pada Akhir Periode Usaha di Peternakan Prima Fit Status Jumlah Total Berat Hidup Total Nilai Skenario I Skenario II Skenario I Skenario II Skenario I Skenario II anak < 3 bulan 54 54 378 378 9450000 9450000 > 3 bulan 3 3 39 39 971942 971942 Dara < 12 bulan 54 63 816 949 20400000 23715739 > 12 bulan 22 22 444 444 11112000 11112000 Induk 75 179 2254 5374 56352144 134359673 Jantan Dewasa 24 24 1200 1200 30000000 30000000 Total 128286086 209609355 Pada Lampiran 8, dapat dilihat rincian seluruh biaya investasi yang digunakan dalam pengembangan usaha ternak baik pada skenario I maupun skenario II. Selain itu nilai sisa dari masing-masing komponen biaya investasi diakhir umur usaha pada skenario I dan skenario II juga dapat dilihat pada 97

Lampiran 8. Pada komponen biaya investasi yang memiliki umur teknis kurang dari lima tahun akan dilakukan reinvestasi. Jadwal reinvestasi pada skenario I dan skenario II juga dapat dilihat pada Lampiran 8. 7.1.2.2 Biaya Operasional Biaya operasional merupakan biaya yang dikeluarkan selama usaha berjalan dimana biaya ini terdiri dari biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap adalah biaya yang jumlahnya tidak ditentukan oleh banyaknya output. Sedangkan biaya variabel adalah biaya yang jumlahnya ditentukan oleh banyaknya ouput, semakin banyak ouput maka akan semakin banyak biaya yang dikeluarkan. A. Biaya Tetap Biaya tetap terdiri dari biaya pembayaran listrik, pulsa telepon, transportasi, pemeliharaan bangunan dan lokasi peternakan, pajak kendaraan, biaya dokter hewan, sewa lahan, pembelian alat tulis kantor, dan beberapa peralatan yang memiliki umur ekonomis kurang dari satu tahun. Selain peternakan kambing perah, peternakan Prima Fit juga memiliki unit usaha sapi perah dan kuda pacu sehingga terdapat beberapa biaya yang digunakan bersama. Hal ini menyebabkan perlunya perhitungan joint cost. Joint cost untuk masing-masing unit usaha dihitung berdasarkan pendapatan yang diperoleh saat ini dari masing-masing unit usaha karena mencerminkan kontribusi masing-masing unit usaha pada pendapatan Peternakan Prima Fit. Peternakan Prima Fit. Perhitungan joint cost dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15. Perhitungan Joint Cost Jenis Usaha Pendapatan/hari (Rp) Joint cost (%) Kambing Perah 2.100.000 76,4 Sapi Perah 50.000 1,8 Kuda Tunggang 600.000 21,8 Total 100 Biaya listrik merupakan biaya yang dikeluarkan secara bersamaan oleh unit usaha lainnya sehingga perlu adanya perhitungan joint cost. Total biaya listrik pada skenario I sebesar Rp 140.000,00 per bulan tetapi dengan perhitungan joint cost maka biaya listrik menjadi Rp Rp 106.960,00 per bulan. Sedangkan pada skenario II, total biaya listrik sebesar Rp 160.000,00 per bulan 98

tetapi dengan perhitungan joint cost maka biaya listrik menjadi Rp 122.240,00 per bulan. Biaya pulsa telepon digunakan untuk menghubungi konsumen atau mempromosikan susu kambing Prima Fit pada calon konsumen. Biaya Transportasi terdiri dari biaya bahan bakar, tol, dan biaya perjalanan lain-lain. Biasanya biaya transportasi dikeluarkan ketika pemilik atau karyawan membeli obat-obatan, styrofoam, dry ice, dan ampas tempe. Biaya pemeliharaan bangunan dan lokasi peternakan dikeluarkan untuk memperbaiki bangunan dan kandang yang rusak, jalan peternakan dan lain-lain. Lahan untuk ladang rumput merupakan lahan yang disewa oleh pemilik karena lahan ladang rumput yang dimiliki sudah tidak mencukupi kebutuhan seluruh kambing perah. Lahan yang disewa seluar 5.000 m 2 dengan harga sewa Rp 1.000 per m 2 per tahun. Luas lahan yang disewa untuk menanam rumput gajah akan sama baik pada skenario I maupun skenario II. Alat tulis kantor terdiri dari pulpen, kertas, tinta isi ulang, spidol, lakban, dan peralatan lainnya. Biaya tenaga kerja terdiri dari gaji, konsumsi, THR, dan tunjungan kesehatan karyawan. Jumlah manajer kandang dan penanggung jawab kandang akan tetap sama meskipun jumlah populasi kambing perah semakin banyak. Sedangkan jumlah anak kandang akan semakin banyak dengan bertambahnya jumlah populasi kambing perah karena setiap penambahan jumlah populasi kurang lebih 50 ekor maka akan ada penambahan jumlah anak kandang sebanyak satu orang. Seluruh karyawan menerima gaji per bulan dengan jumlah yang berbedabeda namun gaji pemilik tidak diperhitungkan dalam analisis. Biaya konsumsi karyawan sebesar Rp 5.000,00 untuk sekali makan. Setiap karyawan makan tiga kali dalam satu hari sehingga dalam satu tahun setiap karyawan makan sebanyak 1.080 kali. THR diberikan pada setiap karyawan sebanyak satu bulan gaji. Namun bagi karyawan yang tidak pulang akan memperoleh THR sebanyak dua bulan gaji. Jumlah karyawan yang tidak pulang mencapai 75 persen dari seluruh jumlah karyawan. Selain konsumsi dan THR, karyawan juga memperoleh tunjangan untuk biaya kesehatan sebesar Rp 50.000,00 per bulan per orang jika sakit. Rata-rata jumlah karyawan yang sakit dalam sebulan 99

sebanyak 10 persen dari jumlah seluruh karyawan. Gaji, THR, dan Konsumsi manajer kandang juga dihitung dengan menggunakan joint cost dimana gaji dan THR manajer kandang setelah perhitungan joint cost sebesar Rp 1.146.000,00 sedangkan konsumsi karyawan sebesar Rp 3.820,00. Rinciay biaya karyawan dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16. Rincian Biaya Karyawan per Tahun (Rupiah) Skenario I N Tahun BIAYA TETAP o 1 2 3 4 5 1 Gaji 27.252.000 34.152.000 34.152.000 37.452.000 41.052.000 2 THR 5.217.667 5.217.667 5.217.667 5.393.143 6.030.500 3 Konsumsi Karyawan 20.775.600 31.125.600 31.125.600 36.075.600 41.475.600 4 Biaya Kesehatan Karyawan 400.000 600.000 600.000 600.000 600.000 Skenario II N Tahun BIAYA TETAP o 1 2 3 4 5 1 Gaji 29.652.000 37.752.000 40.452.000 44.652.000 48.252.000 2 THR 5.393.143 5.393.143 6.030.500 6.659.556 7.282.800 3 Konsumsi Karyawan 24.375.600 36.525.600 40.575.600 46.875.600 52.275.600 4 Biaya Kesehatan Karyawan 400.000 600.000 600.000 600.000 600.000 Rincian biaya tetap selain biaya untuk karyawan pada skenario I dan skenario II dapat dilihat pada Lampiran 9. B. Biaya Variabel Biaya variabel tidak hanya dipengaruhi oleh jumlah susu kambing yang dihasilkan tetapi juga dipengaruhi oleh jumlah kambing yang ada di peternakan Prima Fit karena jumlah susu yang dihasilkan akan ditentukan oleh populasi kambing yang ada di Peternakan. Ampas tempe diperoleh dari dua tempat yakni pabrik tempe skala besar dan pabrik tempe skala rumah tangga. Ampas tempe yang diperoleh dari pabrik tempe skala besar dibeli dengan harga Rp 7.000,00 per karung dengan berat 35 kg per karung sehingga harga per kilogram sebesar Rp 200,00. Sedangkan ampas tempe yang diperoleh dari pabrik skala rumah tangga dibayar dengan menggunakan dua ayakan tempe setiap satu bulan sekali per pabrik skala rumah tangga. Ayakan tersebut dibeli dengan harga Rp 7.000,00. Dimana setiap rumah memberikan ampas tempe sekitar 20 kg per dua hari atau 300 kg per bulan sehingga biaya yang dikeluarkan sebanyak Rp 14.000,00 per 300 kg ampas tempe. 78 persen ampas 100

tempe dibeli dari pabrik tempe skala besar sedangkan sisanya diminta dari pabrik tempe skala rumah tangga. Susu sapi digunakan sebagai susu pengganti bagi anak kambing karena susu induk kambing tersebut diperah untuk kemudian dijual. Susu sapi ini diperoleh dari sapi di Peternakan Prima Fit, meskipun pada kenyataannya peternakan tidak mengeluarkan biaya untuk memperoleh susu sapi, tetap saja biaya susu sapi perlu diperhitungkan. Biaya susu sapi diperhitungkan sesuai dengan harga susu sapi jika susu sapi tersebut dijual yakni sebesar Rp 5.000,00 per liter dengan pemberian 0,5 liter per hari per ekor anak kambing. Obat-obatan terdiri atas obat jenis biosalamin dan hematopan yang diberikan untuk kambing yang baru melahirkan, serta ivomec dan vitamin B kompleks untuk kambing yang sedang sakit. Tabel 17 merupakan rincian dari harga dan penggunaan masing-masing obat. Tabel 17. Rincian Harga dan Penggunaan Obat-obatan. Jenis Obat Harga/botol (Rp) Kapasitas/botol (ml) Harga/ml (Rp) Penggunaan/ekor/bulan (ml) Biaya Obat per ekor/bulan Dewasa & Dara Anak Dewasa & Dara Anak Biosalamin 100.000 50 2.000 2,5-5000 - Hamatopan 100.000 50 2.000 2,5-5000 - Vitamin B 600 60 kompleks 60.000 500 120 5 0,5 Ivomec 400.000 50 5.000 1,5 0,15 7500 750 Plastik kemasan yang digunakan oleh peternakan Prima Fit terdiri dari dua ukuran namun harga dari kedua jenis plastik ini sama yakni Rp 23.000,00/pack. Setiap pack plastik berisi 300 lembar plastik sehingga biaya kemasan plastik sebesar Rp 153,00 per kemasan 200 ml. Selain plastik kemasan, peternakan Prima Fit juga menggunakan styrofoam untuk mengemas susu agar tidak cepat mencair. Styrofoam yang digunakan terdiri dari dua ukuran yakni styrofoam berkapasitas empat liter dan styrofoam berkapasitas 10 liter. Styrofoam berkapasitas empat liter digunakan untuk susu kambing yang dibeli di peternakan dan kolostrum sedangkan styrofoam berkapasitas 10 liter digunakan untuk susu kambing yang dikirimkan pada konsumen. Terdapat 90 persen susu kambing yang dikirimkan pada konsumen, sisanya dibeli langsung di peternakan. Harga styrofoam berkapasitas empat liter sebesar Rp 6.000,00 101

sedangkan harga styrofoam berkapasitas 10 liter sebesar Rp 12.000,00. Untuk menjaga agar suhu dalam styrofoam tetap dingin maka peternakan menggunakan dry ice dengan harga Rp 8.000,00 per Kg. Dry ice hanya digunakan untuk susu kambing yang dikirimkan dan kolostrum dengan jumlah penggunaan dry ice sebanyak 0,5 Kg per liter susu sehingga dalam satu styrofoam berkapasitas 10 liter diperlukan dry ice sebanyak lima kg sedangkan untuk kolostrum diperlukan dua kg dry ice tiap styrofoam. Setiap minggu kambing diberi air minum dengan campuran lima liter air, 240 mililiter molase, dan 30 gram garam. Campuran tersebut dapat digunakan untuk empat ekor kambing dara dan dewasa sedangkan untuk anak kambing memerlukan setengah campuran tersebut sehingga untuk satu ekor kambing dara dan dewasa memerlukan dua gram garam dan 17 mililiter molase sedangkan anak kambing memerlukan satu gram garam dan 8,5 mililiter molase. Biaya untuk garam sebesar Rp 1.500,00 per 250 gram atau sebesar Rp 6,00 per gram sedangkan biaya untuk molase sebesar Rp 1.400,00 per liter atau sebesar Rp1,40 per mililiter. Untuk mencetak merek pada plastik kemasan digunakan cetakan merek. Cetakan ini membutuhkan cat dan tinner. Jumlah penggunaan cat dan tinner bergantung pada jumlah plastik kemasan yang digunakan. Untuk satu liter cat dengan harga Rp 45.000,00 dapat digunakan untuk sekitar 25.200 kemasan sedangkan satu liter tinner dengan harga Rp 55.000,00 dapat digunakan untuk sekitar 12.600 kemasan susu kambing sehingga biaya cat per kemasan sebesar Rp 1,80 sedangkan biaya tinner per kemasan susu kambing sebesar Rp 4,40. Jumlah susu kambing dan populasi kambing perah yang meningkat menyebabkan biaya variabel akan meningkat. Lampiran 11 berisi tentang rincian biaya variabel yang digunakan baik skenario I maupun skenario II. 7.2 Harga Pokok Produk Harga pokok produk berguna untuk mengetahui biaya per unit produk dari masing-masing produk yang dihasilkan oleh peternakan Prima Fit sehingga keuntungan setiap produk dapat diketahui. Produk yang dihasilkan oleh peternakan Prima Fit terdiri dari lima jenis yakni susu kambing sebagai produk 102

utama, kolostrum kambing, anak kambing (jantan dan betina), kambing dara, dan kambing afkir sebagai produk sampingan. Harga pokok produk masing-masing produk dapat dihitung dengan memperhitungkan biaya masing-masing produk. Namun karena banyak biaya yang digunakan bersama maka diperlukan perhitungan joint cost pada masing-masing produk. Perhitungan joint cost didasarkan pada proporsi kontribusi penerimaan yang diperoleh dari masingmasing produk setiap tahunnya. Seluruh biaya tetap masing-masing produk dihitung berdasarkan joint cost produk. Biaya variabel masing-masing produk pun dihitung dengan menggunakan joint cost namun terdapat beberapa biaya variabel yang tidak dihitung berdasarkan joint cost yakni plastik kemasan, styrofoam,cat cetakan merek, tinner, dan dry ice. Biaya plastik kemasan, styrofoam, cat cetakan merek, tinner, dan dry ice hanya dikenakan pada susu dan kolostrum kambing sesuai dengan jumlah produksi masing-masing produk. Harga pokok produk hanya dihitung pada kondisi skenario II karena perhitungan harga pokok produk hanya dilakukan untuk melihat biaya per unit produk ketika terjadi pengembangan usaha. Dari hasil perhitungan pada Tabel 18 dapat diketahui bahwa hampir seluruh produk memiliki nilai harga pokok produk yang lebih rendah dari pada nilai jualnya kecuali kambing afkir pada tahun pertama yang memiliki harga pokok produk lebih besar dari pada nilai jualnya. Hal ini menyatakan bahwa penjualan seluruh produk tersebut menguntungkan bagi peternakan kecuali pada harga pokok produk kambing afkir di tahun pertama. Harga pokok produk susu kambing pada tahun pertama sebesar Rp 63.813,00 per liter. Nilai ini lebih rendah dibandingkan harga jualnya sehingga penetapan harga sebesar Rp 100.000,00 per liter akan memberikan keuntungan bagi peternakan. Harga pokok produk juga semakin menurun dari tahun ke tahun hal ini menyatakan bahwa penjualan susu kambing akan semakin menguntungkan. Harga pokok produk kolostrum pada tahun pertama sebesar Rp 4.066.822,00 per liter. Nilai ini lebih rendah dibandingkan dengan harga jual kolostrum sebesar Rp 5.000.000,00 per liter. Harga pokok produk kolostrum pada tahun kedua hingga kelima mengalami penurunan di bawah harga jual kolostrum 103

karena jumlah produksi yang semakin banyak. Artinya penetapan harga kolostrum sebesar Rp 5.000.000,00 per liter semakin menguntungkan dari tahun ke tahun. Harga pokok produk anak kambing baik jantan maupun betina lebih rendah bila dibandingkan dengan harga jual yang telah ditetapkan yakni sebesar Rp 3.250.000,00 untuk anak kambing jantan dan Rp 3.000.000,00 untuk anak kambing betina. Harga pokok produk anak kambing betina pada tahun pertama belum ada karena belum ada anak betina yang dijual pada tahun pertama. Harga pokok produk anak kambing baik jantan maupun betina telah memberikan keuntungan bagi pengembangan usaha ternak kambing perah tetapi keuntungan per ekor terbesar terdapat pada anak kambing betina karena biaya yang dibutuhkan tergolong rendah. Tabel 18. Perhitungan Harga Pokok Produk Masing-masing Produk Prima Fit dengan Pengembangan Usaha Jenis Produk Susu Kambing Kolostru m Kambing Anak Kambing Jantan Anak Kambing Betina Kambing Dara Kambing Afkir Uraian Tahun 1 2 3 4 5 Total Biaya Tetap (Rp) 307.181.466 228.421.588 224.277.086 223.354.869 220.762.404 Total Biaya Variabel (Rp) 100.739.372 170.083.608 184.537.783 206.256.002 222.348.766 Jumlah Produksi (liter) 6392,40 10412,59 11218,53 13214,17 15400,80 Harga Pokok Produk (Rp/liter) 63.813 38.271 36.441 32.511 28.772 Total Biaya Tetap (Rp) 24.999.278 31.893.686 32.058.768 33.423.427 33.161.769 Total Biaya Variabel (Rp) 11.602.121 20.810.174 23.123.700 26.850.686 28.715.727 Jumlah Produksi (liter) 9,00 25,15 27,74 34,21 40,02 Harga Pokok Produk (Rp/liter) 4.066.822 2.095.414 1.989.102 1.761.933 1.546.075 Total Biaya Tetap (Rp) 19.860.538 65.785.483 61.596.565 62.835.441 61.455.669 Total Biaya Variabel (Rp) 91.722 425.975 440.934 500.739 527.493 Jumlah Produksi (ekor) 11 80 82 99 114 Harga Pokok Produk (Rp/ekor) 1.813.842 829.562 756.509 640.133 543.201 Total Biaya Tetap (Rp) 0 12.145.012 11.371.673 11.600.389 10.947.943 Total Biaya Variabel (Rp) 0 78.641 81.403 92.444 93.969 Jumlah Produksi (ekor) 0 16 16 20 22 Harga Pokok Produk (Rp/ekor) - 765.749 698.316 590.892 501.417 Total Biaya Tetap (Rp) 0 11.929.699 23.860.421 21.873.046 21.802.901 Total Biaya Variabel (Rp) 0 7.724.725 17.080.307 17.430.746 18.714.087 Jumlah Produksi (ekor) 0 8 17 19 22 Harga Pokok Produk (Rp/ekor) - 2.506.942 2.379.367 2.106.764 1.847.735 Total Biaya Tetap (Rp) 416.655 2.282.468 3.293.424 3.370.766 8.327.251 Total Biaya Variabel (Rp) 192.424 1.477.945 2.357.574 2.686.181 7.147.531 Jumlah Produksi (kg) 30 360 570 690 2.010 Harga Pokok Produk (Rp/kg) 20.303 10.446 9.914 8.778 7.699 Harga pokok produk kambing dara pada tahun pertama belum ada karena belum ada penjualan kambing dara. Namun harga pokok produk kambing dara pada tahun kedua hingga kelima semakin menurun hingga di bawah harga jual per 104

ekor. Nilai ini mengindikasikan bahwa penetapan harga kambing dara sebesar Rp 6.000.000,00 per ekor memberikan keuntungan yang cukup besar bagi pengembangan usaha ternak kambing perah. Harga pokok produk kambing afkir dihitung per kg berat badan. Harga pokok produk kambing afkir pada tahun pertama cukup tinggi yakni sebesar Rp 20.303,00 per kg berat badan. Nilai ini bahkan lebih tinggi dibandingkan harga jualnya sebesar Rp 17.500,00 per kg berat badan. Hal ini disebabkan hanya terdapat satu ekor kambing afkir yang dijual pada tahun pertama. Namun harga pokok produk kambing afkir pada tahun kedua hingga ke lima mengalami penurunan sehingga penetapan harga kambing afkir sebesar Rp 17.500,00 per kg berat badan memberikan keuntungan bagi pengembangan usaha ternak kambing perah. 7.3 Analisis Laba Rugi Analisis laba rugi digunakan untuk mengetahui perkembangan profitabilitas usaha ternak kambing perah di Peternakan Prima Fit. Proyeksi laba rugi juga digunakan untuk menentukan besar pajak yang harus dibayarkan oleh peternakan. Proyeksi laba rugi baik pada skenario I maupun skenario II dapat dilihat pada Lampiran 12. Pada skenario I total akumulasi pajak selama 5 tahun yakni sebesar Rp 654.719.061,00. Sedangkan total akumulasi laba bersih setelah pajak yang diperoleh sebesar Rp 1.834.606.299,00 atau 37 persen dari total akumulasi penerimaan selama umur usaha. Pada skenario II total akumulasi pajak selama 5 tahun yakni sebesar Rp 1.132.854.606,00. Sedangkan total akumulasi laba bersih setelah pajak yang diperoleh sebesar Rp 3.398.563.819,00 atau 45 persen dari total akumulasi penerimaan selama umur usaha. Nilai ini memperlihatkan bahwa jumlah pajak yang diberikan oleh usaha ternak kambing perah di peternakan Prima Fit pada kondisi dengan adanya pengembangan lebih besar dibandingkan dengan jumlah pajak yang diberikan pada kondisi tanpa adanya pengembangan. Meskipun demikian, jumlah laba yang dihasilkan ada kondisi dengan adanya pengembangan jauh lebih besar dibandingkan dengan kondisi tanpa adanya pengembangan. 105

7.4 Analisis Kelayakan Investasi Dalam menganalisis kelayakan investasi pengembangan usaha ternak kambing perah di peternakan Prima Fit digunakan kriteria investasi seperti NPV, IRR, Net B/C, dan PBP. Analisis kelayakan investasi skenario I dan skenario II dapat dilihat melalui cashflow yang tertera pada Lampiran 13. 7.4.1 Net Present Value (NPV) Perhitungan NPV dilakukan untuk mengetahui nilai kini manfaat bersih yang diperoleh selama periode usaha. Pada skenario I NPV yang diperoleh sebesar Rp 1.293.372.706,00 artinya usaha ternak kambing perah di peternakan Prima Fit tanpa adanya pengembangan akan menghasilkan manfaat bersih tambahan sebesar Rp 1.293.372.706,00 atau 28 persen dari akumulasi nilai kini inflow yang diperoleh selama umur usaha. Sedangkan NPV pada skenario II diperoleh sebesar Rp 2.636.267.980,00 artinya usaha ternak kambing perah di peternakan Prima Fit dengan adanya pengembangan akan menghasilkan manfaat bersih tambahan sebesar Rp 2.636.267.980,00 atau 39 persen dari akumulasi nilai kini inflow yang diperoleh selama umur usaha. Nilai ini lebih besar dibandingkan dengan kondisi tanpa adanya pengembangan usaha. Informasi ini mengindikasikan bahwa peternakan akan memperoleh manfaat bersih yang lebih besar jika melakukan pengembangan usaha ternak. Dari uraian tersebut dapat diketahui bahwa usaha ternak kambing perah di peternakan Prima Fit layak untuk dilaksanakan baik pada kondisi tanpa pengembangan dan dengan adanya pengembangan usaha ternak karena NPV lebih besar dari nol. 7.4.2 Internal Rate of Return (IRR) Untuk mengetahui kelayakan suatu usaha melalui nilai IRR, maka IRR harus dibandingkan dengan cost of capital. Nilai cost of capital yang digunakan sebesar 6,0 persen. Dari hasil perhitungan, pada skenario I usaha ternak kambing perah di Peternakan Prima Fit memiliki nilai IRR sebesar 30 persen artinya tingkat pengembalian usaha ternak tanpa adanya pengembangan usaha terhadap investasi yang ditanamkan sebesar 30 persen. Sedangkan pada skenario II usaha ternak ini memiliki nilai IRR sebesar 55 persen artinya tingkat pengembalian 106

usaha ternak dengan adanya pengembangan usaha terhadap investasi yang ditanamkan sebesar 55 persen. Jika dibandingkan, maka tingkat pengembalian usaha ternak kambing perah di peternakan Prima Fit menjadi lebih besar jika peternakan melakukan pengembangan usaha ternak. Nilai IRR yang diperoleh pada kedua skenario memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan dengan nilai cost of capital yang telah ditentukan sehingga pengembangan usaha ternak kambing perah di Peternakan Prima Fit layak untuk dilaksanakan. 7.4.3 Net Benefit Cost Ratio (Net B/C) Net B/C yang diperoleh dari hasil analisis pada skenario I yakni sebesar 1,77. Hal ini berarti setiap tambahan biaya sebesar Rp 1,00 dapat menghasilkan tambahan manfaat bersih sebesar Rp 1,77. Sedangkan pada skenario II dihasilkan nila Net B/C sebesar 2,67, artinya setiap tambahan biaya sebesar Rp 1,00 dapat menghasilkan tambahan manfaat bersih sebesar Rp 2,67. Informasi ini menyatakan bahwa dengan adanya pengembangan usaha ternak kambing perah di Peternakan Prima Fit menyebabkan manfaat bersih per satuan biaya yang diperoleh menjadi semakin tinggi. Nilai Net B/C pada kedua skenario pun lebih besar dari 1 sehingga usaha ternak ini layak untuk dilaksanakan baik ketika tidak ada pengembangan usaha maupun dengan pengembangan usaha. 7.4.4 Payback Period (PBP) PBP digunakan untuk melihat jangka waktu pengembalian modal. PBP pada usaha ternak kambing perah di peternakan Prima Fit pada skenario I yakni selama tiga tahun, enam bulan, dan 24 hari. Informasi ini menyatakan bahwa seluruh biaya investasi dapat dikembalikan dalam jangka waktu tiga tahun, enam bulan, dan 24 hari. Bila dibandingkan dengan umur usaha yakni selama lima tahun, maka jangka waktu pengembalian modal usaha lebih cepat daripada umur usaha sehingga usaha ternak kambing perah di Peternakan Prima Fit layak untuk dilaksanakan. Sedangkan pada skenario II diperoleh PBP selama dua tahun, 11 bulan, 16 hari. Informasi ini menyatakan bahwa seluruh biaya investasi dapat dikembalikan dalam jangka waktu dua tahun, 11 bulan, dan 16 hari. Bila dibandingkan dengan umur usaha yakni selama lima tahun, maka jangka waktu pengembalian modal usaha lebih cepat daripada umur usaha sehingga 107

pengembangan usaha ternak kambing perah di Peternakan Prima Fit layak untuk dilaksanakan jika peternakan melakukan pengembangan usaha. 7.4.5 Incremental Net Benefit (INB) Analisis kriteria investasi untuk melihat kelayakan pengembangan usaha ternak kambing perah di peternakan Prima Fit melalui tambahan manfaat yang diperoleh juga dapat dilakukan. Berdasarkan penggolongan jenis manfaat bersih (Gittinger 1982 diacu dalam Nurmalina et al 2009), peningkatan manfaat bersih melalui penambahan populasi kambing perah di peternakan Prima Fit merupakan peningkatan manfaat bersih yang tidak terlalu besar. Artinya tanpa adanya pengembangan usaha pun proses produksi di peternakan Prima Fit akan meningkat namun dengan laju yang relatif lambat karena sebenarnya jumlah populasi kambing akan terus bertambah karena proses reproduksi. Namun peningkatan jumlah populasi relatif lambat jika dibandingkan dengan kondisi ketika dilakukan penambahan jumlah populasi kambing perah. Kelayakan tambahan manfaat bersih ini dihitung dengan menggunakan incremental net benefit (INB). Menurut hasil perhitungan (Lampiran 14) diperoleh NPV INB sebesar Rp 1.342.895.274,00. Hal ini berarti dengan adanya pengembangan usaha ternak, peternakan Prima Fit mampu memperoleh tambahan manfaat bersih selama umur usaha sebesar Rp 1.342.895.274,00. Nilai ini lebih besar dari nol sehingga pengembangan usaha layak untuk dilaksanakan. Nilai IRR INB dan Net B/C INB tidak dapat diketahui karena tidak terdapat nilai INB negatif. Tidak adanya nilai INB negatif disebabkan oleh nilai net benefit negatif pada skenario I lebih tinggi daripada net benefit negatif pada skenario II. Payback period INB selama tujuh bulan, 12 hari. Informasi ini memperlihatkan bahwa tambahan investasi pada saat terjadi pengembangan usaha dapat dikembalikan pada bulan ketujuh dan hari ke-12. 7.5 Analisis Switching value Hasil dari analisis kelayakan menyatakan bahwa baik skenario I maupun skenario II layak untuk dilaksanakan sehingga tahap selanjutnya yang dilakukan adalah melakukan analisis switching value pada skenario I. Setelah diperoleh 108

switching value pada skenario I maka nilai ini digunakan untuk melakukan analisis sensitivitas pada skenario II. Analisis switching value merupakan bagian dari analisis sensitivitas yang digunakan untuk melihat perubahan maksimal yang masih ditoleransi agar pengembangan usaha ternak kambing perah di Peternakan Prima Fit masih layak untuk dijalankan. Analisis ini juga digunakan untuk melihat kondisi kelayakan pada skenario I paling sensitif dipengaruhi oleh variabel apa. Perhitungan dilakukan dengan mengubah masing-masing variabel dengan melihat kelayakan usaha ternak dari nilai NPV pada saat terjadi perubahan. Setelah diketahui besar perubahan yang manghasilkan nilai NPV positif dan besar perubahan yang manghasilkan nilai NPV negatif, maka digunakan metode interpolasi untuk mempermudah perhitungan. Adapun variabel yang mengalami perubahan antara lain harga susu kambing, jumlah produksi susu kambing, dan harga ampas tempe. 7.5.1 Penurunan Harga Susu Kambing Harga susu kambing Prima Fit memang cukup tinggi namun tidak menutup kemungkinan terjadi penurunan harga. Penurunan harga ini dapat terjadi karena kualitas susu yang menurun atau munculnya pesaing-pesaing baru dengan kualitas susu yang hampir sama bahkan lebih baik dari susu kambing Prima Fit yang menawarkan harga lebih rendah sehingga perlu adanya analisis switching value terhadap penurunan harga susu kambing. Penurunan harga susu terjadi pada harga di tingkat konsumen akhir dan harga di tingkat distributor dengan persentase perubahan yang sama. Penurunan harga susu pada skenario I kambing tidak boleh melebihi 69,46 persen atau harga susu kambing di tingkat konsumen akhir menjadi Rp 30.540,00 dan harga susu kambing di tingkat distributor menjadi Rp 15.270,00. Jika terjadi perubahan harga susu kambing sebesar 69,46 persen menyebabkan nilai NPV mendekati nol, IRR sebesar 6 persen, dan Net B/C sama dengan satu. Hal ini mengindikasikan bahwa jika terjadi penurunan harga susu kambing lebih dari 69,46 persen akan mengakibatkan usaha ternak Prima Fit menjadi tidak layak. Proyeksi laba rugi dan cashflow dari perhitungan switching value ini tertera pada Lampiran 15. 109

7.5.2 Penurunan Jumlah Produksi Susu Kambing Saat ini jumlah produksi susu kambing tidak berfluktuatif namun penurunan jumlah susu yang diproduksi tetap dapat terjadi jika manajemen pemeliharaan dan kualitas pakan yang diberikan kurang baik. Hal iniah yang menyebabkan analisis switching value terhadap penurunan jumlah produksi susu kambing perlu dilakukan. Penurunan jumlah produksi susu kambing pada skenario I sebesar 74,29 persen akan menghasilkan NPV mendekati nol, IRR sebesar 6 persen dan Net B/C sama dengan satu. Dengan kata lain, jika jumlah susu kambing menurun lebih dari 74,29 persen maka usaha ternak yang dijalankan menjadi tidak layak. Perbandingan jumlah produksi susu kambing pada kondisi normal dan ketika terjadi penurunan sebesar 74,29 persen dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19. Perbandingan Jumlah Produksi Susu Kambing dalam Kondisi Normal dan dalam Kondisi terjadi Penurunan Jumlah Produksi pada Skenario I (liter) Kondisi Jumlah Produksi Susu Kambing (lt) pada Tahun ke- 1 2 3 4 5 Normal 2.432,40 6.452,59 7.258,53 7.848,41 10.035,05 Penurunan jumlah produksi susu sebesar 74,29% 625,37 1.658,96 1.866,17 2.017,83 2.580,01 Jumlah susu kambing tentu dapat mempengaruhi jumlah biaya variabel. Biaya variabel yang menurun akibat adanya penurunan jumlah susu kambing antara lain plastik kemasan, styrofoam, cat cetakan kemasan, tinner, dan dry ice. Proyeksi laba rugi dan cashflow dari perhitungan switching value ini tertera pada Lampiran 16. 7.5.3 Peningkatan Harga Ampas Tempe Ampas tempe diperoleh dengan dua cara yaitu dibeli dari pabrik tempe skala besar dan diminta dari pabrik tempe skala rumah tangga. Biaya untuk ampas tempe yang dibeli dapat mengalami peningkatan karena semakin banyaknya usaha yang menggunakan ampas tempe sebagai input khususnya peternakan. Biaya ampas tempe ini menduduki posisi terbesar yakni sekitar 29 persen dari seluruh biaya operasional sehingga peningkatan harga ampas tempe dapat mempengaruhi kelayakan usaha. Untuk itu perlu dilakukan analisis switching value terhadap 110

peningkatan harga ampas tempe. Proyeksi laba rugi dan cashflow dari perhitungan switching value ini tertera pada Lampiran 17. Dapat diketahui bahwa perubahan harga ampas tempe pada skenario I tidak boleh lebih dari 630,25 persen karena akan menyebabkan nilai NPV mendekati nol, IRR sebesar 6 persen, dan Net B/C sama dengan satu. Informasi ini mengindikasikan bahwa peningkatan harga tempe diperbolehkan tetapi tidak boleh lebih dari 630,25 persen atau harga ampas tempe mencapai Rp 1.461,00 karena usaha ternak kambing perah di peternakan Prima Fit akan menjadi tidak layak. Dari hasil analisis switching value ini dapat diketahui bahwa usaha ternak kambing perah paling sensitif terhadap perubahan harga susu kambing. Perhitungan interpolasi pada perubahan masing-masing variabel dapat dilihat pada Tabel 20. Tabel 20. Hasil Perhitungan Interpolasi pada Masing-Masing Variabel Skenario I Harga Susu Kambing Jumlah Produksi Susu Kambing Harga Ampas Tempe Penurunan NPV (Rp) Penurunan NPV (Rp) Peningkatan NPV (Rp) 69% 8.545.478 74% 5.074.239 630% 520.292 70% -10.016.725 75% -12.280.670 631% -1.525.450 69,46% 74,29% 630,25% 7.6 Analisis Sensitivitas Hasil analisis sensitivitas pada skenario II dengan mengubah beberapa variabel yang berbeda menghasilkan kondisi kelayakan yang berbeda-beda pula. Jika pada skenario II harga susu kambing menurun hingga 69,46 persen maka akan diperoleh NPV sebesar Rp 473.455.544,00, IRR sebesar 14 persen, Net B/C sebesar 1,25, dan payback period selama empat tahun, lima bulan, dan 16 hari. Hasil analisis ini menunjukan bahwa meskipun terjadi penurunan harga susu kambing sebesar 69,46 persen pengembangan usaha tetap layak untuk dilaksanakan padahal besar perubahan tersebut merupakan nilai maksimal perubahan yang masih dapat ditoleransi sehingga skenario I masih dapat layak untuk dilaksanakan. Proyeksi laba rugi dan cashflow dari perhitungan sensitifitas penurunan harga susu kambing dapat dilihat pada Lampiran 17. 111

Jika terjadi penurunan jumlah susu kambing hingga 74,29 persen maka akan diperoleh NPV sebesar Rp 473.455.544,00, IRR sebesar 14 persen, Net B/C sebesar 1,25 persen, dan payback period selama empat tahun, lima bulan, dan 16 hari. Hasil analisis ini menunjukan bahwa meskipun terjadi penurunan jumlah produksi susu kambing sebesar 74,29 persen pengembangan usaha tetap layak untuk dilaksanakan padahal besar perubahan tersebut merupakan nilai maksimal perubahan yang masih dapat ditoleransi sehingga skenario I masih dapat layak untuk dilaksanakan. Proyeksi laba rugi dan cashflow dari perhitungan sensitifitas penurunan jumlah produksi susu kambing dapat dilihat pada Lampiran 18. Jika terjadi peningkatan harga ampas tempe hingga 630,25 persen maka akan diperoleh NPV sebesar Rp 902.051.262,00, IRR sebesar 22 persen, Net B/C sebesar 1,50, dan payback period selama empat tahun, tujuh hari. Hasil analisis ini menunjukan bahwa meskipun terjadi peningkatan harga ampas tempe sebesar 630,25 persen pengembangan usaha tetap layak untuk dilaksanakan padahal besar perubahan tersebut merupakan nilai maksimal perubahan yang masih dapat ditoleransi sehingga skenario I masih dapat layak untuk dilaksanakan. Proyeksi laba rugi dan cashflow dari perhitungan sensitifitas peningkatan harga ampas tempe dapat dilihat pada Lampiran 19. Hasil ini memperlihatkan bahwa kondisi tanpa adanya pengembangan usaha lebih sensitif terhadap penurunan harga susu kambing, penurunan jumlah produksi susu kambing, dan peningkatan harga ampas tempe dibandingkan dengan kondisi denga pengembangan usaha. 112