BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Indonesia merupakan 5 besar negara dengan populasi. penduduk terbanyak di dunia. Jumlah penduduk yang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. I. 1. Latar Belakang. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi ternyata. membawa dampak sampingan terhadap jenis, kualitas dan

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Penelitian. Kejahatan merupakan perilaku anti sosial dan juga

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Pengertian Maksud dan Tujuan Pembuatan Visum et Repertum Pembagian Visum et Repertum

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Bukti yang dibutuhkan dalam hal kepentingan pemeriksaan suatu

KONSEP MATI MENURUT HUKUM

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio.

PERANAN DOKTER FORENSIK DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA. Oleh : Yulia Monita dan Dheny Wahyudhi 1 ABSTRAK

Lex Crimen Vol. VI/No. 2/Mar-Apr/2017. KETERANGAN AHLI DAN PENGARUHNYA TERHADAP PUTUSAN HAKIM 1 Oleh : Nixon Wulur 2

VISUM et REPERTUM dr, Zaenal SugiyantoMKes

BAB I PENDAHULUAN. terdakwa melakukan perbuatan pidana sebagaimana yang didakwakan Penuntut. tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana.

Bagian Kedua Penyidikan

PENGANTAR MEDIKO-LEGAL. Budi Sampurna

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Fenomena maraknya kriminalitas di era globalisasi. semakin merisaukan segala pihak.

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 9/Okt-Des/2016

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

KEKUATAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM MENGUNGKAP TERJADINYA TINDAK PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar belakang. Di rumah sakit Dr. Sardjito, angka kejadian kasus forensik klinik (hidup) yang dilakukan

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ABSTRAK MELIYANTI YUSUF

TINJAUAN TERHADAP LANGKAH JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM MEMBUKTIKAN PERKARA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA YANG MENGGUNAKAN RACUN

BAB I PENDAHULUAN. pribadi maupun makhluk sosial. Dalam kaitannya dengan Sistem Peradilan Pidana

BAB I PENDAHULUAN. Dalam ilmu pengetahuan hukum dikatakan bahwa tujuan hukum adalah

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. dan penyebab pertama kematian pada remaja usia tahun (WHO, 2013).

SURAT KETERANGAN MEDIS

BAB I PENDAHULUAN. peradilan adalah untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid)

BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG. Otopsi merupakan pemeriksaan yang diperlukan untuk. mengetahui penyebab kematian jenazah.

KEWENANGAN PENYIDIK POLISI TERHADAP PEMERIKSAAN HASIL VISUM ET REPERTUM MENURUT KUHAP 1. Oleh : Yosy Ardhyan 2

BAB III PENUTUP. Dari pembahasan yang telah diuraikan mengenai peranan Visum Et Repertum

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Lex Administratum, Vol. V/No. 2/Mar-Apr/2017


BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

BAB VI PENUTUP. 1. Prosedur tetap (protap) pembuatan visum et repertum. a. Pemeriksaan korban hidup. b. Pemeriksaan korban mati

BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN

I. PENDAHULUAN. adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materi terhadap perkara tersebut. Hal

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA

BAB II PENGERTIAN, KEWENANGAN DAN TUGAS PENYIDIKAN, JENIS, MENURUT HUKUM ACARA PIDANA ISLAM tentang Hukum Acara Pidana.

BAB II. 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang KUHP. yang dibuat tertulis dengan mengingat sumpah jabatan atau dikuatkan dengan

BAB I PENDAHUUAN. lainya, mengadakan kerjasama, tolong-menolong untuk memperoleh. pertikaian yang mengganggu keserasian hidup bersama.

PERANAN VISUM ET REPERTUM DALAM TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN

ALAT BUKTI SAH SURAT: PENEMUAN, PEMBUKTIAN, DAN KETERTERIMAAN Budi Sampurna 1

PERANAN KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PERKARA PIDANA PENGADILAN NEGERI

BAB V PENUTUP. pertanggungjawaban pidana, dapat disimpulkan bahwa:

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 436 / MENKES / SK / VI / Tentang

BAB I PENDAHULUAN. dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana. hubungan seksual dengan korban. Untuk menentukan hal yang demikian

RELEVANSI Skm gatra

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

MODUL FORENSIK FORENSIK KLINIK dan VeR. Penulis : Dr.dr. Rika Susanti, Sp.F Dr. Citra Manela, Sp.F Dr. Taufik Hidayat

BAB IV ANALISIS SIDIK JARI SEBAGAI SARANA PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN. A. Analisis Pembuktian Tindak Pidana Pembunuhan Dengan

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Masalah. Masalah lalu lintas melalui darat, laut, dan udara

BAB IV ANALISIS. keterangan ahli sebagai alat bukti yang sah. Malah tempatnya diletakkan pada. yang penting, artinya dalam pemeriksaan perkara pidana.

IMPLEMENTASI OTOPSI FORENSIK DI INSTALASI KEDOKTERAN FORENSIK RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR

K homo homini lupus ketidakseimbangan dalam kehidupan manusia:pembunuhan, penganiayaan pemerkosaan, pencurian, dan tindak kejahatan lainnya sering ter

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual

Lex Privatum, Vol.IV/No. 5/Juni/2016. FUNGSI OTOPSI FORENSIK DANKEWENANGAN KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA BERDASARKAN KUHAP 1 Oleh: Indra Makie 2

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan dari Hukum Acara Pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan

TINJAUAN ALUR PROSEDUR PEMBUATAN VISUM ETREPERTUM DI RUMAH SAKIT PANTI WALUYO SURAKARTA TAHUN 2010

FUNGSI DAN KEDUDUKAN VISUM ET REPERTUM DALAM PERKARA PIDANA ARSYADI / D

BAB 1 PENDAHULUAN. yang diduga meninggal akibat suatu sebab yang tidak wajar. Pemeriksaan ini

PERAN DAN KEDUDUKAN AHLI PSIKIATRI FORENSIK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA

TINJAUAN TERHADAP LANGKAH JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM MEMBUKTIKAN PERKARA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA YANG MENGGUNAKAN RACUN

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM DALAM PERKARA PENGANIAYAAN. Zulaidi, S.H.,M.Hum

PERANAN VISUM ET REPERTUM PADA KASUS PEMBUNUHAN OLEH IBU TERHADAP ANAK (BAYI)

II. TINJAUAN PUSTAKA. adalah adanya kekuasaan berupa hak dan tugas yang dimiliki oleh seseorang

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

KETERANGAN AHLI DAN PENGARUHNYA TERHADAP PUTUSAN HAKIM 1 Oleh: Stenli Sompotan 2

Kualitas Visum et Repertum Perlukaan di RSUD Indrasari Kabupaten Indragiri Hulu Periode 1 Januari Desember 2013

BAB I PENDAHULUAN. berada disekitar kita. Pemerkosaan merupakan suatu perbuatan yang dinilai

FUNGSI DAN KEDUDUKAN VISUM ET REPERTUM DALAM PERKARA PIDANA ARSYADI / D

BAB V PEMBAHASAN. Penelitian yang dilakukan pada 80 (delapan puluh) lembar putusan dari 7

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENGGUNAAN ALAT PENDETEKSI KEBOHONGAN (LIE DETECTOR) PADA PROSES PERADILAN PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. untuk selanjutnya dalam penulisan ini disebut Undang-Undang Jabatan

TINJAUAN YURIDIS PERANAN BUKTI FORENSIK DAN LAPORAN INTELEJEN PADA TAHAP PENYIDIKAN TINDAK PIDANA TERORISME DI KOTA MEDAN (STUDI DI POLRESTA MEDAN)

BAB I PENDAHULUAN. Angka kematian tidak wajar yang kadang-kadang belum. diketahui penyebabnya saat ini semakin meningkat.

BAB II ATURAN HUKUM TENTANG OTOPSI DI INDONESIA Pengaturan Otopsi menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dactyloscopy Sebagai Ilmu Bantu Dalam Proses Penyidikan

Lex Crimen Vol. IV/No. 8/Okt/2015

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ALUR PERADILAN PIDANA

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dilakukan untuk mencari kebenaran dengan mengkaji dan menelaah beberapa

PERLUNYA NOTARIS MEMAHAMI PENYIDIK & PENYIDIKAN. Dr. Widhi Handoko, SH., Sp.N. Disampaikan pada Konferda INI Kota Surakarta, Tanggal, 10 Juni 2014

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

Lex Crimen Vol. III/No. 4/Ags-Nov/2014. BEDAH MAYAT DAN AKIBAT HUKUMNYA 1 Oleh : Yukilfi Poluan 2

BAB II LANDASAN TEORI. sedangkan Repertum berarti melapor. Visum et Repertum secara. yang dilihat dan ditemukan pada benda bukti berupa badan manusia

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Indonesia merupakan 5 besar negara dengan populasi penduduk terbanyak di dunia. Jumlah penduduk yang banyak ini tentu akan menyebabkan Indonesia memiliki perilaku dan permasalahan yang juga beragam. Untuk itu dibutuhkan sebuah hukum yang dapat mengatur penduduk Indonesia agar dapat hidup dengan aman dan nyaman. Namun dalam kenyataanya, hukum yang telah dibuat tidak terlaksana dengan lancar. Kerap terjadi peristiwa pelanggaran hukum, baik pelanggaran ringan maupun pelanggaran berat, seperti menyangkut tubuh dan nyawa manusia. Profesi seorang dokter yang berkerja dan mengabdi untuk masyarakat, haruslah mampu untuk menghadapi pasien dengan kondisi apapun dan dengan masalah yang beragam. Dokter juga harus mampu untuk berhadapan dengan kasus-kasus yang berhubungan dengan hukum, seperti tindak pidana, kasus pembunuhan, kasus tenggelam, dan lain sebagainya. Selain itu dokter juga bekerja untuk melakukan pengusutan dan penyidikan, 1

2 serta penyelesaian masalah hukum hingga akhirnya pemutusan perkara di pengadilan sebagai ahli. Hal ini dilakukan untuk membantu menjelaskan jalannya peristiwa serta keterkaitan antara tindakan dalam rangkaian peristiwa tersebut. Peranan dokter untuk membantu penyidik ini sangat diperlukan dengan berbekal pengetahuan kedokteran yang dimilikinya yang terhimpun dalam kazanah Ilmu Kedokteran Forensik. Forensik berasal dari bahasa Yunani Forensis yang memiliki arti debat atau perdebatan. Ilmu Kedokteran Forensik adalah salah satu cabang ilmu kedokteran yang memberikan bantuan kepada penyidik untuk mendapatkan salah satu bukti baik untuk perkara pidana maupun perkara perdata (Budiyanto dkk, 1997). Dalam perkembangan lebih lanjut, ternyata ilmu kedokteran forensik tidak semata-mata bermanfaat dalam urusan penegakan hukum dan keadilan di lingkup pengadilan saja, tetapi juga bermanfaat dalam segi kehidupan bermasyarakat lain, misalnya dalam membantu penyelesaian klaim asuransi yang adil, baik bagi pihak yang diasuransi maupun pihak yang mengasuransi (Budiyanto dkk, 1997). Proses penegakan hukum dan keadilan merupakan suatu usaha ilmiah. Dengan demikian, di dalam

3 penyelesaian perkara pidana yang menyangkut tubuh, kesehatan, dan nyawa manusia Ilmu Kedokteran Forensik mutlak diperlukan (Idries, 2009). Hal ini dapat dilihat pada pasal-pasal yang tercantum di dalam Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), di mana terdapat dalam bentuk: Keterangan ahli, pendapat orang ahli, ahli kedokteran kehakiman, dokter, dan surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai suatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya (KUHAP Pasal 187 butir c). Dalam proses peradilan, kadang-kadang diperlukan pembuktian atau kesaksian yang harus dilakukan oleh seorang ahli medis untuk membantu hakim dalam menentukan suatu perkara. Untuk itu, sebagai seroang dokter yang menjalankan fungsinya diminta untuk membantu dalam pemeriksaan kedokteran forensik oleh penyidik, dokter tersebut dituntut oleh undang-undang untuk melakukan dengan sejujur-jujurnya serta menggunakan pengetahuan sebaik-baiknya. Penyidik membutuhkan bantuan ahli, yaitu dokter maupun ahli forensik untuk mengungkap kasus dan perkara agar menjadi lebih terang, maka pada kondisi demikian,

4 penyidik berwenang untuk meminta keterangan ahli, sesuai pasal 133 KUHAP ayat (1): Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan, ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainya. Pasal tersebut menjelaskan bahwa keterangan yang dibuat oleh dokter ahli kedokteran kehakiman disebut keterangan ahli, sedangkan yang dibuat oleh selain ahli kedokteran kehakiman disebut keterangan. Semua dokter yang mempunyai surat penugasan atau surat izin dokter dapat membuat keterangan ahli (Budiarto,1982). Kewajiban dokter untuk membuat Keterangan Ahli telah diatur dalam pasal 133 KUHAP. Keterangan Ahli ini akan dijadikan sebagai alat bukti yang sah di depan sidang pengadilan (pasal 184 KUHAP). Pengertian Keterangan Ahli adalah sesuai dengan pasal 1 butir 28 KUHAP: Keterangan Ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Surat keterangan ahli yang dibuat oleh dokter atas permintaan penyidik yang berwenang ini disebut visum et repertum (VER). Pemeriksaan medik yang dilakukan

5 terhadap manusia, baik hidup atau mati, maupun bagian atau diduga bagian dari tubuh manusia, dilakukan berdasarkan keilmuan dokter di bawah sumpah, dan untuk kepentingan peradilan. Visum et repertum sesuai dengan pasal 184 KUHAP ayat (1) yang menyebutkan bahwa keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa, merupakan alat bukti yang sah. Visum et repertum menguraikan segala sesuatu tentang hasil pemeriksaan medik, juga memuat keterangan atau pendapat dokter mengenai hasil pemeriksaan medik. Sesuai dengan KUHAP pasal 133 ayat (2), terutama untuk korban mati, permintaan keterangan ahli oleh penyidik harus dilakukan secara tertulis. Permintaan visum et repertum ini ditulis dalam Surat Permintaan Visum et Repertum (SPV), yang terdiri dari kop surat, pihak yang meminta visum, pihak yang dituju, identitas korban, dugaan penyebab kematian, permintaan apakah pemeriksaan luar dan atau pemeriksaan dalam, jabatan peminta visum, dan tanda tangan yang bersangkutan. Pada pemeriksaan dan penulisan visum et repertum jenazah, jenazah harus diberi label yang memuat identitas jenazah, dilak dengan diberi cap jabatan, yang diikatkan pada ibu jari kaki atau bagian tubuh

6 lainnya. Sesuai dalam pasal 133 KUHAP ayat (3) yang berbunyi: Mayat yang dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada rumah sakit harus diperlakukan secara baik dengan penuh peghormatan terhadap mayat tersebut dan diberi label yang memuat identitas mayat, dilak dengan diberi cap jabatan yang dilekatkan pada ibu jari kaki atau bagian lain badan mayat. Dari rincian di atas, dapat kita simpulkan bahwa penulisan visum et repertum pada jenazah sangatlah penting terutama masalah pelabelan jenazah. Namun, kenyataannya masih banyak jenazah yang data visum et repertumnya tidak lengkap dapat dilihat dari isi identitas pada label jenazah. Oleh karena itu, peneliti ingin mengetahui berapa proporsi jenazah yang berlabel yang ditangani di Instalasi Kedokteran Forensik RSUP Dr. Sardjito pada tahun 2013. I.2 Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah gambaran proporsi kasus jenazah forensik yang berlabel yang ditangani di Instalasi Kedokteran Forensik RSUP Dr. Sardjito tahun 2013?

7 I.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: I. 3.1 Tujuan umum Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proporsi kasus jenazah forensik yang berlabel yang ditangani di Instalasi Kedokteran Forensik RSUP Dr. Sardjito tahun 2013. I. 3.2 Tujuan khusus 1. Mengetahui proporsi jenazah yang berlabel dan jenazah yang tidak berlabel. 2. Mengetahui proporsi kelengkapan isi (identitas jenazah) pada label jenazah. 3. Mengetahui jenis kasus dan jenis pemeriksaan pada jenazah. 4. Mengetahui proporsi wilayah asal penyidik yang mengirim jenazah berlabel dan tidak berlabel. I.4 Keaslian Penelitian Penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan dan berkaitan dengan penelitian ini dilakukan oleh Wahyu Jati Paramita Dewi (2012) berjudul Proporsi Perlabelan Barang Bukti Jenazah yang Diperiksa di Instalasi Kedokteran Forensik RSUP Dr. Sardjito Tahun 2012. Namun, terdapat perbedaan dengan penelitian ini karena

8 pada penelitian ini data yang digunakan adalah data visum et repertum tahun 2013 sehingga hasil dari penelitian ini nantinya dapat digunakan untuk memperbaharui data yang sudah ada di tahun sebelumnya dan mengetahui kondisi terbaru tentang jenazah yang berlabel atau tidak berlabel yang ditangani di Instalasi Kedokteran Forensik di RSUP Dr. Sardjito tahun 2013, serta memberi gambaran tentang proporsi wilayah penyidik yang mengirim jenazah dalam kondisi berlabel atau tidak berlabel. I.5 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat penelitian sebagai berikut: 1. Untuk menambah ilmu pengetahuan dan pendidikan di bidang Ilmu Kedokteran Forensik terutama dalam penanganan label pada jenazah. 2. Memberikan gambaran mengenai proporsi kasus jenazah forensik yang berlabel yang ditangani di Instalasi Kedokteran Forensik RSUP Dr. Sardjito tahun 2013, yang dapat digunakan sebagai acuan selanjutnya dalam peningkatan pelayanan oleh pihak rumah sakit maupun pihak penyidik

9 kepolisian berkaitan dengan penangan label pada jenazah. 3. Sebagai bahan pertimbangan untuk penelitian selanjutnya mengenai kelengkapan administrasi penanganan label jenazah. 4. Menambah pengetahuan peneliti mengenai pentingnya pelabelan pada jenazah yang berkaitan dengan penangan jenazah di rumah sakit. 5. Sebagai bahan masukan untuk semua pihak yang terkait dalam hal kebijakan penanganan jenazah forensik.