V. KONDISI PERKEMBANGAN INDUSTRI GULA RAFINASI INDONESIA

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. Gula merupakan salah satu komoditas perkebunan strategis Indonesia baik

ANALISIS STRATEGI BERSAING GULA RAFINASI (Studi pada PT. Jawamanis Rafinasi, Cilegon, Banten) OLEH SITI FAJAR ISNAWATI H

... Hubungi Kami : Studi Potensi Bisnis dan Pelaku Utama Industri GULA di Indonesia, Mohon Kirimkan. eksemplar. Posisi : Nama (Mr/Mrs/Ms)

CUPLIKAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 643/MPP/Kep/9/2002 TENTANG TATA NIAGA IMPOR GULA.

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA. NOMOR : 527/MPP/Kep/9/2004 TENTANG KETENTUAN IMPOR GULA

I. PENDAHULUAN. Di Indonesia gula merupakan komoditas terpenting nomor dua setelah

V. GAMBARAN UMUM KONDISI PERGULAAN NASIONAL, LAMPUNG DAN LAMPUNG UTARA

IX. KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. bahwa gula dibagi ke dalam tiga kelompok, yaitu gula putih (white plantation), gula

BAB I PENDAHULUAN. sangat subur dan memiliki iklim yang baik untuk perkebunan tebu. Kepala Pusat

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN. NOMOR : 643/MPP/Kep/9/2002 TENTANG TATA NIAGA IMPOR GULA

ABSTRAK DAN EXECUTIVE SUMMARY PENELITIAN PEMBINAAN PERAN INDUSTRI BERBASIS TEBU DALAM MENUNJANG SWASEMBADA GULA NASIONAL.

BAB I PENDAHULUAN. sasaran utama yaitu keseimbangan antara sektor pertanian dan industri.

-2- Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Or

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

V. GAMBARAN UMUM INDUSTRI GULA DI INDONESIA

KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INDUSTRI GULA RAFINASI DIREKTORAT JENDERAL INDUSTRI AGRO KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN JAKARTA, OKTOBER 2013

PENDAHULUAN. unik yang berbeda dengan komoditi strategis lain seperti beras. Di satu sisi gula

V. KERAGAAN INDUSTRI GULA INDONESIA

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia

I. PENDAHULUAN. sangat penting untuk mencapai beberapa tujuan yaitu : menarik dan mendorong

I. PENDAHULUAN. Indonesia menurut lapangan usaha pada tahun 2010 menunjukkan bahwa sektor

PENDAPAT KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 15/KPPU/PDPT/VII/2015 TENTANG

2015, No Perdagangan Antarpulau Gula Kristal Rafinasi; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran

2017, No Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2015 tentang Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional Tahun (Lembaran Negara Repub

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. beras, jagung dan umbi-umbian menjadikan gula sebagai salah satu bahan

BAB I PENDAHULUAN. saing nasional. Selama dua dasawarsa sebelum krisis ekonomi, peran sektor

Prarancangan Pabrik Sorbitol dari Tepung Tapioka dan Gas Hidrogen dengan Kapasitas Ton/Tahun BAB I PENDAHULUAN

I. PENDAHULUAN. sektor yang mempunyai peranan yang cukup strategis dalam perekonomian

BAB I PENDAHULUAN. Gula merupakan salah satu komoditas strategis dalam perekonomian

TINJAUAN PUSTAKA. Budidaya tebu adalah proses pengelolaan lingkungan tumbuh tanaman

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

DISAMPAIKAN OLEH : DIREKTUR JENDERAL INDUSTRI AGRO PADA RAPAT KERJA KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN TAHUN 2013 JAKARTA, FEBRUARI 2013 DAFTAR ISI

I. PENDAHULUAN. alam. Meskipun minyak bumi dan gas alam merupakan sumber daya alam

I. PENDAHULUAN. zaman penjajahan) yang sebenarnya merupakan sistem perkebunan Eropa.

Susu : Komoditi Potensial Yang Terabaikan

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan memberikan

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di

TATA NIAGA IMPOR GULA KASAR (RAW SUGAR) (Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia

I. PENDAHULUAN. penyerapan tenaga kerja dengan melibatkan banyak sektor, karena

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 61/MPP/Kep/2/2004 TENTANG PERDAGANGAN GULA ANTAR PULAU

I. PENDAHULUAN. dalam hal lapangan pekerjaan. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1.

I. PENDAHULUAN. penyumbang devisa, kakao (Theobroma cacao) juga merupakan salah satu

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian merupakan salah satu pilihan strategis untuk

Permintaan Gula Kristal Mentah Indonesia. The Demand for Raw Sugar in Indonesia

YOGYAKARTA, 9 SEPTEMBER 2017 FGD "P3GI" 2017

BAB I PENDAHULUAN. adanya keterbukaan ekonomi yang semakin luas dari setiap negara di dunia, baik. financial openness). Keuntungan dari keterbukaan

POSITION PAPER KPPU KEBIJAKAN DALAM INDUSTRI GULA. terhadap. Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia

I PENDAHULUAN. (bisnis) di bidang pertanian (dalam arti luas) dan bidang-bidang yang berkaitan

I. PENDAHULUAN. Salah satu sasaran pembangunan nasional adalah pertumbuhan ekonomi dengan

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Gula merupakan salah satu komoditi strategis bagi perekonomian Indonesia, karena merupakan salah satu dari sembilan

SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai perkebunan kelapa sawit terluas disusul Provinsi Sumatera. dan Sumatera Selatan dengan luas 1,11 juta Ha.

TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

II TINJAUAN PUSTAKA. Juni 2010] 6 Masalah Gizi, Pengetahuan Masyarakat Semakin Memprihatinkan. [10

JIIA, VOLUME 2, No. 1, JANUARI 2014

BAB I PENDAHULUAN. tebu, tembakau, karet, kelapa sawit, perkebunan buah-buahan dan sebagainya. merupakan sumber bahan baku untuk pembuatan gula.

BAB II PROFIL PERUSAHAAN. A. Sejarah Ringkas PT. Agung Sumatera Samudera Abadi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Ekonomi merupakan salah satu sektor yang memainkan peranan yang sangat

I. PENDAHULUAN. melalui nilai tambah, lapangan kerja dan devisa, tetapi juga mampu

BAB 1 PENDAHULUAN. negara yang saling membutuhkan satu sama lain. Kegiatan ini diperlukan oleh

I. PENDAHULUAN. Peran ekspor non migas sebagai penggerak roda perekonomian. komoditas perkebunan yang mempunyai peran cukup besar dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. di Pulau Jawa. Sementara pabrik gula rafinasi 1 yang ada (8 pabrik) belum

I. PENDAHULUAN. Perekonomian merupakan salah satu indikator kestabilan suatu negara. Indonesia

ANALISIS STRATEGI BERSAING GULA RAFINASI (Studi pada PT. Jawamanis Rafinasi, Cilegon, Banten) OLEH SITI FAJAR ISNAWATI H

BAB I PENDAHULUAN. kebijakan pangan nasional. Menurut Irwan (2005), kedelai mengandung protein. dan pakan ternak serta untuk diambil minyaknya.

BAB I. Indonesia tidak dapat terus menerus mengandalkan diri dari pada tenaga kerja

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan. Salah satu sumber energi utama adalah bahan bakar. Bentuk bahan bakar

PENDAHULUAN. Tebu atau Saccharum officinarum termasuk keluarga rumput-rumputan. Mulai

BAB V. Kesimpulan dan Saran. 1. Guncangan harga minyak berpengaruh positif terhadap produk domestik

BAB 3. GAMBARAN UMUM IMPOR GULA INDONESIA DAN KEBIJAKAN PENGENAAN BEA MASUK ATAS GULA (PMK No.150/PMK.011/2009)

BAB I PENDAHULUAN. Produk Domestik Bruto (PDB) yang cukup besar, yaitu sekitar 14,43% pada tahun

BAB I PENDAHULUAN. negara (Krugman dan Obstfeld, 2009). Hampir seluruh negara di dunia melakukan

I. PENDAHULUAN. Industri nasional memiliki visi pembangunan untuk membawa Indonesia

I. PENDAHULUAN. Mencermati data laporan Bank Indonesia dari berbagai seri dapat

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia Implementasi kebijakan..., Nursantiyah, FISIP UI, 2009

I. PENDAHULUAN. khususnya bagi sektor pertanian dan perekonomian nasional pada umumnya. Pada

BAB I PENDAHULUAN an. Namun seiring dengan semakin menurunnya produktivitas gula

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia memiliki potensi alamiah yang berperan positif dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. seperti buku, block note, buku hard cover, writing letter pad, dan lainnya. Industri

I. PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi nasional menitikberatkan pada pembanguan sektor

BAB I PENDAHULUAN. angka tersebut adalah empat kali dari luas daratannya. Dengan luas daerah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan negara agraris yang mengandalkan sektor pertanian

EKONOMI SWASEMBADA GULA INDONESIA

PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 51 TAHUN 2014 TENTANG PENGAWASAN PEREDARAN GULA KRISTAL RAFINASI DI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. cara yang tepat dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat suatu negara

VII. DAMPAK KEBIJAKAN PERDAGANGAN DAN PERUBAHAN LINGKUNGAN EKONOMI TERHADAP DINAMIKA EKSPOR KARET ALAM

BAB I PENDAHULUAN. diinginkan tersebut atau lebih dikenal dengan perdagangan internasional.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. banyak kebutuhan lainnya yang menghabiskan biaya tidak sedikit. Guna. sendiri sesuai dengan keahlian masing-masing individu.

VIII SKENARIO ALTERNATIF KEBIJAKAN PENGEMBANGAN SISTEM AGROINDUSTRI KAKAO

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Nilai Ekspor Sepuluh Komoditas Rempah Unggulan Indonesia

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) sering disebut sebagai salah

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. impor gula. Kehadiran gula impor ditengah pangsa pasar domestik mengakibatkan

Transkripsi:

V. KONDISI PERKEMBANGAN INDUSTRI GULA RAFINASI INDONESIA 4.4. Sejarah Perkembangan Industri Gula Rafinasi Industri gula rafinasi mulai berdiri di Indonesia pada tahun 1996. Pabrik gula dalam negeri sebelum tahun 1996 menghasilkan gula kristal putih melalui proses sulfitasi dan karbonatasi. Dari standar proses yang ada selama ini, kedua proses yang ada tersebut sulit diharapkan dapat mencapai kualitas yang memenuhi syarat untuk industri makanan, minuman dan farmasi. Untuk konsumsi industri kualifikasi gula yang dibutuhkan lebih tinggi daripada gula untuk konsumsi rumahtangga. Teknologi yang digunakan sangat menentukan mutu produk gula yng dihasilkan. Secara umum dapat dilihat spesifikasi kualitas jenis gula yang dibedakan berdasarkan teknologi proses pembuatannya. Tabel 7. Spesifikasi Kualitas Gula Uraian Gula mentah Gula putih Gula putih Gula rafinasi Proses defiksasi sulfitasi karbonatasi rafinasi Purity (% Polarisasi) 96.0-99.50 99.70-99.80 99.70-99.80 99.95-99.98 Warna (IU) 1 000-7 000 137-370 60-150 38.6-80 Abu (%) 0.3 max 0.03-0.14 0.02-0.12 0.002-0.008 Invert sugar 0.3 max 0.2 max 0.1 max 0.015 max SO 2 (ppm) 6 max 7-14 4-8 0.2-0.4 Moisture 0.5 max 0.02-0.04 0.02-0.05 0.02-0.04 Sumber : AGRI, 2009 Kebutuhan gula putih mutu tinggi diperkirakan terus meningkat sesuai dengan perkembangan industri makanan dan minuman. Selama ini produksi gula dalam negeri yang betul-betul memenuhi syarat untuk industri baru mencapai sekitar 40 ribu ton per tahun pada tahun 1995. untuk mengatasi kekurangan

tersebut di samping dapat dipenuhi dari impor, maka digunakanlah gula putih hasil karbonatasi dengan terlebih dahulu dimurnikan dengan instalasi pemurnian yang dibuat khusus sehingga memenuhi syarat untuk keperluannya. Definisi menurut AGRI (2009), gula rafinasi atau gula super putih adalah gula konsumsi yang berkualitas dengan derajat kemurnian gula yang tinggi dan kadar abu serta SO 2 yang sangat rendah serta memenuhi syarat keamanan pangan sehingga sesuai/cocok untuk kebutuhan gula konsumsi industri makanan dan minuman serta farmasi. Industri gula rafinasi menggunakan bahan baku dari gula mentah untuk proses produksinya diawali dengan berdirinya PT Bernas pada tahun 1996 dengan kapasitas produksi sebesar 150 ribu ton/tahun dan sejak tahun 2003 diambil alih oleh PT Angels Products dengan peningkatan kapasitas menjadi 500 ribu ton/tahun. Tahun 2002 mulai beroperasi pabrik PT Jawamanis Rafinasi, disusul kemudian PT Sentra Usahatama Jaya, PT Permata Dunia Sukses Utama, PT Dharmapala Usaha Sukses terakhir PT Sugar Labinta. Dengan demikian sampai tahun 2008 terdapat 6 pabrik gula rafinasi dengan kapasitas ijin 2.44 juta ton/tahun. Sedangkan jumlah produksi tahun 2008 adalah 1.26 juta ton. 4.5. Produksi Gula Rafinasi Untuk memperoleh gula yang bermutu tinggi maka bahan baku gula mentah harus diolah dengan proses yang dikenal dengan rafinasi. Dalam keadaan standar proses rafinasi menghasilkan gula yang memenuhi syarat untuk keperluan industri Kuswurj, 2008). Proses pembuatan gula rafinasi adalah dengan mengolah gula mentah/raw sugar dengan tahapan proses: (1) affinasi yaitu proses pencucian dan

pelarutan, (2) karbonatasi yaitu proses pemurnian dengan susu kapur dan gas CO2, (3) filterasi yaitu proses penyaringan, (4) pertukaran ion yaitu proses penghilangan warna, (5) kristalisasi yaitu proses pemasakan dengan vacum fan supaya menjadi kristal, (6) sentifugal yaitu proses pemisahan dan penyaringan kristal gula, dan (7) proses pengepakan dengan mengemas dalam bag 50 kg. Mutu gula rafinasi yang dihasilkan mutu I < 45 icumsa dan mutu II > 80 icumsa. Menurut Tjokrodirdjo et al. (1999), pabrik rafinasi yang ada selama ini terdiri dari 2 tipe, yaitu pabrik rafinasi (Tipe A) yang menyatu dengan pabrik gula dan pabrik rafinasi yang berdiri sendiri (Tipe B). Pabrik rafinasi Tipe A memperoleh bahan baku dan energi dari pabrik gula sehingga lebih menghemat biaya transportasi dan energi, serta dapat mengontrol kualitas bahan bakunya., sedangkan pabrik rafinasi Tipe B memperoleh bahan baku dari pabrik gula lain atau bahkan impor. Pabrik yang mampu memproduksi gula rafinasi ini sampai akhir tahun 2008 ada enam perusahaan yakni PT Sentra Usahatama Jaya, PT Permata Dunia Sukses Utama, PT Angels Product, PT Jawa Manis Rafinasi, PT Dharmapala Usaha Sukses dan PT Sugar Labinta. Kelima perusahaan itu telah mendapat izin impor raw sugar (bahan baku gula rafinasi) Departemen Perdagangan atas rekomendasi Departemen Perindustrian. Importir Terdaftar (IT) adalah para pihak yang diberi izin oleh Pemerintah (seperti PT Rajawali, PT Perkebunan Negara) untuk mengimpor gula jika stok gula konsumsi lokal atau petani kurang. Sedangkan Importir Produsen (IP) adalah industri gula rafinasi (yang tergabung dalam Asosiasi Gula Rafinasi Indonesia atau AGRI) yang diizinkan Pemerintah untuk mengimpor gula sebagai bahan baku industri gula rafinasi lokal. IP juga diberikan

oleh Pemerintah pada industri makanan dan minuman (termasuk UKM) sebagai bahan baku utama (sekitar 35 persen) pembuatan produk makanan dan minuman. Tabel 8. Kapasitas dan Produksi Gula Rafinasi Tahun 2006-2008 N o Perusahaan Kapasitas Izin (000 ton) Produksi (000 ton) 2006 2007 2008 2006 2007 2008 1 PT Angels Products 500 500 500 329 324 269 2 PT Jawamanis Rafinasi 500 533 533 225 292 271 3 PT Sentra Usahatama Jaya 540 540 540 297 430 321 4 PT Permata Dunia Sukses Utama 390 396 396 261 374 327 5 PT Dharmapala Usaha Sukses 250 250 250 27 25 40 6 PT Sugar Labinta - - 225 - - 28 Jumlah 2 180 2 219 2 444 1 139 1 445 1 256 Sumber : AGRI, 2009 Produksi gula rafinasi mengalami peningkatan sesuai dengan kapasitas izin pabrik, penurunan pada tahun 2008 disebabkan izin impor gula mentah yang diberikan pemerintah akibat belum tersedianya produksi gula mentah dalam negeri dan untuk mencegah masuknya gula rafinasi ke pasar retail. Dari keenam pabrik rafinasi yang ada, hanya satu pabrik yang tidak melakukan impor gula mentah. Gula mentah diperoleh dari plantation tanaman tebu milik sendiri.bahan baku berupa gula mentah dapat diimpor dengan mudah dari negara tetangga seperti Thailand, Australia, Fiji, Philiphina dan pasar dunia seperti Brazil dan Kuba. Namun akibat adanya pembatasan oleh pemerintah tersebut, maka pabrik rafinasi sulit mengantisipasi rencana produksi karena sangat tergantung pada impor gula mentah. Selain untuk meningkatkan nilai tambah ekonomi, industri rafinasi gula memiliki pangsa pasar yang berbeda dengan industri gula putih biasa, karena lebih

banyak tertuju pada industri makanan dan minuman di dalam negeri. Investasi baru dan pengembangan industri gula rafinasi menjadi peluang besar bagi peningkatan kapasitas industri domestik dan penyerapan lapangan kerja. 4.6. Permintaaan Gula Rafinasi Kebutuhan gula rafinasi diperkirakan akan terus meningkat sesuai perkembangan industri makanan dan minuman yang dapat dilihat pada Tabel 2. Sesuai dengan tuntutan gula yang tinggi, maka gula rafinasi banyak digunakan di industri makanan, minuman serta farmasi seperti pengolahan susu, industri minuman, sirop, kopi instan, coklat, obat batuk, permen, serta hotel dan restauran. Untuk tahun 2002 sebagai gambaran, konsumsi gula rafinasi (khusus industri besar dan menengah) serta kontribusi gula berdasarkan jenis industri. Tabel 9. Kontribusi dan Konsumsi Gula pada Industri Makanan dan Minuman Tahun 2002 Jenis Industri Kontribusi Gula (%) Konsumsi (Ton) IPS/Susu 60 170 000 Roti dan biskuit 30 180 000 Minuman ringan 60 200 000 Permen 75 130 000 Coklat dan manisan buah 50 20 000 Kecap dan sirup 60 60 000 Total 760 000 Sumber : GAPMMI, 2008 Menurut Amin dalam Soebekty (2005), kebutuhan gula industri menuntut persyaratan yang bervariasi tergantung pada jenis produk, sasaran produk, dan faktor-faktor lainnya. Hal ini menyebabkan sulitnya penghitungan secara pasti jumlah yang dibutuhkan untuk masing-masing kualitas. Namun bila digunakan

pendekatan penyaluran, terdapat tiga kualitas gula untuk industri yang beredar di pasar yaitu kualitas double refined, rafinasi, dan SHS IA. Kualitas double refined umumnya digunakan untuk industri yang memerlukan persyaratan sangat khusus seperti industri makanan bayi dan ibu hamil serta obat-obatan. Gula kualitas rafinasi biasanya digunakan untuk industri pada umumnya, sedangkan kualitas SHS IA banyak digunakan untuk substitusi dan campuran bagi industri umum. Dari kecenderungan yang terjadi sampai sekarang, jenis gula yang relatif besar potensi penyerapannya adalah gula kualitas rafinasi dan lokal yang berkualitas baik (SHS IA dan semi rafinasi). Berdasarkan data Klasifikasi Lapangan Usaha Indonesia (KLUI) yang sejak tahun 1997 menjadi Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) dari BPS, industri makanan dan minuman merupakan konsumen gula rafinasi terbesar yang jumlahnya mengalami perubahan setiap tahunnya. Dari seluruh jumlah industri tersebut, diperoleh 19 jenis industri (besar maupun sedang) yang menggunakan gula rafinasi sebagai salah satu bahan bakunya. Tabel 10. Jumlah Perusahaan Industri Makanan dan Minuman Pengguna Gula Rafinasi Berdasarkan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia Tahun 1997-2006 Tahun Industri Besar (unit) Industri Sedang (unit) Total (unit) 1997 773 146 919 1998 701 137 838 1999 721 139 860 2000 722 140 862 2001 419 83 502 2002 553 105 658 2003 612 123 735 2004 626 129 755 2005 624 128 752 2006 617 103 720 Sumber : BPS, 2009

Dari jumlah perusahaan industri makanan dan minuman, lebih 80 persen pengguna gula rafinasi adalah industri besar. Meskipun mengalami penurunan yang cukup tinggi dari tahun 1997 sampai tahun 2001 akibat krisis moneter yaitu sekitar 12.07 persen, namun kondisi pada tahun 2006 mengalami perbaikan dimana persentasi jumlah perusahaan industri besar naik lebih tinggi dibandingkan indsutri sedang. Hal ini berarti bahwa semakin meningkatnya tingkat kepercayaan dalam berinvestasi di Indonesia yang ditentukan dari skala ekonomi perusahaan besar yang semakin besar dan efisien. 4.7. Pemasaran Gula Rafinasi Jika dilihat dari penggunaan gula rafinasi pada industri makanan dan minuman, gula rafinasi yang diproduksi dalam negeri hampir 100 persen diserap oleh industri makanan dan minuman. Hal ini sesuai dengan Kepmenperindag No. 643/MPP/Kep/9/2002 mengenai tataniaga impor gula yang mengatur mengenai penggunaan gula rafinasi hanya dipergunakan sebagai bahan baku untuk proses produksi. Perusahaan industri makanan dan minuman memperoleh gula rafinasi dari pabrik rafinasi melalui jalur penjualan pemesanan atau kontrak beli pada.pabrik rafinasi. Pembelian gula rafinasi dalam negeri memiliki kemudahan dalam prosedur, cara pembayaran serta tidak selalu tunai, dapat diperoleh dalam tempo dua minggu dampai satu bulan, dan dapat diperoleh secara partai kecil minimal 50 ton. Sementara kalau melalui impor banyak kendala seperti masalah prosedur, misalnya setelah memperoleh rekomendasi dan pengakuan sebagai IP gula juga harus melakukan verifikasi oleh PT Sucofindo, pembayaran dan pesanan jumlah

besar, serta harus melakukan kontrak jauh hari sedangkan harga gula rafinasi di pasar dunia tidak menentu (Munir, 2006). Pada dasarnya pemasaran gula rafinasi dari pabrik gula rafinasi ke industri makanan dan minuman bersifat oligopoli (Soebekty, 2005). Jumlah pabrik rafinasi sebagai penjual gula rafinasi sangat sedikit dan terbatas dibandingkan jumlah industri pengguna gula rafinsi. Keadaan ini seharusnya menimbulkan ketergantungan indsutri makanan dan minuman kepada pabrik rafinasi dan posisi pabrik rafinasi dalam pembentukan harga menjadi sangat kuat. Namun dalam kenyataan di lapangan, dengan adanya kebijakan pengaturan impor (Kepmenperindag No. 643/MPP/Kep/9/2002) dimana dalam kepmen ini diatur ada beberapa industri makanan dan minuman yang dapat langsung melakukan impor gula rafinasi, menyebabkan posisi pabrik rafinasi tidak terlalu dominan. 4.8. Impor Bahan Baku dan Gula Rafinasi Untuk memenuhi permintaan gula rafinasi, impor bahan baku (gula mentah) dapat dilakukan oleh pabrik gula rafinai sesuai dengan rasio impor atau jatah yang berlaku. Pemasok gula mentah terbesar adalah Thailand dan Australia, yang diduga karena faktor lokasi yang berdekatan dengan indonesia. Ketergantungan bahan baku gula mentah bagi pabrik gula rafinasi di dalam negeri masih cukup besar, perkembangan impor gula mentah dan gula rafinasi selama sepuluh tahun terakhir dapat dilihat pada Tabel 4. Dari tabel tersebut terlihat bahwa peningkatan impor terjadi baik gula mentah maupun gula rafinasi. Bertambahnya impor ini tidak terlepas dari beberapa faktor seperti peningkatan kapasitas produksi pabrik rafinasi, penawaran dan permintaan gula rafinasi oleh

industri dalam negeri, tingkat harga domestik terhadap harga dunia serta kebijakan pemerintah dalam industri pergulaan dari mulai tingkat usahatani sampai tingkat industri pengolahan makanan dan minuman. Dilihat dari sisi penawaran dan permintaan, produksi gula rafinasi dalam negeri belum mampu memenuhi permintaan bahan baku industri pengolahan makanan dan minuman, sehingga sisanya harus impor. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Munir (2006) pada salah satu pabrik gula rafinasi, dengan respondennya adalah industri pengguna gula rafinasi yang pernah membeli gula rafinasi di pabrik tersebut menyatakan bahwa 60 persen keputusan pembelian gula yang dilakukan sangat ditentukan oleh perkembangan harga jual gula rafinasi di pasar dunia, sedangkan sisanya disebabkan faktor kualitas dan mutu produk yang dirasakan kurang stabil serta kontinuitas produk. 4.9. Kebijakan Pemerintah mengenai Gula Rafinasi Sektor industri merupakan komponen utama dalam pembangunan ekonomi nasional. Sektor ini tidak saja berpotensi mampu memberikan kontribusi ekonomi yang besar melalui nilai tambah, lapangan kerja dan devisa, tetapi juga mampu memberikan kontribusi yang besar dalam transformasi kultural bangsa ke arah modernisasi kehidupan masyarakat yang menunjang pembentukan daya saing nasional. Selama dua dasawarsa sebelum krisis ekonomi, peran sektor industri terhadap perekonomian nasional hampir mencapai 25%. Sejak pertengahan tahun 1980-an, peranan sektor industri pengolahan khususnya industri makanan dan minuman meningkat sangat tajam, melebihi peranan sektor migas dan pertanian. Perkembangan yang sangat menakjubkan

tidak hanya terjadi di dalam negeri, tetapi juga dalam perdagangan internasional. Pada tahun 1996, pangsa nilai ekspor non migas mencapai 76.44 persen dari seluruh nilai ekspor Indonesia. Sekitar 61.14 persen diantaranya berasal dari ekspor barang industri. Kemajuan ekonomi yang diraih Indonesia pada saat itu, menyebabkan Bank Dunia memasukkan Indonesia sebagai salah satu Negara Ajaib di Asia Timur (The East Asian Miracle). Kebijakan pemerintah yang terkait dengan masalah industri gula rafinasi berupa beberapa buah surat keputusan menteri. Inti dari kebijakan-kebijakan ini adalah pengaturan dan pengontrolah tata cara impor gula mentah dan gula rafinasi. Keseluruhan kebutuhan bahan baku dari berbagai macam olahan makanan dan minuman harus melalui importir yang telah ditunjuk pemerintah, di samping jumlah impor yang ditetapkan pemerintah. Sebagai komoditas strategis, pemerintah telah mengeluarkan kebijakan pergulaan nasional untuk menghindari masuknya gula impor dengan menetapkan bea masuk impor gula putih/gula rafinasi sebesar 20-25 persen melalui Surat Keputusan Menteri Keuangan No. 568/KMK.01/1999 tanggal 31 Desember 1999 yang kemudian tarif tersebut diubah menjadi tarif spesifik melalui Surat Keputusan Menteri Keuangan No. 324/KMK.01/2002 tanggal 3 Juli 2002 yang berisi tarif bea masuk gula mentah Rp 550 per kg, dan gula putih/gula rafinasi untuk industri sebesar Rp 700 per kg. Surat keputusan yang mengatur ketentuan impor gula adalah Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 643/MPP/Kep/9/2002 mengenai tataniaga impor gula dimana diatur pula di dalam keputusan tersebut kode HS jenis gula rafinasi yang dapat diimpor yaitu gula kristal mentah/gula

kasar (raw sugar) dan gula kristal rafinasi (refined sugar) adalah gula yang dipergunakan sebagai bahan baku proses produksi, yang termasuk dalam Pos Tarif/HS 1701.11.000; 1701.99.191; 1701.99.199 dan 1701.99.900. Tataniaga ini berupa pembatasan importir gula mentah dan gula rafinasi hanya boleh dilakukan oleh Importir Produsen gula yang menggunakan gula tersebut untuk bahan baku proses produksi. Pemerintah kemudian menetapkan kebijakan baru untuk menyempurnakan kebijakan tersebut dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.527/MPP/Kep/2004 tanggal 17 September 2004 mengenai pengaturan penggunaan bilangan ICUMSA yaitu suatu parameter nilai kemurnian yang berkaitan dangan warna gula yang diukur berdasarkan standar internasional, dalam satuan Internasional Unit (IU) untuk gula mentah dan gula rafinasi impor,.yang kemudian disempurnakan oleh Keputusan Menteri Perdagangan No. 02/M/Kep/XII/2004 tanggal 7 Desember 2004.