1 Plurilateral adalah bentuk perjanjian kerja sama perdagangan bebas (FTA) antara beberapa negara pada

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB V KESIMPULAN. Tulisan ini telah menunjukkan analisis terhadap alasan-alasan di balik peningkatan

untuk memastikan agar liberalisasi tetap menjamin kesejahteraan sektor swasta. Hasil dari interaksi tersebut adalah rekomendasi sektor swasta yang

Sambutan oleh: Ibu Shinta Widjaja Kamdani Ketua Komite Tetap Kerjasama Perdagangan Internasional Kadin Indonesia

LAPORAN SOSIALISASI HASIL DAN PROSES DIPLOMASI PERDAGANGAN INTERNASIONAL MEDAN, SEPTEMBER 2013

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Tinbergen (1954), integrasi ekonomi merupakan penciptaan struktur

BAB V KESIMPULAN. masyarakat internasional yaitu isu ekonomi perdagangan. Seiring dengan

MULTILATERAL TRADE (WTO), FREE TRADE AREA DI TINGKAT REGIONAL (AFTA) ATAU FREE TRADE AGREEMENT BILATERAL

BAB 4 PENUTUP. 4.1 Kesimpulan

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Pertumbuhan Ekonomi Negara di Dunia Periode (%)

BAB 5 KESIMPULAN. Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. perdagangan resiprokal antara dua mitra dagang atau lebih. RTA mencakup

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional bagi banyak negara di dunia. Semakin terbuka suatu

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Di era globalisasi saat ini, tingkat daya saing menjadi tolak ukur yang

BAB V PENUTUP. Universitas Indonesia. Diplomasi energi..., Muhammad Ali Busthomi, FISIP UI, 2010.

MENGENAI KERJA SAMA EKONOMI). DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. setiap negara bertujuan agar posisi ekonomi negara tersebut di pasar internasional

BAB I PENDAHULUAN. Integrasi ekonomi merupakan kebijakan perdagangan internasional yang dilakukan

ASEAN ( Association of Southeast Asia Nations ) adalah organisasi yang dibentuk oleh perkumpulan Negara yang berada di daerah asia tenggara

BAB I. A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. moneter terus mengalami perkembangan. Inisiatif kerjasama mulai dikembangkan

I. PENDAHULUAN. semakin penting sejak tahun 1990-an. Hal tersebut ditandai dengan. meningkatnya jumlah kesepakatan integrasi ekonomi, bersamaan dengan

menjadi katalisator berbagai agenda ekonomi Cina dengan negara kawasan Indocina yang semuanya masuk dalam agenda kerja sama Cina-ASEAN.

BAB VI. KESIMPULAN. integrasi ekonomi ASEAN menghasilkan kesimpulan sebagai berikut: perdagangan di kawasan ASEAN dan negara anggotanya.

4. Membentuk komite negara-negara penghasil minyak bumi ASEAN. Badan Kerjasama Regional yang Diikuti Negara Indonesia

I. PENDAHULUAN. Isu globalisasi sering diperbincangkan sejak awal tahun Globalisasi

mengakibatkan potensi ancaman dan esklasi konflik. Eskalasi konflik di kawasan mulai terlihat dari persaingan anggaran belanja militer Cina, Korea

Poppy Ismalina, M.Ec.Dev., Ph.D., Konsultan ILO

VIII. KESIMPULAN DAN SARAN. 1. Dalam periode September Oktober 2009 terbukti telah terjadi

Latar Belakang dan Sejarah Terbentuknya. WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO) Bagian Pertama. Fungsi WTO. Tujuan WTO 4/22/2015

BAB IV KESIMPULAN. Perkembangan pada konstalasi politik internasional pasca-perang Dingin

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB IV GAMBARAN UMUM PERDAGANGAN INDONESIA KE ASEAN PLUS THREE

BAB V KESIMPULAN. para pemimpin yang mampu membawa China hingga masa dimana sektor

BAB I P E N D A H U L U A N. lebih maju. Organisasi-organisasi internasional dan perjanjian-perjanjian

Pengaruh Globalisasi Ekonomi Terhadap Perkembangan Ekonomi Indonesia

BAB 4 PENUTUP 4.1 Kesimpulan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian saat ini telah mengalami perubahan

Pertama-tama, perkenanlah saya menyampaikan permohonan maaf dari Menteri Luar Negeri yang berhalangan hadir pada pertemuan ini.

Bab I PENDAHULUAN. A. Dinamika Strategi Perdagangan Australia

DAMPAK PERDAGANGAN BEBAS ASEAN CINA BAGI PEREKONOMIAN INDONESIA (Studi Kasus : Dampak pada Tekstil dan Produk Tekstil Indonesia (TPT))

JURUSAN SOSIAL YOGYAKARTA

C. Peran Negara dalam Pemaksimalan Competitive Advantages

BAB 1 PENDAHULUAN. (AEC) merupakan salah satu bentuk realisasi integrasi ekonomi dimana ini

BAB I PENDAHULUAN. Globalisasi adalah suatu fenomena yang tidak bisa dielakkan. Globalisasi

I. PENDAHULUAN. menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan

BAB I PENDAHULUAN. Daya saing sektor manufaktur Indonesia pada tahun 2005 menempati

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. membuat perubahan dalam segala hal, khususnya dalam hal perdagangan. Era

BAB I PENDAHULUAN. seluruh negara sebagian anggota masyarakat internasional masuk dalam blokblok

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB VI DAMPAK ASEAN PLUS THREE FREE TRADE AREA TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA

ABSTRAK. Kata kunci : WTO (World Trade Organization), Kebijakan Pertanian Indonesia, Kemudahan akses pasar, Liberalisasi, Rezim internasional.

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Globalisasi menjadi sebuah wacana yang menarik untuk didiskusikan

2 masing-masing negara masih berhak untuk menentukan sendiri hambatan bagi negara non anggota. 1 Sebagai negara dalam kawasan Asia Tenggara tentunya p

Menerjang Arus Globalisasi ACFTA dan Masa Depan Ekonomi Politik Indonesia

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

DAFTAR ISI. I.6.1 Kelemahan Organisasi Internasional secara Internal I.6.2 Kelemahan Organisasi Internasional dari Pengaruh Aktor Eksternal...

Tinjauan Kebijakan Ekonomi Indonesia Yose Rizal Damuri

CUPLIKAN LAMPIRAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2011, TANGGAL 20 MEI 2011 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Setiap negara memiliki tujuan yang sama, yaitu mencapai

I. PENDAHULUAN. Keberhasilan perekonomian suatu negara dapat diukur melalui berbagai indikator

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ARAH PEMBANGUNAN HUKUM DALAM MENGHADAPI ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015 Oleh: Akhmad Aulawi, S.H., M.H. *

BAB I PENDAHULUAN. sehingga perdagangan antar negara menjadi berkembang pesat dan tidak hanya

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini perkembangan perekonomian yang sangat pesat telah. mengarah kepada terbentuknya ekonomi global. Ekonomi global mulai

RESUME. Liberalisasi produk pertanian komoditas padi dan. biji-bijian nonpadi di Indonesia bermula dari

ASEAN FREE TRADE AREA (AFTA) Lola Liestiandi & Primadona Dutika B.

PERDAGANGAN INTERNASIONAL DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN: SEBUAH KAJIAN ATAS DAMPAK PENERAPAN EKOLABEL

BAB I PENDAHULUAN. Asosiasi negara- negara Asia Tenggara (ASEAN) didirikan pada tanggal 8

NASKAH PENJELASAN PENGESAHAN

KANTOR PUSAT KAMAR DAGANG DAN INDUSTRI INDONESIA DI KAWASAN KEMAYORAN JAKARTA ( dengan penekanan desain konsep arsitektur Renzo Piano)

DAFTAR ISI. Halaman Judul... i. Halaman Persetujuan Pembimbing... ii. Halaman Pengesahan Skripsi... iii. Halaman Pernyataan... iv

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai sebuah negara yang sedang berkembang, pembangunan ekonomi

I. PENDAHULUAN. mengalami perubahan relatif pesat. Beberapa perubahan tersebut ditandai oleh: (1)

sebagai seratus persen aman, tetapi dalam beberapa dekade ini Asia Tenggara merupakan salah satu kawasan yang cenderung bebas perang.

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang Kota Pekalongan, Jawa Tengah, sudah sejak lama terkenal dengan

Pengaruh Economic Cooperation Framework Agreement (ECFA) terhadap Isu One China antara Cina dan Taiwan

BAB I PENDAHULUAN. utama yang dilakukan negara untuk menjalin kerjasama perdagangan. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. satu kriterianya dilihat dari daya saing produk-produk ekspornya. Yang menjadi

PROTOCOL TO IMPLEMENT THE SIXTH PACKAGE OF COMMITMENTS UNDER THE ASEAN FRAMEWORK AGREEMENT ON SERVICES

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN. Dalam beberapa dekade belakangan ini, perdagangan internasional telah

2 b. bahwa Persetujuan dimaksudkan untuk menetapkan prosedur penyelesaian sengketa dan mekanisme formal untuk Persetujuan Kerangka Kerja dan Perjanjia

BAB IV KESIMPULAN. dapat menyesuaikan diri dengan berbagai tantangan-tantangan yang dapat mengancam

BAB I PENDAHULUAN. yang harus dihadapi dan terlibat didalamnya termasuk negara-negara di kawasan

: Institute Of Southeast Asian Studies

hambatan sehingga setiap komoditi dapat memiliki kesempatan bersaing yang sama. Pemberian akses pasar untuk produk-produk susu merupakan konsekuensi l

I. PENDAHULUAN. nasional. Badan Pusat Statistik Indonesia mencatat rata-rata penyerapan tenaga

BAB I PENDAHULUAN. tekstil terutama bagi para pengusaha industri kecil dan menengah yang lebih mengalami

BAB I PENDAHULUAN. ASEAN (Association of Southeast Asian Nations) adalah organisasi

Efektivitas ASEAN Economic Community Terhadap Optimalisasi Kualitas Industri Kerajinan Keramik Dinoyo Malang

LATAR BELAKANG dan UPAYA DIPLOMATIK CINA MENDORONG CHINA-ASEAN FREE TRADE AGREEMENT

BAB I PENDAHULUAN. Permintaan energi di Asia Tenggara terus meningkat dan laju

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

KEDUDUKAN BILATERAL INVESTMENT TREATIES (BITs) DALAM PERKEMBANGAN HUKUM INVESTASI DI INDONESIA

SIARAN PERS. Masyarakat Bisnis Indonesia dan Eropa Mengidentifikasi Peluang Pertumbuhan Menuju Perjanjian Kemitraan Ekonomi Uni Eropa Indonesia

perkembangan investasi di Indonesia, baik investasi dalam negeri maupun investasi asing, termasuk investasi oleh ekonomi rakyat. Sementara itu, pada

BAB I PENDAHULUAN. < diakses 16 Juni 2016.

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Liberalisasi perdagangan terbentuk dalam tiga rejim kerja sama internasional yaitu perjanjian perdagangan multilateral yang melibatkan banyak negara, regional dalam satu kawasan melalui pertimbangan persamaan geografi dan sejarah, serta bilateral dengan dua negara atau satu negara dengan beberapa kelompok negara. Perkembangan kerja sama perdagangan dalam skema plurilateral 1 dengan model bilateral dan regional yang dilakukan Indonesia mengalami peningkatan. Diantara yang paling dominan adalah perjanjian perdagangan bilateral atau minilateral dalam satu dekade terakhir. Secara tradisional, optimisme dan motivasi utama dibangun untuk tujuan memperoleh manfaat ekonomi yang maksimal dengan mendorong intensitas diplomasi perdagangan. Terdapat dua keuntungan yang diperoleh dari diplomasi perdagangan internasional melalui liberalisasi perdagangan yaitu; perundingan yang saling menguntungkan dan perjanjian yang dinegosiasikan akan membantu pemerintah menghindari terjadinya perang dagang yang merugikan (Krugman dan Obsfeld, 2005:235). Dari manfaat tersebut, negara-negara berlomba melakukan liberalisasi perdagangan sebagai strategi mengejar keuntungan untuk tujuan mencapai kesejahteraan. Pada periode pemerintahan ini, terdapat dua kerja sama perdagangan bebas bilateral atau minilateral yang telah diimplementasikan; Indonesia- Japan Economic Partnership Agreements (IJ-EPA) dan ASEAN-China Free Trade Agreemenst (ACFTA). IJ-EPA adalah perjanjian kerja sama dalam skema Bilateral Free Trade Agreement (BFTA) pertama yang di tandatangani oleh Presiden Soesilo Bambang Yudoyono dan Perdana Menteri Sinzo Abe pada tanggal 20 Agustus 2007 di Jakarta dan mulai berlaku tanggal 1 Januari 2008. Sebuah kerja sama dengan cakupan yang luas meliputi liberalisasi perdagangan, peningkatan investasi, dan capacity building untuk meningkatkan daya saing industri. 2 Liberalisasi perdagangan ditempuh dengan skema penurunan tarif dan penghapusan hambatan non-tarif secara progresif. Pada pilar investasi, diharapkan terjadi peningkatan investasi antara kedua negara serta aspek capacity building, Jepang 1 Plurilateral adalah bentuk perjanjian kerja sama perdagangan bebas (FTA) antara beberapa negara pada tingkat regional untuk membedakan dengan multilateral dimana melibatkan semua negara. Lihat lebih lanjut dalam WTO, plurilateral glossary term, http://www.wto.org/english/thewto_e/glossary_e/plurilateral_e.htm, diakses tanggal 1 Oktober 2014 2 Dokumen IJ-EPA Agreement 2007 dalam Kementrian Perdagangan, <http://ditjenkpi.kemendag.go.id/website_kpi/index.php?module=news_detail&news_category_id=5>, diakses tanggal 30 September 2014 1

menjanjikan program peningkatan daya saing industri melului program Manufacturing Industrial Development Center (MIDEC). Motivasi utama pemerintah dalam perjanjian tersebut adalah mendapatkan keuntungan ekonomi yang maksimal dengan mendorong kinerja ekspor dan meningkatkan investasi. Namun selama lima tahun berjalan, kerja sama bilateral ini belum memberikan hasil yang memuaskan bagi Indonesia. Pertumbuhan ekspor yang fluktuatif dan meningkatnya impor Jepang menunjukan minimnya dampak kontribusi positif dari kemitraan. Rata-rata ekspor Indonesia menurun sebesar 6,6% per tahun sementara impor dari Jepang meningkat 25% per tahun. 3 Perjanjian minilateral yang sama dalam ACFTA dengan lima substansi yaitu perdagangan barang, penyelesaian sengketa, perdagangan jasa, investasi, dan hak kekayaan intelektual. 4 Sejak diimplementasikan secara bertahap sejak 1 Januari 2005, Indonesia dibanjiri produk impor Cina yang membuat daya saing produk domestik menjadi lemah karena tidak siap menghadapi persaing. Cina lebih aktif memanfaatkan kerja sama dengan meningkatkan volume perdagangan dibanding Indonesia. Dampaknya akhirnya, manfaat ekonomi yang diharapkan belum memberikan hasil yang positif bagi perekonomian Indonesia. Pada saat yang sama, Indonesia semakin aktif menginisiasi kerja sama perdagangan bilateral serupa dengan beberapa negara diberbagai kawasan. Selama era pemerintahan ini, tercatat 13 ( tiga belas) proposal inisiasi kerja sama perdagangan yang diklasifikasi melalui tahapan proses yaitu rekomendasi dan pra-konsultasi, joint study group, louching dan putaran negosiasi serta penandatanganan (Kementerian Perdagangan, 2014). Dengan memperhatikan perkembangan kerja sama perdagangan bilateral yang dilakukan dalam sepuluh tahun terakhir menunjukan dampak ekonomi minimal yang diperoleh oleh Indonesia terutama kinerja ekspor. Namun pada akhirnya Indonesia tetap mengajukan proposal beberapa kerja sama dengan berbagai negara. Kebijakan ini menimbulkan pertanyaan dibalik motivasi tetap dilakukan skema Bilateral Free Trade Agreements (BFTA). Transformasi diplomasi perdagangan Indonesia dari sebelumnya berbasis pada multilateral dan regional kemudian berevolusi menjadi strategi bilateral yang dalam beberapa studi belum memberikan keuntungan ekonomi yang maksimal terutama bagi negara-negara dengan kondisi industri domestik yang lemah daya saingnya. 3 Kebijakan IJ-EPA Dievaluasi, Kementrian Perindustrian 2014, <http://www.kemenperin.go.id/artikel/5804/kebijakan-ij-epa-dievaluasi>, diakses 22 September 2014 4 Agreement on Trade in Goods dan Agreement on Dispute Settlement Mechanism tahun 2004 berlaku 1 januari 2005, Agreement on Trade in Services tahun 2007 berlaku 1 januari 2008, Agreement on Investment dan Intellectual Property Right tahun 2009 berlaku 1 januari 2010, dokumen persetujuan ASEAN-China Kementerian Perdagangan. 2

2. Pertanyaan Penelitian Berdasarkan deskripsi dinamika kerja sama perdagangan Indonesia diatas, memberikan gambaran dasar untuk memahami strategi perdagangan yang telah dilakukan. Hal ini menjadi penting untuk diteliti terkait fenomena ekonomi politik global dalam liberalisasi perdagangan bebas bilateral sebagaimana ditunjukan dengan jelas belum membawa keuntungan ekonomi yang lebih baik, untuk itu penulis mengajukan pertanyaan penelitian: Mengapa Indonesia tetap menginisiasi perjanjian perdagangan bebas bilateral (Bilateral Free Trade Agreement-BFTA) sebagai alternatif strategi diplomasi ekonomi? 3. Literature Review: Memahami Liberalisasi Perdagangan Beberapa literatur telah ditulis yang membahas kerja sama perdagangan bilateral dalam perspektif ekonomi dan politik dengan hasil yang mendukung dan menentang berdasar pada pertimbangan aspek manfaat ekonomi terhadap liberalisasi perdagangan. Kerja sama perdagangan secara teoritik ekonomi memberikan keuntungan bagi setiap negara. Dengan asumsi bahwa semakin bebas dan terbuka barang dan jasa beredar di pasar melewati batas teritorial antar negara tanpa hambatan tarif dan nontarif maka kemungkinan manfaat ekonomi dan kesejahteraan akan tercipta. Namun demikian, liberalisasi oleh sebagian kalangan memberikan argumen yang berbeda bahwa perdagangan bebas dalam bentuk Free Trade Agreements (FTAs) atau Preferential Trade Agreements (PTAs) memberikan dampak negatif bagi ekonomi suatu negara. Untuk memperjelas perdebatan ini, studi tentang kebijakan kerja sama perdagangan bilateral dalam perspektif domestik dan global yang disusun dalam leteratur review berikut ini. Perspektif Domestik Studi-studi yang dilakukan untuk menjelaskan kerjasama perdagangan berdampak merugikan ekonomi dalam negeri. Misalnya, Candra (2005) menemukan bahwa kerjasama perdagangan dalam skema bilateral merugikan ekonomi negara sedang berkembang terutama Indonesia. Dengan menggunakan data-data produk pertanian Indonesia dalam perdagangan global dan menganalisis aktor-aktor pemerintah dan non-pemerintah yang berperan, ia berargumen bahwa Indonesia belum siap melakukan kerja sama perdagangan bilateral. Bahkan aktor negara yang mendukung isu-isu perdagangan bilateral hanyalah Kementrian Perdagangan dan Kementrian Luar Negeri, sementara aktor negara dan non 3

negara lainnya menolak bentuk kerjasama ini karena kondisi ekonomi domestik yang tidak mendukung. Lima hal yang menjadi pertimbangannya adalah pertama, Indonesia membangun kerjasama harus secara positif menguntungkan ekonomi. Kedua, mitra dagang yang akan dibangun dengan Amerika dan Cina misalnya sangat berbahaya bagi ekonomi domestik karena kualitas produk yang rendah. Ketiga, kebijakan BTA (Bilateral Trade Agreements) akan melemahkan Kebijakan Ekonomi Luar Negeri Indonesia, keempat, sektor industri domestik belum kompetitif dan efisien untuk bersaing. Serta kelima, secara institusi kebijakan BTA akan membuat beacukai wilayah perbatasan menjadi bingung dalam bekerja. Hal yang hampir sama, studi Soesastro dan Basri (2005) Secara umum melihat dari sisi kebijakan perdagangan dalam perspektif daya saing komoditi yang terkait dengan tarif dan hambatan perdagangan. Daya saing yang dianalisis adalah produk ekspor non-migas khususnya produk-produk pertanian dan non-pertanian terhadap akses pasarnya. Pengaturan perdagangan oleh WTO untuk perlakuan yang sama seperti Most Favoured Nations (MFN) dan General System of Preference (GSP) menjadi pintu masuk produk pertanian Indonesia yang harus dimanfaatkan oleh pemerintah. Dalam isu Perdagangan Jasa General Agreement on Trade in Services (GATS) serta Trade Related Intellectual Property Rights (TRIPs) dimana Indonesia belum berpartisipasi aktif. Secara kelembagaan regulasi, Indonesia telah membentuk komite anti dumping untuk menangani permasalahan perdagangan seperti subsidi, dumping dan safeguard. Temuannya bahwa kenaikan upah minimum, korupsi, infrastruktur masih menjadi hambatan peningkatan daya saing produk Indonesia menghadapi integrasi ekonomi ASEAN dalam ASEAN Economic Community (AEC). Penelitian yang secara spesifik tentang kerja sama perdagangan internasional dilakukan oleh Arifin, Rae, dan Joseph (2007) studi ini mendukung kerjasama perdagangan dalam perspektif ekonomi. Dengan menggunakan teori kerjasama perdagangan internasional mulai dari teori klasik, teori modern seperti HO dan Diamond Teori, dalam menganalisis kerjasama perdagangan bilateral, regional dan multilateral. Temuan analisisnya secara internal dan eksternal yang harus dilakukan pemerintah adalah perbaikan iklim investasi, peningkatan daya saing produk barang dan jasa dan pembenahan bidang hukum. Selain itu memperluas akses pasar dan mengoptimalkan negosiasi perundingan kerjasama perdagangan internasional merupakan aspek eksternal. Selain itu, Elisabeth (2011) dengan menganalisis dinamika kebijakan ekonomi dan politik Indonesia dalam perspektif globalisasi ekonomi pasca krisis finansial 1997 sampai 4

dengan 2009 melalui isu-isu dan strategi kebijakan ekonomi luar negeri menemukan bahwa konstelasi ekonomi global yang bergejolak akan berdampak pada Indonesia. Cakupan risetnya menggunakan data-data kebijakan ekonomi awal pemerintahan tahun 2004-2009 yang fokus pada Kementrian Perdagangan untuk melihat daya saing Indonesia. Perspektif ekonomi politik menurutnya seperti evolusi institusi perdagangan global dari konsep pasar model Bretton Woods sampai dengan GATT/WTO dalam penataan ekonomi internasional telah mendorong perubahan kebijakan untuk menciptakan kesejahteraan melalui liberalisasi perdagangan. Elisabeth menemukan bahwa masih lemahnya daya saing Indonesia dalam arena kompetisi global. Untuk menjawab tantangan dan dampak ekonomi global, maka penting untuk memperjelas arah kebijakan pembangunan nasional dalam dua askpek; pertama, kebijakan ekonomi dibidang perdagangan dalam negeri dan investasi riil dengan melihat pada dinamika kebijakan untuk mendorong penguatan ekonomi domestik. Kedua, kebijakan ekonomi dan politik luar negeri dalam perdagangan dan investasi yang menitik beratkan pada diplomasi ekonomi Indonesia di forum bilateral, regional dan multilateral. Berbeda dari penelitian pada umumnya dimana perdagangan bebas secara positif meningkatkan ekspor bagi kedua negara mitra. Namun penelitian Aziza R. Salam, Sefiani Rayadiani, dan Immanuel Lingga (2012), menemukan bahwa perdagangan bebas Indonesia-Jepang tidak memiliki dampak positif yang berarti bagi kinerja perdagangan dan pola ekspor Indonesia. Dengan menggunakan data perdagangan komoditas antara kedua negara dan membandingkan sebelum dan sesudah penandatanganan perjanjian perdagangan bebas bilateral. Setelah penerapan IJ-EPA pola Ekspor Indonesia ke Jepang tidak menunjukan perubahan pada komoditas yang di ekspor sama sebelum implementasi perdagangan bebas bilateral. Produk-produk berbasis natural resources masih menjadi komoditas utama ekspor Indonesia ke Jepang seperti gas alam, nikel, karet, tembaga, dan kayu lapis. Sementara Jepang menunjukan peningkatan ekspornya ke Indonesia sehingga terjadi besarnya impor Jepang yang masuk. Perspektif Global Studi Ravenhill (2008) terhadap regionalisme yang menekankan pada peran negara sebagai alasan melatarbelakangi pembuatan kebijakan ekonomi politik luar negeri pada sektor perdagangan merupakan analisis yang layak dipertimbangkan. Dengan fokus studi pada wilayah Asia Timur, argumennya bahwa negara-negara dalam satu kawasan ingin masuk dalam perjanjian perdagangan bilateral dan regional disebabkan karena memiliki 5

motivasi politik dan ekonomi. Alasan politik suatu negara terlibat dalam perjanjian perdagangan regional adalah meningkatkan keamanan, membangun daya tawar (bargaining) posisi secara internasional, sebagai sinyal bagi investor potensial atas keseriusan melakukan reformasi ekonomi dalam negeri, memuaskan konstituen domestik dan kelompok kepentingan, serta menerima perjanjian bilateral dan regional lebih mudah bernegosiasi dibanding dengan multilateral. Sementara motivasi ekonominya adalah akses yang besar terhadap pasar domestik, kemungkinan untuk menarik investasi luar negeri, terlibat lebih jauh dalam integrasi ekonomi dan peluang untuk melanjutkan proteksi secara politik pada industri sensitif yang belum kompetitif di pasar global. Yang dimaksud dengan motivasi politik dan ekonomi oleh Ravenhill lebih jauh dijelaskan bahwa memperluas regionalisme sebagai langkah memperkuat keamanan non tradisional baik dengan negara industri maju maupun dengan negara berkembang seperti mengatasi isu-isu kerusakan lingkungan, imigran ilegal, organisasi kriminal, penyeludupan obatan-obatan, dan terorisme internasional. Selain itu, sebagai alat untuk bergaining posisi khususnya bagi negara-negara berkembang dalam kerjasama transnasional dengan mitra dagang. Bagi negara kurang berkembang atau least developing countries (LDC) berharap untuk mendapatkan bantuan dari negara donor dan organisasi internasional yang mendorong integrasi ekonomi antara negara berkembang. Regionalisme ekonomi juga secara internal dapat meningkatkan reformasi ekonomi domestik dalam menarik investor luar negeri potensial dan keinginan untuk masuk pada jaringan produksi global serta menjaga kredibilitas sebagai kolaborator dalam integrasi ekonomi. Aspek lain yang ditekankan Ravenhill bahwa regionalisme dapat meyakinkan kelompok kepentingan domestik dan ruang bagi pemerintah untuk melakukan proteksi tarif yang sebelumnya dalam perdagangan multilateral harus ditekan serendah mungkin. Dengan regionalisme pemerintah diharapkan menerima konsesi dari negara mitra dagang yang saling menguntungkan (reciprocity). Melalui regionalisme, negara-negara lebih mudah bernegosiasi dan mengimplementasikan komitmennya serta penyelesaian masalah perdagangan karena jumlah yang negara yang terbatas dibandingkan dengan perjanjian perdagangan multilateral dibawah WTO. Kegagalan sejumlah negosiasi multilateral di WTO menjadi alasan terutama negara-negara berkembang pada satu kawasan memilih masuk dalam regionalisme, selain sebagai batu loncatan menuju perdagangan multilateral yang lebih liberal. 6

Bilateralisme yang merupakan pengembangan dari rejim kerja sama regional lebih jauh analisis oleh Dent (2006) bahwa pola perkembangan bilateralisme baru berdampak pada diplomasi ekonomi di Asia Tenggara. Dua dimensi bilateralisme ekonomi yang berimplikasi dalam hubungan negara-negara di kawasan yaitu terjadinya konvergensi dan sekaligus divergensi bilateralisme kawasan. Konvergensi bilateralisme kawasan dapat memberikan kontribusi positif terhadap pembangunan regionalisme, sedangkan divergensi bilateralisme kawasan secara esensial menurunkan usaha membangun komunitas regional. Studi terhadap aktifnya Singapura dan Thailand dalam diplomasi ekonomi bilateral dalam kebijakan ekonomi luar negerinya adalah motivasi pertimbangan politik ekonomi yang lebih luas yang melahirkan divergensi integrasi ekonomi yang lebih dalam di Asia Tenggara. Selanjutnya, Aggarwal dan Lee (2011) memandang bahwa meningkatnya inisiasi preferensi perjanjian perdagangan di Asia Pasifik dimotivasi oleh lima faktor utama yaitu, keuntungan ekonomi, pertimbangan ekonomi politik, motivasi untuk reformasi domestik, kekuatan asimetris, dan pertimbangan diplomatik dan keamanan. Secara alamiah, faktor keuntungan ekonomi mejadi tujuan utama dari agenda kebijakan liberalisasi perdagangan. Mengikuti logika ekonom bahwa selain liberalisasi melalui institusi WTO, perjanjian minilateral atau bilateral menjadi solusi alternatif terbaik. Dengan asumsi jika perjanjian perdagangan semakin banyak dilakukan maka semakin besar keuntungan ekonomi yang diperoleh. Dalam aspek memilih mitra dagang, jarak geografis dan ukuran ekonomi merupakan pertimbangan logis yang koheren dengan keuntungan ekonomi. Dengan demikian, preferensi dalam memilih mitra dagang pada negara yang memiliki kedekatan goegarif lebih diprioritaskan, namun tidak semua pertimbangan ini dilakukan oleh negaranegara di Asia Pasifik. Faktor pertimbangan ekonomi politik dari perjanjian perdagangan dalam bentuk minilateral atau bilateral dilihat dapat menimbulkan efek domino bagi pihak yang terlibat, dimana mitra dagang yang dipilih bisa mengurangi tekanan dampak negatif domestik dari liberalisasi perdagangan. Politik domestik dapat diselesaikan melalui instrumen perjanjian perdagangan yang tidak hanya meningkatkan investasi, transfer teknologi dan intensitas perdagangan. Daya saing global dari industri yang berorientasi ekspor lebih memilih kebijakan liberalisasi dibandingkan dengan industri domestik yang lemah dari kompetisi produk impor. Strategi perdagangan akan merefleksikan kompetisi antara kelompok yang mendukung dan menolak liberalisasi. 7

Faktor reformasi domestik sebagai agenda lain untuk membantu meningkatkan daya saing industri dalam negeri yang kurang efisien sekaligus melindung industri yang berkembang dengan fasilitasi penyederhanaan, peningkatan dan restrukturisasi ekonomi melalui negosiasi perjanjian perdagangan bilateral. Pemerintah dapat menggunakan perjanjian perdagangan untuk meningkatkan pengaruh politik domestik (political laverage) dari resistensi kelompok kepentingan yang memproteksi sektor-sektor industri tradisional dengan membuka sektor yang diproteksi untuk mendukung reformasi domestik. Dalam hal faktor kekuatan asimetris, perjanjian perdagangan melahirkan kekuatan yang tidak seimbang antara negara besar dan kecil. Negara besar cenderung mendorong perjanjian yang lebih komprehensif meliputi barang dan jasa seperti jasa keuangan, media, dan sektor entertainment serta memasukan WTO Plus dengan ketentuan hak kekayaan intelektual, perburuhan, dan standarisasi lingkungan. Negara kecil dipaksa untuk berkompromi menerima perjanjian perdagangan dengan sedikit konsesi dari negara besar untuk membuka pasar yang lebih luas bagi produknya. Pertimbangan diplomatik dan keamanan menjadi salah satu faktor yang juga mendorong negara-negara menginisiasi perjanjian perdagangan dan merupakan bentuk penghargaan terhadap aliansi. Pemerintah Amerika misalnya, lebih eksplisit menghubungkan kebijakan ekonomi luar negeri dan keamanan dalam perjanjian perdagangan seperti AS-Israel FTA, AS-Jordania FTA. Cina dan Jepang juga menggunakan perjanjian perdagangan sebagai instrumen luar negeri dan keamanan untuk tujuan kebijakannya. Cina-ASEAN FTA menjadi alasan hubungan diplomatik dan politik yang dalam walaupun dari aspek struktur ekonomi lebih kompetitif bukan melengkapi. Berdasarkan pada studi sebelumnya yang telah dilakukan tersebut, maka fokus dari tesis ini adalah menganalisis pengaruh faktor-faktor domestik dan eksternal dalam pertimbangan kerja sama perdagangan bilateral Indonesia. Pertimbangan dinamika ekonomi politik domestik sebagaimana pendekatan konsep New Trade Strategy oleh Aggarwal dan Lee yang mendorong pemerintah menginisiasi kerja sama perdagangan bilateral. Dari sisi pertimbangan eksternal akan dijelaskan untuk mempertegas konsep diatas. Kontribusi tesis ini adalah untuk menjelaskan kebijakan ekonomi luar negeri dalam perspektif ekonomi politik yaitu: Pertama, kerja sama perdagangan bilateral sebagai strategi politik kompetisi kawasan (outward-looking) dari aspek ekonomi dan politik untuk meningkatkan peran Indonesia agar tidak dianggap ketinggalan membangun aliansi strategis dalam gelombang bilateralisme perdagangan di Asia Pasifik. Kedua, motivasi Indonesia merubah diplomasi 8

ekonomi dari sebelumnya berorientasi multilateral menjadi regional dan bilateral sebagai strategi kompetisi memperluas pasar dan meminimalisir dampak krisis ekonomi global. Ketiga, motivasi faktor dalam negeri (inward-looking) dalam upaya mempercepat reformasi ekonomi domestik yang intensif melalui kebijakan regulasi mendorong industrialisasi dan investasi untuk menciptakan pasar yang efisien. Kebijakan ini sebagai strategi jangka panjang menuju liberalisasi multilateral Asia Pacific Economic Cooperation (APEC) 2020 dan World Trade Organization (WTO) 2030 yang menjadi komitmen setiap negara-negara anggota. 4. Kerangka Konseptual Pertanyaan penelitian tentang politik kerja sama perdagangan bilateral Indonesia selama periode pemerintahan 2004-2014 akan dianalisis dengan menggunakan pendekatan konsep New Trade Strategy untuk memahami lebih dalam motivasi pemerintah melakukan inisiasi bilateral FTA. Merujuk pada konsep ini sebagaimana yang digagas oleh Vinod K. Aggarwal dan Seungjoo Lee untuk menjelaskan dinamika ekonomi politik domestik terhadap preferensi perjanjian perdagangan yang mempengaruhi suatu negara melahirkan kebijakan liberalisasi perdagangan. Konsep yang fokus pada sudut pandang domestik melalui interaksi ide dan persepsi, kepentingan, serta institusi domestik ini akan dimodifikasi untuk lebih jauh menganalisis peran faktor eksternal. Gambar 1.1 Variabel kunci dalam formasi New Trade Stategy Existing Trade Strategy External Shocks Perceptions and Ideas - Defensive motives - Linkage with economic reform - Renewed underst of new trade policy Interests - Interest configuration - Policy preferences New Trade Strategy Number of agreements Sequencing Actor Scope Geography Size of partners Domestic Institutions - Veto points - Policymaking structure - Organized interest groups Issue Scope Nature strength Sumber: Aggarwal dan Lee (2011) 9

Berdasarkan pada konsep new trade strategy ini sebagai rujukan dasar, maka penulis melakukan modifikasi untuk lebih menegaskan variabel faktor eksternal yang mempengaruhi inisiasi kerja sama perdagangan bebas bilateral Indonesia yang secara substansi dari aspek ekonomi politik domestik adalah sama. Namun demikian, untuk variabel eksternal akan ditambahkan sesuai dengan kondisi dan proyeksi terhadap penelitian ini. Variabel-variabel pengaruh bilateral FTA Indonesia yang akan diuji dalam formasi sebagai berikut: Gambar 1.2 Variabel Kunci Politik Bilateral FTA Indonesia External Factors - Global economic crisis - Rising of emerging market - Power bargaining - Multilateral Institution Existing Trade Strategy Domestic Factors Perceptions and Ideas - Defensive motives - Linkage with economic reform Interests - Interest configuration - Policy preferences Domestic Institutions - Policymaking structure - Organized interest groups New Trade Strategy Number of agreements Sequencing Actor Scope Geography Size of partners Issue Scope Nature strength Sumber: Modifikasi dari Aggarwal dan Lee Formasi dalam new trade strategy, dimana ide, kepentingan, dan institusi domestik sebagaimana dijelaskan Aggarwal dan Lee adalah pertama, bahwa ide dan persepsi membantu pembuat kebijakan untuk mengidentifikasi pemain atau negara dan menginterpretasi perubahan eksternal. Kedua, menguji bagaimana pemain utama dalam konfigurasi kepentingan mendorong strategi kebijakan perdagangan baru. Dan ketiga, institusi domestik, seperti struktur pembuat kebijakan pemerintah dan kelompok kepentingan dimana perubahan eksternal dan rekonfigurasi kepentingan berhubungan dalam proses pembuatan kebijakan domestik (Aggarwal dan Lee, 2011:17-22). Faktorfaktor eksternal (external shocks) yang digambarkan Aggarwal dan Lee merujukan pada berakhirnya perang dingin dan krisis finansial Asia yang terjadi sebelumnya menjadi variabel dalam formasi strategi perdagangan baru. Melengkapi gagasan tersebut, melalui analisis variabel strategi perdagangan bebas bilateral Indonesia menjelaskan faktor eksternal sebagai respon kedepan (forward responses) yang terjadi selama periode pemerintahan untuk melihat kompleksitas sudut pandang eksternal. Hal ini sedikit berbeda dengan Aggarwal dan Lee yang lebih menitik beratkan pada dinamika konfigurasi ekonomi politik domestik dengan respon kebelakang (backward responses) dalam menghadapi tantangan tekanan eksternal yaitu perang dingin dan krisis finansial Asia. 10

Pengaruh faktor domestik Sejalan dengan Aggarwal dan Lee, pertimbangan faktor domestik yang terdiri dari pertama, ide dan persepsi, yaitu motivasi defensif, keterkaitan dengan reformasi ekonomi dan memperbaharui strategi kebijakan perdagangan baru sebagai aspek yang mempengaruhi bilateral FTA. Motivasi defensif merupakan reaksi terhadap cepatnya tren proliferasi FTA diberbagai kawasan yang apabila suatu negara tidak mengambil bagian dari proses tersebut maka akan tertinggal dan kurang mendapatkan keuntungan dibanding dengan kompetitornya. Sedangkan, keterkaitan dengan reformasi domestik adalah ide yang memandang bahwa FTA akan mampu mendorong reformasi ekonomi domestik daripada liberalisasi perdagangan multilateral. Para pembuat kebijakan menghubungkan agenda reformasi dengan memilih mitra FTA yang sesuai sebagai strategi adaptasi dalam kebijakan perdagangan baru akan mudah mengontrol proses penyesuaian ekonomi dalam negeri (economic adjustment). Memperbaharui persepsi tentang menggabungkan regional dan bilateral FTA dapat menutup ketergantungan dengan multilateral. Namun, konsensus baru yang muncul dalam lingkaran kebijakan bahwa pendekatan preferensi terhadap liberalisasi perdagangan baik bilateral maupun minilateral sejalan dengan strategi multilateral. Sehingga pandangan bahwa menggeser kebijakan melalui pendekatan preferensi bilateral FTA sebagai esensi dari tetap survive-nya ekonomi domestik dalam kompetisi pasar ekspor global. Kedua, kepentingan dengan fokus pada konfigurasi kepentingan dan preferensi kebijakan. Perubahan lingkungan eksternal berimplikasi pada pelaku kepentingan ekonomi dan politik domestik yang mempengaruhi dan terlibat dalam formulasi strategi perdagangan. Dengan menekankan pada pelaku ekonomi seperti perusahaan dan asosiasi perusahaan yang berorientasi ekspor sebagai sumber kebijakan ekonomi luar negeri memberikan perspektif dalam strategi perdagangan baru. Kelompok kepentingan tersebut memberikan tekanan politik untuk mendorong liberalisasi perdagangan karena khawatir terhadap efek diversi perdagangan (trade diversion). Disisi lain, konflik kepentingan antara birokrasi, politisi, organisasi masyarakat sipil, buruh, bahkan petani yang melihat implikasi negatif dari liberalisasi perdagangan. Preferensi kebijakan yang didorong oleh pemerintah sebagai aktor dalam memformulasi strategi perdagangan baru menegosiasikan antara kepentingan politik kelompok nasionalis dan kekuatan para internasionalis/pelaku eskpor. Ketiga, institusi domestik dengan analisis pada struktur formal pembuat kebijakan, organisasi kepentingan dan tipe pemerintahan yang turut memberikan pengaruh secara domestik. Ditekankan pada peran politik birokrasi utama yang berkepentingan untuk 11

meningkatkan kapasitas negara dalam preferensi kebijakan mengatasi perubahan lingkungan ekonomi politik. Karakteristik dari politik birokrasi adalah organisasi yang memiliki kepentingan besar sebagai penggerak dalam hubungan ekonomi dan politik luar negeri yang menjadi aspek tanggungjawab kebijakan yang mengakomodir kepentingan pelaku ekonomi domestik yang melihat peluang dan manfaat dari FTA. Sebagaimana Aggarwal dan Lee, bahwa tipe rejim politik negara-negara ikut menentukan liberalisasi perdagangan. Negara-negara Asia Timur seperti Jepang dengan demokrasi penuh, Korea Selatan dan Taiwan sebagai negara dengan rejim baru demokrasi, Singapura yang quasi otoriter serta China dan Vietnam menganut rejim sosialis memiliki perbedaan dalam pembentukan FTA. Sistem pemerintahan demokrasi konstitusional atau pemerintahan representatif seperti Indonesia, dimana kelompok kepentingan partai politik, asosiasi pengusaha, media masa, dan publik aktif mendorong pemerintah untuk membuat pilihanpilihan kebijakan yang menguntungkan semua pihak. Pengaruh faktor Eksternal Melalui modifikasi konsep New Trade Strategy, maka pengaruh faktor eksternal menawarkan empat variabel analisis yaitu krisis ekonomi global, kebangkitan negaranegara emerging market, kekuatan bargaining dalam ekonomi politik global dan institusi multilateral. Pertama, interdependensi ekonomi yang berkontribusi mendorong arus investasi, barang, dan jasa antara negara menjadi salah satu pemicu kerja sama perdagangan bilateral. Namun demikian, konsekuensinya adalah krisis ekonomi yang terjadi di suatu kawasan akan memberikan dampak negatif langsung terhadap ekonomi negara lain. Sebaliknya, pertumbuhan dan kemajuan di kawasan lain juga akan memberikan implikasi positif bagi hubungan ekonomi antar negara. Krisis ekonomi global menjadi variabel penting bagi negara-negara untuk memperkuat ekonominya melalui bilateral FTA. Kedua, perkembangan ekonomi negara-negara emerging market memberikan peluang potensi pasar dan investasi yang besar sekaligus tantangan dan mempengaruhi hubungan ekonomi politik antara negara sehingga melahirkan responrespon pembuatan kebijakan. Ketiga, kerja sama perdagangan bebas bilateral menjadi strategi mendorong komitmen, kompetisi dan kontestasi kekuatan bargaining/laverage posisi setiap negara. Dan keempat, lemahnya institusi multilateral dalam mencapai kesepakatan-kesepakatan liberalisasi perdagangan yang menguntungkan negara-negara anggota menjadi alasan dan memberi opsi alternatif bagi lahirnya bilateral FTA. 12

Untuk menjelaskan strategi diplomasi ekonomi dalam dinamika rejim bilateral FTA, dengan analisis pengaruh faktor eksternal pada aspek krisis ekonomi global, kebangkitan ekonomi negara-negara emerging market khususnya Cina dan India, motif mendorong kekuatan posisi tawar (bargaining power), serta lemahnya institusi multilateral merupakan interpretasi dan ekspektasi terhadap perubahan lingkungan eksternal adalah representasi dari kepentingan domestik yang saling terkait. Pengaruh kebijakan ini sebagai strategi mengantisipasi dan menghadapi tantang perubahan ekonomi politik global. Kebijakan liberalisasi perdagangan sebagai hasil dari interaksi hubungan antara aktor domestik dan global dalam proses inisiasi yang sangat menentukan. Interaksi aktor domestik yang didukung kalangan pengusaha, akademisi, teknokrat, birokrat dan politisi dalam rejim pemerintahan demokrasi memberikan legitimasi kebijakan. Integrasi ekonomi melalui bilateral FTA menawarkan berbagai peluang bagi dunia usaha, sekaligus tantangan dampak negatif bagi ekonomi domestik. Minilateralisme atau bilateralisme dimaknai positif dan optimis dapat menciptakan pertumbuhan dan keseimbangan ekonomi. Sebagai konsekuensi dari sikap ini, posisi dan peran Indonesia dalam bilateral FTA menimbulkan interpretasi atas strategi kebijakan diplomasi perdagangan bagi upaya mendorong kepentingan ekonomi dalam kompetisi perdagangan global. 5. Argumen Utama Berdasar pada studi-studi sebelumnya, dan dengan menggunakan modifikasi pendekatan konsep New Trade Strategy oleh Aggarwal & Lee, maka penulis mengajukan argumen utama bahwa mengapa Indonesia tetap menginisiasi kerja sama perdagangan bebas bilateral selama periode 2004-2014 sebagai alternatif strategi diplomasi ekonomi adalah sebagai berikut: Pertama, Bilateral FTA didorong oleh dinamika ekonomi politik dalam negeri melalui konfigurasi kepentingan, ide dan persepsi, serta institusi domestik yang melahirkan ekspektasi jangka panjang sebagai ruang manuver dalam upaya mendapatkan manfaat ekonomi dan reformasi domestik untuk memperkuat struktur ekonomi menghadapi tantangan kompetisi perdagangan global. Kedua, optimisme atas posisi Indonesia yang sedang dalam tahap menuju kebangkitan kekuatan ekonomi di kawasan dan global (emerging power) dengan memanfaatkan bilateral FTA sebagai strategi konsolidasi ekonomi politik domestik dan Internasional. 13

Ketiga, pengaruh faktor eksternal dimana krisis ekonomi global, kebangkitan ekonomi negara-negara emerging market khususnya Cina dan India serta mandeknya institusi multilateral menjadi motivasi pemerintah menggunakan bilateral FTA sebagai strategi kompetisi dan kontestasi bargaining/laverage posisi di kawasan Asia. Dua faktor ini menjadi pertimbangan Indonesia yang memandang bahwa aspek politik atau non-ekonomi sebagai kalkulasi tujuan jangka panjang yang berimplikasi melahirkan keuntungan ekonomi (economic opportunity). Dengan demikian, kerja sama perdagangan bilateral dimaknai sebagai instrumen strategi diplomasi ekonomi yang mengarah pada upaya menegaskan dan memainkan peran aktif dan strategis dalam membangun keseimbangan ekonomi dan politik global (regional and global player). 6. Metodologi, Unit Analisa dan Eksplanasi Metode penelitian kualitatif deskriptif berbentuk studi kasus dalam periode pemerintahan 2004-2014 digunakan pada tesis ini untuk memahami fenomena ekonomi politik kontemporer yang akan dianalisis. Berdasarkan tujuannya, penelitian ini bersifat eksplanatif yaitu menggali lebih jauh sebuah topik dengan pertanyaan mengapa (why) dan mencari sebab-akibat dan alasan mengapa sesuatu terjadi serta membangun dan memodifikasi sebuah konsep atau teori sehingga menjadi lebih lengkap. Selain itu, menghasilkan bukti untuk mendukung sebuah penjelasan atau prediksi. Tesis ini dimulai dari ekspektasi umum bahwa bilateral FTA akan memberikan manfaat ekonomi dan politik dalam merespon dinamika perubahan eksternal. Untuk menjelaskan harapan tersebut maka metode studi kasus sebagai alat uji. Sebagaimana pengertian metode ini bahwa Case study is an empirical inquiry about a contemporary phenomenon (e.g., a case ), set within its real worldcontext-especially when the boundaries between phenomenon and context are not clearly evident (Yin, 2012). Metode studi kasus digunakan karena beberapa alasan. Pertama, dapat menjawab pertanyaan deskriptif (descriptive) dan pertanyaan penjelas (explanatory), kedua, menekankan pada studi terhadap sebuah fenomena dalam konteks dunia real, dan ketiga, umumnya digunakan dalam melakukan evaluasi atas sumber kebijakan dan akuntabilitas pemerintah. Untuk analisis data dilakukan pertama, mencocokan pola logika berdasarkan data dan prediksi. Kedua, membangun eksplanasi atau penjelasan dan ketiga, melakukan analisis data time series, cross section dan panel berdasarkan data kuantitatif. 14

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder berupa data kualitatif dan kuantitatif. Data kualitatif diperoleh melalui buku-buku, jurnal, artikel koran, laporan, buletin, website resmi dan sumber lain yang relevan dan jelas, serta bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah terkait dengan topik yang diteliti. Selain itu, untuk memperdalam analisis digunakan juga data kuantitatif yang sifatnya kualitatif dari lembaga resmi nasional dan internasional seperti Kementrian Perdagangan, Kementrian Perindustrian, Badan Pusat Statistik, Bank Indonesia, dan World Bank. Unit analisa atau variabel dependen yang akan dijelaskan dan dideskripsikan dalam penelitian ini adalah kebijakan negara-bangsa (nation state) Indonesia yang terkait dengan politik kerja sama pada suatu era pemerintahan. Sedangkan yang menjadi unit eksplanasi atau variabel independen ialah sistem regional dan global dalam bentuk rejim perdagangan bilateral (bilateral free trade agreements) dimana negara dan kelompok negara memiliki tujuan mewujudkan kepentingan ekonomi dan politiknya. Penelitian ini menunjukan tingkat analisa induksionis yaitu unit eksplanasinya lebih tinggi dari unit analisa (Mas oed, 1990:42). 7. Sistematika Penulisan Setelah membahas latar belakang, pertanyaan penelitian, review literatur, dan mengajukan kerangka konseptual, metodologi, serta argumen utama, tesis ini akan dilanjutkan ke Bab II dengan memaparkan liberalisasi perdagangan melalui perkembangan inisiasi kerja sama bilateral yang telah dilakukan selama tahun 2004-2014 dalam agenda besar strategi liberalisasi ekonomi yang lebih luas. Posisi Indonesia dalam kerangka kerja sama dan keterkaitannya dengan perkembangan ekspor non-migas dan investasi juga akan direfleksikan pada bagian ini. Kemudian akan memaparkan implikasi kerja sama perdagangan bilateral/minilateral dalam skema Indonesia-Japan- Economic Partnership Agreement (IJ-EPA) dan ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) yang telah diimplementasikan. Pada Bab III, difokuskan untuk menjelaskan pengaruh faktor-faktor domestik yang terdiri dari tiga variabel utama yaitu ide dan persepsi, kepentingan dan institusi domestik. Masing-masing aspek yang dianalisis adalah Pertumbuhan ekonomi sebagai indikator makro yang mendorong pentingnya kerja sama perdagangan bebas bilateral karena memiliki keterkaitan (linkage) dengan upaya reformasi ekonomi domestik. Selain itu, untuk lebih memahami manfaat strategis dari perubahan strategi perdagangan baru melalui tren rejim bilateralisme. Konfigurasi kepentingan dan preferensi kebijakan untuk 15

mendukung bilateral FTA terutama kepentingan asosiasi pengusaha. Bagian lainnya adalah struktur pembuat kebijakan yang memberikan ruang bagi interaksi antara aktor-aktor domestik seperti politisi, birokrasi dan swasta dalam mendorong liberalisasi perdagangan. Selanjutnya dalam Bab IV, pengaruh faktor global akan dijelaskan kebangkitan ekonomi negara-negara emerging market yang difokuskan pada Cina dan India di kawasan Asia, serta tekanan eksternal yaitu krisis ekonomi global yang berimplikasi pada ekonomi politik domestik dan upaya mengatasi dampak tersebut melalui FTA. Pada bagian akhir bab ini akan menjelaskan kerja sama perdagangan bilateral bukan merupakan aspek pertimbangan keuntungan ekonomi jangka pendek tetapi lebih sebagai respon politik dalam upaya membangun kompetisi dan keseimbangan ekonomi politik global serta lemahnya institusi multilateral dalam mencapai kesepakatan liberalisasi perdagangan. Bab V sebagai kesimpulan dari tesis ini, akan meninjau bab-bab sebelumnya tentang argumen-argumen penting yang menjadi motif pemerintah tetap menginisiasi kerja sama perdagangan bebas bilateral. 16