BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Endometriosis merupakan kelainan ginekologi yang umum terjadi yang ditandai dengan tumbuhnya jaringan endometrium (stroma dan kelenjar) di luar rongga uterus dan penyakit ini paling tidak telah mengenai 10% wanita usia reproduksi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kondisi klinis endometriosis seperti dismenorea, chronic pelvic pain dan infertilitas mempunyai dampak negatif pada proses implantasi dan pencapaian kehamilan. Walaupun hubungan endometriosis dengan nyeri pelvis dan gangguan fertilitas telah dikenal sejak tahun 1920an, namun efek endometriosis pada kesuksesan rekayasa reproduksi masih kontroversial (Lebovic et al., 2001). Data epidemiologi menunjukkan bahwa prevalensi penderita endometriosis bervariasi tergantung pada letak geografis dan ras. Prevalensi penderita endometriosis tertinggi di Jepang (Amer, 2008). Penyakit endometriosis di Amerika telah terdokumentasi sebanyak 6%- 10% (Burney and Giudice, 2012), tetapi data di Indonesia tentang penyakit ini belum tercatat dengan pasti. Endometriosis menyebabkan berkurangnya kualitas hidup dengan ditandai dengan nyeri saat menstruasi, berkurangnya fungsi reproduksi, menurunnya angka fertilitas pada pasangan usia subur, dan lain-lain. Oleh karena itu, penelitian tentang endometriosis perlu untuk dilakukan, sehingga hasil yang didapat dari penelitian yang dilakukan dapat memberikan kontribusi pada pencegahan dan pengobatan/terapi pasien endometriosis. Mekanisme endometriosis dalam 1
mempengaruhi fertilitas belum dapat dijelaskan secara lengkap, diduga endometriosis mempunyai efek negatif terhadap perkembangan oosit, mempengaruhi transport tuba, dan mempengaruhi sitokin serta cairan prostaglandin peritoneum. Patogenesis endometriosis telah banyak diperdebatkan dan berbagai penelitian telah merumuskan hipotesis tentang patogenesis endometriosis, seperti implantasi, metaplasma coelomic, dan teori diseminasi limfatik (Lebovic et al., 2001). Dalam kaitannya dengan infertilitas yang berhubungan dengan endometriosis, hal tersebut dapat disebabkan oleh blok mekanik persatuan telur dan sperma oleh endometriomata dan malformasi anatomi pelvis. Blok mekanik tersebut akan diperparah dengan abnormalitas sistemik peritoneum yang disebabkan oleh endometriosis. Dalam perkembangan patogenesis endometriosis, faktor sistem imun dipercaya terlibat dalam progesifitas endometriosis. Untuk perempuan dengan endometriosis, sistem imunnya akan menurun, sehingga keadaan tersebut menyebabkan cairan peritoneum dalam cavum peritonium penderita endometriosis menunjukkan perubahan kadar prostanoid, sitokin, faktor pertumbuhan, interleukin, dan stres oksidatif atau oxidative stress (OS) (Harada et al., 2001). Kelainan imunologi sistemik meliputi kenaikan produksi imunoglobulin sedangkan kelainan imunologis peritoneum ditandai dengan kenaikan sel T Helper, defek aktivitas sel natural killer (NK), penurunan aktivitas sel supresor proliferasi stroma endometrium, proliferasi limfosit, penurunan binding terhadap zona pelusida, kenaikan siklus aktivasi makrofag, dan adanya 2
antibodi spesifik non organ, yang dikhaskan sebagai abnormalitas imunologi peritoneum (Gupta et al., 2006). Dalam sistem imunologi, sitokin interleukin-1β (IL-1β) dikenal sebagai produk monosit yang diaktifkan dari makrofag yang berperan utama dalam regulasi peradangan dan respons kekebalan. IL-1β ini mempengaruhi aktivasi limfosit T dan diferensiasi limfosit B sebagai agonis reseptor yang baik. Pada wanita endometriosis, IL-1β meningkat dalam cairan peritoneum (Lebovic et al., 2001). Dalam penelitian lain, IL-1β dilaporkan terdapat dalam cairan folikuler manusia pada jumlah tertentu. IL-1β diduga terlibat dalam proses ovulasi, seperti peristiwa sintesis protonasi aktivitas regulasi plasminogen aktivator. Aktivasi makrofag akan meningkatkan kadar dan produksi Nitrit Oksida (NO) dan prostaglandin, sehingga kadar radikal bebas pada cairan peritoneum pasien endometriosis juga meningkat (Alpay et al., 2006). Radikal bebas ini akan menyebabkan stres oksidatif dalam endometrium. Walaupun hasil analisis konsentrasi stres oksidatif dalam endometrium di beberapa penelitian masih belum konsisten, beberapa peneliti sudah melaporkan peningkatan konsentrasi Reactive Oxygen Spesies (ROS) pada pasien-pasien pasangan infertil yang berhubungan dengan endometriosis. Akan tetapi, derajat kenaikan konsentrasi ROS tidak berhubungan dengan tingkat keparahan endometriosis. Kenaikan konsentrasi ROS pada cairan peritoneum endometriosis tidak mempengaruhi secara langsung pasien-pasien infertil (Gupta et al., 2006). Menurut Saito et al. (2002), stres oksidatif dihubungkan dengan patofisiologi berbagai penyakit, karena produk radikal bebas dan peroksidase lipid 3
mampu menghancurkan komponen seluler seperti membran, protein, lipid, dan DNA. Salah satu marker untuk evaluasi stress oksidatif dan kerusakan DNA adalah 8-hidroksi-2-deoksiguanosine (8-OH-dG) (Saito et al., 2002). Stres oksidatif bersama dengan apoptosis granulosa sel juga mempengaruhi kualitas oosit. Pasien-pasien endometriosis mengalami peningkatan stres oksidatif yang disebabkan oleh produksi ROS yang berlebih dibanding dengan pertahanan antioksidan. Namun, pemeriksaaan ROS di tingkat seluler adalah sangat sulit, karena ROS tidak stabil di udara bebas. Salah satu parameter yang valid untuk pemeriksaan ROS di tingkat seluler adalah 8-hidroksi- 2 deoksiguanosine (Gupta et al., 2006). Stres oksidatif (seperti ROS) diduga menyebabkan anomali spindel oosit maupun kromosom oosit yang berakibat pada oosit tersebut yang tidak bisa menjadi matang. Tingkat fertilisasi, implantasi, dan kehamilan yang lebih rendah pada wanita dengan endometriosis terjadi karena kualitas oosit yang tergangggu dan cacat interaksi antara endometrium dengan embrio pada proses implantasi. Kualitas oosit tergantung pada kematangan sitoplasma dan kematangan pembelahan inti yang membutuhkan kehadiran spindel sel normal untuk memandu segregasi kromosom selama meiosis dan poros meiosis oosit dalam membangun polaritas (Barcelos et al., 2009). Di beberapa penelitian, wanita endometrisis juga mengalami perubahan kadar endothel nitrat oksida sintase (enos). enos telah dilaporkan dan dianggap terlibat dalam perkembangan endometriosis. Genotip enos mungkin bertanggungjawab untuk variasi dalam aktivitas enzimatik serta konsentrasi 4
plasma oksida nitrat. enos (Glu298Asp polimorfisme) akan mempengaruhi kerentanan individu dalam endometriosis (Kim et al., 2009). enos perlu diperiksa karena akan memberikan gambaran hubungan polimorfisme gena enos dengan risiko kejadian endometriosis. Berbagai hasil penelitian tentang IL-1β, 8- OH-dG dan NO di cairan folikuler telah banyak dilaporkan dengan hasil yang berbeda-beda, namun penelitian tentang IL-1β, 8-OH-dG, NO, dan enos (polimorfisme genotipe) di cairan folikuler dan serum darah pada manusia dengan endometriosis adalah masih sangat terbatas. Penelitian ini diharapkan menemukan perbedaan kadar-kadar IL-1β, 8-OH-dG, NO serta polimorfisme pada genotip enos, untuk mengetahui secara pasti kelainan hingga tingkat perubahan basa penyusun genotipe enos dan mengetahui intervensi yang tepat di masa yang akan datang. B. Rumusan Masalah Pasangan usia subur yang menderita endometriosis akan sangat sukar untuk mencapai konsepsi (kehamilan), karena endometriosis di kavum peritoneum akan meningkatkan sitokin. Salah satu sel sitokin yang berperan adalah IL-1β yang kadarnya akan meningkat pada cairan peritoneum penderita endometriosis. Adanya sitokin di cairan peritoneum penderita endometriosis akan menyebabkan kenaikan stres oksidatif dan reaktif oksigen spesies, dengan markernya 8-OH-dG dan nitrit oksida. Diduga bahwa faktor tersebut di atas akan menyebabkan terjadinya gangguan folikulogenesis dengan merusak spindel meiosis, sehingga oosit tidak berkembang dan menyebabkan terjadi infertilitas pada pasien-pasien 5
endometriosis. Dengan berbagai macam faktor tersebut diatas, rumusan masalah akan muncul sebagai berikut: 1. Apakah kadar interleukin-1β (IL-1β) pada cairan folikuler penderita endometriosis lebih tinggi dibanding dengan bukan penderita endometriosis? 2. Apakah kadar nitrit oksida (NO) cairan folikuler penderita endometriosis lebih tinggi dibanding bukan penderita endometriosis? 3. Apakah kadar 8-hidroksi-2-deoksiguanosin (8-OH-dG) pada cairan folikuler penderita endometriosis lebih tinggi dibanding dengan bukan penderita endometriosis? 4. Apakah frekuensi polimorfisme gena endothelial nitric oxide synthase (enos) Glu298Asp penderita endometriosis lebih tinggi dibanding bukan penderita endometriosis? C. Tujuan Penelitian Endometriosis menyebabkan infertilitas pada pasangan usia subur, yaitu disfungsi ovulasi yang merupakan akibat langsung dari endometriosis. Oleh karena itu, pengetahuan tentang peran stres oksidatif dalam endometrisosis, adanya kenaikan konsentrasi radikal bebas, dan rendahnya anti oksidan yang berpotensi menyebabkan kenaikan stres oksidatif dalam endometriosis sangat dibutuhkan. Dari hal-hal tersebut diatas, penelitian ini mempunyai tujuan: 1. Mengetahui kadar interleukin-1β (IL-1β) pada cairan folikuler penderita endometriosis dibanding dengan bukan penderita endometriosis. 2. Mengetahui kadar nitrit oksida (NO) cairan folikuler penderita endometriosis dibanding bukan penderita endometriosis. 6
3. Mengetahui kadar 8-hidroksi-2 deoksiguanosin (8-OH-dG) pada cairan folikuler penderita endometriosis dibanding dengan bukan penderita endometriosis. 4. Menganalisis frekuensi polimorfisme endothelial nitric oxide synthase (enos) Glu298Asp pada penderita endometriosis. D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan: 1. Sumbangan dan informasi tentang pengaruh stres oksidatif yang dihasilkan oleh cairan endometriosis yang diduga sebagai penyebab degeneratif oosit sehingga menyebabkan infertilitas pada pasangan usia subur karena disfungsi ovulasi yang dapat diidentifikasi dengan pemeriksaan IL-1β, NO dan 8-OHdG cairan folikuler pada pasien endometriosis. 2. Informasi secara molekuler tentang ada atau tidaknya polimorfisme pada gen endothelial nitric oxide synthase (enos) Glu298Asp pada penderita endometriosis. E. Keaslian Penelitian Beberapa penelitian tentang endometriosis telah dilakukan, seperti di bawah ini: 1. Saito et al. (2002) yang melakukan penelitian tentang hubungan antara endometriosis dengan kualitas oosit, dengan meneliti adanya peningkatan stres oksidatif di granulosa sel pada pasien pasien infertilitas yang berhubungan dengan endometriosis. 7
2. Gupta et al. (2006) yang meneliti bahwa stres oksidatif memberikan efek yang merusak kepada fertilitas/wanita, yang meliputi pengaruh pada ovulasi, fertilisasi perkembangan embrio, dan implantasi. 3. Srivastava et al. (2005) yang meneliti tentang prevalensi kejadian polimorfisme genotipe enos GIu298Asp pada 139 wanita sehat di India Utara. Metode penelitian menggunakan cross-sectional. Hasil penelitian menunjukkan tidak ditemukannya hubungan yang signifikan terhadap kejadian polimorfisme pada endometriosis dan kontrol. Pada kontrol ditemukan hanya 0,72% (4 sampel) kejadian polimorfisme dan tidak ditemukan polimorfisme pada genotipe enos GIu298Asp exon 7 pada populasi wanita dengan endometriosis di India. 4. Karatas et al. (2014) yang meneliti polimorfisme gen endothelial nitric oxide synthase (promoter-786t/c, exon 894 G/T dan intron G10 T) pada wanita infertilitas. Penelitian ini menggunakan metode penelitian cross sectional, dengan total sampel 81 orang (41 wanita infertil versus non endometriosis 40). Hasil penelitian menunjukkan ditemukannya hubungan yang signifikan antara kejadian endometriosis dengan genotipe enos exon 894 G/T polimorfisme dan mutasi homozigot GG yang lebih rendah dari heterozigote GT pada wanita infertil dibandingkan dengan non endometriosis (p=<0.05). Varian polimorfisme pada kedua penelitian (p=>0.05) tidak ditemukan. 5. Alpoim et al. (2014) yang meneliti variasi Glu298Asp dari sintesis gen endotelial nitrit oksida yang berkaitan dengan peningkatan risiko dari abruptio plasenta pada penderita preeklampsia. Metode penelitian ini adalah 8
cross-sectional dengan total 100 sampel (50 pre-eklampsi vs 50 abruptio plasenta). Hasil penelitian menunjukkan tidak adanya hubungan yang signifikan antara varian M-235T dari gen AGT dan pre-eklampsia atau abrupsio plasenta, namun frekuensi variasi genotipe enos (GT dan TT) adalah lebih tinggi pada abrupsio plasenta (49%) dibanding pada kontrol (21%) dengan p=0,006. Genotipe enos GT muncul sebagai faktor risiko utama untuk perkembangan abrupsio plasenta (p<0,0001). 6. Hadisaputra (2013) yang mengevaluasi gejala klinik dan tanda-tanda serta ekspresi interleukin-6 (IL-6), Tumor Necrosis Factor-α (TNF-α), Matrix Metalloproteinase-2 (MMP-2) dan Vascular Endothelial Growth factor (VEGF) dengan kesimpulan bahwa riwayat infertilitas dismenore chronic pelvic pain, dyspareunia, cervical tendeness adalah tanda dan gejala klinik pada endometriosis dan interleukin-6 dan TNF-a adalah serum marker untuk endometriosis yang dianjurkan. Dari semua referensi yang telah ada, penulis belum menemukan penelitian yang mengkaji tentang polimorfisme genotipe enos dan pengkajian kadar IL-1β, NO dan ROS atau 8-OH-dG pada cairan folikuler pasien endometriosis dibandingkan pasien non endometriosis. 9